Bismillah…

Suatu ketika, saya membuka-buka website milik sahabat saya. Di sana saya dapatkan ada sebuah pertanyaan yg dilontarkan kpd dia, yg intinya ttg hukum bom bunuh diri, atau bom syahid (?).  Masalah ini memang bukan masalah sepele, karena fatwa-fatwa yg beredar isinya kontradiktif, yg satu mengharamkan dan menganggapnya sebagai bunuh diri yg pelakunya terancam siksaan berat… sedangkan yg lain membolehkan, atau bahkan menganggapnya sbg  syahadah fi sabilillah…

Lantas bgmn pendapat sahabat saya tsb? Ia mencoba utk mengkaji mslh tsb scr historis, ia mengatakan yg intinya bhw penggunaan bom dsb di zaman Nabi belum ada, tapi ada bbrp perbuatan yg dilakukan oleh sejumlah sahabat dan tabi’in, yg ‘mengarah’ ke aksi ‘bunuh diri’ mirip bom bunuh diri tsb… ia mencontohkan dgn kisah Bara’ bin Malik yg melemparkan dirinya ke dlm benteng musuh seorang diri… dsb.

Kemudian ia sempat menukil dua jenis fatwa ulama dlm hal ini, yg mengharamkan dan yg membolehkan. Tapi sayang ia tdk menyebut nama mrk, namun sekedar mengatakan bhw mrk yg mengharamkan kebanyakan adalah ulama2 yg tidak berada di medan jihad, sedangkan mrk yg membolehkan kebanyakan adalah ulama2 yg berada di medan jihad.

Yang Pantas Kita Renungi Adalah Sbb:

1- Harap dibedakan antara membunuh diri sendiri dgn tangan pribadi, seperti meledakkan bom yg dililit di badan, atau menabrakkan kendaraan berisi peledak yg dikendarainya ke lokasi musuh, atau aksi2 sejenis yg berakibat kematian 100% bg pelakunya; dgn tindakan yg dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, spt menjatuhkan diri ke tengah2 musuh dan berperang sendirian, atau menyeruak ke dlm barisan musuh yg banyak dan semisalnya, yg tidak berakibat kematian 100% bg pelakunya. Kedua hal di atas jelas beda dari segi cara maupun hasilnya. Yg pertama jelas mendatangkan kematian dan dilakukan oleh tangan sendiri, sedangkan yg kedua tidak mesti menyebabkan pelakunya mati, dan kalau pun mati maka matinya di tangan musuh karena senjata musuh, bukan karena perbuatan dirinya.

2-Klasifikasi ulama ke dalam ulama yg berada di medan jihad dgn yg tidak berada di medan jihad tadi, adalah klasifikasi yg tidak benar. Sebab yg menjadi sandaran dlm hal ini adalah dalil mereka, bukan pengalaman mereka. Memang ulama2 kelas dunia macam Syaikh Bin Baz, Ibnu Utsaimin, Al Albani dsb tidak memiliki pengalaman di medan jihad, tapi bukan berarti mrk tidak mengerti ahkamul Jihad. Bahkan kita patut bertanya: “Mereka yg ada di medan jihad tsb, jika ditanya suatu masalah ttg jihad, apakah mrk berfatwa dgn semata-mata melihat kondisi di lapangan, ataukah tetap merujuk ke kitab2 fiqih dan perkataan para ulama sebelumnya? Tentu mrk tdk akan berfatwa lewat waqi’ (realita), tapi tetap merujuk ke dalil2 yg ada dlm kitab2 fiqih. Nah, kalau memang demikian halnya, berarti tidak ada bedanya antara mrk yg dilapangan atau yg tidak dilapangan selama yg tidak dilapangan mendapat informasi ttg realita di lapangan.

Intinya, hati-hatilah dalam mengamalkan sebuah fatwa… jangan sampai kita main perasaan dan mengabaikan akal sehat, atau dalil syar’i. Jihad seseorang bukanlah tolok ukur kebenaran fatwa yg dikeluarkannya, mengingat rancunya pemahaman jihad yg berkembang di tengah umat Islam akhir-akhir ini. Apalagi jika mrk yg dianggap tidak pernah berjihad lantas diabaikan fatwanya dlm masalah ini, dan dituding sebagai ulama Haidh dan Nifas… yg hanya faham masalah seputar celana dalam wanita –naudzu billah–, hingga fatwa mrk hanya berlaku dlm masalah haidh dsb, tapi tidak dalam masalah jihad… subhanallah!! Kalaulah kita mengakui mereka sbg ulama dlm masalah thaharah, mengapa kita menafikan keilmuan mrk dlm masalah Jihad? bukankah keduanya adalah bagian dari Syari’at? Bukankah keduanya telah dikaji tuntas oleh para fuqaha?

Tapi, demikianlah jika obyektivitas telah tergeser oleh hawa nafsu… semoga Allah membimbing kita ke jalan yg benar, Amien…