Pelajaran 4

Jangan Paksa Rakyat Untuk Fakir dan Kafir Sekaligus[1]

Atas pengawasan negara-negara Barat, Prancis berhasil ‘menciptakan’ Habeeb Bourgiba sebagai presiden Tunisia pertama tahun 1956. Ia kembali ke negaranya bak pahlawan kemerdekaan, setelah menumbangkan kekuasaan monarki Muhammad Amin Bay, dan mengumumkan berdirinya Republik Tunisia.

Bourgiba tak lupa membayar ‘hutang budi’ tadi kepada Prancis dan Barat, dengan merevolusi syariat Islam. Melalui majalah al-Ahwaal asy-Syakhsiyyah, ia membatalkan sejumlah hukum syar’i yang baku. Yang paling terkenal di antaranya ialah larangan berpoligami. Poligami dianggap sebagai tindak kriminal, sedangkan pelacuran dibolehkan dan bahkan dilindungi undang-undang !!

Ketika pemerintah Tunisia menaikkan harga roti tahun 1984, terjadilah ‘revolusi roti’. Bourgiba memanggil pulang dubes-nya di Warsawa-Polandia, yang bernama Zein el-Ebidin Ben Ali. Ben Ali diangkat sebagai Kepala keamanan nasional, lalu menjadi Mendagri, dan kemudian dilantik sebagai Perdana Menteri tahun 1987, hingga akhirnya mengkudeta Bourgiba sebulan kemudian!

Saya masih ingat bahwa di awal kekuasaannya, Ben Ali sering menyiarkan adzan dari Masjidil Haram Mekkah, melalui televisi Tunisia. Orang-orang yang tidak mengenalnya pun menyambut hangat ‘kebijakan’ ini, dan menganggapnya sebagai ‘pengganti baik’ sang diktator Bourgiba.

Ketika itu, kami masih mahasiswa. Ada seorang kyai sepuh yang demikian faham akan muslihat para tiran berkata, “Jangan terpedaya olehnya (Ben Ali), sebab dia ciptaan Prancis. Ia akan menjadi seperti pendahulunya kalau tidak lebih jahat”. Ternyata, dugaan pak Kyai tadi benar.

Sang diktator terus melenggang dengan segala kezhaliman dan kesewenang-wenangannya selama 23 tahun. Ia terus-menerus memerangi Islam, berlaku otoriter, dan mencekik rakyatnya.

Pada hari Jumat 11 Muharram 1432, seorang pemuda bernama Mohamed Bouazizi nekat membakar dirinya. Ia melakukan hal tersebut karena kesal setelah gerobak sayurnya disita aparat. Bouazizi yang menjadi pengangguran dan tak lagi mampu menafkahi keluarga, juga menerima tamparan dari seorang polisi wanita di depan umum. Tak ada seorang pun yang membelanya ketika itu. Tak lama berselang, ia pun wafat akibat luka bakarnya pada tanggal 29 Muharram.

Keesokan harinya, meletuslah sejumlah demonstrasi yang merayap bak api dalam sekam ke seantero Tunisia, yang kemudian menjadi revolusi nasional. Pasukan diturunkan atas perintah Sang Diktator agar memberangus dan membantai para demonstran. Akan tetapi, pasukan justru mengkhianatinya, dan berbalik melindungi rakyat dari oknum-oknum militer pendukung presiden.

Ben Ali pun kabur setelah keadaan semakin kacau dan tak terkendali. Pemerintahan akhirnya dipegang oleh PM Mohamed Ghannouchi, sebagai presiden sementara. Ia mengumumkan kondisi darurat, memberlakukan jam malam sejak pukul 5 sore hingga 7 pagi, dan melarang berkumpulnya tiga orang atau lebih secara mutlak.

Singkat cerita, di penghujung tahun 2011, terpilihlah Moncef Marzouki sebagai presiden Tunisia ke-4. Presiden yang berlatar belakang dokter ini memang terkenal sebagai pejuang HAM. Akan tetapi sayang, dalam pidato kepresidenannya, ia memuji keberhasilan Bourgiba dkk. sebagai peletak asas-asas pemerintahan modern, dan memuji keberhasilannya dalam pemerataan pendidikan, pembebasan kaum wanita, dan perbaikan taraf hidup rakyat Tunisia.

Sayang sekali… kepergian Ben Ali ternyata digantikan oleh orang yang berhaluan sekuler seperti ini. Ala kulli haal, takdir Allah pasti terjadi… dan pasti mengandung hikmah dan pelajaran di baliknya.

Rakyat tak bisa dipaksa untuk fakir dan kafir sekaligus

Salah satu pelajaran penting dari peristiwa ini adalah, ketika rakyat dipaksa untuk menjadi kafir dan fakir sekaligus; mereka pasti memberontak kepada penguasa. Rakyat mungkin saja ‘sabar’ untuk dijauhkan dari agama selama dunianya terjamin. Atau dijauhkan dari dunia selama agamanya terpelihara. Namun ketika keduanya dirampas, maka mustahil ia tinggal diam…

Ketika revolusi Prancis berhasil merampas pengaruh agama Nasrani dalam kehidupan warganya, ia mengganti mereka dengan kemakmuran dunia, sehingga rakyat Eropa pun ‘puas’ dan ‘reda’. Andai saja revolusi tersebut tidak menjamin kemakmuran dunia mereka, pastilah mereka memberontak lagi… sebab manusia tidak akan sabar jika kehilangan agama dan dunianya sekaligus.

Akan tetapi, banyak penguasa kaum muslimin yang mempertaruhkan kesejahteraan rakyat demi kepentingan pribadi. Mereka memberi berbagai kemudahan kepada perusahaan asing untuk menggerogoti kekayaan bangsa dan negara. Lihatlah bagaimana para pemimpin menumpuk kekayaan di atas penderitaan rakyatnya… Dengan dalih kerjasama, tak sedikit aset negara yang mereka jual kepada para investor. Tak cukup sampai di situ, pemerintah bahkan membuka perdagangan bebas, sehingga barang-barang impor membanjiri pasar lokal. Akibatnya, produk-produk lokal pun tak laku. Seperti kata pepatah, sudah jatuh terhimpit tangga pula. Para pengrajin yang ngos-ngosan mencari sesuap nasi, kini terancam jadi pengangguran. Mereka merasa terjajah di negeri sendiri, dan ironisnya: oleh bangsa sendiri.

Dalam kondisi seperti ini, umat Islam bisa saja bersabar menghadapi himpitan ekonomi, selama agama mereka tak dinodai. Mereka yakin, bahwa walaupun hidupnya serba susah ketika di dunia, toh Allah menjanjikan surga bagi mereka di akhirat nanti. Namun jika agama mereka dinodai, lalu kekayaan mereka dirampas… maka apa fungsinya keberadaan penguasa? Yang akan muncul hanyalah revolusi dan amuk massa, persis seperti yang terjadi di Tunisia.

Karenanya, gerakan Sepilis[2] yang didukung oleh AS dan Eropa di negara-negara mayoritas muslim, harus diwaspadai. Selama ini, mereka demikian leluasa menyebarkan pemikiran busuknya lewat berbagai media massa. Dan lagi-lagi, pemerintah terkesan mendiamkan, atau bahkan merestui.

Para aktivis Sepilis sedikitpun tidak pernah memikirkan nasib rakyat. Bahkan nasib penguasa pun mereka pertaruhkan demi menyukseskan program jahat sang majikan. Mereka ibarat anjing peliharaan yang menggonggong demi kepentingan tuannya, dan bahkan siap mati demi yang memberi makan. Hal ini terbukti ketika Ben Ali yang selama ini berkhidmat demi kepentingan Prancis, justru ditolak untuk melarikan diri ke Prancis setelah terguling.

Prancis sama sekali tak mau menerima Ben Ali yang selama 23 tahun menjadi tangan kanannya dalam mensekulerkan rakyat Tunisia. Subhaanallaah, alangkah hinanya anjing-anjing tersebut di mata tuannya ! Ben Ali yang selama ini berjuang memberangus semua atribut Islam, mulai dari jenggot, jilbab, poligami, hingga adzan; ternyata tak mendapat tempat aman untuk berlindung dari amukan rakyatnya… tidak di Eropa, tidak pula di Amerika… namun justru di negara yang menerapkan syariat Islam yang selama ini dimusuhinya, dan itu pun dengan syarat-syarat ketat.



[1] Disadur dari artikel berjudul (سقط طاغوت تونس.. فهل يعتبر كل طاغوت!؟) oleh Ibrahim bin Muhammad Al Haqiel, dengan banyak perombakan. Beberapa pelajaran selanjutnya juga diilhami dari artikel ini.

[2] Singkatan dari sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.