الارهابKeempat:

Masalah Tatarrus

Marilah kita lihat secara singkat dalil-dalil yang digunakan Al Qaeda untuk melegitimasi berbagai peledakan mereka, lalu kita jelaskan betapa jauh perbedaan antara dalil yang mereka gunakan dengan masalah yang mereka bahas.

Mereka berdalil dengan masalah tatarrus[1] yang telah disepakati oleh para ulama.

Dalam kitab Al Mus-tash-fa, Al Ghazali rahimahullah mengatakan: “Berkenaan dengan orang kafir yang menjadikan para tawanan muslim sebagai perisai mereka: bila kita tidak menyerang para tawanan, maka akan mengakibatkan orang kafir menyerang kita, dan dikhawatirkan akan menguasai negeri Islam dan membunuh semua kaum muslimin. Namun bila kita serang mereka (musuh), berarti kita akan membunuh orang Islam yang tidak berdosa dan darahnya dilindungi, dan ini merupakan perbuatan yang tidak dikenal dalam syari’at[2]. Tapi jika kita tidak menyerang mereka, niscaya orang kafir akan menguasai seluruh kaum muslimin, lalu membunuh mereka beserta para tawanan tadi semuanya…” Al Ghazali lantas memfatwakan bolehnya menyerang musuh meskipun berakibat terbunuhnya para tawanan muslim yang dijadikan perisai. Akan tetapi beliau mensyaratkan tiga kriteria dengan mengatakan: “Pilihan ini bisa dianggap mu’tabar bila mengandung tiga kriteria, yaitu: dharuriyyah, qoth’iyyah, dan kulliyah[3]”. Beliau rahimahullah melanjutkan: “Ini tidak sama dengan bila pihak kafir menjadikan seorang muslim sebagai perisai dalam benteng mereka. Dalam kondisi ini kita tidak halal menyerang si muslim, sebab itu bukan sesuatu yang darurat dan kita tidak membutuhkan benteng tersebut[4]. Kita harus menghindari cara tersebut karena tidak bisa memastikan apakah kita bisa menang dengannya ataukah tidak. Cara itu hanya bersifat dugaan (zhanni) dan bukan kepastian (qoth’i).

Al Qurthubi dan Al Qaeda

Pendapat senada juga dinyatakan oleh Al Qurthubi. Beliau mengatakan: “Ayat ini merupakan dalil harusnya memperhatikan keadaan orang-orang kafir demi memelihara kehormatan seorang mukmin. Sebab kita tidak mungkin bisa mencederai orang kafir kecuali dengan mencederai si mukmin. Abu Zaid mengatakan: Aku pernah bertanya kepada Ibnul Qasim: Bagaimana menurutmu jika ada kaum musyrikin yang bertahan dalam benteng mereka dan dikepung oleh pasukan Islam, namun dalam benteng tersebut ada sejumlah tawanan muslim. Bolehkah pasukan Islam membakar benteng tersebut? Jawab beliau: Imam Malik pernah ditanya tentang konvoi kaum musyrikin yang membawa sejumlah tawanan muslim, bolehkah kita menghujani konvoi tersebut dengan panah api? Jawab Imam Malik: “Aku tidak setuju dengan cara itu, sebab Allah berfirman tentang penduduk Mekkah:

لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيماً

“Andai mereka (kaum mukminin dan mukminat itu) bisa memisahkan diri (dari musyrikin Mekkah), niscaya Kami siksa orang-orang yang kafir di antara mereka dengan siksaan yang pedih” (Al Fath: 25).

Demikian pula bila si kafir menjadikan seorang muslim sebagai perisainya, si kafir juga tidak boleh dipanah. Al Qurthubi rahimahullah lalu berkata: “Membunuh muslim yang menjadi perisai bisa dibenarkan tanpa ada khilaf -insya Allah-, bila memang hal itu membawa kemaslahatan yang dharuriyyah, kulliyyah, dan qoth’iyyah. Yang dimaksud dharuriyyah ialah ketika kita tidak punya cara lain untuk mencapai orang-orang kafir tadi kecuali dengan membunuh perisai mereka. Adapun yang dimaksud kulliyyah ialah bahwa hal itu demi kemaslahatan umat, sehingga terbunuhnya kaum muslimin yang menjadi perisai tadi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh kaum muslimin, sebab bila tidak dilakukan, niscaya orang kafir akan membunuh para tawanan tadi dan menguasai seluruh kaum muslimin. Sedangkan yang dimaksud dengan qoth’iyyah adalah bahwa kemaslahatan tadi pasti bisa diraih dengan membunuh kaum muslimin yang dijadikan perisai.

Ulama kami mengatakan: “Kemaslahatan dengan kriteria seperti ini tidak sepantasnya diperselisihkan lagi, sebab asumsinya ialah bahwa perisai tadi pasti terbunuh juga. Baik mereka terbunuh di tangan musuh, yang berarti musuh akan menguasai seluruh kaum muslimin dan ini merupakan mafsadat besar. Atau terbunuh di tangan kaum muslimin, yang berarti musuh bisa ditumpas dan kaum muslimin selamat semua”.[5]

Menggempur benteng

Sekarang, apakah syarat-syarat yang disebutkan Al Ghazali dan Al Qurthubi tadi terpenuhi dalam operasi-operasi Al Qaeda? Apakah di sana ada pasukan kafir yang berlindung di balik kaum muslimin yang menjadi target peledakan Al Qaeda? Lalu apakah kaum muslimin tadi tidak punya pilihan selain mati di tangan orang kafir atau di tangan Al Qaeda? Lalu apakah bila Al Qaeda tidak jadi meledakkan bom-bomnya di wilayah kaum muslimin dan di antara keluarga kita, berarti musuh akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menduduki wilayah kita dan membunuh keluarga kita? Apakah kemaslahatan yang hendak dicapai Al Qaeda melalui peledakan-peledakan itu bersifat kulliyyah, dalam arti dirasakan oleh umat seluruhnya? Lalu apakah ia juga bersifat qoth’iyyah dalam arti bahwa cara tersebut dipastikan dan diyakini, atau paling tidak diduga kuat dapat mewujudkan kemaslahatan yang dimaksud?

Mereka juga berdalil dengan fatwa sebagian ulama yang membolehkan menggempur benteng orang kafir saat berperang dengan warganya, dengan tujuan menaklukkan benteng tersebut. Walaupun di dalamnya terdapat sejumlah kaum muslimin, baik sebagai tawanan maupun sebagai pedagang. Ini merupakan masalah yang sangat diperselisihkan oleh para ulama.

Dalam kitab Fathul Qadir, Ibnul Humam Al Hanafy mengatakan: “Boleh menggempur orang kafir dalam bentengnya walaupun di dalamnya terdapat orang Islam, baik ia tawanan maupun pedagang”. Sedangkan dalam kitab Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan: “Kalau memang tidak ada bahaya yang mengancam kaum muslimin, namun orang-orang kafir tidak bisa ditaklukkan kecuali dengan menggempur benteng mereka; maka menurut Al Laits dan Al Auzai penggempuran tersebut tidak boleh dilakukan, sebab Allah berfirman:

وَلَوْلَا رِجَالٌ مُّؤْمِنُونَ وَنِسَاء مُّؤْمِنَاتٌ لَّمْ تَعْلَمُوهُمْ أَن تَطَؤُوهُمْ فَتُصِيبَكُم مِّنْهُم مَّعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيماً

“Andai saja tidak ada lelaki mukmin dan wanita mukminah yang tidak kalian ketahui (di antara kaum musyrikin itu), yang mungkin terbunuh karena serangan kalian sehingga kalian menanggung dosa dan denda karenanya; niscaya Kami taklukkan mereka untuk kalian, agar Allah bisa merahmati siapa yang dikehendaki-Nya (dengan memberi hidayah Islam kepadanya). Andai saja mereka (kaum mukminin dan mukminat itu) bisa memisahkan diri (dari kaum musyrikin), niscaya Kami siksa orang-orang yang kafir di antara mereka dengan siksaan yang pedih” (Al Fath: 25)

Al Laits mengatakan: “Mengurungkan penaklukkan benteng yang mampu ditaklukkan, lebih utama daripada membunuh seorang muslim tanpa alasan yang haq”. Sedangkan Al ‘Auzai mengatakan: “Bagaimana mereka hendak menyerang musuh yang tidak dilihatnya, yang mereka serang justru anak-anak kaum muslimin !”

Sedangkan Al Qadhi Abu Ya’la dan Imam Syafi’i mengatakan: “Mereka boleh diserang kalau memang perang sedang berkecamuk, sebab bila tidak diserang, jihad akan terbengkalai”.

Bangga sebagai teroris

Akan tetapi, Syihabuddin Ar Romli menukil adanya khilaf dari Imam Syafi’i dalam masalah ini. Dalam kitab Nihayatul Muhtaj ‘ala Syarhil Minhaj, beliau mengatakan: “Jika dalam benteng itu terdapat seorang muslim atau lebih, baik tawanan maupun pedagang; maka penggempuran dan penyerangan malam hari saat mereka lengah boleh dilakukan. Walaupun hal itu berakibat pembunuhan massal atas mereka dan kaum muslimin yang ada di sana. Akan tetapi, menurut madzhab Syafi’i, hendaknya menghindarkan si muslim dari serangan sedapat mungkin, agar jihad tidak terbengkalai karena terperangkapnya seorang muslim di tengah-tengah mereka.

Beliau lantas menukil khilaf dalam madzhab Syafi’i, dengan mengatakan: “Namun pendapat kedua mengatakan, bahwa jika si muslim tadi pasti ikut mati akibat gempuran, maka hal itu tidak boleh dilakukan. Namun jika ia tidak pasti mati, maka sebagian ulama membolehkan dan sebagian lagi tidak membolehkan”.

Nah, mengapa Al Qaeda menerapkan aturan-aturan yang khusus berlaku di benteng orang-orang kafir ke dalam negeri kaum muslimin? Apakah Al Qaeda telah menganggap Arab Saudi sebagai salah satu benteng orang kafir? Sedemikian remeh-kah syari’at dan syi’ar Islam yang berlaku di Arab Saudi menurut kaca mata Al Qaeda, sehingga mereka pun menjadikannya sebagai ‘sasaran tembak’? Sungguh keterlaluan tatkala ada seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir justru membanggakan peledakan-peledakan di Riyadh, dan bahkan menamakannya sebagai ghazwah[6]. Seakan kita tengah bercerita tentang ghazwah Badar dan ghazwah Bani Quraidhah[7]. Islam yang telah mengakar di negeri yang aman itu (Saudi), seakan tidak ada artinya sama sekali di mata mereka. Sebagaimana tidak berartinya darah kaum muslimin yang mengalir di Riyadh dan serpihan tubuh mereka yang beterbangan di udara. Itulah sederet pertanyaan membingungkan yang belum dijawab oleh Al Qaeda. Saya rasa mereka tidak akan menjawabnya di dunia, namun saya khawatir mereka akan ditanya di akhirat nanti.

Berikut ini penjelasan singkat tentang kesalahan mereka ketika berdalil dengan perkataan para ulama untuk membenarkan peledakan-peledakan tersebut. Penjelasan ini saya sajikan dalam enam alasan sbb:

Alasan pertama

Semua perkataan ulama yang mereka sebutkan adalah khusus berkaitan dengan adanya seorang muslim di tengah komunitas kafir, baik si muslim berada di negara kafir atau di tengah pasukan kafir. Adapun yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya, yaitu si kafir -baik ahli kitab/lainnya- berada di tengah komunitas muslim. Karenanya, kedua hal ini tidak boleh dikiaskan satu sama lain dengan alasan apapun. Ini merupakan qiyas ma’al faariq (menyamakan dua hal yang berbeda)… dan perbedaan keduanya demikian besar, berbahaya, dan pasti sangat mempengaruhi hukum akhirnya.

Dalam kasus ini, Al Qaeda juga tidak bisa berdalih dengan perkataan sebagian fuqaha’ yang menyebutkan bahwa bila syi’ar-syi’ar jahiliyah mendominasi suatu negeri Islam, maka ia berubah menjadi negeri kafir… yang lantas disimpulkan bolehnya menyerang negeri tersebut dengan cara yang membinasakan semua penduduknya. Saya katakan, percuma saja jika mereka berdalil dengan perkataan sebagian ulama tadi… bukan karena adanya ulama lain yang menyelisihi pendapat tersebut, namun karena darah kaum muslimin tetap haram ditumpahkan, baik negeri mereka kita namakan daar Islam, daar kufr, daar harb, atau daar murakkabah[8], sebagaimana yang dinamakan oleh Ibnu Taimiyyah. Hal ini beliau nyatakan ketika ditanya tentang suatu negeri yang mayoritas penduduknya muslim, namun mereka tidak menerapkan syari’at Islam; maka kata beliau: (يعامل المسلم فيها بما يستحقه) “Yang muslim di negeri itu berhak mendapat perlakuan yang pantas”. Adapun berkenaan dengan kaum muslimin di negeri itu, Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Tidak halal melontarkan caci maki atau tuduhan munafik secara umum kepada mereka”[9].

Akan tetapi, melontarkan bom kepada mereka adalah halal menurut Al Qaeda! Selain itu, apakah Arab Saudi yang merupakan benteng Islam terakhir telah dianggap sebagai daar harb?!

Alasan kedua

Anggaplah keberadaan seorang kafir di tengah komunitas muslim bisa disamakan dengan keberadaan seorang muslim di tengah komunitas kafir. Kalau pun hal ini kita anggap sebagai qiyas yang shahih secara logika dan tidak ada perbedaan di antara keduanya, tapi siapa yang mengatakan bolehnya melakukan qiyas berdasarkan perkataan para ulama?

Qiyas hanya boleh dilakukan berdasarkan dalil dari Al Qur’an atau Sunnah, sedangkan dalam masalah ini kita tidak mendapati sebuah dalil pun dari Al Qur’an maupun Sunnah yang membolehkan pembunuhan seorang muslim dalam rangka membunuh orang kafir. Yang kita dapati hanyalah ijtihad beberapa ulama dalam kasus-kasus tertentu yang telah disebutkan tadi. Yaitu masalah keberadaan seorang muslim di tengah pasukan kafir, atau dalam benteng mereka.

Sebagian besar ijtihad ini merujuk kepada mashalih mursalah atau dalil lainnya, namun tidak ada satu dalil pun yang jelas-jelas membolehkan pembunuhan seorang muslim dalam rangka membunuh orang kafir. Oleh karenanya, ijtihad para ulama tadi harus diterapkan pada kondisi yang telah ditentukan, bukan dengan meng-qiyaskan kondisi lain kepadanya.

Mereka mungkin menjawab, bahwa di sana ada dalil-dalil yang menjadi acuan para ulama dalam mengeluarkan fatwa tersebut, dan dalil-dalil tadi bisa dijadikan landasan qiyas. Contohnya sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan:

أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين

“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin”

Kemudian dalam hadits Aisyah, beliau bersabda:

يغزو جيش الكعبة فإذا كانوا ببيداء من الأرض يخسف بأولهم وآخرهم. قلت: يا رسول الله كيف يخسف بأولهم وآخرهم وفيهم أسواقهم ومن ليس منهم؟ قال: يخسف بأولهم وآخرهم ثم يبعثون على نياتهم

“Kelak ada pasukan yang menyerbu Ka’bah. Setibanya mereka di sebuah tanah lapang, tiba-tiba semua yang ada di sana ditenggelamkan dalam bumi dari orang pertama hingga yang terakhir”. Aisyah bertanya, Ya Rasulullah, mengapa orang yang pertama hingga terakhir ditenggelamkan semua, sedangkan di tempat itu terdapat para pedagang di pasar dan orang-orang yang bukan dari pasukan tersebut? Kata beliau: “Mereka semuanya ditenggelamkan, kemudian dibangkitkan berdasarkan niat masing-masing” (HR. Bukhari).

Kedua hadits ini jelas berkaitan dengan orang yang tinggal di negeri kaum musyrikin, baik di tengah masyarakat atau di tengah pasukan mereka. Jelas pula bahwa seorang muslim yang tinggal di rumah dan negerinya yang dihuni oleh mayoritas muslim, tidak bisa disamakan dengan seorang muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin, atau di antara pasukan kafir yang hendak menyerbu negeri kita. Siapa yang tidak bisa membedakan antara kedua kondisi tadi, berarti dia sungguh bodoh dan buta terhadap syari’at.

Satu lagi pertanyaan tragis yang tersisa: Di manakah kita -kaum muslimin- harus tinggal agar bebas dari ancaman bom Al Qaeda, kalau memang para petinggi dan mufti mereka tidak bisa membedakan antara seorang muslim yang tinggal di Arab Saudi dengan muslim lain yang berkunjung ke Vatikan?!

Alasan Ketiga

Anggaplah kita boleh melakukan qiyas berdasarkan perkataan para ulama, lalu membenarkan qiyas yang menyamakan antara keberadaan seorang kafir di tengah kaum muslimin dalam negara Islam, dengan keberadaan seorang muslim di tengah komunitas kafir dalam negara kafir, atau dalam pasukan kafir. Kalau pun kita menutup mata terhadap perbedaan mencolok antara dua kondisi tadi, akan tetapi ‘illah[10] yang oleh para fuqaha’ dijadikan alasan untuk membolehkan penyerangan terhadap si muslim yang berada dalam komunitas kafir tadi tidak kita jumpai dalam operasi-operasi Al Qaeda di negeri kita. ‘Illah tersebut menurut para fuqaha’ adalah demi menghindari ditumpas habisnya kaum muslimin, dan ini berkenaan dengan keberadaan muslim di tengah pasukan kafir yang menyerbu. Atau demi memperluas daerah kekuasaan Islam dan penyebaran dakwah, dan ini berkenaan dengan penghancuran benteng orang kafir yang di dalamnya terdapat sejumlah kaum muslimin.

Illah dalam kasus pertama tadi telah disepakati oleh para fuqaha’ sebagai ‘illah yang mu’tabar, sehingga mereka tidak berselisih pendapat -sejauh yang kami ketahui- tentang bolehnya menyerang pasukan musuh yang menyerbu, meskipun akan berakibat terbunuhnya kaum muslimin yang dijadikan perisai, bila pasukan tadi memang mengancam keselamatan seluruh umat Islam. Dan para fuqaha’ mensyaratkan bahwa kemaslahatan yang hendak dicapai haruslah bersifat dharuriyyah, qoth’iyyah, dan kulliyyah; serta tidak ada cara lain untuk mencapainya selain dengan cara itu.

Adapun dalam kasus kedua -yaitu penghancuran benteng-, maka sebagian fuqaha’ menganggap ‘illah tersebut sebagai ‘illah yang mu’tabar; namun sebagian yang lain masih menganggapnya belum mu’tabar (belum cukup kuat), sehingga mereka tetap tidak membolehkan penghancuran benteng yang didalamnya terdapat seorang muslim, walaupun ia adalah tawanan.

Nah, apakah kedua ‘illah ini atau salah satunya kita jumpai dalam operasi-operasi Al Qaeda? Tentu tidak… sebab kita tidak khawatir umat Islam akan ditumpas habis bila Al Qaeda tidak melakukan peledakan-peledakan tersebut, karena memang tidak ada pasukan kafir yang menyerbu dengan berperisaikan kaum muslimin. Yang ada hanyalah sejumlah warga asing Ahli kitab sebagai orang-perorang di berbagai negeri kaum muslimin, baik mereka datang sebagai wisatawan atau pedangang… terlepas dari boleh tidaknya mereka berada di wilayah itu, mereka tetap saja bukanlah pasukan kafir yang datang hendak menumpas habis kaum muslimin.

Di samping itu, tidak ada kemaslahatan yang bersifat dharuriyyah, qoth’iyyah, maupun kulliyah yang hendak dicapai dengan membunuh mereka. Pembunuhan mereka juga bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai kemaslahatan tersebut.

Kalau ada kalangan yang mengklaim bisa mewujudkan kemaslahatan lewat operasi-operasi tersebut, maka itu hanyalah kemaslahatan yang bersifat parsial dan dugaan. Ia bersifat parsial karena hanya dirasakan oleh sejumlah kalangan di Al Qaeda saja, yang menganggap bahwa terulangnya peledakan tersebut akan memaksa AS untuk mengubah sikapnya terhadap Al Qaeda, atau harakah lain sepertinya. Ia juga bersifat dugaan, karena kita tidak bisa memastikan apakah kemaslahatan tadi pasti dicapai dengan cara ini ataukah tidak, ia tak lain sekedar prediksi dan cita-cita di benak para petinggi Al Qaeda.

Adapun hakikat sesungguhnya yang selalu kita saksikan pasca tiap peledakan, adalah bahwa kemaslahatan yang dibayangkan oleh Al Qaeda tidak pernah terwujud, bahkan yang pasti terwujud adalah mafsadat demi mafsadat yang semakin parah, yang tidak dirasakan oleh aktivis Al Qaeda maupun harakah Islamiyah saja, namun oleh seluruh umat.

Lalu atas dalil apa mereka menghalalkan pembunuhan kaum muslimin -dengan anggapan tatarrus-, padahal kerusakan yang ditimbulkan demikian besar dan sangat terasa, kalau mereka sekedar mengejar kemaslahatan yang mereka khayalkan, sedangkan yang akhirnya terjadi adalah kerusakan besar??

Demikian pula ‘illah bolehnya menghancurkan benteng kafir dalam rangka memperluas kekuasaan Islam dan penyebaran dakwah. Ini pun tidak kita temui dalam operasi-operasi Al Qaeda. Tidak ada penaklukan maupun benteng di sini… dan peledakan-peledakan Al Qaeda tidak berujung pada jatuhnya pemerintahan yang berkuasa. Bahkan Al Qaeda sendiri tidak ingin dan tak mampu untuk menjatuhkannya. Apalagi jika mengingat bahwa negara seperti Arab Saudi sebenarnya tidak boleh diperangi, sebagaimana yang telah kami jelaskan.

Kalaulah ‘illah yang menjadi alasan para fuqaha’ untuk membolehkan penyerangan orang kafir yang berakibat ikut terbunuhnya orang Islam, sama sekali tidak ditemukan dalam operasi-operasi Al Qaeda; maka ucapan para fuqaha’ tadi tidak bisa dijadikan dalil dan tidak sah menjadi dasar qiyas untuk melegitimasi perbuatan Al Qaeda.

Membuka pintu pembunuhan lebar-lebar

Sebagian kalangan yang berbicara atas nama Al Qaeda, agaknya mulai sadar bahwa ‘illah yang disyaratkan oleh para fuqaha’ untuk membolehkan penyerangan orang kafir walau di tengah mereka terdapat muslim, ternyata tidak ditemukan dalam operasi-operasi Al Qaeda. Maka ada di antara mereka yang lantas merekayasa ‘illah baru dengan mengatakan bolehnya menyerang orang kafir walaupun di antara mereka terdapat muslim (tatarrus) dalam rangka menimbulkan kerugian atau meloloskan serangan mematikan. Ia lalu mengatakan bahwa hal ini terpulang kepada perhitungan mujahidin! Ini merupakan kesalahan rangkap ibarat kegelapan yang diselimuti oleh kegelapan. Alasannya karena tatarrus itu sendiri tidak terjadi, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Kalaupun tatarrus kita anggap ada, maka kaum muslimin yang dijadikan perisai tetap saja tidak boleh dibunuh demi menghindari sembarang madharat atau fitnah. Namun para ulama telah menentukan bagaimana sifat madharat dan fitnah yang karenanya mereka boleh dibunuh, dan menganggapnya sebagai kemaslahatan yang dharuriyyah, qoth’iyyah, dan kulliyyah.

Perhatikan, bagaimana para ulama demikian mempersempit pintu ini agar darah seorang muslim tidak dihalalkan karena alasan yang tidak kuat dan kondisi yang tidak darurat… lalu perhatikan bagaimana juru bicara Al Qaeda membuka pintu tersebut selebar-lebarnya agar darah kaum muslimin mengalir seperti sungai, dengan alasan untuk menghindari sembarang madharat atau fitnah apa pun. Bahkan salah seorang jubir mereka tidak berhenti di situ, namun menganggap bahwa yang berhak menentukan masalah yang demikian besar dan berbahaya ini hanyalah mujahidin, bukan para ulama !!

Padahal, semua santri tingkat dasar pun tahu bahwa yang berhak menetapkan boleh tidaknya suatu perbuatan adalah para ulama. Lagi pula, seorang mujahid adalah sama saja dengan mukallaf lainnya, ia harus beramal sesuai apa yang ditetapkan para ulama. Akan tetapi, orang ini memang ingin membuka pintu pembunuhan selebar-lebarnya terhadap kaum muslimin… namun dia lupa mengatakan kepada kita, bagaimana hukumnya jika peledakan-peledakan Al Qaeda lah yang justru mengundang berbagai kemadharatan dan fitnah terhadap umat!?

Alasan Keempat

Ini merupakan alasan paling jelas dan paling kuat untuk menepis klaim Al Qaeda, dan menjelaskan kekeliruan anggapan mereka. Saya mengajak mereka untuk merenungkan dalam-dalam alasan ini, karena saya telah menelaah apa yang ditulis oleh mufti-mufti mereka, dan ternyata mereka tidak memperhatikan alasan ini, dan tidak menyadari adanya perbedaan besar antara apa yang dibolehkan para fuqaha’ dengan apa yang mereka lakukan.

Yaitu bahwa para fuqaha’ membolehkan penyerangan terhadap orang kafir walaupun berakibat terbunuhnya orang Islam, karena saat itu hukum jihad adalah wajib, baik wajib ‘ain seperti dalam kasus serbuan pasukan kafir ke negeri muslim. Atau fardhu kifayah seperti dalam kasus penghancuran benteng kafir. Sehingga terjadilah pertentangan antara wajibnya jihad dengan haramnya membunuh seorang muslim. Lalu para fuqaha’ merajihkan wajibnya jihad di atas haramnya membunuh seorang muslim, dengan bersandar pada ijma’ dalam kasus serbuan pasukan kafir. Namun mereka masih berbeda pendapat dalam kasus penghancuran benteng. Ada di antara mereka yang merajihkan wajibnya jihad, namun ada pula yang merajihkan haramnya pembunuhan.

Ibnu Abidien Al Hanafy mengatakan: “… kita hendaknya minta tolong kepada Allah sembari menyerang mereka dengan manjaniq[11], membakar mereka, menenggelamkan mereka, menebang pepohonan mereka[12], dan menghujani mereka dengan anak panah walaupun ada sebagian kaum muslimin yang mereka jadikan perisai. Sasaran kita adalah orang-orang kafir, dan bila ada kaum muslimin yang terluka/terbunuh, maka kita tidak wajib membayar diyat maupun kaffarah atasnya, karena setiap yang wajib dilakukan tidak mungkin ada dendanya”.

Adapun Ibnu Qudamah mengatakan, “… Al Qadhi (Abu Ya’la) dan Imam Syafi’i mengatakan: Mereka boleh diserang jika perang memang berkecamuk, sebab dengan tidak diserang, konsekuensinya jihad akan terbengkalai”. Sedangkan Ar Ramli mengatakan: “Jika di antara mereka (orang kafir) terdapat seorang muslim/lebih, bak ia sebagai tawanan atau pedangang; maka benteng mereka boleh dikepung dan diserang malam hari saat penghuninya lengah. Mereka juga boleh ditumpas secara massal walaupun si muslim akan terbunuh juga karenanya, namun sedapat mungkin si muslim dihindarkan dari serangan -menurut pendapat resmi madzhab Syafi’i-, agar mereka (orang kafir) tidak menggagalkan jihad dengan menahan seorang muslim di tangan mereka”.

Dosa paling besar

Dari perkataan para fuqaha’ tadi, jelaslah bahwa serangan tersebut dibolehkan walaupun mengakibatkan terbunuhnya sebagian kaum muslimin, agar jihad tidak terbengkalai. Dan dalam semua kondisi tadi, jihad berstatus sebagai fardhu ‘ain atau fardhu kifayah… artinya, karena adanya pertentangan antara kewajiban berjihad dengan haramnya membunuh seorang muslim, maka para fuqaha’ melakukan tarjih.

Sedangkan dalam operasi-operasi Al Qaeda pertentangan tersebut tidak ada sama sekali. Karena yang mereka jadikan sasaran dalam operasi tersebut bukanlah pasukan musuh yang menyerbu maupun benteng mereka yang hendak ditaklukkan. Target mereka paling-paling hanya beberapa gelintir orang, dan apa yang mereka lakukan bukanglah perang, tapi pembunuhan. Orang-orang kafir yang hendak mereka bunuh pun bukan termasuk orang yang wajib dibunuh. Membunuh mereka bukanlah fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Al Qaeda paling-paling hanya bisa mengklaim bahwa orang-orang kafir itu boleh dibunuh dan darah mereka halal, karena tidak ada alasan sah yang melindungi darah mereka… alias mereka bukanlah muslimin, dan tidak sah dianggap sebagai kafir mu’ahad maupun kafir musta’man[13] -sebagaimana yang diklaim oleh Al Qaeda-.

Baiklah, anggap saja klaim tersebut benar, lantas siapa yang mengatakan bahwa darah seorang muslim yang terpelihara boleh ditumpahkan dalam rangka membunuh seseorang yang halal darahnya?? Bagaimana Al Qaeda berani memrovokasi pengikutnya untuk melakukan sesuatu yang ‘boleh’ -yaitu membunuh orang kafir yang darahnya tidak terpelihara-, walaupun konsekuensinya harus melakukan perbuatan haram yang paling besar dosanya??

Al Qurthubi mengatakan: “Sesuatu yang mubah tidak boleh dicapai dengan jalan haram, apalagi dengan mengorbankan nyawa seorang muslim”.

Inilah alasan paling kuat untuk mengharamkan operasi-operasi Al Qaeda yang terjadi di negeri-negeri kaum muslimin. Mereka tidak bisa melarikan diri darinya, kecuali dengan mengklaim bahwa negeri-negeri tersebut adalah daar harb/daar kufr… atau mengakui bahwa ia merupakan daar Islam. Apapun keadaannya, membunuh orang kafir yang halal darahnya tidak boleh dilakukan dengan jalan membunuh orang Islam yang terpelihara darahnya, karena sesuatu yang haram tidak boleh dihalalkan demi mencapai sesuatu yang halal.

Ulama ushul fiqih bahkan menyepakati kebalikan dari masalah ini. Mereka menetapkan bahwa jika suatu perbuatan haram tidak mungkin ditinggalkan kecuali dengan meninggalkan perbuatan lain yang mubah, maka yang mubah tadi wajib ditinggalkan. Bila kaidah usul fiqih yang penting tadi kita terapkan dalam masalah ini, berarti kita wajib untuk tidak menyerang orang-orang kafir yang membaur di tengah kaum muslimin di negeri kita, dalam rangka melindungi darah kaum muslimin. Dan ini adalah kebalikan dari apa yang dikatakan oleh Al Qaeda.

Alasan kelima

Meskipun mereka yang masuk ke negeri kita adalah orang-orang kafir, akan tetapi mereka mendapat jaminan keamanan, baik yang bersifat eksplisit (sharih/jelas), implisit (dhimniy/tercakup), atau syubhat[14]. Ketiga macam jaminan tersebut menjadikan darah mereka terlindungi dan haram ditumpahkan. Lantas bagaimana Al Qaeda menjadikan orang-orang yang darahnya terlindungi oleh jaminan keamanan dan orang-orang yang darahnya terlindungi karena beragama Islam, sebagai target serangan mereka?? Masalah ini telah dijelaskan sebelumnya, sehingga tidak perlu diulang lagi.

Alasan keenam

Mayoritas yang menjadi sasaran Al Qaeda adalah Ahli kitab yang secara syar’i tidak boleh diperangi sebelum diajak masuk Islam… kalau mereka tidak mau, maka disuruh membayar jizyah. Bila ada yang mengatakan bahwa kita tidak mampu memungut jizyah dari mereka, maka kami katakan bahwa ketidak mampuan kalian tidak berarti bahwa kalian dibenarkan merampas hak yang diberikan syari’at kepada mereka, yang dengan hak tersebut mereka mendapat kesempatan untuk memelihara darah dan harta mereka. Lantas bagaimana kalian bisa membunuh orang-orang yang secara syar’i tidak boleh dibunuh kecuali setelah menolak menjadi kafir dzimmi, dan membunuh pula kaum muslimin bersama mereka?

Diterjemahkan oleh dengan sedikit penyesuaian oleh: Sufyan bin Fuad Baswedan, dari risalah berjudul (نصيحة واجبة لقادة القاعدة) oleh Syaikh ‘Ashim ‘Abdul Maa-jid.

Tentang penulis:

Nama: Ashim Abdul Majid (عاصم عبد الماجد)

Lahir di Propinsi Minia (Mesir) pada tahun 1958. Beliau mendapat gelar sarjana dalam teknik mekanika dari Assiut University, Mesir. Beliau juga mendapat gelar licence (Lc) dalam sastra Arab dari Universitas yang sama.

Beliau termasuk tokoh terkenal dan pendiri Jama’ah Islamiyah Mesir di era 70-an.

Beliau dipenjara pasca pembunuhan Presiden Anwar Sadat tahun 1981, dan masih mendekam di penjara hingga Maret 2006.

Beliau termasuk tokoh historis yang memprakarsai penghentian tindak kekerasan tahun 1997.

Beliau menulis sejumlah buku, di antaranya:

-Prakarsa penghentian kekerasan (مبادرة وقف العنف), yang ditulis bersama Syaikh Usamah Hafizh.

Iedhahul Jawab ‘an Su-aal Ahlil Kitab.

Nashihah Waajibah Li Qaadatil Qaa’idah.

Ahli dalam sastra Arab dan sya’ir, dan sempat menulis beberapa kisah Islami namun belum dicetak.

Berwawasan luas dalam ilmu fiqih, ushul fiqih, Bahasa Arab, dan ilmu-ilmu kesusastraan.

Sumber: http://egyig.com/about/6-4.shtml



[1] Berasal dari kata ‘turs’ yg artinya tameng/perisai. Maksudnya ialah bila orang kafir menjadikan seorang muslim/lebih sebagai perisai mereka agar tidak diserang oleh kaum muslimin.

[2] Artinya membunuh kaum muslimin tanpa dosa.

[3] Maksud dari ketiga kriteria ini akan dijelaskan lebih lanjut oleh Imam Al Qurthubi dalam sub bab berikutnya.

[4] Maksudnya, menundukkan benteng orang kafir bukanlah pilihan darurat.

[5] Lihat: Tafsir Al Qurthubi (surah Al Fath ayat 25). Maksud dari ‘ulama kami’ adalah ulama Malikiyah.

[6] Ghazwah adalah istilah untuk perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Saya (penerjemah) pernah menyaksikan rekaman video yang dirilis oleh Al Qaeda tentang peledakan tersebut. Mereka menamakannya sebagai Badr ar- Riyadh (Perang Badar Riyadh), yang berarti menyerupakan peledakan Riyadh yang memakan korban belasan kaum muslimin tadi dengan perang Badar di zaman Nabi.

[7] Yaitu pengepungan yang dilakukan Rasulullah beserta para sahabatnya terhadap benteng Yahudi Bani Quraidhah, setelah pengkhianatan yang mereka lakukan dalam perang Khandaq.

[8] Daar Islam adalah negeri yang menampakkan syi’ar-syi’ar Islam, memberlakukan hukum Islam, dan tunduk di bawah penguasa muslim. Sebagian ulama tidak mensyaratkan bhw warganya harus mayoritas muslim, namun yang penting ia berada dalam kekuasaan kaum muslimin. Kebalikannya adalah daar kufr atau daar harb (Lihat: Mu’jamul Musthalahat wal alfaazh al fiqhiyyah 2/73-74; Al Ahkaamus Siyaasiyyah lil Aqalliyaatil Muslimah hal 15 & 17).

[9] Lihat: Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 28/240-241.

[10] ‘Illah adalah satu di antara empat rukun qiyas. Untuk melakukan qiyas, seseorang membutuhkan masalah induk yang menjadi dasar qiyas (ashlun), masalah turunan yang hendak diqiyaskan (far’un), sifat yang menyamakan kedua masalah tadi (‘illah), dan hukum akhir. Misalnya hukum alat KB yang non permanen (far’un), boleh atau tidak? Alat KB bisa qiyaskan kepada ‘azl (ashlun), –yaitu mencabut penis dari vagina istri sebelum ejakulasi– yang sering dilakukan para sahabat di zaman Nabi. Karena keduanya memiliki sifat yang sama (‘illah), yaitu sama-sama menghalangi terjadinya kehamilan secara tidak permanen. Maka bila Nabi membolehkan para sahabatnya melakukan ‘azl, berarti penggunaan alat KB yang non permanen pun boleh (hukum akhir).

[11] Yaitu alat pelempar batu raksasa.

[12] Dahulu, cara seperti ini digunakan untuk memutus sumber logistik musuh, seperti yang Nabi lakukan saat mengepung benteng Yahudi Bani Nadhir, beliau menyuruh para sahabatnya agar membakar kebun kurma kaum Yahudi, dan hal ini diabadikan dalam Al Qur’an (lihat: Tafsir Al Qurthubi surah Al Hasyr ayat 5).

[13] Kafir mu’ahad adalah orang kafir yang terikat perjanjian damai/gencatan senjata dengan kaum muslimin. Sedangkan kafir musta’man adalah orang kafir harbi yang mendapat jaminan keamanan dari perorangan/penguasa muslim untuk memasuki negeri kaum muslimin.

[14] Contoh jaminan yang eksplisit ialah bila seseorang dari kaum muslimin/pemerintah muslim mengatakan bahwa Si A (kafir) telah mendapat jaminan keamanan. Adapun yang implisit seperti bila si A masuk ke negeri muslim setelah memperoleh visa resmi dari pemerintah negeri tersebut. Karena pemberian visa merupakan izin bahwa yang bersangkutan berhak masuk ke negeri tersebut dengan aman. Adapun yang syubhat ialah seperti bila si A mengira dirinya telah mendapat jaminan keamanan -karena suatu alasan-, namun secara syar’i jaminan tersebut tidak sah.