Silsilah Koreksi Pemahaman (1)
Pemahaman yang benar adalah nikmat yang besar, yang tidak Allah berikan kepada semua orang. Kadang kala seseorang diberi hafalan dan ilmu yang banyak, namun belum tentu ia memiliki pemahaman yang benar terhadap apa yg dihafalnya. Oleh karenanya, Allah membedakan antara ilmu dengan pemahaman tadi dalam ayat (ففهمناها سليمان وكلا آتيناه حكما وعلما) “Maka Kami fahamkan Sulaiman, sedangkan masing-masing (Sulaiman dan Dawud) telah kami beri kekuasaan dan ilmu” (Al Anbiya': 79).
Bukannya saya mengklaim sebagai orang yg paling faham. Akan tetapi sekedar ingin sharing ilmu dan pemahaman kepada ikhwati fillah. semoga Allah memberi manfaat dan taufik dalam tulisan singkat ini.
Alkisah, suatu ketika saya berselancar di dunia maya… dunia yang bertebaran disana berbagaimacam faidah, ilmu, dan juga syubhat. Internet memang memberi kemudahan luar biasa bagi yg ingin sekedar mencari informasi… akan tetapi, kalau kita hanya belajar dari internet tanpa menguasai dasar-dasar ilmu syar’i, maka bukan pemahaman yg benar akan didapat, namun seongok syubhat yg membingungkan dan membikin sesat.
Alhamdulillah, 11 tahun yg telah saya lalui dalam rangka belajar Islam tidak sia-sia… dasar-dasar ilmu syar’i yang saya dapatkan dari mulut para masyayikh afaadhil tsb memberi secercah cahaya dalam kegelapan, dan menuntun saya bagaimana memahami nash-nash Al Qur’an dan Sunnah. Sebagai orang Solo yg dikenal sebagai sarang gerakan-gerakan Islam (harokah), saya cukup kenyang dengan apa yg selama ini sering dijadikan dalil oleh para ikhwan/aktivis tersebut. Dalil-dalil tersebut memang banyak yg shahih, namun cara memahaminya yg tidak shahih.
Salah satunya ialah dalil yg sering dijadikan acuan dalam menilai siapakah yg pantas dianggap sebagai ulil amri (waliyyul amri). Yaitu hadits shahih yg berbunyi:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ حَسِبْتُهَا قَالَتْ أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
“Bila seorang budak yg buntung dan berkulit hitam diangkat sebagai pemimpin kalian, dan dia memimpin kalian dengan kitab Allah maka dengar dan ta’ati”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dalam Bab Wujub Tha’at al Umara Fi Ghairi Ma’shiyah Wal Imam Junnah.
Perlu dicatat, dalam Shahihnya Imam Muslim menuturkan beberapa hadits dengan ada sedikit perbedaaan redaksi. Tetapi pada intinya sama menggunakan kata-kata:
يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ (Dia memimpin kalian dengan/berdasarkan Kitabullah).
Dalam riwayat Tirmidzi menggunakan redaksi ما أقام لكم كتاب الله (selama dia menegakan kitab Allah bagi kalian). Dalam kitab Tuhfah al Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi disebutkan: “Maksudnya adalah selama menegakan hukumNya juga mencakup Sunah nabiNya”.
Berangkat dari dhahir hadits ini, disimpulkan bahwa JIKA SI PEMIMPIN TIDAK MEMIMPIN DENGAN KITABULLAH, ATAU TIDAK MENEGAKKAN KITABULLAH PADA RAKYATNYA, MAKA JANGAN DIDENGAR DAN DITAATI.
lalu, dari kesimpulan (mafhum mukhalafah) ini, dibuatlah definisi bahwa waliyyul amri adalah pemimpin yg menegakkan kitabullah saja. Selain itu bukanlah waliyyul amri yg kita tidak dilarang untuk berontak kepadanya.
Lihatlah… betapa berbahayanya kesimpulan tersebut!!
Bagaimana kiranya jika kesimpulan ini ditelan begitu saja, lantas semua minoritas muslim di negara-negara kafir diwajibkan melawan penguasanya, bagaimana kiranya nasib mereka?
Padahal, perkataan (يقودكم بكتاب الله … ما أقام فيكم كتاب الله) yg terjemahannya: “Yang membimbing kalian dengan kitabullah… atau Selama ia menegakkan kitabullah bagi kalian”, itu i’rob-nya adalah sifat atau haal. Nah, sifat/haal itu sendiri tidak selamanya berarti muqayyidah (membatasi pengertian dari isim yg disifati/dijelaskan keadaannya), akan tetapi bisa pula berarti sifatun kaasyifah (sekedar menjelaskan tanpa bermaksud membatasi), dan yg jenis kedua ini bisa dikenali bilamana fungsinya menjelaskan sifat yg biasa dijumpai pada isim tersebut. Jika demikian kondisinya, maka sifat ini tidak punya mafhum mukhaalafah yg mu’tabar. Ini kaidah usul fiqih. Contohnya dalam ayat (لا تأكلوا الربا أضعافا مضاعفة) janganlah kalian memakan riba yg berlipat ganda. Tidak berarti bahwa riba yg tidak berlipat ganda (spt bunga bank) boleh dimakan. karena sifat/haal ‘berlipat ganda’ di sini bukan sifat/haal muqayyidah, tapi sifat/haal kaasyifah yg menjelaskan bahwa kebanyakan model riba yg ada saat ayat ini turun adalah riba berlipat ganda ala jahiliyyah. Contoh lainnya pada ayat (ولا تكرهوا فتياتكم على البغاء إن أردن تحصنا لتبتغوا عرض الحياة الدنيا) yg artinya: “Janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melacur BILA MEREKA INGIN MEMELIHARA KEHORMATANNYA, hanya karena kalian menginginkan materi duniawi…”. Ini juga sifat/haal kaasyifah yg tidak bisa difahami bahwa jika si budak memang tidak ingin memelihara kehormatannya, maka boleh kita paksa melacur lalu uang hasil pelacurannya kita makan. Sama sekali tidak. Ayat ini sekedar menyifati/menjelaskan keadaan orang-orang jahiliyyah yg kerap memaksa budak-budak wanita mereka untuk melacur.
Demikian pula dalam hadits Muttafaq ‘alaih yg berbunyi (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد) Siapa yg membikin perkara baru dalam urusan kami ini (agama) yg mana ia bukan bagian dari agama, maka perkara tsb tertolak.
Yg bergaris bawah dalam terjemahan hadits di atas adalah kalimat yg menjelaskan bahwa semua perkara muhdats adalah bukan bagian dari agama, dan ia tertolak. Dan tidak bisa difahami bahwa bila perkara muhdats tersebut adalah bagian dari agama, maka ia tidak tertolak.
Demikian pula dalam hadits yg difahami secara terbalik tsb. Rasulullah mengatakan (يقودكم بكتاب الله… ما أٌقام فيكم كتاب الله) bukanlah sifat/haal muqayyidah, karena kita memiliki qarinah kuat berupa realita mayoritas umara’ dari masa Nabi hingga menjelang runtuhnya khilafah, semuanya berhukum dengan kitabullah. Jadi, jelaslah bahwa kata-kata tsb tidak memiliki mafhum mukhalafah yg mu’tabar. Alias tidak bisa difahami bahwa bila ybs tidak menggiring rakyatnya berdasarkan kitabullah kita suruh berontak… tidak demikian akhi. Bukti lainnya ialah sikap Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam menghadapi para khalifah yg memaksakan kekafiran kpd para ulama (Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq). Beliau mengkafirkan ucapan bhw Al Qur’an itu makhluk. Bahkan menurut Al Khollal, beliau mengkafirkan Al Ma’mun scr personal. Namun tetap melarang angkat senjata. Bahkan setelah Khalifah Al Watsiq menyembelih sahabat imam Ahmad bernama Ahmad bin Nashr Al Khuza’iy, beliau tetap melarang para tokoh masyarakat dan ulama untuk berontak, demi menghindari pertumpahan darah. Beliau hanya menyuruh agar bersabar sampai orang-orang yg baik istirahat, atau diistirahatkan dari si bejat.
Ketika Imam Ahmad ditanya mengapa beliau tidak mengizinkan untuk berontak dengan senjata? Jawab beliau: “Aku khawatir timbul fitnah”. Mereka pun balik bertanya: “Lho, bukankah saat ini kita sudah terkena fitnah” (karena dipaksa mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, padahal ini perkataan yg disepakati sebagai kekafiran akbar).
Maka kata Imam Ahmad, “Iya benar, namun fitnah saat ini sifatnya terbatas pada para ulama. Dan bila terjadi pemberontakan, maka fitnah ini akan melanda siapa saja”. Artinya, saat itu hanyalah para ulama yg ditindas oleh penguasa dan dipaksa mengatakan kata-kata kufur tsb, sedangkan masyarakat secara umum tidak mendapat tekanan. Akan tetapi bila terjadi pemberontakan, maka semuanya akan merasakan dampak buruknya.
Kesimpulannya: Pemimpin yg tidak menegakkan kitabullah, tidak lantas diabaikan statusnya sebagai pemimpin. Sebab menegakkan kitabullah pun sifatnya nisbi… Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq pernah melakukan dan memaksakan sesuatu yg diyakini oleh Ahlussunnah sebagai kekufuran, yg konsekuensinya mereka telah mengganti ajaran kitabullah dengan ajaran bid’ah/kufur. Namun itu tidak cukup dijadikan alasan untuk melengserkan mereka. Alasannya, karena mereka masih punya penghalang untuk dikafirkan, atau karena pemberontakan tsb akan menimbulkan mafsadat yg lebih besar.
Wallaahu ta’ala A’lam.
Bismillah, sholatu wassalam ala rasulillah.
Ijinkan saya sedikit berkomentar sekaligus bertanya ya ustadz Sufyan..
#1. Antum mengatakan: lantas semua minoritas muslim di negara-negara kafir diwajibkan melawan penguasanya, bagaimana kiranya nasib mereka? | Saya bertanya dan berkomentar: Apakah ada pernyataan demikian untuk melawan dg berperang? Melawan memiliki arti yang luas ya ustadz… Dan bukankah memang terhadap penguasa kafir itu kita harus melawan? Dengan kemampuan terkecil tentunya. Wallahu a’lam.
Jawab: Yg saya maksud adalah perlawanan fisik yg menyebabkan ditumpashabisnya minoritas muslim. Bukan melawan dengan menjelaskan kebatilan secara ilmiah dan dengan mengindahkan dhawabit inkarul munkar. kalau yg spt ini maka disyariatkan dan menjadi kewajiban setiap muslim yg mukim di negara kafir.
#2 Ustadz mengatakan: Bukti lainnya ialah sikap Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam menghadapi para khalifah yg memaksakan kekafiran kpd para ulama (Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq). Beliau mengkafirkan ucapan bhw Al Qur’an itu makhluk. Bahkan menurut Al Khollal, beliau mengkafirkan Al Ma’mun scr personal. Namun tetap melarang angkat senjata. Bahkan setelah Khalifah Al Watsiq menyembelih sahabat imam Ahmad bernama Ahmad bin Nashr Al Khuza’iy, beliau tetap melarang para tokoh masyarakat dan ulama untuk berontak, demi menghindari pertumpahan darah. |
Saya berkomentar dan bertanya: Tempo hari, Kapolri mengatakan bhw Abu Bakar Ba’asyir adl penyebab terorisme di Indonesia. Sebabnya krn buku Tadzkiroh yg isinya takfir. Begitu Abu Bakar Ba’asyir diminta syarah atas buku Tadzkirah-nya, Ba’asyir mengatakan bhw Takfir yg disebutkannya adalah takfir ‘Am, bukan takfir muayyan. Artinya takfir yg bersifat peringatan bukan penghukuman. Misalnya: Anggota-anggota DPR/MPR yg membuat UU melawan hukum Allah, menghalalkan yg haram dan mengharamkan yg halal itu adalah kafir. Tp saat ditanya apakah Dr. Hidayat Nur Wahid yg mantan Ketua MPR itu kafir, mk dijawab tidak demikian. Itu tugas HAKIM Syar’i, bukan da’i.
Bukankah kalam Abu Bakar Ba;asyir itu jg sama dengan kalam Imam Ahmad? Dan sejauh yang saya ketahui baik dr media maupun dari orang2 yg terpercaya, Abu Bakar Ba’asyir tidak memerintahkan untuk memberontak dan melawan dg perang thd SBY. Bahkan Ba’asyir justru berkali2 menasehati SBY dg buku2 peringatan agar SBY mematuhi Syariat Islam. Mungkinkah hal tersebut dilakkukan oleh Khawarij ya ustadz?
jawab: Ana tidak bisa menghukumi sebelum membaca buku tadzkiroh yg dimaksud… karena boleh jadi seseorang menuliskan sesuatu yg dhahirnya takfir kpd suatu instansi tertentu spt ABRI atau DPR/MPR tanpa mengiringinya dengan penjelasan bhw yg dimaksud adalah takfir ‘aam bukan mu’ayyan. Adapun apakah sikap Ustadz Ba’asyir sama dengan Imam Ahmad? maka jawabnya tidak. Karena yg dikafirkan oleh imam Ahmad adalah sesuatu yg telah disepakati oleh para ulama akan kekafirannya, spt al qoul bikhalqil qur’aan. Nah, apakah kafirnya DPR atau berparlemen itu sesuatu yg disepakati???
#3 ustadz mengatakan: Ketika Imam Ahmad ditanya mengapa beliau tidak mengizinkan untuk berontak dengan senjata? Jawab beliau: “Aku khawatir timbul fitnah”. Mereka pun balik bertanya: “Lho, bukankah saat ini kita sudah terkena fitnah” (karena dipaksa mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, padahal ini perkataan yg disepakati sebagai kekafiran akbar).
Saya berkomentar: Bahkan kalam Imam Ahmad pun sama persis dengan Abu Bakar Baasyir saat mengomentari tentang Jihad. Ba’asyir mengatakan baik di media maupun secara personal (dan ini banyak diketahui oleh para wartawan2 baik Islam maupun sekuler), agar kalau berjihad (Qital) tidak di Indonesia. Tapi dilakukan di bumi jihad seperti Palestina, Kashmir, Afghan, Suriah, Yaman, Nigeria, dll. Bahkan Ba’asyir mengecam aksi ‘jihad’ di Indonesia. Kenapa? Alasannya sama dengan Imam Ahmad, yaitu menghindari fitnah. Bukankah dalam hal ini Abu Bakar Ba’asyir juga berada dalam kebenaran ya ustadz? Bukankah ini akidah Ahlus Sunnah?
Jawab: kalau memang dia mengecam aksi ‘jihad’ ala Imam Samudera dan yg sepertinya… maka konsekuensinya ia tidak boleh menganggap pelakunya sbg mujahid. Ini namanya kontradiksi. Imma dia bilang jihad versi mereka itu bukan jihad syar’i shg mereka tidak boleh dijuluki sbg mujahid. wa imma mereka mujahid dan jihadnya berarti syar’i. Harus tegas dong… ini sama dengan mengatakan bhw ada seorang yg shalatnya tidak sah, namun tetap dianggap mushalli/org yg shalat. Atau orang yg puasanya tidak sah, namun tetap dianggap sha-im, dst… Hadza tala’ub bil ahkaam asy syar’iyyah, walaisa haadza minal haqqi fii syai’.
*hanya saja memang kami melihat, meskipun Ba’asyir mengecam aksi jihad di Indonesia, namun ketika para ‘teroris’ itu tewas ditembak Densus 88, Ba’asyir memang tetap menyolatkan mereka para ‘teroris’ itu dan menganggap mereka sbg Mujahid. Kenapa? Kami memahamai dan memang demikian yg disampaikannya bahwa hal itu bukanlah berarti ia mendukung langkah para teroris. Tapi itu dilakukannya sebagai Kewajiban Kifayah seorang muslim. Baasyir anggap mereka teteaplah seorang Mujahid, meskipun mereka berada dalam langkah yang salah krn memaksakan diri untuk berperang di Indonesia. Bukan sbg bentuk dukungan dia kpd mereka. Bukankah sikap Ba’asyir yg demikian itu juga benar sesuai Ahlu Sunnah ya ustadz?
jawab: Kalau ana dan banyak orang akan memahami bhw menyolatkan mereka berarti dukungan nyata thd mereka. Atau minimal Ustadz ABB dianggap kontradiksi antara ucapan dengan perbuatan. Bahkan para fuqaha’ menyebutkan bahwa seorang fasik yg mati membawa dosa besar tidak semestinya dishalatkan oleh orang yg dianggap tokoh/alim ulama, sebagai bentuk pelajaran kpd orang lain agar jangan mengikuti dosa si mayit. Silakan dia disolatkan, tp oleh awam muslimin saja. Bukankah Nabi pernah hampir tidak menyolatkan sahabatnya yg mati dgn membawa hutang 3 Dinar, hingga hutangnya dilunasi oleh Abu Qatadah? (HR. Bukhari). simak pula hadits berikut (ana copas dr Al Muntaqa min Akhbaaril Musthafa, karya Majduddien Ibnu Taimiyyah (kakek Syaikhul Islam)):
تَرْكُ الْإِمَامِ الصَّلَاةَ عَلَى الْغَالِّ وَقَاتِلِ نَفْسِهِ
1403 – (عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ «أَنَّ رَجُلًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ تُوُفِّيَ بِخَيْبَرَ، وَأَنَّهُ ذُكِرَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ، فَتَغَيَّرَتْ وُجُوهُ الْقَوْمِ لِذَلِكَ؛ فَلَمَّا رَأَى الَّذِي بِهِمْ قَالَ: إنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَفَتَّشْنَا مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا فِيهِ خَرَزًا مِنْ خَرَزِ الْيَهُودِ مَا يُسَاوِي دِرْهَمَيْنِ.» رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلَّا التِّرْمِذِيَّ) .
1404 – (وَعَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ «أَنَّ رَجُلًا قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -» رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا الْبُخَارِيَّ) .
Hadits yg pertama menurut Asy Syaukani rijaalnya rijaalus Shahih, sedangkan hadits yg kedua jelas shahih krn tercantum dlm shahih muslim.
Simpulkan sendiri… mana lebih layak utk tidak dishalatkan: org yg mati masih punya hutang… org yg mengambil ghanimah sblm dibagi oleh imam… org yg mati bunuh diri (tanpa menewaskan muslim lainnya)? Ataukah yg melakukan aksi pengeboman dgn dalih jihad sehingga menewaskan sejumlah kaum muslimin, atau org kafir yg tidak halal dibunuh?
#4 Ustadz mengatakan: Kesimpulannya: Pemimpin yg tidak menegakkan kitabullah, tidak lantas diabaikan statusnya sebagai pemimpin. Sebab menegakkan kitabullah pun sifatnya nisbi…
Saya berkomentar: Dan itu pula sikap yg diambil mereka orang2 yg ingin menegakkan Syariat Islam dan mereka yg berharokah yg saya kenal. Kecuali sebagian kecil dari mereka yg ghuluw dlm takfir dan tabdi’.
Tanggapan: keberadaan mereka -walau antum anggap minoritas di kalangan harokiyyiin- tetap harus diwaspadai. Satu orang pun harus ditahdzir kalau dia berpengaruh luas… apalagi jika mereka punya media massa. Bukankah Rasulullah mentahdzir Dzul Khuwaisirah at Tamimi sbg cikal bakal khawarij pdhal dia seorang diri kala itu? Bukankah para ulama yg hidup sezaman dengan Al Hasan bin Shalih bin Hayy spt Imam Sufyan Ats Tsauri dll demikian pedas dlm mengkritik dan mentahdzirnya? Padahal dia belum khuruj scr fisik… baru khuruj lewat sikap dan ro’yunya saja, alias minal khawarij al qa’adiyyah?? jadi, salahkah kalau ana atau ustadz yg lain mentahdzir golongan yg antum anggap ‘sebagian kecil’ (tapi sangat berbahaya tsb)?
#5 Di artikel sebelah, ustadz juga mengatakan bahwa Taliban itu sangat jahat. Apa kejahatannya ustadz? Akankah ustadz begitu saja mempercayai kesaksian seseorang meskipun di bawah sumpah terhadap satu atau sepluh orang Afghan yg non Pashtun tentang komentar mereka terhadap Taliban namun ustadz tak mengambil Bayan dari mereka kalangan Taliban? Lalu dimanakah letak keadilan ustadz di dalam mengambil kesaksian ya ustadz?
Jawab: Diantara kejahatan yg disebutkan oleh kawan saya tsb ialah slogan mereka saat pertama kali muncul adalah laa wahhaabiyyah, laa salafiyyah, dst. lalu stlh Bin Laden bergabung, merekapun menghapus slogan tsb (hanya slogannya, bukan pemikirannya). Selain itu, mereka menyingkirkan etnis non-pashtun secara paksa, shg terbentuklah aliansi utara demi mempertahankan hak hidup mereka di bumi afghanistan. Itu diantara ‘kejahatan’ thaliban yg disebutkan. Maka ana pun protes: Lho, bukankah mereka menghancurkan patung Buddha raksasa? Lalu jawab teman ana: Itu patung tidak ada yg mempedulikannya di Afghanistan… tidak ada yg menziarahi. Adapun kuburan2 keramat spt yg ada di Mazar e-syarif tetap eksis. Ini apa artinya? Lagipula, asal-usul thaliban bukanlah dari ahlussunnah, namun dari kelompok Dyobandi (mulla Umar sendiri adalah seorang Dyobandi). Ahlussunnah di Afghanistan itu diwakili oleh kalangan ahlul hadits (markas mereka ada di Kunar) dan banyak madrasah mereka yg ditutup oleh thaliban secara paksa -wallaahu a’lam-. Ala kulli haal, thaliban punya kelebihan memang… yaitu dalam menerapkan syariat (walau ana tidak tahu apakah tauhid juga diterapkan dan praktik2 syirik diberantas, atau hanya hudud saja… sebab syariat paling utama adalah tauhid).
Bukankah Taliban merupakan pemerintahan Islam yang sah sebelum dihancurleburkan oleh AS dan sekutunya, bahkan diakui kemerdekaannya oleh Saudi, Pakistan, & Sudan (CMIIW)? Lalu apa yang salah dengan Taliban jika saat ia dijatuhkan oleh pemerintahan kafir AS lalu mereka kembali merebutnya dan saat ini kembali berkuasa secara de facto kemudian disebut sebagai kejahatan dan sikap yg tidak ahlu sunnah?
Bahkan seorang wartawan Inggris pun masuk Islam setelah mereka menyaksikan keteladanan yg diperlihatkan Taliban dalam berislam dan menjalankan Al Quran dan Sunnah. Lalu apanya yg jahat ustadz? Apakah perlawanan yg jelas dan sangat jelas mereka terhadap AS, dan sekutunya masih saja antum katakan sbg perbuatan jahat?
Jawabannya sudah ana sebutkan tadi. Antum salah menafsirkan ‘jahat’ yg ana maksud, jadi semua pertanyaan antum ini tidak ada sangkut pautnya dgn kejahatan thaliban yg ana sebutkan berdasar kesaksian kawan ana yg org afghan asli.
Ustadz, kalau boleh saya mohon izin memberi nasehat, seburuk apapun mereka Taliban, mereka adl pemimpin umat Islam yg sah di Afghan, mereka telah puluhan tahun berjihad, debu2 mereka saksinya. Apakah antum akan senantiasa mencari2 cela dan kekurangan mereka yg sekali dua kali melakukan kesalahan baik fatal maupun tidak?
Jawab: Andai saja antum bersikap sama saat pemerintah Arab Saudi dihujat dan bahkan dikafirkan oleh banyak kalangan spt Al Qaidah, Ust. Aman cs dll… ataukah yg ‘ma’shum’ dan tidak boleh dikritik khusus mereka yg ‘berjihad’ (lepas dari syar’i/tidaknya jihad mereka)? Apakah Saudi bukan pemerintahan yg sah di wilayahnya? Apakah mereka tidak punya jasa terhadap kaum muslimin di seluruh dunia selama ini?
Manakah yg lebih berjasa thd kaum muslimin, pemerintah thaliban yg baru berkuasa beberapa tahun lalu tumbang, ataukah Arab Saudi -dengan segala kekurangannya- yg telah eksis selama puluhan tahun? Apakah hanya karena Saudi tidak melawan AS dengan senjata, otomatis mereka adalah antek AS, dan ‘halal’ dihujat bahkan dikafirkan… atau minimal tidak perlu dibela ketika dikafirkan?
Yaa akhi, kita mengritik bukan karena tidak senang. Tapi dalam rangka menjelaskan kekeliruan sesuai dgn ilmu yg kita miliki (ana bicara atas nama pribadi dan kawan-kawan). Tidak ada seorang pun yg bebas kritikan, jangankan mujahid… seorang sahabat saja boleh dinyatakan keliru jika memang dia keliru (dengan tetap menjaga respek kita tentunya). Kenapa antum mesti sinis? Apa thaliban lebih terhormat dari seorang ahli hadits yg terkenal dengan kewara’an, keshalihan, dan ketakwaannya (namun sekali lagi dia seorang khawarij qa’adiyyah) spt Hasan bin Shalih bin Hayy? Justru dengan mengritik tokoh/kelompok yg keliru namun dikagumi banyak org tsb ana telah berbakti kepadanya, sebab ana mencegah orang lain mengikuti kesalahan ybs. inilah jawaban yg diberikan oleh Yusuf bin Asbath saat ditanya: Mengapa dia mengritik imam Waki’ bin Jarrah dengan menganggapnya mirip dengan ustadz-nya yaitu Hasan bin Shalih bin Hayy. Silakan baca dlm biografi hasan bin shalih bin Hayy di Tahdzibut Tahdzib. Biar antum tahu bahwa manhaj ahlussunnah tidak pilih kasih dalam menjelaskan kekeliruan. Makin berpengaruh orangnya, maka makin keras juga teguran para ulama thdpnya. Kecuali jika ybs adalah penguasa, maka disikapi dengan cara halus. jadi, tidak bisa disamakan antara Imam Ahmad yg mengingkari kesalahan penguasa dengan sikap ustadz ABB yg mengingkari kesalahan para terduga teroris td. Walaupun yg diingkari sama-sama muslim. Tidak sama pula saat kita mengingkari pihak yg bukan penguasa kita, dengan mengingkari pihak yg merupakan penguasa kita. wallahu a’lam.
Termasuk kepada AQAP, ya ustadz? Bukankah AQAP juga datang membantu Saudara2 kita di Darul Hadits Dammaj dr serangan Syiah Houti? Knp kedatangan dan bantuan mereka yg masih saudara kita justru ditolak bahkan mereka kita lempari batu sendiri?
Inikah akidah ahlu sunnah ya ustadz?
Jawab: Subhaanallaah… antum lupa dgn tragedi pembantaian di RS militer Al ‘Urdhy bbrp bulan lalu yah? Bukankah AQAP mengakui hal tsb sbg kesalahan mereka? Bahkan ada dugaan kuat AQAP terlibat dlm pembunuhan salah seorang ulama Hadhramaut yg bernama Syaikh Ali bin Salim Bawazir (murid syaikh Muhammad Amin Syinqiety, Syaikh Utsaimin, dll)… karena beliau demikian tegas menolak keberadaan AQAP di Hadhramaut dgn praktek pembunuhan yg mereka lakukan thdp para petinggi militer Yaman. Beliau konon pernah mendapat ancaman akan dibunuh oleh AL Qaidah jika tidak bertaubat. Silakan simak salah satu video beliau disini.
Alhamdulillah, ana kenal dekat dengan ikhwah yg berjihad di Kitaf saat pengepungan Dammaj pertama maupun yg akhir-akhir ini, dan salafiyyin memang menolak keikutsertaan AQAP secara tanzhim dalam pembelaan thd Dammaj, adapun secara personal maka tidak ada yg bisa menolaknya, dan salafiyyin pun sangat tidak memerlukan kehadiran mereka yg justru akan menimbulkan mudharat besar karena mengundang campur tangan AS yg drone-drone nya selalu memantau dan berkeliling, dan begitu mereka mendapatkan alasan utk menyerang salafiyyin karena adanya oknum-oknum AQAP yg menyusup, maka akan sangat mudah sekali… dan ini tentunya madharat besar. Jadi, nggak usah bangga kalau AQAP ikut membela DAMMAJ, karena pembelaan mereka sama sekali tidak akan membawa maslahat, justru membikin salafiyyin dikait-kaitkan dgn Al Qaedah. fafakkir wa taammal yaa akhi..
#6 Ustadz di artikel lain juga berkomentar dan mempercayai bahkan cenderung meyakini bahwa Firasat Syaikh Shalih Fauzan adalah benar dan seolah mengajak kita untuk mengikuti firasat seorang ulama besar
Ijinkan saya berkomentar dan bertanya: Apakah mempercayai firasat seorang ulama itu bagian dr akidah Ahlu Sunnah ya ustadz? apakah tindakan seperti itu diperbolehkan dalam Islam?
Jawab: Na’am ya akhi… apa faedahnya kita disuruh bertanya kpd para ulama kalau pendapat dan firasat mereka kita acuhkan saja. Syaikh Al Fauzan berfirasat demikian saat menjawab pertanyaan seputar jihad di suriah. Jadi jawaban beliau itulah yg ana maksud dgn firasat, dan ternyata terbukti sudah. kalau antum mau minta landasannya, maka cukuplah firman Allah Fas-aluu ahladzdzikri in kuntum laa ta’lamuun.
Lalu adakah bedanya dengan kemampuan ‘kasyaf’ seorang kyai atau ulama2 tasawuf yg memberikan saran kepada muridnya lalu muridnya mentaatinya dikarenakan yg berbicara di matanya adalah seorang ulama besar? Apakah demikian diperbolehkan ustadz?
Jawab: Jelas bueda lahh… keke ente ya akhi? masak firasat ilmiah seorang ulama ahlussunnah ente samakan dengan kasyaf sufi?
#7 Dari Beberapa tulisan ustadz terakhir, saya tidak melihat tulisan ustadz terkait Suriah dan segala problematikanya hari ini. Lalu bagaimana sikap ustadz dan apa usaha ustadz dalam persoalan Suriah ini?
Jawab: Ana tidak setuju dengan revolusi suriah sedari awal, sebagaimana pendapat para ulama ahlussunnah yg mu’tabarin. Adapun apa yg terjadi hari ini, maka ana sangat prihatin dan terkadang menyimak berita di internet, namun jadi tambah sedih karena tidak bisa apa-apa. Hanya tinggal doa dan bantuan material yg mungkin bisa ana lakukan… Lagipula, ana bukanlah ulama atau tokoh umat yg berpengaruh sehingga harus menulis artikel khusus ttg suriah. toh ini bukanlah sesuatu yg fardhu ‘ain.
#8 Ustadz, beberapa waktu terahir ini, saya cukup banyak membaca buku2 terkait Al Qaidah yang ditulis di dalam nya sedang membangun sebuah peradaban Islam. Di dalam buku tulisan Hazim Al Madani dan Abu Mush’ab As Suri disebut sebagai Ideolog Al Qaedah, mereka berdua masing-masing menulis buku, yakni “Hakadza Naral Jihad wa Nuriyduhu” dan “Da’watu Al Muqawwamatu Al Islamiyyah Al Alamiyyah Nadzoriyatu Siyasiyatu” yang digabung dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Visi Politik Gerakan Jihad.
Di dalam buku itu dengan cukup detail dijelaskan tahapan2 Al Qaidah dalam membangun peradaban Islam. Poinnya, dalam buku itu dijelaskan berbagai jurus untuk menciptakan sebuah pola gerak jihad yang konstruktif (membangun); analogi perekrutan massa sekaligus menetralisir kekutan lawan, pembangunan opini publik, memelihara miftah sharra‘ (poin kunci perlawanan), hingga yang PALING PENTING adalah bagaimana memfokuskan titik pukul pada prioritas musuh di tegah-tengah kemampuan diri yang serba terbatas. Bagian paling penting itu secara teknis disampaikan misalnya menyangkut Wajibnya merangkul umat Islam secara umum siapapun mereka selama ahlu sunnah. Menghentikan pemberontakan2 di negeri2 Islam yg pemerintahnya tdk melarang kegiatan2 keislaman. Mengajak umat untuk mempersiapkan diri dalam berjihad segala bidang. Memfokuskan musuh pada Syiah dan Yahudi serta AS. Simpulannya, kok di dalam buku itu tidak ada konsep takfir2 muayyan yang sangar sebagaimana yg ustadz sebutkan di banyak artikel tentang Al Qaidah ya ustadz? Apakah (maaf) jangaan2 ustadz tahu Al Qaidah hanya dari Media2 di Saudi yg sejauh ini sudah dikenal kurang ada dinamikanya. Hanya sampaikan yg pro pemerintah (mirip TVRI jaman Presiden Soeharto kalau di Indonesia lah). Padahal faktanya Al Qaidah tdk sedemikian ghuluw nya dalam takfir. Bahkan banyak ulama2 Al Qaidah yg menulis buku2 tentang larangan Ghuluw fi takfir. Terakhir dalam kasus Suriah, bahkan Al Qaidah mengecam habis2an bahkan berlepas diri dari Daulah Islam Iraq wa Syam (Da’isy/ISIS). Karena aapa? Karena ISIS tdk menghargai rakyat Suriah dan ghuluw dalam takfir. Bukankah dengan demikian Al Qaidah ini juga berakidah ahlu sunnah dan tidak gampang mengkafirkan umat Islam scr muayyan?
Jawab: hehehe… ana minta pernyataan resmi dari semua tokoh Al Qaidah spt Adh Dhawahiri, AQAP, Jabhatun Nusrah dll bahwa mereka sependirian dengan apa yg antum nukilkan dari Abu Mus’ab As Suri dan Al Maidani tsb. Lalu ana minta agar semua petinggi Al Qaedah mengingkari secara mendetail semua aksi2 yg dilakukan Al Qaedah di negeri-negeri muslim spt Arab Saudi, Yaman, dll yg banyak menewaskan pihak-pihak yg tidak halal dibunuh dengan dalih jihad. Kalau sudah ada pernyataan spt itu, barulah ana ‘percaya’ bhw Al Qaedah bukan takfiri… adapun selama tokohnya saja spt Bin Laden masih muji-muji pelaku peledakan Kompleks Al Muhayya di Riyadh th 2003, (dan ana sempat nonton video yg mereka ciptakan yg berjudul Ghazwatu Badr Ar Riyadh, jadi bukan nukil dari kelompok lain spt sangkaan antum. Ana juga punya koleksi lebih dari 20 jilid majalah Soutul Jihad yg kerap memuat pernyataan2 resmi Al Qaedah terkait operasi militer yg mereka lakukan).
Kalau cuma satu dua orang yg nulis kaya gitu maka tidak bisa jadi rujukan… lagi pula ana belum baca tulisan tsb sehingga tidak bisa menilai sejauh mana kebenaran pendapat mereka. kalau antum punya penilaian spt itu ya itu pendapat pribadi antum. Tidak mengikat sama sekali.
Di FB, sy juga mengenal akun Dehyah Akram yg konon aslinya bernama Fuad Hazimi, salah seorang anggota Majelis Syariah Jamaah Ansharut Tauhid. Disitu dia menjelaskan bahwa JAT tdk menganut faham takfiri dan takfir muayyan. Tdk anggap anggota DPR scr personal kafir atau murtad begitu saja, termasuk SBY dan lain2. Silakan antum rujuk ke FB dia sekiranya saya barangkali ustadz anggap berbohong. Saat saya tanya kenapa melakukan demikian, dia (Fuad Hazimi) mengatakan, bahwa dia ingin menyadarkan umat akan bahaya takfir dan ghuluw fi takfir. Bahkan ia rela jika sampai disebut sbg murjiah jika tindakannya itu disebut sbg perilaku murjiah. Dari diskusi2 saya ini dengan mereka yg konon disebut sebagai JI/Al Qaidah/Teroris dan sejenisnya ini kok hampir sama ya dengan Salafy? Bedanya, mereka justru lebih lembut kepada umat Islam. BEda dengan kaum Salafy di tempat saya yg tabiatnya justru keras terhadap saudara2 saya dari kalangan NU hingga mereka saling membenci. Naudzubillahi min dzalik.
Tanggapan: Alhamdulillah kalau JAT tdk spt itu… tp sekali lagi, tokoh-tokoh JAT lainnya spt Ustadz ABB bagaimana? Karena dalam menilai suatu harokah, kita harus melihat kpd tokoh2 atau pendirinya, atau kitab-kitab yg menjadi dasar pergerakan mereka. Bukan kepada tulisan personal yg mungkin hanya mewakili dirinya sendiri, bukan mewakili harokah tsb.
Adapun salafy yg antum anggap lebih keras, maka boleh jadi itu oknum salafi, dan bukan rujukan salafiyyin secara umum. Karena memang banyak sekali yg ngaku salafi tapi tidak salafi. Siapa yg antum maksud? Kalau luqman Ba’abduh cs ya jangan dianggap sbg tokoh salafi… kalau mau ngritik, ya kritiklah ulama-ulama yg jadi rujukan, bukan ustadz2 lokal, karena kalau ustadz2 lokal dikritik maka tidak ada habisnya dan mereka tidak mewakili salafiyyiin. faham?
Jadi ustadz Sofyan, kesimpulan saya dalam komentar dan pertanyaan ini, saya ingin bertanya bukankah mereka2 itu juga saudara2 kita? Lalu kenapa harus kita buka aib2nya? Bukankah mereka juga pejuang? Meskipun mereka sekali dua kali salah dan keliru, bukankah Islam megajarkan untuk menasehati dengan cara yg ma’ruf? Kalau semua dibahas dengan tulisan dan itu dianggap sbg upaya jihad dlm menegakkan hujjah dan kebenaran masing2, lalu apa bdeanya dengan perpecahan? Bukankah perpecahan itu muncul krn semua saling merasa paling benar dan diikuti dengan sikap menyalahkan serta membenci lawannya?
Jawab: Buktikan bahwa semua yg berjihad jihadnya pasti syar’i dan diterima Allah. lalu dengan jihad tsb mereka tidak boleh dikritik atau dijelaskan kesalahannya.
Ana nggak habis pikir dengan cara berpikir orang-orang model antum… bolak-balik selalu beralasan bhw mereka saudara kita… mrk sdah berjihad… sdh berkorban harta benda… dst. So wha? Ma’shum yakni? Ya akhi.. dlm shahihain disebutkan bahwa pada suatu peperangan yg DIPIMPIN OLEH RASULULLAH, ada seorang mujahid yg demikian luar biasa jasanya. Dia sudah banyak sekali menumpas musuhnya, sampai2 PARA SAHABAT menganggapnya orang paling berjasa hari itu. TAPI APA KOMENTAR RASULULLAH? HUWA FINNAAR!! … alhadits. Nah, mujahid yg jelas jihad dibawah panji2 Rasul, dan dipuji oleh PARA SAHABAT –bukan oleh org2 spt kita yg awam dan tidak berilmu– saja ternyata jihadnya tidak menghalangi dia utk mjd penghuni neraka dan mendapat kritikan pedas dari Rasulullah. Apalagi ‘mujahidin maz’um’ hari ini… Menjelaskan kekeliruan adalah bagian dari nahi munkar, bukan berpecah belah. Yg berpecah belah adalah yg keluar dari manhaj ahlusunnah, walaupun mereka mayoritas.
Ustadz yg sy ketahui dr artikel2 ini adalah calon Doktor Islam. Tentunya ustadz ingin jika umat Islam ini berjaya kembali. Dan mustahil Islam berjaya jika umatnya saja berpecah belah. Saling mengklaim kebenaran. Apa tidak ada cara lain selain saling merendahkan? Apa tdk bisa untuk setidaknya saling berbicara, berkomunikasi, dan membangun perjuangan bersama? Bukankah tak lengkap Ahlu Sunnah itu sebelum Berjamaah? Wallahu a’lam.
Jawab: Tidak ada itu gelar doktor islam… yg ada doktor saja, atau doktor muslim. Ana bukan mengklaim paling benar, tapi sekedar menjelaskan apa yg ana yakini benar beserta dalil-dalilnya. yang mau menerima alhamdulillah, dan yg belum bisa menerima ya tidak masalah. Tapi selama apa yg ana yakini sebagai kekeliruan tadi tetap eksis di lapangan dan ada yg mengikutinya, maka ana berkewajiban nahi munkar lewat tulisan. Wallaahul muwaffiq.
Akhiru kalam. Barakallahu lakum ya ustadz. Ma’akumun Najah. As Salamu’alaikum wa rahmatullah.
Jawab: Wafiikum baarakallaah, wa jazaakumullaah wa a’tadzir minkum idzaa hasola syai-in minasy syiddati fil ‘ibaaraat. Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, senang melihat Ustadz bisa aktif menulis lagi, pertama-tama saya tidak tahu pasti apakah pertanyaan saya relevan atau tidak (atau bahkan terlalu jauh)dengan artikel Ustadz mengenai walliyul ‘amri, jika dikaitkan dengan Hadits (Hadits Dha’if ?) yang mengabarkan bahwa:”…..akan ada sekelompok orang (pasukan?) yang datang dari arah timur membawa bendera hitam……..siapapun di antara kalian yang melihatnya (saat itu)bersegeralah untuk menemuinya walaupun harus merangkan di atas salju.” Kalau memang Hadits itu valid untuk dibahas, bagaimana keadaan Kaum Muslim saat itu, apakah jika saat itu terjadi Kaum Muslim harus mengabaikan ‘walliyul ‘amri’ mereka masing-masing dan melepaskan diri dari pengkotakan berupa negara? Mohon penjelasannya, syukron jazakallahu khairan
Assalamu’alaikum Ustadz.. Sebagai pemula dalam menuntut ilmu, kitab-ktab apa saja yg dipelajari biar ndak kebingungan tersebab banyak sekali buku2 yg rancu. Kita apa saja yg di rekomendasikan untuk dipelari dalam bidang:
1. Aqidah
2. Fiqih
3. Ushul fiqih
4. Musthalah hadits
5. Dst…
Kitab yg dari ulama salaf…
Jazakallah khaer
Wa’alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh. Ya Akhi, yg tak kalah pentingnya ialah antum harus belajar dari ustadz yg mumpuni di bidang masing-masing, mulai dari akidah dulu, baru kemudian ilmu-ilmu lainnya. Sebab kalau hanya belajar dari kitab, maka ini bukan cara yg sesuai dgn manhaj salaf… kitab tidak akan bisa meluruskan pemahaman yg keliru, justru mungkin terjadi salah cetak, tahrif, atau tashif yg berbahaya… Kalau antum faham bahasa Arab dgn baik, maka dengarkanlah syarah-syarah kitab tauhid, usuluts tsalatsah, al qowa’idul arba’ oleh para masyayikh ahlussunnah terkenal. Karena buku-buku terjemahan sangat tidak terjamin keakuratannya, dan ana tidak berani merekomendasikan apa pun yg berupa terjemahan, kecuali bila antum pelajari melalui ustadz yg mumpuni. wallaahu a’lam.
Adapun dari ulama salaf, maka memerlukan org yg ahli di bidangnya, mengingat mereka (ulama salaf, alias ulama yg hidup di abad 1,2 atau 3 H) memiliki sejumlah istilah yg artinya berbeda dgn yg populer hari ini, dan ini sering disalahfahami oleh org yg tidak mengerti istilah mereka sehingga menimbulkan kerancuan. Namun kalau yg antum maksud adalah kitab dari ulama salafi, maka spt yg ana contohkan tadi…
Akidah: Al Qowa’idul Arba’, Usuluts Tsalatsah, Kitabut Tauhid, Kasyfusy Syubhuhat, Aqidah Wasithiyah.
Fiqih: Mulai dari fiqih ibadat, spt hukum toharoh, shalat, shaum, zakat dan haji. Antum bisa baca dari kitab-kitab hadits yg disyarah spt umdatul ahkam, bulughul maram, dan semisalnya. Atau dari kitab fiqih ringan spt Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd. Atau syarah zaadul mustaqni’ oleh Syekh Utsaimin.
Ushul Fiqih: mulai dari syarah Al Waraqaat oleh Al Juwaini.
Musthalah Hadits: mulai dari Syarah Nukhbatul Fikar, atau syarah Manzhumah Al Baiquniyyah.
Sebagian besar matan-matan dasar tadi telah dikaji secara ringkas oleh Syaikhuna Syaikh Shalih bin Abdillah bin Hamad Al ‘Ushaimi, dalam daurah bertajuk Muhimmaatul ‘ilmi yg diadakan setiap tahun di Mesjid Nabawi selama seminggu penuh, dengan durasi 10 jam tiap harinya! (selain Jum’at). Antum bisa googling dengan mengetikkan (مهمات العلم الشيخ صالح العصيمي) ini bila antum memahami bahasa Arab. namun bila tidak, ya usahakan untuk bisa belajar kpd ustadz yg mumpuni di bidang masing-masing, baik secara langsung atau lewat radio, tv, video-video yg diupload, dan semisalnya. wallaahu a’lam. waffaqakumullaah.
Bismillah. Baarakallahu fik. Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq pernah melakukan dan memaksakan sesuatu yg diyakini oleh Ahlussunnah sebagai kekufuran. Bagaimana sikap para ulama di jamannya? Apakah para ulama mengkafirkan mereka? Terus bagaimana dengan pemimpin-pemimpin kita yang memiliki pemikiran kekufuran dan atau melakukan tindakan-tindakan kekufuran?
bagaimana aqidah ahlu sunnah dalam hal tersebut?
bagaimana qaidah dan dhowabit pengkafiran orang yang mengucapkan dan melakukan tindakan kekufuran?
Terkait dgn Al Ma’mun, dia bukanlah seorang yg bodoh dan mudah dipengaruhi oleh ulama’ suu’ (Ahmad bin Abi Du-at), dan sebelum menganut faham mu’tazilah, sejak beberapa tahun dia sudah menggandrungi buku2 filsafat. Oleh karenanya, ada dua riwayat dari Imam Ahmad terkait Al Ma’mun. Salah satunya mengatakan bahwa beliau mengkafirkannya, sebagaimana yg dinukil oleh Al Khollal. Sedangkan riwayat lain yg dinukil oleh Ibnu Taimiyyah menafikan pengkafiran tsb.
Adapun Al Mu’tashim, maka ia seorang khalifah yg jahil dan bahkan buta huruf. Makanya ia terpengaruh oleh Ahmad bin Abi Du-at, oleh karenanya, Imam Ahmad tidak mengkafirkannya, bahkan beliau memaafkan kezhalimannya atas diri beliau dan mendoakan ampunan baginya.
Adapun Al Watsiq, maka beliau juga tidak mengkafirkannya, dan tetap taat kepadanya dlm hal yg bukan ma’siyat, spt ketika Al Watsiq melarangnya untuk menyampaikan hadits secara terang-terangan, maka Imam Ahmad pun menghentikan aktivitasnya.
Jadi, walau ada perbedaan pendapat terhadap kafir/tidaknya ketiga khalifah tsb, sikap beliau tetap sama: yaitu tidak membolehkan terjadinya pemberontakan bersenjata, dan ini demi menghindari pertumpahan darah dan mafsadat yg lebih besar. Makanya beliau menyuruh orang-orang untuk bersabar… dan akhirnya ketiga khalifah ahli bid’ah tadi mati semua di zaman imam Ahmad, dan digantikan oleh seorang khalifah Sunni bernama Ja’far ibnul Mu’tashim, yg dijuluki Al Mutawakkil ‘alallaah, yg mengembalikan kejayaan Sunnah dan memadamkan bid’ah.