Tulisan berikut adalah himbauan bagi para pemimpin Al Qaeda maupun pengikutnya agar mengubah strategi dan mengoreksi manhaj mereka. Saya yakin bahwa mayoritas harakah islamiyah termasuk para petinggi dan ulamanya, tidak menyetujui cara yang ditempuh Al Qaeda sejak pengumuman dibentuknya Al Jabhah Al ‘Aalamiyyah Liqitaalil Yahuudi was Shaliibiyyiin (Front Internasional dalam Memerangi Yahudi dan Salibis) th 1998. Mereka juga tidak menyetujui berbagai sepak terjang dan peperangan yang dilancarkan oleh Jabhah tersebut. Kalangan yang berilmu di antara mereka lebih menyadari akan adanya berbagai kesalahan syar’i pada serangan-serangan Al Qaeda. Dan semua orang pun tahu betapa besar musibah yang ditimbulkan oleh ‘perang-perang’ ala Al Qaeda tadi terhadap umat Islam dengan berbagai ormasnya.

Hanya saja, massa terbesar dari kelompok yang tidak sependapat dengan Al Qaeda tadi mencukupkan diri dengan sekedar menyatakan ‘tidak bertanggung jawab’ atau ‘tidak setuju’ terhadap tindakan-tindakan Al Qaeda; tanpa menindaklanjuti dengan menasehati, menjelaskan letak kesalahan, atau mengingatkan akan bahaya dari tindakan tersebut. Mereka tidak melakukan hal tersebut boleh jadi karena takut dituduh loyal (berwala’) kepada AS dan para pemerintah yang bersahabat dengannya; atau dalam rangka melampiaskan dendam mereka terhadap AS; atau karena masyarakat menganggap bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menyampaikan nasehat dan penjelasan. Alasan mereka, Al Qaeda dan para pemimpinnya sekarang sedang menghadapi krisis berat, sehingga tidak pantas kalau harus menyebut-nyebut kesalahannya dalam kondisi seperti ini. Apalagi jika mengingat bahwa ‘nasi telah menjadi bubur’, maka sangat sulit atau bahkan mustahil bagi Al Qaeda untuk menyimak nasehat dari seorang yang tulus atau penjelasan dari seorang alim… wajar saja, toh mereka telah menempuh perjalanan cukup jauh dan kehilangan banyak korban bukan? Apalagi setelah menyaksikan bahwa tidak ada jalan lagi bagi mereka setelah Al Qaeda menjadi ‘target’ di mana-mana. Jadi, sama saja bagi mereka antara meneruskan tindakannya ataukah menghentikan. Bukankah setelah terbunuhnya Bin Laden Aiman Adh Dhawahiri langsung menggantikan posisinya sebagai buron nomor wahid di dunia? Ia bukan hanya buronan intelijen AS, tapi juga buronan intelijen internasional…

Alasan-alasan ini –meski sebagiannya mungkin terkesan masuk akal– tetap saja belum bisa dianggap sebagai udzur syar’i bagi para ulama dan ahli agama untuk tidak menjelaskan kekeliruan-kekeliruan Al Qaeda. Mereka tetap wajib menasehati para pemimpin Al Qaeda agar mengubah strateginya dan mengoreksi manhajnya.

Mengapa demikian? Sebab walaupun Al Qaeda sedang berada dalam krisis hebat, akan tetapi mereka telah menempatkan umat Islam secara umum, dan harakah-harakah Islamiyah secara khusus dalam krisis yang lebih hebat lagi. Kalaulah krisis Al Qaeda bisa berakhir dengan ‘mati syahid’-nya anggota mereka –dan hal itu memang mereka harapkan–, maka krisis umat Islam akan terus berlanjut dan semakin parah seiring perjalanan waktu.

Karenanya, kita harus berpikir bagaimana menanggulangi krisis ini sebelum berpikir bagaimana agar perasaan Al Qaeda tidak terluka dengan adanya penjelasan dan nasehat tersebut.

Kalaulah sikap legowo dengan penderitaan rakyat AS tidak bisa menghindarkan kita dari bahaya yang mengancam atau bahaya yang sedang terjadi; lantas bagaimana halnya jika rakyat AS sendiri telah bertekad untuk membalas dendam (akibat tragedy WTC), dan menetapkan harga kedua menara tersebut berupa pendudukan dua negara… dan negara-negara berikutnya dalam antrian menurut statemen para tokoh partai konservatif yang baru.

Manhaj Destruktif

Para ulama dan ahli agama tidak sekedar dituntut untuk cuci tangan dengan memberikan pernyatan singkat bahwa mereka tidak bertanggung jawab. Merekalah yang lebih berperan dalam menentukan masa depan umat dan apa yang paling baik untuknya. Mereka lah yang pertama kali harus meluruskan kesalahan Al Qaeda dan menahannya agar tidak terus melaju dalam kesalahan tersebut. Mereka lah yang harus menjelaskan akibat-akibat fatal yang timbul bila Al Qaeda tetap melaksanakan manhaj destruktif-nya, lalu menjelaskan kepada pihak lain akan bahaya manhaj tersebut, dan di mana titik kesalahannya agar yang lain tidak ikut terseret.

Ya, Al Qaeda memang keliru. Dan bila umat secara umum –khususnya para ulama– tidak bisa mencegah Al Qaeda untuk tetap melaju dalam kekeliruannya, maka umat lah yang akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Bahkan kita telah membayar sebagian cicilannya di Afghanistan, Irak, dan Guantanamo. Kita pun telah membayarnya lewat kurikulum pendidikan kita dan yang lainnya. Sikap diam kita akan terus membawa bencana, terlebih dengan munculnya beberapa generasi baru yang tidak pernah mendengar selain dentuman bom Al Qaeda atau fenomena kezhaliman AS. Mereka pun mengira bahwa jalan satu-satunya untuk membela agama adalah mengikuti manhaj Al Qaeda yang destruktif itu. Akhirnya, bencana semakin besar dan kerugian makin membengkak serta kerusakan makin parah. Pun demikian, masih saja sejumlah ulama dan ahli agama menutup mulut karena takut dituduh pengecut… atau demi menjaga perasaan Syuyukhul Jihad (Adh-Dhawahiri cs) yang sedang diburu… atau karena legowo terhadap kerugian pasukan AS dan sekutunya.

Saatnya Merenung…

Kita tidak sepantasnya putus asa dengan mengira bahwa Al Qaeda tidak akan mendengar nasehat seorang yang tulus, atau menyimak penjelasan seorang alim… sebab ini merupakan su’uzhon yang berlebihan terhadap para pemuda Al Qaeda maupun petingginya. Apa yang kukenal dari syaikh Aiman Adh Dhawahiri –yang juga dikenal oleh banyak orang selainku– adalah bahwa beliau memiliki asal usul yang baik, di samping juga seorang yang agamis. Dia memang tulus dalam mencintai dan membela agama ini, sekaligus ingin mengembalikan kejayaan umat dan mengangkat panji-panjinya. Beliau ingin mewujudkan berbagai kemaslahatan syar’i sekaligus menghilangkan sebanyak mungkin kerusakan. Inilah persepsiku terhadapnya tanpa bermaksud mentazkiyah seorangpun di hadapan Allah. Nah, orang yang seperti ini keadaannya dan demikian tulus niatnya, tentunya diharapkan dapat merenungi dengan kepala jernih dan introspeksi secara jujur. Kedua hal ini diharapkan dapat menunjukkan kepadanya bahwa segala sepak terjang yang dibangun di atas ijtihadnya selama ini adalah tidak benar. Sepak terjang tersebut ternyata tidak mewujudkan kemasalahatan maupun menepis kerusakan, namun justru memusnahkan simpul-simpul Islam yang masih tersisa, sekaligus mengundang berbagai kerusakan, di samping juga tak lepas dari sejumlah kesalahan syar’i. Mestinya beliau merasa tertuntut secara syar’i untuk menghentikan tindakan yang dibangun di atas ijtihad yang keliru tadi, lalu beralih ke cara lain yang lebih tepat setelah melakukan sejumlah renungan dan introspeksi tadi.

Inilah sikap seorang yang agamis dan berilmu dari kalangan para salaf maupun khalaf. Mereka semua sepakat (ijma’) bahwa tidak seorang pun dari mereka yang ma’shum dari kesalahan. Mereka juga sepakat bahwa siapa saja yang berijtihad lalu keliru, maka ia harus meninggalkannya dan beralih kepada apa yang dianggap benar.

Mafsadat Al Qaeda

Saya kira, Adh Dhawahiri selaku pemimpin Al Qaeda tidak meyakini bahwa dirinya ma’shum. Ia juga tidak akan membenarkan bila dirinya –atau orang lain– tetap bersikeras melakukan sesuatu yang dibangun atas dasar ijtihad, yang ternyata mendatangkan berbagai kerusakan dan dampak negatif bagi Islam dan kaum muslimin.

Memang, Adh Dhawahiri mungkin memiliki kelebihan sebagai orang yang suka menantang dan pantang menyerah. Akan tetapi kedua sifat ini hanya terpuji ketika bisa mewujudkan tujuan yang memerlukan kerja keras dan ketulusan… Ketika itulah sikap pantang menyerah dan tekad baja harus dimiliki, agar seorang hamba tidak kendor dalam menghadapi berbagai rintangan di jalan.

Akan tetapi ketika sikap pantang menyerah tadi tidak membuahkan hasil yang diinginkan, atau bahkan mengakibatkan yang sebaliknya; maka ia berubah menjadi sikap ‘kepala batu’ dan takabbur. Saya rasa, Syaikh Aiman tahu persis akan hal ini dan diapun telah merasakan sebagian dari kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan dari jalan perjuangan Al Qaeda selama ini.

Saya kira, beliau maupun petinggi Jama’ah Jihad lainnya yang menempuh jalan yang sama dengan Al Qaeda –seperti Jama’ah Islamiyyah di Indonesia–, sangat membutuhkan nasehat tulus dari setiap pihak yang agamis dan berilmu. Mereka dituntut untuk menyimak baik-baik nasehat dari pihak-pihak yang tulus tadi, apalagi jika mengingat bahwa dampak dari perbuatan mereka tak sekedar dirasakan oleh mereka atau Jama’ah mereka sendiri, namun juga dirasakan oleh umat seluruhnya.

Berangkat dari sini, kutulislah buku ini dalam rangka mengajak setiap pihak yang mampu bermusyawarah untuk ikut mendiskusikan kasus-kasus yang dimunculkan Al Qaeda dengan segenap sepak terjangnya, baik di negara-negara kafir maupun di negeri kaum muslimin sendiri.

Nasehat ini akan kubagi dalam empat sub-bab yang menurutku patut direnungi dan dicermati.

Pertama, Al Qaeda dan perang gaya baru dalam negeri kaum muslimin.

Kedua, Al Qaeda merebut kepemimpinan dan membatalkan jaminan keamanan.

Ketiga, Ghuluw dalam masalah jihad.

Keempat, Masalah tatarrus dan penghalalan darah kaum muslimin dalam negeri mereka sendiri.

Kemudian saya akhiri dengan khatimah dan nasehat.

—-

Sejak kaum muslimin memiliki negara dan tanah air, mereka hanya mengenal dua jenis peperangan utama. Jenis yang pertama adalah perang mempertahankan negara dari serangan musuh eksternal yang ingin menjajah dan menghapus syari’at Islam; atau melawan pemberontak dalam negeri yang ingin mengkudeta para pemimpin; atau melawan ahli bid’ah dan orang-orang fasik dalam negeri –yang punya kekuatan militer–, yang tidak mau tunduk terhadap syari’at Islam.

Jelaslah bahwa perang jenis pertama dalam berbagai bentuknya ini harus berada di bawah panji-panji imam (kepala negara), atau berdasarkan izin langsung darinya, atau minimal direstui olehnya.

Jenis kedua ialah perang melawan si kepala negara untuk melengserkannya dari tampuk kekuasaan. Perang yang terakhir ini memang dibolehkan oleh syari’at dalam satu kondisi saja, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi:

أن تروا كفراً بواحاً عندكم من الله فيه برهان

“(Yakni) saat kalian menyaksikan kekafiran nyata, dan kalian memiliki bukti di sisi Allah akan hal itu”.

Sebagian Harakah Islam termasuk Al Qaeda, telah memunculkan perang gaya baru yang saya rasa tidak dikenal sebelumnya oleh umat Islam. Menurut saya, perang gaya baru ini tidak boleh dilakukan, sebab ia tidak akan mengantarkan kepada maksud yang diinginkan, di samping besarnya kerusakan yang ditimbulkan… berikut ini adalah penjelasan dari pendapat saya beserta dalil-dalilnya:

Arab Saudi sebagai target

Contohnya adalah perang yang dilancarkan Al Qaeda lewat sejumlah peledakan di kota Riyadh yang terulang beberapa kali. Perang ini bukanlah perang di bawah panji-panji imam, tidak pula dengan izinnya, dan juga tidak direstui olehnya. Ini juga bukan perang dalam rangka melengserkan kepala negara yang bersangkutan –tanpa memperhatikan syar’i/tidaknya hal tersebut, karena memang ini bukan pokok bahasan kita–. Peledakan tersebut tak ubahnya seperti peperangan yang dilakukan tanpa mempedulikan restu imam, dan tujuan utamanya ialah menyerang warga asing yang tinggal di wilayah Saudi berdasarkan izin dan perlindungan pemerintah setempat.

Ini jelas akan berujung kepada peperangan antara si kepala negara beserta pendukungnya di satu sisi, dengan Al Qaeda si sisi lain. Dan inilah yang akhirnya benar-benar terjadi. Peperangan pun berubah haluan dari perang antara Al Qaeda melawan warga asing yang tinggal di Saudi, menjadi perang antara Al Qaeda melawan pemerintah Saudi.

Menurut logika kita, Al Qaeda pasti memiliki salah satu dari dua sikap berikut. Pertama, mereka menganggap pemerintah Saudi sebagai pemerintah yang sah dan tidak boleh memberontak kepadanya; atau kedua, mereka menganggap pemberontakan tersebut sebagai suatu kewajiban syar’i. Tidak ada opsi ketiga dalam kasus ini. Kalau memang pemberontakan kepada pemerintah Saudi tidak boleh dilakukan, maka peledakan-peledakan yang terjadi di Riyadh jelas haram karena banyak alasan, namun alasan yang penting bagi kita sekarang hanya satu, yaitu karena peledakan-peledakan tersebut pasti berujung pada peperangan antara para pelakunya (dan kelompok mereka), dengan pemerintah yang secara syar’i tidak boleh diperangi.

Di samping itu, masih ada alasan-alasan lain yang melarang terjadinya peledakan seperti itu, yang insya Allah akan dijelaskan pada tempatnya.

Namun jika Al Qaeda memang membolehkan pemberontakan kepada pemerintah Saudi –dan ini pun terkesan aneh kalau memang menjadi mazhab mereka–; maka Al Qaeda juga tak lepas dari dua kemungkinan; pertama, mereka punya kekuatan untuk menggulingkan pemerintah Saudi, atau kedua, mereka tidak punya kekuatan untuk itu.

Kalau mereka memang punya kekuatan, lantas mengapa mereka tidak melakukannya setelah meyakininya sebagai kewajiban syar’i? Namun kalau mereka tidak punya kekuatan, maka mengapa mereka memancing kemarahan pemerintah Saudi yang akhirnya memerangi mereka sedangkan mereka tidak mampu melawan dan tidak siap menanggung resikonya? Mengapa pula mereka menghembuskan berbagai fitnah atas bangsa dan negara kaum muslimin, dan menyeret para pengikutnya ke dalam perang dan penderitaan?

Padahal para fuqaha’ mengatakan bahwa jika pemberontakan terhadap kepala negara –karena kekafirannya atau karena mengganti hukum Allah– dianggap wajib; maka bagi yang tidak mampu berperang hendaklah meninggalkan negara tersebut. Para fuqaha’ tidak menyuruh pihak-pihak yang tidak mampu berperang untuk melakukan serangan-serangan dan perlawanan, sehingga menyeret diri mereka dan pengikutnya pada peperangan dan penderitaan tanpa bisa mewujudkan sedikitpun dari tujuan mereka. Dan ternyata mereka demikian cepat ditumpas –baik yang aktivis maupun simpatisan– setelah mendapat ‘beberapa pukulan’ dari pihak keamanan dalam negeri yang bekerja sama dengan intelijen negara asing yang rakyatnya menjadi korban Al Qaeda.

Al Qaeda tidak memusuhi Barat

Kalaulah taruhan para pemimpin Al Qaeda lewat sejumlah serangan di berbagai penjuru dunia dinilai cukup kuat untuk mengganggu stabilitas sejumlah pemerintahan, atau demi menjatuhkan pemerintahan tsb ke tangan aktivis Islam, atau demi memaksa negara-negara barat –khususnya AS– agar mengubah sikapnya terhadap Al Qaeda; maka mereka salah besar! Alasannya karena pemerintahan-pemerintahan tadi tidak ada yang terguling sama sekali dengan terbunuhnya ratusan atau bahkan ribuan warga asing di wilayahnya. Kalaupun peledakan-peledakan seperti itu bisa berujung pada tumbangnya pemerintahan yang bersangkutan, maka kekuatan asing yang rakyatnya menjadi target serangan Al Qaeda pasti akan mendukung pemerintah setempat dengan sekuat tenaga, kalau perlu dengan campur tangan militer demi menghindari jatuhnya pemerintah setempat. Semoga Allah merahmati orang yang tahu kapasitas dirinya…

Kalau Al Qaeda saja tidak bisa melindungi pemerintahan Islam di Afghanistan beberapa walau beberapa hari setelah serangan militer AS… lantas bisakah Al Qaeda menggulingkan berbagai pemerintahan yang ada, lalu menegakkan pemerintahan-pemerintahan baru yang loyal kepadanya?

Akan tetapi tujuan utama Al Qaeda bukanlah menjatuhkan sejumlah pemerintahan tadi, akan tetapi –sebagaimana yang disinyalir oleh sejumlah tokohnya– ialah demi memaksa AS agar mengubah sikapnya terhadap Al Qaeda, melalui tekanan rakyat AS yang tidak bisa tidur nyenyak saat mengingat besarnya kerugian yang akan ditimpakan Al Qaeda dan yang mengikutinya. Baik target maupun caranya tadi telah dinyatakan terus terang oleh Aiman Adh Dhawahiri yang disiarkan saat peringatan kedua akan tragedy 11 September. Dia menyampaikan kepada rakyat negara Barat bahwa dirinya tidak menujukan serangan kepada mereka, namun siapa saja yang mengulurkan tangan kepada musuh-musuh Islam, maka Al Qaeda akan memotong tangannya. Dia lantas menantang pemerintah AS untuk mengakui kerugian mereka yang sebenarnya di Afghanistan dan Irak, kemudian dia berjanji untuk terus melancarkan jihad. Dan sebelum tragedi ini, Al Qaeda telah meluncurkan sebuah buku tentang peledakan-peledakan di Riyadh, dan mengatakan bahwa ‘operasi terus berlanjut’.

Al Qaeda bahkan mengumumkan kepada negara-negara yang belum mengalami peledakan, bahwa giliran mereka pasti tiba. Sekaligus menegaskan kembali ancamannya terhadap negara-negara yang menjadi korban peledakan, bahwa mereka belum aman dari terulangnya peledakan serupa.

Saya sungguh tidak mengerti, mengapa Adh Dhawahiri tetap tidak sadar bahwa jalan yang kepadanya ia menyeru berbagai harakah dan pemuda Islam, sama sekali tidak membuahkan hasil yang diinginkan bahkan mengakibatkan sebaliknya?

Tidak tahukah dia bahwa setiap negara yang menjadi korban serangan militer Al Qaeda atau simpatisannya, pasti akan memobilisasi seluruh kekuatan yang dimilikinya, baik dari sisi keamanan, media massa, atau yang lainnya; untuk memberangus semua pelaku serangan tersebut… dan akhirnya seluruh negara di dunia akan berubah menjadi kawasan musuh yang memerangi Al Qaeda dan setiap pengikutnya!

Tidak seorang berakal pun yang berani mengatakan bahwa Al Qaeda atau para pengikutnya masih memiliki secuil peluang untuk menang dalam perang global ini. Bahkan kesudahannya ialah bahwa Al Qaeda akan melemah secara bertahap, untuk kemudian tamat. Ini yang pertama.

Yang kedua, AS dan rakyatnya akan hidup dalam ketentraman tak lama setelah Al Qaeda menerapkan strategi mereka. Sebab Al Qaeda akan sibuk berperang menghadapi pemerintah setempat yang wilayahnya menjadi sasaran operasi militer mereka. Inilah yang sekarang terjadi di Saudi. Kontak-kontak senjata yang terjadi adalah antara pihak keamanan dengan aktivis Al Qaeda.

Hal ketiga yang menghalangi Al Qaeda untuk mendapat keuntungan dari strategi yang dipilihnya, adalah perbuata Al Qaeda dan strategi yang dianutnya itu sendiri. Alasannya ialah karena Ghazwah Manhattan (istilah Al Qaeda untuk menamakan tragedi WTC) telah memakan korban jiwa lebih dari 3000 orang di jantung wilayah AS, sehingga pengorbanan apa pun yang akan dibayar oleh rakyat Amerika di luar wilayah AS tidak lagi dianggap berharga, mengingat tujuan utamanya ialah menjaga keamanan dalam negeri AS.

Kalaupun Al Qaeda bisa kembali melakukan serangan di dalam negeri AS, maka hal ini tidak akan menjadikan rakyat Amerika menekan partai sayap kanan di sana. Namun justru memperkuat penetrasi partai konservatif dan memberi mereka wewenang lebih luas untuk melakukan pemberantasan terhadap semua yang dianggap membahayakan keamanan dalam negeri AS.

Partai Konservatif menari girang

Sungguh mengherankan bila mendengar Syaikh Aiman Adh Dhawahiri menuntut pemerintah AS agar mengumumkan kerugian sesungguhnya yang mereka alami di Afghanistan dan Irak. Anggap saja kerugian mereka sekian ribu… namun lupakah Anda –Ya Syaikh– bahwa kalian telah membunuh 3000 rakyat sipil mereka dalam sekejap? Dan bahwa kalian mengancam akan ada serangan lain di AS yang menjadikan mereka lupa akan tragedi WTC? Kalau sudah begini, apa artinya bila 2000 pasukan AS atau lebih harus mati di luar sana demi melindungi rakyat Amerika dari serangan musuh yang telah membunuh ribuan warga sipil?

Justru ghazwah Manhattan sebenarnya merupakan peluang emas yang menjadikan para konservatif menari girang. Dengan serangan tersebut mereka menemukan apa yang selama ini mereka cari demi mewujudkan ambisi mereka… yaitu lewat makar-makar mengerikan yang mereka atur sejak dulu, namun belum berhasil mereka wujudkan karena dianggap terlalu sadis, dan terlalu mahal untuk dibayar oleh rakyat Amerika secara politik, ekonomi, maupun kemanusiaan. Hingga tibalah saatnya ketika Al Qaeda melakukan kesalahan fatalnya di Manhattan tersebut. Maka kalangan sayap kanan pun mengambil kesempatan tersebut dengan menyesatkan opini publik dan menakut-nakuti mereka, supaya rakyat memberi mereka wewenang sepenuhnya untuk mewujudkan ambisi mereka selama ini. Lalu mereka pun mengobrak-abrik dan menteror dunia seenaknya, tanpa ada seorang pun yang bisa menghentikan semua kegilaan mereka!

Masalahnya bukan seperti yang pernah dikatakan Syaikh Usamah bin Laden bahwa semua makar tadi tetap akan terlaksana dengan atau tanpa terjadinya tragedi WTC, bukan. Ini hanyalah alasan yang ia sampaikan demi meringankan tekanan batin yang dirasakannya, karena merasa bahwa dialah yang bertanggung jawab pertama kali atas semua yang terjadi, baik di Afghanistan maupun yang lainnya.

Kita bisa memahami kondisi mental yang harus dihadapi oleh Usamah maupun Adh Dhawahiri, namun ini tidak akan menghalangi kita untuk menjelaskan kekeliruan perhitungan mereka. Bukan dalam rangka menyalahkan apa yang telah berlalu, namun demi mewaspadai terulangnya kesalahan serupa. Sebab agaknya yang bersangkutan bersikeras untuk mengulangi perbuatannya kembali begitu ada kesempatan. Ia mengira bahwa dengan menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi pada serangan berikutnya, ia bisa mendapatkan kembali apa yang telah hilang darinya, atau paling tidak menghentikan kerugian beruntun yang dideritanya. Ini jelas perkiraan yang salah. Sebab dengan terbunuhnya setiap orang AS atau barat di negaranya, semakin kuat pula penetrasi sayap kanan Amerika, dan semakin panjanglah masa jabatan yang diberikan rakyat AS kepada mereka untuk menumpas setiap ‘bahaya’.

Kita mestinya mengambil ibrah pasca tragedi Manhattan. Namun mengapa masih ada saja di antara kita yang ngotot untuk disengat berulang kali dari lubang yang sama? Padahal Nabi kita mengatakan:

لا يلدغ المؤمن من جحر واحد مرتين

“Seorang mukmin tidaklah disengat dari lubang yang sama dua kali”

Sesuatu yang mengherankan

Bila kita perhatikan dengan baik akibat dari peledakan-peledakan yang dilakukan oleh Al Qaeda cs di berbagai negeri kaum muslimin, niscaya kita dapati bahwa operasi-operasi tesebut tidak memiliki prospek, dan dilakukan tanpa harapan bisa mewujudkan target yang diklaim selama ini. Bahkan operasi tersebut justru menimbulkan kebalikannya, berupa makin keras dan ketatnya pengejaran pihak keamanan yang tidak saja ditujukan kepada Al Qaeda, namun kepada setiap gerakan Islam. Bahkan sampai ke titik yang lebih jauh lagi. Di sebagian negeri kaum muslimin, sisa-sisa simpul Islam yang masih terikat di tubuh umat pun mulai dilepas satu persatu. Seperti dengan adanya penghapusan dan perombakan terhadap kurikulum pendidikan, lalu diikuti oleh serangan hebat media massa dan berbagai usaha untuk menghapus setiap identitas Islami. Baik dengan tekanan langsung maupun tidak langsung dari AS. Tekanan yang semakin berat dan keras ini dirasakan di setiap negara yang terjamah oleh operasi Al Qaeda. Atau lewat hasutan politik dari internal negeri kaum muslimin, yang dilakukan oleh mereka yang berbicara dengan bahasa kita namun membenci agama kita.

Masih ada sebuah tanda tanya besar yang mengakar di benakku berkenaan dengan sikap Al Qaeda terhadap Pemerintah Saudi. Sebab berdasarkan apa yang kuketahui –yg juga diketahui oleh setiap pelajar Islam pemula, apalagi para ulamanya–; Arab Saudi adalah negara yang paling banyak menerapkan syari’at Islam dan memelihara syi’ar-syi’arnya di dunia saat ini. Lantas dengan ayat mana dan hadits apa Al Qaeda menjadikan Saudi sebagai medan perang tempat pihak keamanan berhadapan dengan para pemuda muslim? Mengapa Arab Saudi sebagai penerap syari’at Islam dan syi’ar-syi’arnya sekaligus bumi Islam pertama, menjadi demikian remeh di mata Al Qaeda? Bagaimana Al Qaeda bisa menyamakan antara negara Islam dan benteng terakhirnya di satu sisi, dengan negara kafir di sisi lain… dengan melancarkan ghazwah ke Riyadh dan ghazwah ke Manhattan? Bukankah ini menunjukkan adanya ketidak beresan besar di balik sikap Al Qaeda?

Memang, syari’at Islam tidak mungkin ditegakkan –seluruhnya atau sebagian besarnya– kecuali dengan adanya pemerintah yang lewat kekuasaannya ia bisa menegakkan keadilan, membikin kapok para penjahat, dan melindungi bangsa serta negara. Pemerintah ini dikenal dalam fiqih Islam dengan istilah khalifah atau imam. Berhubung Al Qaeda menyaksikan bahwa banyak dari syari’at Islam yang tidak diterapkan dengan benar akibat malasnya para penguasa, atau akibat kelalaian mereka, atau memang mereka sengaja menyia-nyiakannya; dan memang demikianlah yang kita saksikan. Berhubung semua realita tadi, saudara-saudara kita di Al Qaeda mengira –secara tidak benar– bahwa mereka berhak menyematkan gelar imamah (kepemimpinan/kekhalifahan) tersebut pada golongan mereka. Masalahnya, mereka tidak sekedar mencukupkan diri dengan merebut hak tersebut dan mengklaimnya untuk suatu wilayah, tapi mereka bertingkah laku seperti pihak yang mengatur seluruh wilayah kaum muslimin di dunia.

bersambung…