Adalah Ahmad (bukan nama sebenarnya), pemuda yang lahir dari sebuah keluarga menengah di Solo tiga puluh tahun silam. Sejak kecil ia dididik sebagaimana mayoritas anak-anak di masanya. Ia harus mengenyam pendidikan formal dengan ‘baik’, agar kelak memiliki ‘masa depan yang cerah’. Jenjang sekolah dasar ia selesaikan dari salah satu SD Islam yang masuk nominasi 10 besar di kotanya. Berbekal NEM yang cukup tinggi (45,24), ia melanjutkan studinya ke SMP Negeri 4 Solo, yang juga merupakan SMP favorit (rangking 4 se-Kotamadya) ketika itu.

Di SMP ini, dia benar-benar dididik menjadi orang Jawa asli, hingga cara menabuh gamelan pun harus dikuasainya. Ya… sebab jika tidak, nilai Kesenian Daerahnya akan merah; dan itu berarti ia tidak bisa naik kelas.

Pergaulan bebas antara siswa-siswi SMP Negeri lambat laun menjadi fenomena yang biasa dilihatnya. Hal itu memberi pengaruh tak baik bagi dirinya, yang semakin hari semakin tak peka terhadap kemungkaran yang terjadi di sekitarnya. Yah… itulah harga mahal yang harus dibayar bagi mereka yang sekolah di sekolahan negeri: kurikulum sekuler, dan pergaulan bebas.

Tiga tahun ia lalui di SMP 4 dengan berbagai kenangannya. Kini usianya telah genap 18 tahun, dan saatnya ia melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.

Namun lagi-lagi, ambisinya untuk meraih masa depan yang lebih cerah mengharuskannya mendaftar di SMU paling favorit di Solo saat itu, yaitu SMU Negeri 3. Demikianlah seterusnya… ia bergelut dengan berbagai mata pelajaran umum yang ‘harus’ dikuasainya agar nilainya baik. Berbagai rumus matematika, fisika, dan kimia memenuhi otaknya… sedangkan pelajaran favoritnya sebenarnya bukanlah itu. Ia justru lebih senang dengan pelajaran agama Islam, yang sayangnya cuma selingan saja di sana… ya, cukup DUA jam dalam seminggu!

Sebenarnya ia bukanlah pelajar yang ‘bodoh’, atau malas… akan tetapi ia juga bukan yang jenius dalam ilmu-ilmu eksakta. Ia lebih suka mengandalkan hafalan, tapi bukan menghafal rumus yang disukainya, melainkan menghafal Al Qur’an.

Entah mengapa, kecenderungannya untuk mempelajari agama semakin hari semakin kuat. Karenanya, ia memutuskan untuk mencari ‘tambahan’ ilmu di luar sekolah. Ya… sistem pendidikan sekuler yang diterapkan sekolah-sekolah negeri memang cukup parah dampaknya. Bagaimana tidak? Lha wong agama yang merupakan kunci keselamatan dunia & akhirat hanya diberikan dua jam seminggu. Sedangkan mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang kemudian dirubah namanya –namun hakikatnya tetap sama- menjadi PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan); mendapat porsi jauh lebih besar dari itu.

Ahmad sejak SMP memang gemar mengikuti kajian-kajian Islami, baik lewat kaset ceramah, pengajian di mesjid sekitar, maupun acara Hikmah Fajar RCTI.

Salah satu kyai favoritnya ialah KH. Kosim Nurzeha. Kyai yang satu ini memang enak jika berbicara. Ahmad menyetel habis semua kaset Pak Kyai yang dia peroleh dari pamannya, yang konon juga penggemar beliau. Bahkan lagu khas: “RKM Radio Kayu Manis… dst” yang mengawali dan mengakhiri setiap ceramah, masih terngiang di telinganya hingga kini.

Benar. Meski telah berlalu lebih dari 15 tahun, ternyata lagu dan nyayian tak mudah terlupakan dari ingatan. Barang kali, inilah rahasia diharamkannya mendengarkan lagu dan musik, sebab keduanya sangat mudah melekat dalam hati, dan tak mudah dihilangkan walau seseorang telah meninggalkannya bertahun-tahun. Benarlah ucapan Ibnu Mas’ud r.a. saat menafsirkan firman Allah:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ [لقمان/6]

Di antara manusia, ada orang yang mempergunakan perkataan tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu, dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan (Luqman: 6).

Ketika beliau ditanya tentang apakah perkataan yang tidak berguna itu, beliau mengatakan: “Sungguh demi Dzat yang tiada ilah selain Dia, itulah nyanyian!”, sembari mengulang sumpahnya tiga kali.[1]

Tak puas hanya mendengarkan suara, Ahmad menghadiri pengajian-pengajian lainnya di kota Solo.

Salah satu pengajian rutin yang –dahulu- dihadirinya adalah: kajian selasa malam di Mesjid Wiropaten (yang kini bernama mesjid Assaggaf), depan RS Kustati Pasar Kliwon. Bertahun-tahun ia ‘mengaji’ di mesjid itu tanpa menemukan frekuensi yang pas dengan dambaan hatinya. Tema pengajian yang ‘hambar’, yang hanya memberikan ‘kulit tanpa isi’ rupanya masih menjadi tema favorit para muballigh… pengajian yang penuh dengan canda tawa dan anekdot masih sangat diminati masyarakat.

Ahmad kecewa… ia masih belum menemukan saluran yang tepat untuk memuaskan hasrat belajarnya. Dari Mesjid Wiropaten, ia beralih ke acara Hikmah Fajar RCTI. Saat itu ada seorang pembicara yang menjadi idolanya, yaitu DR. Imaduddien Abdurrahim. Seorang doktor di bidang elektro –bukan agama!- yang dianggapnya cukup ‘berilmu’.

Opini yang berkembang di masyarakatnya memang menjadikan Ahmad gandrung kepada orang-orang seperti Bang Imad (panggilan akrab beliau). Banyak orang yang lebih cenderung untuk mendengarkan ceramah seorang doktor daripada ustadz yang hanya bergelar Lc… Dia khan doktor!? Pasti lebih berilmu dan lebih logis jika berbicara. Penafsirannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an pasti lebih eksak dibanding ustadz lainnya, meski terkadang kedengaran ganjil dan nyeleneh.[2]

Begitulah jika kriteria ‘orang berilmu’ dipahami dengan salah kaprah. Akhirnya agama jadi mainan semua orang… tak peduli apa pun latar belakang si penceramah, SH, SE, ST, dokter, insinyur, arsitek, atau kalau perlu mantan artis yang baru taubat kemarin sore! Bangsa ini memang latah… mudah terseret oleh arus dan trend yang berkembang. Bayangkan jika seorang mantan rocker, mantan penyanyi dangdut, dan mantan artis disuruh bicara tentang Islam… apa kira-kira yang disampaikannya untuk pendengar?

Kita bukan membenci para artis dan penyanyi yang telah bertaubat, akan tetapi mereka harus tahu diri dan kita harus jeli. Agama ini bukanlah mainan. Ia bukan lahan komentar setiap orang yang ingin berkomentar. Islam adalah sesuatu yang memiliki kesakralan tersendiri, karena dia datang dari Allah melalui Rasul-Nya yang tercinta. Semua yang mengatasnamakan Islam berarti mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah berfirman:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ $ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih (an-Nahl: 116-117).

Sembarangan dalam menghalalkan dan mengharamkan termasuk sikap lancang terhadap agama. Sebab itulah kita tidak boleh sembarangan dalam belajar agama. Memilih ustadz yang benar dalam mempelajari Islam akan menjadi kunci keselamatan kita dunia akhirat.

Sepanjang apa pun gelar yang disandang seseorang, bila dia tidak faham terhadap Islam, maka pada hakikatnya ia seorang jahil. Benar… meskipun nama lengkapnya Prof. Dr. Si Fulan MA. Simaklah firman Allah berikut:

وَعْدَ اللَّهِ لاَ يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ (6) يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

(Itulah) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang zhahir (saja) dari kehidupan dunia; namun mereka lalai tentang masalah akhirat (ar-Rum: 6-7).

Benar, tolok ukur kepintaran yang sesungguhnya bukanlah dari ilmu dunia semata. Pintar yang sesungguhnya ialah pintar memposisikan dirinya sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Orang berilmu ialah orang yang tahu bagaimana mendapat ridha Allah dan menghindari murka-Nya. Ia tahu bagaimana menauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya dengan benar sesui petunjuk Rasul ‘alaihisshalaatu wassalaam. Sebab hanya untuk itulah ia diciptakan di dunia.

Allah menyifati kebanyakan manusia yang tidak mengetahui tadi dengan sifat ‘mengetahui’! Tapi ya begitulah… yang diketahuinya hanya ilmu-ilmu yang zhahir saja, alias ilmu dunia macam matematik, fisika, biologi, kimia, sosial, politik, dll. sedangkan ilmu yang menjamin keselamatannya di akhirat dia lalaikan.

Menginjak kelas satu SMU, Ahmad berkenalan dengan seorang pemuda (ikhwan) yang berinisial AJ. AJ adalah salah seorang karyawan yang bekerja di pabrik tekstil milik paman Ahmad. Penampilan AJ yang berjenggot dan bercelana di atas mata kaki, serta isterinya yang berjilbab rapat memang bukan hal yang aneh, hanya saja masih jarang terlihat kala itu. Dari AJ Ahmad diajak untuk menghadiri sebuah majelis taklim di mesjid Istiqomah Penumping Solo. Pengajian itu diasuh oleh Ustadz A M, dan diadakan setiap Ahad malam selepas shalat maghrib. Tak disangka… ternyata ‘frekuensi’ yang selama ini dicari-carinya mulai ketemu. Cara pembawaan sang Ustadz yang meyakinkan dan demikian mengena, memang baru kali ini ditemukannya. Materi pengajian yang diberikannya jauh lebih berbobot dari yang selama ini pernah ia dengarkan. Pak Ustadz mulai mengenalkannya terhadap cara beragama yang semestinya, yaitu yang berdasar kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi,  dengan pemahaman para salaf.

Ahmad pun seketika menjadi pendengar setia dalam setiap kajian yang disampaikan Pak Ustadz. Bahkan tanpa disadari, ia telah menjadi asisten Pak Ustadz dalam membacakan terjemahan dari ayat-ayat yang beliau sampaikan dalam pengajian. Ahmad demikian cepat dalam menemukan ayat-ayat tersebut hingga ia lah yang paling sering disuruh membacakannya.

Pada tahun 1996, diadakan sebuah seminar bertajuk ‘mengenal manhaj salaf’, dengan pembicara Ust. F O dari Jakarta, dan Ust. A M dari Solo. Seminar tersebut diadakan seharian di Masjid Muniroh yang terletak di belakang Swalayan SE (Super Ekonomi) Solo.

Seminar yang dihadirinya tersebut membuatnya semakin yakin akan pentingnya mempelajari manhaj dalam beragama, sebab sekedar mengaku berdasar kepada Al Qur’an dan Sunnah tidaklah cukup. Al Qur’an dan Sunnah memang harus menjadi dasar setiap muslim, tapi mengapa cara beragama umat Islam demikian kaya dengan perbedaan? Mengapa muncul berbagai bid’ah di masyarat yang mengaku dasarnya adalah Al Qur’an dan Sunnah? Jawabannya mudah. Itu semua terpulang kepada interpretasi (penafsiran) masing-masing terhadap Al Qur’an dan Sunnah yang berbeda-beda. Masing-masing berusaha memahami keduanya secara pribadi, tanpa merujuk ke pendapat para salaf yang jauh lebih ‘alim dari kita tentang masalah agama… (bersambung)


[1] Atsar ini disebutkan dalam sejumlah kitab-kitab tafsir, seperti Tafsir Ath-Thabary (20/127), dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, al-Baihaqi, dan al-Hakim. Al-Baihaqi & al-Hakim menshahihkannya, demikian pula Ibnu Hajar dalam at-Talkhiesul habier (4/482 no 2113). Pendapat yang sama juga diucapkan oleh Ibnu ‘Abbas, Jabir, Mujahid, ‘Ikrimah, dan Hasan al-Bashri (lihat: Tafsir ath-Thabary 20/127-129).

[2] Salah satunya ketika Bang Imad menafsirkan firman Allah dalam surat an-Anbiya’ ayat 105, yang artinya: Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhul mahfuzh, bahwasanya bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih”. Bang Imad menyebutkan –sejak bertahun-tahun lalu sebelum Ahmad mendengar penjelasan tersebut-, bahwa yang dimaksud hamba-hamba Allah yang shalih ini ialah ‘mereka yang beramal dengan ilmu pengetahuan (iptek)’. Beliau lalu memisalkannya dengan negara-negara Barat yang menguasai dunia (bumi) karena mereka menerapkan iptek mereka.

Sungguh ganjil bin nyeleneh penafsiran ini… semoga Allah memaafkan beliau! Kalaulah yang dimaksud dengan orang-orang shalih tadi adalah negara-negara maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika; berarti di zaman Nabi e orang-orang shalihnya adalah Persia dan Romawi, sebab kedua negara inilah yang menguasai dunia ketika itu. Lantas mengapa Nabi dan para sahabat sepeninggalnya memerangi orang-orang shalih tersebut?