كلمة حقLampiran I

(melengkapi artikel Nasehat Amir JI untuk Al Qaeda)

Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat bahwa perkara jihad adalah tanggung jawab dan wewenang Imam. Jihad tidak boleh dilakukan kecuali di bawah komando Imam dan atas izinnya, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dan khulafa’urrasyidin.

 Hal ini bisa ditangkap jelas dari bbrp ayat berikut:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَى أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوهُ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَئِكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (62)

Sesungguhnya, kaum mukminin sejati ialah mreka yg beriman kepada Allah dan RasulNya. Dan bila mereka sedang bersama Nabi dalam suatu acara kebersamaan, maka mereka tidak pergi sebelum minta izin kepadanya. Sesungguhnya, orang-orang yg minta izin kepadamu (Muhammad), mreka itulah yg beriman kepada Allah dan RasulNya. Maka apabila mereka minta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa saja yg kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkan ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha pengampun, maha penyayang (An Nur: 62).

Al Qurthubi mengatakan dlm tafsirnya:

وَاخْتُلِفَ فِي الْأَمْرِ الْجَامِعِ مَا هُوَ، فَقِيلَ: الْمُرَادُ بِهِ مَا لِلْإِمَامِ مِنْ حَاجَةٍ إِلَى تَجَمُّعِ النَّاسِ فِيهِ لِإِذَاعَةِ مَصْلَحَةٍ، مِنْ إِقَامَةِ سُنَّةٍ فِي الدِّينِ، أَوْ لِتَرْهِيبِ عَدُوٍّ بِاجْتِمَاعِهِمْ وَلِلْحُرُوبِ،

Ada khilaf dlm menafsirkan apa yg dimaksud ‘acara kebersamaan’ tsb? Ada yg mengatakan bhw maksudnya adalah keperluan seorang pemimpin untuk mengumpulkan orang-orang dalam rangka mengumumkan suatau maslahat, seperti melaksanakan suatu ajaran agama, atau sekedar mengumpulkan orang untuk menggentarkan musuh, atau untuk perang.

Pendapat lain mengatakan bahwa acara kebersamaan yg dimaksud adalah shalat jum’at. Dan pendapat yg dirajihkan oleh Al Qurthubi adalah yg pertama karena ia lebih bersifat umum.

{وَإِذَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ أَنْ آمِنُوا بِاللَّهِ وَجَاهِدُوا مَعَ رَسُولِهِ اسْتَأْذَنَكَ أُولُو الطَّوْلِ مِنْهُمْ وَقَالُوا ذَرْنَا نَكُنْ مَعَ الْقَاعِدِينَ (86)} [التوبة: 86]

Dan bila ada sebuah surat yg turun kepada mereka agar mereka beriman kepada Allah dan berjihad bersama RasulNya, maka orang-orang kaya di antara mereka akan minta izin kepadamu (Muhammad). Mereka berkata: “Biarkanlah kami tinggal bersama orang-orang yg tidak berangkat jihad” (At Taubah: 86).

Kedua ayat ini secara implisit menjelaskan bahwa perizinan dlm masalah jihad adalah milik Imam (waliyyul amri), baik izin berangkat maupun izin mengundurkan diri. karena yg berhak mengizinkan untuk tidak berangkat, berarti berhak untuk mengizinkan untuk berangkat.

hal ini lebih ditegaskan dalam sunnah, seperti pada hadits-hadits berikut:

عن عبد الله بن عمرو قال * جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم يستأذنه في الجهاد فقال أحي والداك قال نعم قال: ففيهما فجاهد. متفق عليه

Dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash, katanya: Ada seorang lelaki MINTA IZIN kepada Rasulullah untuk berangkat jihad. Maka beliau bertanya: “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”. “Ya” jawabnya. “Berjihadlah dalam berbakti kepada mereka”. Muttafaq ‘Alaih.

Imam Abu Ja’far ath Thahawy (w. 321 H) rahimahullah mengatakan:

والحج والجهاد ماضيان مع أولي الأمر من المسلمين، بَرِّهم وفاجرِهم، إلى قيام الساعة

Haji dan jihad akan selalu terlaksana bersama para pemimpin kaum muslimin –baik mereka orang yang shalih maupun fasik– sampai hari kiamat [1].

 

Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) rahimahullah mengatakan:

والغزو ماض مع الأمراء إلى يوم القيامة، البر والفاجر لا يُترَك

“Perang (jihad) akan tetap ada bersama para umara’ (penguasa) hingga hari kiamat. Baik imam tadi seorang yang shalih maupun fasik, (jihad bersama mereka) tetap tidak ditinggalkan”.[2]

Imam Ali ibnul Madini[3] (w. 234 H) rahimahullah, menukil dari sejumlah ulama salaf yang pernah beliau temui, bahwa mereka mengatakan:

لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ليلة إلا وعليه إمام براًّ كان أو فاجراً، فهو أمير المؤمنين، والغزو مع الأمراء ماض إلى يوم القيامة، البرُّ والفاجرُ لا يُترَك

“Tidak halal bagi siapa pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melewatkan satu malam kecuali ada seorang Imam yang menguasainya, baik imam itu shalih maupun bejat, sebab dialah pemimpinnya kaum mukminin. Perang bersama para umara’ akan tetap ada hingga hari kiamat, baik ia amir yang shalih maupun fasik, jihadnya tetap tidak boleh ditinggalkan”.[4]

عن بن عمر قال * عرضت على النبي صلى الله عليه وسلم يوم أحد في القتال وأنا بن أربع عشرة سنة فلم يجزني وعرضت يوم الخندق وأنا بن خمس عشرة سنة فأجازني

Dari Ibnu Umar ra, katanya: “Aku pernah dihadapkan kepada Rasulullah saat perang Uhud dan umurku baru 14 tahun, maka beliau tidak mengizinkanku. lalu aku dihadapkan kepada beliau saat perang Khandaq dan umurku 15 tahun, maka beliau mengizinkanku” Muttafaq ‘alaih.

Di samping kedua hadits di atas, masih banyak hadits-hadits lainnya yg menjelaskan bahwa keikutsertaan seseorang dalam jihad haruslah atas izin imam (baik izin yg sifatnya umum, maupun khusus).

Berikut ini adalah pernyataan para ulama ttg sikap ahlussunnah dlm masalah jihad.

Imam Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) rahimahullah mengatakan, Aku pernah bertanya kepada ayahku[5] dan kepada Abu Zur’ah Ar Razi[6] tentang madzhab ahlussunnah dalam masalah ushuluddien (akidah), dan bagaimanakah keyakinan para ulama di seluruh dunia yang pernah mereka temui berkenaan dengan masalah tersebut? Maka keduanya mengatakan:

أدركنا العلماء في جميع الأمصار حجازاً، وعراقاً، وشاماً، ويمناً، فكان من مذهبهم… ونرى الصلاة والحج والجهاد مع الأئمة

“Kami telah berjumpa dengan para ulama di seluruh negeri, baik di Hijaz, Irak, Syam, maupun Yaman, dan di antara madzhab mereka adalah bahwa shalat, haji, dan jihad dilakukan bersama para Imam (pemimpin)”.[7]

 

Ibnu Rusyd Al Qurthubi (w. 520 H) rahimahullah mengatakan,

وله -أي الجهاد- فرائض يجب الوفاء بها، قيل إنها خمسة وهي الطاعة للإمام، وترك الغلول، والوفاء بالأمان، والثبات عند الزحف، وألا يفر واحد من اثنين.

“Jihad memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi. Ada yang mengatakan bahwa kewajiban tersebut ada lima, yaitu: taat kepada imam, tidak mengambil ghanimah sebelum dibagi, memenuhi jaminan keamanan, tegar saat di medan perang, dan tidak lari bila jumlah musuhnya dua kali lipat”.[8]

 

Imam Al Qurthubi (w. 671 H) rahimahullah mengatakan,

ولا تخرج السرايا إلا بإذن الإمام ليكون متجسسا لهم، عضدا من ورائهم، وربما احتاجوا إلى درئه

“Pasukan tidak boleh keluar kecuali dengan izin Imam, agar ia bisa mengawasi mereka, memperkuat mereka, dan menghindarkan mereka dari bahaya saat diperlukan”.[9]

 

Imam Al Mawardy (w. 450 H) rahimahullah mengatakan:

والذي يلزمه -أي الإمام- من الأمور عشرة:… ثم قال: والخامس: تحصين الثغور بالعدة المانعة والقوة الدافعة، حتى لا تظفر الأعداء بغرة ينتهكوا محرما. والسادس: جهاد من عاند الإسلام بعد الدعوة حتى يسلم أو يدخل في الذمة ليقام بحق الله تعالى في إظهاره على الدين كله.

Tugas seorang Imam ada sepuluh: … yang kelima: Melindungi teritorial Islam dengan persenjataan dan pasukan yang kuat agar musuh tidak bisa melanggar kedaulatan Islam. Lalu yang keenam: Jihad melawan pihak-pihak yang menentang Islam setelah didakwahi terlebih dahulu, hingga mereka mau masuk Islam, atau menjadi ahludz dzimmah. Tujuannya demi menegakkan hak Allah dengan mengangkat Islam di atas seluruh agama.[10]

 

Al Imam Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) rahimahullah mengatakan,

ويرون -يعني أهل السنة والجماعة- إقامة الحج والجهاد والجُمع مع الأمراء أبراراً كانوا أو فجاراً

Mereka -yakni Ahlussunnah wal jama’ah- menganggap bahwa pelaksanaan haji, jihad, dan shalat jum’at dilakukan bersama para umara’ (pemimpin), baik mereka orang yang shalih maupun fasik.[11]

 

Di samping ijma’ yang saya nukilkan di atas, masih ada dalil-dalil lain dari Al Qur’an maupun Sunnah yang menegaskan bahwa jihad adalah wewenang imam[12], akan tetapi saya sengaja mencukupkan dengan ijma’ karena ijma’ adalah dalil syar’i yang paling kuat, sebab ayat dan hadits mungkin mengalami nasekh (penghapusan hukum), sedangkan ijma’ tidak mungkin dihapuskan karena ijma’ identik dengan kesepakatan umat Islam, dan Nabi mengatakan bahwa umat beliau tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan.

 

Catatan: Bila ada pasukan musuh yang menyerang kaum muslimin di suatu tempat, dan mereka akan menderita kerugian harta/jiwa jika harus menunggu izin imam sebelum melawan, maka ketika itu jihad demi mempertahankan diri menjadi wajib atas mereka, sehingga boleh dilakukan tanpa izin Imam. Adapun selain kondisi ini, semua bentuk jihad harus berdasarkan izin Imam.

 

Imam di sini maksudnya kepala negara Islam (al imamah al ‘udhma), atau wakil-wakilnya di setiap daerah (al imamah as sughra).


[1] Syarh Aqidah Ath Thahawiyyah (2/555).

[2] Syarh I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah (1/160).

[3] Beliau adalah Al Imam Ali bin Abdillah bin Ja’far Al Madini, Salah seorang imam ahlussunnah dan ahli hadits paling top di zamannya. Imam Bukhari berkata tentang gurunya yang satu ini: “Aku tidak pernah menganggap remeh diriku di hadapan siapa pun, kecuali di hadapan Ali ibnul Madini !”. Lihat biografi beliau dalam Siyar A’laamin Nubala’ (11/41-60).

[4] Idem, (1/167).

[5] Yaitu Al Imam Abu Hatim, Muhammad bin Idris Ar Razi (w. 277 H). Beliau juga termasuk imam ahlussunnah dan ahli hadits top di zamannya. Beliau terkenal dengan pengembaraannya ke (hampir) seluruh penjuru dunia Islam saat itu, demi mencari hadits Nabi. Lihat biografi beliau dalam Siyar A’laamin Nubala’ (13/247).

[6] Beliau adalah Al Imam Abu Zur’ah, Ubeidullah bin Abdul Kariem Ar Razi (w. 264 H). Salah seorang imam ahlussunnah dan ahli hadits top di zamannya. Lihat biografinya dalam Siyar A’laamin Nubala’ (13/65).

[7] Idem, (1/176 , 182).

[8] Al Muqaddimaatul Mumahhidaat (1/355).

[9] Tafsir Al Qurthubi (5/177). Beliau dan Ibnu Rusyd adalah ulama terkenal dari madzhab Maliki.

[10] Al Ahkaamus Sulthaaniyyah, hal 15-16. Beliau adalah ulama terkenal dari madzhab Syafi’i.

[11] Majmu’ Fatawa (3/158).

[12] Seperti hadits (إنما الإمام جنة يقاتل من ورائه ويتقى به) “Imam ibarat tameng yang seseorang berperang di belakangnya dan menangkis serangan dengannya” (HR. Bukhari no 2957 dan Muslim no 1841).