mahdi

6 Februari 2011 at 5:27 pm

assalamu’alaykum..
ustadz, benarkah yg disebutkan dlm link ini http://www.islamedia.web.id/2011/02/bagaimana-hukum-menggulingkan.html bahwa banyak dari ulama salaf yg menyebutkan keburukan penguasa di depan khalayak ramai??
jazakallahukhayran atas jawaban antum^^..

——————————————————————————————————————————————————-

Abu Hudzaifah Al Atsary

11 Februari 2011 at 7:59 am

Wa’alaikumussalaam…
Apa yg dilakukan oleh sejumlah ulama salaf tersebut adalah salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Mereka mengingkari kemunkaran yg dilakukan oleh sebagian penguasa, namun tidak merongrong kekuasaan mereka, ini bedanya. Dan mereka melakukannya di depan penguasa, bukan di belakangnya (spt yg dilakukan oleh harokiyyin dan takfiriyyin), kalau amar ma’ruf tadi disampaikan di depan penguasa dengan tujuan nasehat dan hisbah, maka ini dibolehkan walaupun dilakukan di depan khalayak ramai, kalau memang tidak ada kesempatan lain. Tetapi yg lebih baik ialah menasehatinya empat mata, baik dengan mengunjunginya atau menyuratinya dsb. Adapun pemberontakan kepada penguasa zhalim atau adil yg dilakukan oleh sebagian salaf, seperti mereka yg turut serta dalam perang Jamal dan Siffin, demikian pula Al Husein bin Ali ra, Abdullah bin Zubeir, Abdurrahman bin Asy’ats, Warga Madinah dlm tragedi Al Harrah, dan semisalnya; adalah madzhab lawas yg dahulu dianut oleh SEBAGIAN salaf, meskipun mayoritas tokoh-tokoh sahabat dan tabi’in lebih memilih untuk tidak terjun dalam fitnah. Itu berangkat dari ijtihad mereka dan mereka semua orang-orang yg shalih. Akan tetapi setelah terbukti bahwa hal tsb hanya membawa mafsadat yg jauuuh lebih besar dari kemaslahatan yg ditimbulkan, mereka kemudian sepakat untuk tidak memberontak kepada pemimpin yg zhalim selama belum kafir.
Di antara kerusakan yg timbul dlm fitnah2 tsb ialah: Terbunuhnya kaum muslimin, termasuk di antaranya tokoh2 sahabat, spt Thalhah, Zubeir, Ibnu Zubeir, Al Husein bin Ali, Ammar bin Yaasir… kemudian pembantaian tentara Syam di bawah komando Muslim bin Uqbah Al Murri thd warga madinah yg sangat tragis, hingga disebutkan dlm Al Bidayah wan Nihayah, bahwa jumlah gadis perawan dari Bani Hasyim saja yg terbunuh mencapai seribu… kemudian pemberontakan Abdurrahman Ibnul Asy’ats kpd Hajjaj yg sekaligus hendak melengserkan khalifah saat itu, yaitu Abdul Malik bin Marwan, yg akhirnya berujung kpd kekalahan mereka sehingga terjadi pembunuhan atas pengikutnya Ibnul Asy’ats yg konon jumlahnya mencapai 130 ribu orang, yg paling akhir di antaranya adalah Sa’id bin Jubeir. Kemudian penggulingan Bani Abbas thd Bani Umayyah, yg menelan korban jiwa sekitar 600 ribu orang… dst. Ini jelas mafsadat besar yg tidak sebanding dgn kemaslahatannya. Walaupun dilakukan oleh para ulama, sebab perbuatan ulama bukanlah hujjah dengan sendirinya, tapi justru ia membutuhkan hujjah yg mendukungnya. kalau Nabi sudah jelas-jelas melarang kita untuk berontak kecuali setelah melihat kekafiran yg nyata –dan para ulama menambahkan syarat lain yaitu: Adanya kemampuan untuk menggulingkan tanpa menimbulkan mafsadat yg lebih besar– maka inilah yg harus kita pegangi, bukan perbuatannya para ulama yg tak lain adalah ijtihad, yang bisa benar dan bisa pula salah. Al Izz bin Abdussalaam itu bukan ulama yg ma’shum. Beliau bahkan memiliki akidah yg parah karena meyakini bahwa seorang wali dapat mengetahui apa yg ada di lauhul mahfuzh (lihat: Qowa’idul Ahkam 1/118-119, karya beliau), dan pengikut ajaran tasawuf, bahkan suka mendengar lagu-lagu sufi dan mengikuti tarian mereka, hal ini dijelaskan oleh As Subki ketika menulis biografinya dlm kitab Thabaqaatusy Syaafi’iyyah. Demikian pula oleh Adz Dzahabi dlm Al ‘IBar (3/299). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan berbagai kekeliruan akidah yg ada pada Al Izz bin Abdussalaam dlm kitabnya Majmu’ Fatawa (4/144-164). Beliau bahkan menyifatinya dengan istilah Jahmiyyah Kullaabiyah (salah satu firqah sesat dlm akidah asma’ was sifat), selain beliau juga Asy’ari tulen tentunya. Jadi, ulama pun bisa terjerumus dalam bid’ah yg sesat, meskipun mereka belum tentu berdosa karena mungkin berangkat dari ijtihad. Pun demikian, kekeliruan ulama tidak halal untuk diikuti. Yang salah tetap salah.

——————————————————————————————————————————————————

Rifthian

8 Maret 2011 at 5:44 pm

Assalamu’alaikumwarohmatullohiwabarokatuh..

semoga Allah menjaga ustadz.

Mohon penjelasan apakah ada hadits

. سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يَأْمُرُونَكُمْ بِمَا لَا يَفْعَلُونَ، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكِذْبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَنْ يَرِدَ عَلَيَّ الْحَوْضَ (رواه أحمد

“Akan ada para pemimpin yang memimpin kalian dengan perkara-perkara yang tidak mereka laksanakan. Karena itu, siapa saja yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kedzaliman mereka maka ia bukan termasuk golongganku, dan aku juga bukan termasuk golongannnya; telaga haud pun sekali-kali tidak akan bermanfaat bagiku (untuk menolongnya). (HR. Ahmad).

dalam praktiknya, dalil ini dijadikan Hizbut Tahrir untuk mengkritik/mengoreksi penguasa…dengan alasan sebagai kontrol sosial atau menasehati penguasa merupakan sunnah rasul dan tabi’at para pemimpin Islam. Rakyat, tanpa memandang status sosialnya merasa berkewajiban dan berani mengkritik atau mengoreksi segala kebijakan atau tindakan yang dilakukan pejabat Negara, pada setiap kesempatan terbuka.

Kemudian menurut H,T Sebaliknya, para pejabat Negara tanpa memandang posisi dan jabatannya merasa berkewajiban menerima kritik dan koreksi dari rakyatnya, tanpa ada perasaan tersinggung atau terrendahkan martabatnya, walau kritik dan koreksi dilakukan di depan umum.

selengkapnya di *****

mohon penjelasan hadits di atas ya ustadz..

terimakasih

———————————————————————————————————————————————————-

Abu Hudzaifah Al Atsary

9 Maret 2011 at 10:33 am

Menurut hadits yg diriwayatkan oleh sahabat Iyadh bin Ghanm (yg kala itu adalah gubernur di suatu wilayah bernama Daria) yang mencambuk salah seorang pemimpin warga tsb ketika berhasil menundukkan wilayahnya. beliau (yakni Iyadh bin Ghanm) lantas ditegur keras oleh seorang sahabat lainnya, yakni Hisyam bin Hakiem, hingga Si Iyadh murka. Setelah beberapa hari, Hisyam kemudian mendatangi Iyadh dan minta maaf, seraya berkata: Tidakkah engkau pernah mendengar hadits Nabi yg mengatakan: “Orang yg paling keras siksanya, ialah yang paling keras dalam menyiksa manusia ketika di dunia”. Iyadh pun menyanggah, Ya Hisyam, aku telah mendengarnya sebagaimana yang kau dengar, namun tidakkah engkau mendengar hadits Nabi yg mengatakan:
(( من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية، ولكن ليأخذ بيده، فيخلو به، فإن قبل منه فذاك، وإلا كان قد أدي الذي عليه له )) وإنك يا هشام لأنت الجريء إذ تجترئ على سلطان الله فهلا خشيت أن يقتلك السلطان فتكون قتيل سلطان الله – تبارك وتعالي – ))
“siapa yg ingin menasehati seorang penguasa, maka janganlah menampakkan nasehat (teguran) tsb terang-terangan, namun gandenglah dia dan nasehatilah dia empat mata. Kalau dia menerimanya maka syukurlah, namun kalau tidak berarti dia (si penasehat) telah menunaikan kewajibannya”. Hai Hisyam, kamu sungguh berani karena menantang orang yang dijadikan penguasa oleh Allah. Tidakkah kamu takut jika penguasa tersebut membunuhmu sehingga engkau menjadi korbannya penguasa? (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, Ahmad, dll yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dlm Dhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah).

Hadits ini merupakan kaidah dasar yg dianut Ahlussunnah (tapi HT kelihatannya banyak menyelisihi ahlussunnah) dalam menasehati penguasa, yakni tidak secara terang-terangan, karena akan menimbulkan mafsadat. Jadi, cara menasehati yg syar’i ialah dengan menemui penguasa zhalim tsb lalu menasehatinya empat mata, sebagaimana yg dilaksanakan oleh Nabiyullah Musa dan Harun yg diperintahkan oleh Allah untuk mendatangi dan mengingatkan Fir’aun secara langsung dan mengatakan perkataan yg lemah lembut. Atau dengn menyurati penguasa tsb dengan bahasa yg baik, bukan dengan caci-maki. Dia boleh saja menasehati seorang penguasa di depan orang lain, namun ketika penguasa tsb hadir di tempat, bukan dengan menggunjing penguasa tsb di mimbar-mimbar sehingga mengompori rakyat untuk berontak kpd pemimpinnya sehingga menimbulkan fitnah besar, spt yg akhir-akhir ini terjadi di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Libya. Wallahu a’lam.

Rifthian

12 Maret 2011 at 5:23 am

Ustadz…saya ingin melanjutkan permasalahan sebelumnya. mohon pembetulannya jika saya salah

1-.Dari pendapat As Sindi, Asy Syaukani dan An-Nawawi yang ustadz nukil, dinyatakan dengan redaksi kalimat yang tidak secara tegas menyatakan bahwa menasehati penguasa seara terang-terangan adalah perkara yang Haram. Hal ini berbeda dengan pendapat Ulama yang sering melabeli khawarij atau manyatakan keharaman terhadap orang yang memberi nasehat secara terang-terangan.

2-.berkaitan dengan sejarah yang ustadz nukilkan, bahwa korban yang tewas di tangan Hajjaj akibat pemberontakan Abdurrahman bin Asy’ats mencapai 130 ribu orang, dan semuanya dieksekusi di depan Hajjaj tanpa bisa melawan”

Dengan banyaknya korban dari kalangan shahabat atau tabi’in yang gugur ditangan hajjaj, bukankah menunjukkan bahwa tidak ada ijma’ dari kalangan shahabat dan tabi’in bahwa menasehati penguasa secara terang-terangan adalah haram?

lalu bagaimana dengan :

1) Mazhab Imam Malik menjadikan pendapat ahlul Madinah sebagai dalil syara’, sedangkan ahlul Medinah telah menentang Yazid. Dan Imam Malik rahimahullah, tidak menyukai pemberontakan terhadap khalifah, tetapi juga menyatakan ketidaksetujuannya secara terang-terangan terhadap kezhaliman penguasa yang meminta bai’at dengan paksa dengan menyatakan hadist:

“Laysa ‘ala mustakrohi yamiin” (tidak sah sumpah dibawah paksaan)
Beliau rahimahullah disiksa oleh penguasa Abu Ja’far Al Mansur.

2) Mahzhab Imam Syafi’i membatasi pengggunaan dalil syara’ adalah dari Al Qur’an dan Hadist shahih, ijma’ shahabat dan Qiyash Syar’i.

Artinya, Imam Syafi’i rahimahullah tidak menjadikan ijma’ ulama sesudah mereka (jika memang mereka telah berijma) sebagai dalil syara’. Telah jelas, terdapat perselisihan dikalangan shahabat dan tabi’in di dalam masalah menasehati penguasa secara terang-terangan ini dikalangan mereka, maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa menasehati penguasa secara siir adalah kaidah Ulama salaf? Sedang, ulama salaf shalih adalah ada dari kalangan shahabat.

Apakah dibenarkan pendapat meyakini, bahwa mereka yang gugur menentang kezaliman penguasa (termasuk Said bin Zubair, Hasan dan Husein), insyaAllah syahid karena usaha mereka menegakkan Agama, sedangkan mereka pembunuhnya akan mendapat kemurkaan yang besar dari Allah subhana wa Ta’ala?

Apakah Jika kita menganggap menasehati penguasa secara terang-terangan adalah haram, maka berarti kita menganggap bahwa mereka yang gugur karena menasehati penguasa dan menentang penguasa secara terang-terangan berarti meninggal di dalam keadaan berdosa?

——————————————————————————————————————————————————
Abu Hudzaifah Al Atsary

12 Maret 2011 at 11:24 am

Sebelum mengingkari kemunkaran (baik dari penguasa/lainnya), seseorang harus memperhatikan hal-hal berikut:
1-Ia harus tahu benar bahwa yg terjadi adalah kemunkaran menurut syar’i.
2-Ia harus melihatnya dengan mata kepala, baru wajib mengingkarinya. Adapun yg sekedar diberitahu maka tidak wajib. Karena Nabi mengaitkan pengingkaran dengan ‘melihat’ (man ro’a minkum munkaran…).
3-Ia harus memperhatikan tahapan-tahapan inkarul munkar. Apakah mengingkarinya dengan tangan, dengan lisan, atau cukup dengan hati. Sebab tidak semua orang bisa dan boleh melakukan penginkaran dengan tangan dan lisan. Penginkaran dengan tangan ialah bagi yg berkuasa melakukannya. sedangkan dengan lisan bagi yg berilmu. Namun semuanya harus dan bisa mengingkari dengan hati.
4-Ia harus memperhitungkan bahwa pengingkarannya tidak akan menimbulkan kemungkaran yg lebih besar dari yang ingin dia ingkari. Kalau ia yakin, atau menduga kuat tidak akan menimbulkan kemungkaran lebih besar; maka dianjurkan baginya untuk inkarul munkar. Tapi kalau tidak yakin (ragu-ragu) maka tidak dianjurkan, karena keraguan tidak boleh menjadi landasan berbuat dalam syari’at.
5-Ia harus mengingkari dengan cara yang syar’i, bukan dengan semangat doang tanpa ilmu…
6-Bentuk pengingkaran tidaklah sama, tergantung siapa yg mengingkari, siapa yg diingkari, dan apa kemungkaran yg dilakukan.

setelah memperhatikan poin-poin di atas, cobalah kita tanyakan diri kita sendiri: Apa yg kita inginkan dengan mengingkari penguasa? Kita ingin menasehati dia atau sekedar ingin membeberkan aib-aibnya karena tidak senang dengan kekuasaan yg Allah berikan kpdnya? kalaulah seseorang benar-benar tulus dalam menasehati –dan nasehat itu artinya: iradatul khair lil mansuuh, yakni menginginkan kebaikan bagi yg dinasehati–, maka hendaknya ia menggunakan cara-cara yg menjadikan si penguasa/yg dinasehati mau mendengarkan nasehatnya. Bukankah begitu? Nah, cara ini tidak sama. Lain orang lain caranya. Ketika yg mengingkari seorang yg berwibawa di mata penguasa, akan berbeda hasil dan akibatnya dengan ketika yang mengingkari adalah orang yg tidak disukai oleh si penguasa atau tidak memiliki kedudukan apa-apa di matanya. Karenanya, ketika Anas bin Malik dicaci maki oleh Hajjaj bin Yusuf dan diancam hendak dihabisi, Anas tidak membalas cacian dan ancaman tsb. Beliau mengatakan: Demi Allah, kalaulah tidak teringat akan anak-anakku yg masih kecil, niscaya takkan kupedulikan bagaimana aku akan dibunuhnya (yakni beliau akan melawan ucapan tsb dan tidak peduli bila akhirnya dibunuh). Beliau lantas menyurati Abdul Malik bin Marwan yg menjadi khalifah saat itu, dan merupakan boss-nya Hajjaj. Anas mengatakan bahwa kalaulah kaum yahudi melihat sahabat2nya Musa, pastilah mereka menghormati dan menghargainya. Demikian pula kalau Nashara melihat sahabat2nya Isa, mereka pasti menghormati dan menghargainya. Dan aku adalah sahabat Rasulullah dan pembantunya selama 10 tahun, namun Hajjaj telah mengatakan perkataan yang munkar dan kurang ajar kepadaku, padahal ia tidak berhak mengatakannya. Maka tahanlah dia. Wassalaam…
Setelah membaca surat tsb, maka Abdul Malik langsung naik pitam dan menulis surat dengan bahasa yg sangat kasar kpd Hajjaj, dan menyuruhnya agar begitu membacanya hajjaj hendaknya bersikap lebih rendah kepada Anas daripada sandal Anas sendiri. sehingga begitu membacanya, Hajjaj langsung gemetar dan minta maaf kpd Anas. (lihat: Al Bidayah wan Nihayah 9/153).
Nah, ini salah satu contoh bagaimana Anas mengingkari kemungkaran Hajjaj dgn cara yg lebih tepat, dibandingkan cara yg dilakukan oleh mereka yg memberontak bersama Ibnul Asy’ats.
Lagi pula, siapa sih orang yg senang dibeberkan kesalahannya? Bukankah kebanyakan orang yg keliru justru semakin keras kepala ketika kesalahannya dibeberkan di muka orang? Nah, kalau sudah begitu, maka tidak ada baiknya melakukan hal tsb… kecuali bila dengan kata-kata yg sopan dan tidak menyakitkan atau tidak menyebut-nyebut namanya, namun sekedar menyebut kesalahannya.
Adapun pengingkaran yg dilakukan oleh para ulama spt Imam Malik, dll thd penguasa; maka semuanya dengan cara yang sesuai dengan poin keenam. Yg mengingkari adalah ulama besar yg memiliki wibawa, dan fatwanya diikuti oleh kaum muslimin. Jadi, kalau dia tidak mengingkari maka akan banyak yg tersesat. Karenanya, beliau mengingkari demi menyelamatkan umat walaupun beliau sendiri yg harus menanggung akibatnya. Bandingkan ini dengan pengingkaran secara massa yg dilakukan oleh Harokiyyin hari ini… ga’ nyambung sama sekali. Lagi pula, yg diingkari adalah orang yg berilmu (meskipun zhalim), sehingga bisa memahami duduk permasalahannya. tentunya kalau yg diingkari adalah orang jahil plus zhalim, caranya beda lagi. Kemudian, Imam Malik sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kedudukan Abu Ja’far Al Manshur sebagai Khalifah, artinya beliau mengingkari kebijakannya tanpa mengingkari keabsahan dirinya sebagai khalifah. Yakni tidak ada unsur merongrong kekuasaan sama sekali, namun sekedar menjelaskan bahwa apa yg dilakukan Abu Ja’far itu keliru, tanpa memaki-maki, dan tanpa menghasung massa untuk memberontak kpdnya.

Adapun pendapat imam syafi’i yg hanya membatasi dalil syar’i pada Al Qur’an, hadits, ijma’ para sahabat, dan qiyas yg shahih; maka ini tidak menjadi ilzam bagi orang lain yg menganggap adanya ijma’ setelah sahabat, dan inilah yg rajih. lagi pula, sikap yg benar dalam menghadapi perbedaan ijtihad di kalangan sahabat ialah tarjih berdasarkan dalil-dalil yg ada. Bukan pokoknya saya pilih pendapat si fulan. Apalagi dengan adanya ijma’ setelah itu, dan boleh jadi ijma’ ini baru terjadi setelah wafatnya imam syafi’i (th 204) shg beliau tidak mengetahuinya. Nah, apakah pendapat beliau hendak kita menangkan diatas berbagai dalil yg ana sebutkan dlm jawaban ana yg lalu, lalu dimenangkan pula atas ijma’ yg dinukil oleh sejumlah ulama, di antaranya Ibnu Hajar, dan dimenangkan pula atas qiyas yg shahih?? Apakah ini sikap yg ilmiyah??

Adapun ttg Al Husein bin Ali, Sa’id bin Jubeir dll yg berijtihad lalu terbunuh, maka khusus Al Husein, kita katakan sebagai syahid karena sabda Nabi. Adapun Sa’id bin Jubeir memang dibunuh secara zhalim dan diharapkan (tanpa memastikan) sebagai syahid pula. Adapun Hasan bin Ali tidak gugur karena menentang kezhaliman, beliau mati dengan cara biasa, setelah menyerahkan kekuasaannya kepada Mu’awiyah. Itu yg ana tahu. Dan jelaslah bahwa yg membunuh seorang muslim tanpa alasan yg benar terancam dengan siksa pedih, apalagi kalau yg dibunuh adalah ulama, bahkan sahabat Nabi.

Bagi mereka yg terbunuh sebelum terjadinya ijma’ yg mengharamkan pemberontakan bersenjata thd penguasa muslim, maka mereka tidak berdosa karena mereka dianggap mujtahid. Namun bagi yg terbunuh setelah itu, maka wallahu a’lam… bisa jadi mereka berdosa. Apalagi kalau caranya dengan berdemonstrasi, maka jelas ia telah melakukan sesuatu yg haram, atau bahkan bid’ah. Nanti akan ada artikel khusus yg panjang lebar ttg hukum demonstrasi.
Demikian. wallaahu ta’aala a’lam

——————————————————————————————————————————————————–

Rifthian

12 Maret 2011 at 5:37 am

maaf ada yang terlewat ustadz.mohon dikoreksi jika salah

HT mengganti penguasa yang ada saat ini dengan sistem khilafah tanpa jalan kekerasan. Tentu saja, tidak dapat disamakan dengan memerangi penguasa yang dimaksud di dalam hadist:

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam telah menyeru kepada kami, kemudian kami membai’at beliau shallallaahu ‘alaihi wa salam untuk selalu mendengar dan mentaati, baik dalam kondisi yang kami senangi, kami benci, maupun dalam kondisi susah maupun lapang, dan AGAR KAMU TIDAK MEMERANGI PENGUASA kecuali nampak kekufuran yang nyata”[Bukhari]

Perkara penguasa melakukan tindakan kekerasan kepada syabab HT meskipun HT tidak melakukan kekerasan, itu bukanlah kesalahan HT, tetapi kesalahan penguasa itu sendiri yang menyiksa orang-orang mukmin. Apalagi, menasehati penguasa secara terang-terangan itu sendiri, bukanlah perkara haram:

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.[QS:85.10]

——————————————————————————————————————————————————

Abu Hudzaifah Al Atsary

12 Maret 2011 at 10:39 am

Pertanyaan saya: Mengapa penguasa melakukan tindak kekerasan kpd HT? Apakah mungkin pemerintah kita bersikap demikian jika HT melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang diajarkan Nabi, spt dengan mengutus tokoh-tokoh yang terpandang di mata pemerintah, lalu menghadap presiden (misalnya) secara empat mata dan menjelaskan baik-baik maksudnya dan menasehatinya… atau dengan menyurati beliau? Saya rasa (bahkan yakin), kalau caranya baik dan benar, kita tidak akan diperlakukan spt itu. SBY itu jauh lebih ‘ramah’ dan ‘berperasaan’ daripada Hajjaj bin Yusuf.
Antum jgn punya anggapan bahwa ana membela penguasa yg zhalim, ana hanya ingin menjelaskan bagaimana menghadapi penguasa yg zhalim sesuai dengan yg diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Memang, menyiksa orang-orang beriman adalah kesalahan besar… tapi memberontak kpd penguasa yg jauh lebih kuat, dan belum jelas-jelas kafir, adalah dosa besar pula, yg mengakibatkan fitnah besar.
Karenanya, Imam Ahmad walaupun telah disiksa demikian berat oleh Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq; ketika dimintai pendapatnya bolehkah mengangkat senjata (memberontak) kpd mereka oleh tokoh-tokoh masyarakat dan sebagian ulamanya; beliau dengan tegas melarangnya. Simaklah nas riwayatnya berikut:
يقول حنبل – رحمه الله تعالي -:
((أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار ))
Hambal -sepupu Imam Ahmad- mengatakan: “Para fuqaha’ Baghdad pernah berkumpul dengan Abu Abdillah (Imam Ahmad) di masa kekuasaan Al Watsiq. Mereka berkata: masalah ini semakin meluas dan parah -maksudnya: menampakkan perkataan bahwa Al Qur’an itu makhluk dll- dan kami tidak meridhai kepemimpinan dan kekuasaan dia (yakni Al Watsiq)”. Maka Imam Ahmad mendebat mereka, dan mengatakan: “Hendaknya kalian mengingkarinya dalam hati dan janganlah mencabut bai’at kalian untuk taat kepadanya (dlm selain maksiat tentunya -pent), dan jangan memecah kesatuan kaum muslimin… janganlah menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin bersama kalian… fikirkanlah akibat dari perbuatan yang akan kalian lakukan… dan sabarlah sampai yang orang baik beristirahat, atau orang yang bejat ‘diistirahatkan’. Beliau juga mengatakan: “Ini (maksudnya mencabut bai’at ketaatan) bukanlah sesuatu yang benar… ini bertentangan dengan atsar (hadits Nabi)” (Lihat: Al Aadaabusy Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 1/195-196 dan kisah ini diriwayatkan oleh Al KHallal dalam kitab As Sunnah hal 133). Al Khallal sendiri adalah murid Imam Ahmad.
Coba antum perhatikan, bagaimana sikap Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal jama’ah ketika menghadapi seorang penguasa yg jelas-jelas menyeru kepada kekafiran yg telah disepakati bahwa ia merupakan kekafiran (yakni mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, bukan kalamullah). Tidak cuma sampai di situ, bahkan si penguasa ini memaksa para ulama untuk mengatakan hal tersebut, bahkan tak sedikit yang telah disiksa dan dibunuh karena tidak mau mengatakannya. Salah satu yg dibunuh oleh Al Watsiq sendiri adalah Ahmad bin Nashr al Marwazi yg disembelih langsung olehnya !! Pun demikian, Imam Ahmad tetap tidak merestui keinginan mereka karena melihat akibatnya akan lebih buruk.
Adapun apa yg terjadi di zaman Hajjaj, tragedi Al Harrah (di zaman Yazid bin Mu’awiyah), Kudeta Bani Abbas thd Bani Umayyah, Perlawanan Ibnuz Zubeir, Husein bin Ali, dll thd penguasa saat itu dan kejadian-kejadian semisal lainnya; maka itu semua terjadi sebelum zaman imam Ahmad, dan itu memang madzhab klasik yang dianut sebagian salaf. Akan tetapi setelah melihat bagaimana akibatnya yg mengerikan, maka para ulama yg datang kemudian sepakat untuk meninggalkan cara-cara tersebut. Simaklah perkataan Ibnu Katsir berikut setelah menceritakan akibat pemberontakan Ibnul Asy’ats thd Hajjaj, yg didukung oleh banyak ulama:
والعجب كل العجب من هؤلاء الذين بايعوه بالامارة وليس من قريش، وإنما هو كندي من اليمن، وقد اجتمع الصحابة يوم السقيفة على أن الامارة لا تكون إلا في قريش، واحتج عليهم الصديق بالحديث في ذلك، حتى إن الانصار سألوا أن يكون منهم أمير مع أمير المهاجرين فأبى الصديق عليهم ذلك، ثم مع هذا كله ضرب سعد بن عبادة الذي دعا إلى ذلك أولا ثم رجع عنه، كما قررنا ذلك فيما تقدم.
فكيف يعمدون إلى خليفة قد بويع له بالامارة على المسلمين من سنين فيعزلونه وهو من صلبية قريش ويبايعون لرجل كندي بيعة لم يتفق عليها أهل الحل والعقد ؟ ولهذا لما كانت هذه زلة وفلتة نشأ بسببها شر كبير هلك فيه خلق كثير فإنا لله وإنا إليه راجعون.
Yang sungguh aneh bin ajaib adalah perbuatan mereka (maksudnya para fuqaha’) yang membai’at Ibnul Asy’ats sebagai Amirul Mukminin, padahal dia bukan berasal dari Quraisy. Dia hanyalah orang Arab dari suku Kindah asal Yaman. Padahal para sahabat telah ijma’ pada hari Saqifah, bahwa kepemimpinan haruslah dipegang oleh orang yg berasal dari suku Quraisy. Abu Bakar As Shiddiq bahkan berdalil dengan sebuah hadits ttg hal ini ketika mendebat keinginan mereka (orang-orang Anshar). Bahkan ketika kaum Anshar mengusulkan agar mereka juga memiliki Amir bersama Amir dari kalangan Muhajirin, Abu Bakar tetap menolaknya. Bahkan Abu Bakar lantas memukul Sa’ad bin Ubadah (tokoh Anshar) karena semula mengajak kaum Anshar untuk mengangkat pemimpin dari mereka, meskipun akhirnya ia rujuk. Sebagaimana yg telah kami jelaskan sblmnya.
Lantas, bagaimana kok mereka justru mencopot seorang khalifah (maksudnya Abdul Malik bin Marwan) yang telah dibai’at oleh kaum muslimin seluruhnya selama bertahun-tahun, dan melengserkannya, padahal dia adalah seorang Quraisy asli?? Kemudian mereka membai’at seseorang dari suku Kindah yang belum disepakati oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi (semacam wakil-wakil rakyat yg berhak mengangkat/mencopot pemimpin). Nah, karena kesalahan dan ketergelinciran para fuqaha’ tadilah, akhirnya timbul bencana dan kerusakan yang sangat besar, yang menewaskan banyak orang. Fa inna lillaahi wa inna ilaihi Raaji’uun (Al Bidayah wan Nihayah 9/66).

Simak pula perkataan Ibnu Hajar di akhir biografi Al Hasan bin Shalih bin Hayy, yg digolongkan sebagai Khawarij Qa’adiyyah, maksudnya khawarij yg tidak ikut memberontak secara langsung, namun memprovokasi orang lain untuk memberontak lewan perkataan dan sikapnya thd penguasa. Antum bisa baca biografinya dan bagaimana para tokoh Ahlussunnah yg sezaman dengannya menyikapinya. Contohnya Imam Sufyan Ats Tsauri yg demikian pedas dan keras dalam mengingkari sikap-sikapnya… dan masih banyak ulama lain yg bersikap spt itu dan mengatakan bahwa si Hasan ini (كان يرى السيف). Maka di akhir biografinya, Ibnu Hajar mengatakan:
تهذيب التهذيب (2/ 250):
وقولهم كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على ائمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن استقر الامر على ترك ذلك لما رأوه قد افضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة ابن الاشعث وغيرهما عظة لمن تدبر .
Mereka yg mengatakan (كان يرى السيف) maksudnya ialah bahwa si Hasan ini termasuk yang mendukung pemberontakan dengan senjata (pedang) terhadap penguasa-penguasa zhalim. Ini memang madzhab yang dahulu dianut oleh para salaf. Akan tetapi kemudian terjadi kesepakatan untuk meninggalkan cara tersebut
, setelah mereka menyaksikan akibatnya yang lebih buruk. Apa yg terjadi dlm tragedi Al Harrah, Ibnul Asy’ats dan lain-lain menjadi mau’izhah dan ‘ibrah bagi orang yang ingin mengambil pelajaran.

Nah, dari nukilan-nukilan tadi, jelaslah duduk perkaranya… bahwa pendapat yg membolehkan angkat senjata melawan penguasa zhalim adalah pendapat yg telah ditinggalkan, sehingga kita tidak boleh mengikutinya. Lagi pula, di zaman mereka yg membolehkan hal tsb, banyak pula ulama yg tidak sependapat dengan mereka. Contohnya Ibnu Umar dan Sa’ad bin Abi Waqqash yg menjauhkan dirinya dari fitnah dan tidak mau membai’at Ibnu Zubeir, tidak ikut memberontak bersama warga Madinah, dst… lalu di zaman Tabi’in kita mengenal Muhammad ibnul Hanafiyyah yg juga tidak mau berbai’at kpd Ibnuz Zubeir krn telah memba’iat Yazid, lalu Hasan Al Basri, dan berikutnya Sufyan Ats Tsauri, dll… dan disusul oleh Imam Ahmad bin Hambal. Kalaulah ini merupakan masalah khilafiyah di kalangan mereka, maka jelas bahwa mereka yg tidak khuruj (tidak berontak)-lah yg benar, karena akhirnya pendapat mereka-lah yang dipilih dan menjadi ijma’ ulama yg datang kemudian. Faham?

Tidak cukupkah dalil-dalil yg memerintahkan untuk taat kpd penguasa zhalim untuk mengharamkan pemberontakan? Tidak cukupkah akibat buruk yg dicatat oleh sejarah tersebab pemberontakan (yg dilakukan oleh sejumlah ulama) menjadi dalil bahwa cara ini sama sekali tidak membuahkan hasil yg baik? Itupun yg memimpin pemberontakan adalah para ulama yg tidak diragukan keshalihannya… lantas bagaimana kalau yg mimpin saja masih diragukan ‘nawaitu’-nya… tidak dikenal sbg orang baik, dan kalaupun dia orang baik maka kebaikannya jauh tak sebanding dengan para ulama tsb…??
Bahkan secara logika, kalaupun penguasanya jelas-jelas kafir dan rakyatnya lemah… maka membolehkan pemberontakan thd penguasa dlm kondisi ini sama dengan mati konyol.