Status Makanan Dalam Kenduri
Assalamu’alaikum Warahmatullah,
Ustadz kenduri itu bid’ah trus makanan yg diberi saat kenduri itu hukumnya halal atau haram?
JazakallahJawab:
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh,
Sebelum menjawab, kita harus tahu apa itu kenduri? Simaklah keterangannya menurut ashaabul kenduri itu sendiri sbb:
Acara tahlilan juga sering disebut dengan kenduri. Istilah kenduri ini memang begitu asing namun kebanyakan ditujukan untuk kegiatan berkumpul. Sedangkan didalam bahasa Indoneisa, kenduri merupakan kata benda yang berarti pertemuan untuk selamatan serta jamuan makan. Yang mana dalam hal ini, tahlil pun dilakukan secara berkumpul atau bersama-sama, kadang terdapat jamuan makan atau hanya sekedarnya saja yang dimaksudkan sebagai wujud untuk memulyakan tamu atau shadaqah untuk mayyit. Bersamaan dengan ini, muncul juga istilah lainnya yang sebenarnya dimaksudkan untuk kegiatan yang sama dan tujuan yang sama sebagaimana yang banyak beredar dimedia internet, seperti “kenduri arwah”, “kenduri tahlil”, “kenduri kematian”, “majelis kenduri arwah” dan lains sebagainya. (http://www.facebook.com/note.php?note_id=158681017519707)
Nah, berdasarkan klasifikasi ini, hukumnya akan berbeda. Kalau kendurinya sekedar dalam arti syukuran atas suatu nikmat, maka status makanan tidak berpengaruh insya Allah. Artinya, makanan yg dzatnya halal tidak menjadi haram karena sebabnya, yaitu kenduri.
Namun kalau kenduri itu ditujukan untuk arwah (spt sesajian), maka ini termasuk syirik akbar yang menjadikan makanan tsb haram. Sedangkan bila kenduri tsb ditujukan sebagai jamuan tamu, bukan sebagai taqarrub (mendekatkan diri) kepada selain Allah. Maka hukum asal makanannya adalah halal.
Sedangkan kenduri yg dikaitkan dengan kematian ketika keluarga yang ditinggal mati masih dirundung kesedihan, maka kalau memang kenduri tsb berasal dari keluarga ybs, maka menurut imam syafi’i kita tidak boleh memakannya. selengkapnya bisa antum baca di sini.
Pun demikian, Syaikh Bin Baz memfatwakan agar sebaiknya kita tidak memakan kenduri yg dihidangkan/disuguhkan kepada kita walaupun hukumnya boleh dimakan. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk pengingkaran thd bid’ah-bid’ah tersebut, agar pelakunya sadar bahwa perbuatan tsb tidak diperbolehkan dlm agama dan kita tidak menyukainya. Insya Allah dengan begitu, adat bid’ah ini akan terkikis sedikit demi sedikit hingga hilang total. Namun jika kita hanya mengingkari dalam hati saja, dan tidak menampakkannya walaupun dalam bentuk penolakan, maka budaya ini akan kuat terus mengakar di masyarakat.
Wallahu a’lam.
——————————————————————————————————————————————–
Jadi jika kita menghadiri kenduri yang bertujuan untuk syukuran (misalnya bayinya lahir sempurna), dan bukan acara seperti tahlilan dibolehkan ustadz?
jawab: kalau acaranya sekedar makan-makan (persis seperti syukuran), tanpa dikaitkan dengan ibadah tertentu (spt dzikir, tahlil, doa bersama, dan semisalnya) atau dengan tata cara tertentu (pada waktu dan tempat ttt); maka tidak mengapa. Seperti jika antum tiba-tiba diundang makan (ditraktir) oleh seseorang. Tapi kalau dikaitkan dengan ibadah, dan dilakukan dengan cara, waktu, dan tempat tertentu tanpa alasan yang logis; maka itu termasuk bid’ah. Misal, mengkhususkan hidangan dengan tumpeng dan bukan yg lainnya. lalu pemotongannya harus dari atas dan harus pake sambel warna ini dan itu (mungkin antum lebih tahu ttg ini drpd ana). Atau mengadakan perayaan2 ttt spt sepasaran bayi, mitoni, dsb dengan disertai undangan makan. Maka ini semua bid’ah.
Ustadz, kalangan pro tahlilan+kenduri membawakan atsar salaf yang dinukil dari As-Suyuthi menulis dalam kitabnya Al Hawi lil Fatawa: (Saya copaskan)
الحاوي للفتاوي للسيوطي – (ج 3 / ص 266)
قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام
“ Thowus berkata “ Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.
Sehingga beliau menjelaskan :
الحاوي للفتاوي للسيوطي – (ج 3 / ص 288)
إن سنة الإطعام سبعة أيام بلغني أنها مستمرة إلى الآن بمكة والمدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة إلى الآن وإنهم أخذوها خلفا عن سلف إلى الصدر الأول. في التواريخ كثيرا في تراجم الأئمة يقولون وأقام الناس على قبره سبعة أيام يقرؤون القرآن.
“Sesungguhnya kesunatan memberikan makanan selama 7 hari, telah sampai khobarnya kepada saya bahwa hal tsb merupakan perbuatan yang tetap berlangsung sampai sekarang ( yaitu masanya Al Imam Alhafizh Jalaluddin Al Suyuthiy, sekitar abad ke 19 H ) di Makkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tsb TIDAK PERNAH DITINGGALKAN SEJAK MASA SAHABAT SAMPAI SEKARANG, dan TRADISI TERSEBUT MEREKA AMBIL DARI ULAMA KHOLAF DAN SALAF SEJAK GENERASI PERTAMA ( yaitu para sahabat).”
Benarkah nukilan tersebut dan bagaimanakah derajat atsar tsb?
Atsar tersebut dha’if dari beberapa sisi:
1-Sufyan dalam sanad tsb adalah Ats Tsauri, dan ia tidak pernah berjumpa dengan Thawus, yg dhahirnya ialah Thawus bin Kaisan, karena Ats Tsauri lahir th 97 H, sedangkan Thawus bin Kaisan konon wafat th 101 H menurut Ibnu Hibban, atau 106 H menurut mayoritas ulama. Ala kulli haal, saat Thawus wafat, usia Sufyan belum genap 10 tahun, dan Thawus wafat di Mekkah, sedangkan Sufyan lahir di Kufah, sehingga tidak mungkin keduanya bertemu.
2-Sufyan ats Tsauri tidak meriwayatkan atsar tsb dengan shighat yg menunjukkan bhw dirinya mendengar langsung dari Thawus, namun sekedar mengunakan ‘qoola Thawus’, dan bila hal ini diucapkan oleh seorang perawi yg tergolong mudallis, maka tidak bisa diterima. Dan Imam Sufyan Ats Tsauri tergolong mudallis, walaupun jarang melakukan tadlis.
3-Thawus mengatakan sesuatu yg sifatnya ‘ghaib’, darimana dia tahu bahwa orang-orang yg telah meninggal dunia itu difitnah/diuji dlm kuburnya selama tujuh hari???
4-Penafsiran ‘mereka’ dengan ‘sahabat nabi’ hanya berdasarkan asumsi/zhann belaka, yg tidak bisa dibuktikan. Karena boleh jadi yg dimaksud oleh Thawus adalah masyarakat sekitarnya, karena dia juga hidup dengan sejumlah besar tabi’in lainnya…. darimana bisa dipastikan bahwa yg dimaksud ialah sahabat Nabi??
5-Bagaimana bisa diklaim bahwa para sahabat menyunnahkan memberi makanan selama tujuh hari setelah kematian, sedangkan dalam hadits riwayat Ibn Majah, Ahmad dan Ath Thabrani yg disahihkan oleh An Nawawi dlm Majmu’-nya, dan juga Al Bushiri dalam zawaid ibnu Majahnya, disebutkan bahwa Jarir bin Abdillah Al Bajali radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga yg kematian, dan membuat makanan, termasuk niyahah. ini lafazh ibn Majah. sedangkan lafazh Ahmad menambahkan bahwa hal tsb dianggap niyahah bila dilakukan setelah pemakaman si mayit.
Nah, niyahah sendiri termasuk hal yg diharamkan berdasarkan hadits shahih.
Anggapan jarir ini menggunakan sighat jamak, yg berarti mewakili pendapat para sahabat secara umum, dan ini menunjukkan bahwa hal tsb merupakan ijma’ para sahabat. atau bisa juga ia berarti bahwa hal tersebut terjadi di masa Rasulullah dan beliau menyetujuinya. Ala kulli hal, apa pun kemungkinannya, jelas ini merupakan hujjah yg menunjukkan bahwa riwayat yg disebutkan oleh As Suyuti tsb batil dan tidak bisa jadi pegangan sama sekali.
Demikian pula klaim As Suyuthi bahwa praktek tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak zaman sahabat sampai masa beliau, adalah klaim yg tidak berdasar sama sekali… dan kalaupun ada sejumlah ulama yg dlm biografinya disebutkan bhw orang-orang membaca al Qur’an selama tujuh hari di atas kubur sejumlah ulama, ini juga sama sekali bukan dalil, karena boleh jadi mereka adalah ahli bid’ah… sungguh aneh bin ajaib cara As Suyuti berdalil dlm masalah ini… ghafarallaahu lana wa lahu.
Ass. Wr. Wb.
Dengan mempertajam perbedaan, tak ubahnya seseorang yang suka menembak burung di dalam sangkar. Padahal terhadap Al-Qur’an sendiri memang terjadi perbedaan pendapat. Oleh sebab itu, apabila setiap perbedaan itu selalu dipertentangkan, yang diuntungkan tentu pihak ketiga. Atau mereka sengaja mengipasi ? Bukankah menjadi semboyan mereka, akan merayakan perbedaan ?
Kalau perbedaan itu memang kesukaan Anda, salurkan saja ke pedalaman kepulauan nusantara. Disana masih banyak burung liar beterbangan. Jangan mereka yang telah memeluk Islam dicekoki khilafiyah furu’iyah. Bahkan kalau mungkin, mereka yang telah beragama tetapi di luar umat Muslimin, diyakinkan bahwa Islam adalah agama yang benar.
Ingat, dari 87 % Islam di Indonesia, 37 % nya Islam KTP, 50 % penganut Islam sungguhan. Dari 50 % itu, 20 % tidak shalat, 20 % kadang-kadang shalat dan hanya 10 % pelaksana shalat. Apabila dari yang hanya 10 % yang shalat itu dihojat Anda dengan perbedaan, sehingga menyebabkan ragu-ragu dalam beragama yang mengakibatkan 9 % meninggalkan shalat, berarti ummat Islam Indonesia hanya tinggal 1 %. Terhadap angka itu Anda ikut berperan, dan harus dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT. Astaghfirullah.
Wass. Wr. Wb.
hmjn [email protected]
Terima kasih atas nasehatnya. Ucapan Anda mungkin benar, namun tidak tepat jika ditujukan kpd orang yg meluruskan penyimpangan secara ilmiah, siapa pun orangnya…. jika Anda merasa penjelasan saya keliru, maka silakan dikoreksi secara ilmiah pula. namun bila tidak demikian, maka atas dasar apa anda menganggap penjelasan ini sbg hujatan yg membikin umat islam (yg kata anda cuma 10 persen yg shalat itu) lari 9 persen-nya sehingga tinggal 1 persen, dan sayalah yg bertanggung jawab?
Toh itu hanya khayalan anda yg tidak mungkin bisa anda buktikan… lagi pula, kebenaran tidak diukur dengan banyak sedikitnya pengikut. Biarpun tdk ada pengikutnya, yg benar tetaplah benar. dan biarpun seluruh manusia mengikutinya, yg batil tetaplah batil. Atau anda punya standar lain dlm menilai mana yg benar dan mana yg salah?
Kalau saya standarnya dalil dan ilmu, dan keduanya bersifat mutlak. Alias siapa yg kuat dalilnya, dan benar dalam menggunakan serta memahaminya, maka dialah yg benar, dari manapun dia berasal dan apa pun latar belakangnya. Kalau Anda punya standar lain ya itu terserah anda, tapi tidak perlu diperdebatkan dgn saya, karena bila tolok ukurnya berbeda, maka tidak akan terjadi kesepakatan. baarakallaahu fiik…
ustadz..bagaimana menjawab syubhat..bahwa manhaj salaf dalam hal asma wa shifat tdk menta’wil,tahrif,tasybih,tamtsil,ta’thil dan takyif serta tafwidh…tetapi dalam masalah ma’iyah (kebersamaan Alloh)manhaj salaf menta’wil nya dengan kebersamaan Alloh dalam hal ilmu saja bukan dzat..saya pernah mendengar syubhat ini dari kalangan asy’ari dan jama’ah tabligh, sementarea mereka menta’wil semua shifat:arsy,wajah,yadd dll…syukron atas penjelasannya ustadz
perlu difahami bahwa yg dimaksud ta’wil ialah membawa pengertian suatu kata dari makna yg rajih/masyhur kepada ma’na yg lemah, karena adanya suatu qarinah (alasan) ke arah sana. Adapun menjelaskan makna suatu kata menurut pengertian yg benar, maka bukanlah ta’wil, walaupun makna yg dipakai bukanlah makna yg masyhur.
Contohnya: kata ‘asad’ dlm bahasa Arab, populer digunakan untuk menamakan binatang singa. Namun kadang kala kata ini digunakan sebagai kiasan bagi seorang pemberani. Ketika saya mengatakan: (رأيت أسدا) Aku melihat asad, maka asad di sini artinya seekor singa, sebab kita tidak memiliki alasan untuk menafsirkannya sebagai seorang pemberani. Namun jika ana mengatakan (رأيت أسدا على فرسه) Aku melihat asad di atas kudanya. Maka jelaslah asad di sini bukanlah singa, namun seorang pemberani. Karena tidak ada singa yg menunggangi kuda. Kedua contoh ini bukanlah ta’wil, sebab makna rajih yg dikandung oleh kedua ungkapan tsb memang mengharuskan kita menafsirkannya spt itu.
Demikian pula ketika ma’iyyatullaah ditafsirkan sebagai kebersamaan ilmu Allah, ini bukanlah ta’wil sama sekali. Justru inilah yg dimaksud oleh konteks Allah, Sebab di awal dan akhir ayat yg menyebutkan sifat ma’iyyatullaah ini, awal menyinggung ilmu-Nya. Simaklah ayatnya:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah MENGETAHUI apa yg ada di langit dan bumi. Tidaklah terjadi pembicaraan antara tiga orang melainkan Dialah pihak keempat, tidak pula antara lima orang melainkan Dialah pihak keenam. TIdak pula kurang dari itu ataupun lebih, kecuali Dia menyertai mereka dimana saja mereka berada. Lalu Dia mengabarkan kepada mereka akan perbuatan mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya ALlah MAHA MENGETAHUI terhadap segala sesuatu (Al Mujaadilah: 7).
Juelas buanget bagi setiap orang Arab yg mengerti gaya bahasa Arab, bahwa yg dimaksud dengan kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah kebersamaan ilmunya. Ini bukan ta’wil sama sekali, namun itulah satu-satunya yg bisa difahami dari ayat ini. Dan ma’iyyatullah disini konsekuensinya ialah Allah akan memperhatikan dan mengetahui semua gerak-gerik dan ucapan mereka. Dalam ayat lainnya, Allah berfirman kepada Musa dan Harun agar keduanya pergi menghadap Fir’aun dan menasehatinya. Maka keduanya berkata bahwa kami takut dst… lalu kata Allah (لا تخافا إنني معكما أسمع وأرى) “Jangan kalian berdua merasa takut, sebab Aku bersama kalian, dan Aku melihat serta mendengar”. Ma’iyyah disini bukan berarti dzat Allah menyertai mereka, namun pengawasan sekaligus pertolongan-Nya yg menyertai mereka. Seperti ketika Antum memberikan dukungan kepada seseorang di daerah lain melalui telepon, dan mengatakan; “Saya bersamamu dalam menghadapi masalah ini”, tidak ada orang berakal yg memahami bahwa kebersamaan disini adalah kebersamaan dzat, namun yg difahami adalah kebersamaan ilmu. Artinya, aku seantiasa mengikuti dan mendukung sepak terjangmu dari tempatku.
Kalau ada yg menafsirkan kebersamaan ini dengan kebersamaan dzat, maka dia orang yg tidak faham diajak bicara. Demikian pula jika kebersamaan Allah ditafsirkan sebagai kebersamaan dzat, maka konsekuensinya dia akan berakidah hulul/wihdatul wujud, dan ini jelaslah suatu kekafiran yg mengeluarkannya dari Islam. Sebab dalam tujuh ayat Allah menyatakan bahwa dirinya berada di atas ‘Arsy, jadi dia bersama kita dari atas ‘Arsy, yg berarti pengawasan-Nya dan pertolongan-NyaJadi, selama penjelasan yg diberikan terkait sifat-sifat Allah adalah sesuai dgn yg dimaksud oleh konteks kalimat dalam bahasa Arab, maka ini bukanlah ta’wil. Faham Akhi?
Ustadz, tanya masih terkait Shifat Allah.
Untuk Shifat Allah spt Istiwa ‘Alal Arsy, lazim dijelaskan bahwa Allah benar-benar Istiwa diatas arsy secara Hakiki (bukan majaz)
ditambah lagi dgn penjelasan bhw Arsy adalah salah satu makhluk Allah yg besar maka keberadaan Allah diatas arsy sudah tepat.
Jadi kata ATAS artinya Tetap ATAS spt yg dipahami manusia.
disisi lain sebagian asy’ariyun menyatakan, benar ayat itu artinya Allah Istiwa diatas Arsy tapi kata ‘Ala (Atas) yang ada dalam ayat tersebut bukan bermakna Atas spt susunan lantai 3 lebih tinggi dari lantai 2. (Atas yang bukan Atas)
sehingga makna ayat tersebut hanya Allah yang tahu, kita Tafwidh akan maksud dari ayat tersebut
Mohon penjelasannya Pak Ustadz
satu lagi, kalau kata ‘Ala (Atas) bisa dipahami sesuai artinya dan maksudnya, juga berdasarkan kenyataan bahwa Arsy adalah salah satu makhluk Allah yang besar
Bagaimana dengan kata Nuzul (Turun)?…apakah ada perbedaan dalam menjelaskan Shifat Nuzul ini dengan Istiwa diatas Arsy?
karena kata Nuzul (Turun) lazim maksudnya perpindahan/pergerakan dari atas ke bawah.
dari pernyataan Ibnul Mubarak yang saya baca, untuk masalah Nuzul ini beliau jelaskan bahwa Allah Nuzul (Turun) dengan cara yang dikehendakinya.
apakah untuk Shifat Nuzul ini bisa dikatakan bahwa maksudnya Turun yang bukan Turun/bergerak dari atas ke bawah?…seperti ungkapan kata ‘Ala (Atas) yg diartikan oleh sebagian ‘Asyari bahwa artinya Atas yg bukan Atas.
Jazakallah Khaira atas perhatian dan penjelasan nya
Ya akhi, semua yg difahami oleh Asy’ariyyuun itu berangkat dari adanya tasybih dalam benak mereka ketika mendengar sifat-sifat Allah. Begitu mendengar Allah istawa ‘alal ‘Arsy (Allah berada di atas Singgasana Kerajaan-Nya) langsung terbayang oleh mereka sosok seorang Raja yg duduk di atas singgasananya, akan tetapi singgasana tsb ada di dalam istana, yg berarti si Raja duduk di bawah atap istana, apalagi kalau istananya lebih dari satu lantai, dst…. ini semua berangkat dari tasybih. Mereka mau lari dari tasybih namun justru terperosok ke dalamnya. Kalau Ahlussunnah khan jelas, itsbaat bila tasybieh, walaa takyiif, walaa ta’thiil, walaa ta’wiil. kalau kita menetapkan bahwa Allah itu ada dzatnya/wujudnya dan kita tidak bisa bahkan tidak boleh membayangkan dzat Allah tsb, maka demikian pula sifat-sifatnya. Semuanya hakiki dan tidak boleh dibayangkan.
Adapun tafwiedh dalam masalah sifat ialah bukan tafwiedh makna dari kata-kata yg dijadikan sifat Allah tsb, namun tafwiedh dalam hal kaifiyah-nya. Makna istiwa’ Allah itu ma’luum (diketahui) secara bahasa, yaitu berada di atas ‘Arsy, sedangkan arti dari kata ‘Arsy secara bahasa ialah Sariirul Mulk (Singgasana kerajaan).
Demikian pula dengan sifat Nuzul (turun), siapa bilang harus ada pergerakan? Itu adalah akibat dari tasybih-nya Asy’ariyyuun… persis spt masalah istiwa’ dan ‘uluwwullaah (Keberadaan Allah di atas). Kata nuzul/turun secara bahasa artinya adalah dari atas ke bawah, dan tidak ada konsekuensi perpindahan dzat/posisi. Bahkan turunnya makhlukpun tidak harus dengan perpindahan posisi/dzat.
Ketika saya katakan bahwa suhu udara hari ini turun dari 25 derajat ke 23 derajat, atau tekanan darah saya turun dari 120 ke 80, atau nilai saya turun dari 9 ke 8, Presiden menurunkan perintah kepada bawahannya, dll… adakah pergeseran posisi/dzat dalam semua contoh simpel ini?
Kalau makhluk saja bisa turun tanpa bergeser dzatnya, dan itu semua dianggap turun yg hakiki, bukan majaz, lantas mengapa kita harus membayangkan turunnya Allah dengan pindah posisi?
Allah turun secara hakiki, dengan kaifiyah (cara) yg sesuai dengan kebesaran dan keagungannya. Sebagaimana ia berbicara, melihat, mendengar, berbuat, dst secara hakiki dengan kaifiyah yg sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya; tanpa kita selewengkan maknanya (ta’wil), dan tanpa kita serupakan dengan sifat-sifat MakhlukNya. Titik.
Bagaimana hukumnya kasidah dan salawatan sambil bergendang gendang dan disuarakan dengan nyaring dengan menggunakan pengeras suara sampai tetangga terganggu
Bid’ah munkarah sekaligus dosa besar. Sebab Rasulullah bersabda:
والله لا يؤمن، والله لا يؤمن، والله لا يؤمن! قالوا: من يا رسول الله؟ قال: الذي لا يأمن جاره بوائقه
Demi Allah dia tidak beriman. Demi Allah, dia tidak beriman. Demi Allah, dia tidak beriman! Siapa yang kau maksud wahai Rasulullah? tanya para sahabat. “Orang yg tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya/kezhalimannya” (Muttafaq ‘alaih).
assalamualaikum,’
ustadz apa hukumnya mengartikan wa yabtagi wajhallah dengan mengaharapkan ridho Allah, untuk mempermudah penyampaian pada orang awam, tanpa maksud menta’wil dan mentahrf ma’na wajah ?
apa hukumny janin dalm binatang sembelihan ?
apa hukumnya menggabungkan 2 niat dalam satu ibadah contohnya sholat sunnah tahytul masjid dan rowatib>
jazakallah khoirn kattisro
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…
Kalau yg mengartikan spt itu adalah Ahlussunnah (salafi), maka tidak mengapa, karena itu termasuk mengartikan sesuatu dengan konsekuensinya. Karena konsekuensi dapat melihat wajah Allah adalah mendapatkan ridha Allah terlebih dahulu. Namun jika yg mengartikan demikian adalah asy’ari/maturidi atau mrk yg mengingkari sifat wajah, maka kita anggap hal ini sbg ta’wil yg terlarang.
Ala kulli haal, yg paling baik adalah mengartikan wajah dengan wajah; lalu jelaskan bahwa Allah memang memiliki wajah yg hakiki yg sesuai dgn keagungan dan kemuliaanNya, yg berbeda dengan wajah makhlukNya, sebagaimana Dia memiliki dzat yg hakiki yg berbeda dgn dzat makhlukNya. Wajah Allah tidak identik dgn keridhaanNya, karena wajah adalah sifat dzatiyah, sedangkan keridhaan adalah sifat fi’liyah. Mencari wajah Allah artinya mencari kesempatan untuk dapat melihat wajah Allah, dan ini merupakan puncak kenikmatan di akhirat… lebih dari kenikmatan Surga sekalipun, sebab seindah-indahnya Surga, tetap saja ia ciptaan Allah, dan pasti yg menciptakan lebih indah dari itu.
Dengan penjelasan ini, insya Allah org awam tidak akan bingung…
Janin dlm perut induknya hukumnya mengikuti induknya. Jika induknya disembelih secara syar’i maka janinnya halal, namun jika ia bangkai maka janinnya bangkai pula. Dalilnya adalah hadits Jabir bhw Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذكاة الجنين ذكاة أمه. رواه أبو داود
Penyembelihan janin ialah dengan penyembelihan induknya.
Menurut jumhur ulama (selain Abu Hanifah), hadits ini merupakan nash halalnya janin dlm perut hewan bila induknya telah disembelih scr syar’i.
Saya hanya akan menjawab sesuai yg antum contohkan, karena pertanyaan antum sifatnya umum dan jawaban ana bisa berbeda untuk tiap kasusnya. kalau contohnya tahiyatul masjid digabung dgn rowatib maka boleh-boleh saja, walaupun lebih baik antum niatkan rowatib, karena tahiyatul masjid itu termasuk ibadah yg maqshuudatun lighairiha, artinya ibadah yg ditujukan untuk selain dirinya. Sedangkan solat rowatib itu merupakan ibadah yg maqshuudatun lidzaatiha, artinya ibadah yg yg ditujukan untuk dirinya. Lebih jelasnya, ibadah tahiyatul masjid tidak harus dilakukan dengan mengkhususkan dua rokaat sebelum antum duduk di mesjid. Namun sholat dua rokaat apa pun bisa mewakili tahiyatul masjid, baik itu qabliyah, shalat sunnah setelah wudhu’, shalat sunnah antara adzan dan iqamah, atau bila antum begitu masuk mesjid langsung iqamah dan shalat wajib. Dalam seluruh kondisi tadi, perintah shalat tahiyatul masjid telah gugur karena terwakili oleh yg lain. Adapun perintah solat rowatib sifatnya khusus, tidak bisa diwakili oleh sunnah tahiyatul masjid, atau sunnah wudhu’, atau sunnah antara adzan dan iqamah. inilah yg dimaksud maqshuudatun lidzaatiha. Faham?
Assalamualaikum,,
Syukron Jazakallah khoiran katsiro,,
terimakasih atas jawabannya ustadz, kedepannya saya akan lebih banyak bertanya Insya Allah…
semoga Allah memberkahi ilmu anda dan memberikan hidayah agar kita berda dalam sunnah Nabi- Nya wassalamualaikum …
Nabi memiliki beberapa anak, yang anak laki2 semua
meninggal sewaktu masih kecil. Anak-anak perempuan
beliau ada 4 termasuk Fatimah, hidup sampai
dewasa.
Ketika Nabi masih hidup, putra-putri beliau yg
meninggal tidak satupun di TAHLIL i, kl di do’akan
sudah pasti, karena mendo’akan orang tua,
mendo’akan anak, mendo’akan sesama muslim amalan
yg sangat mulia.
Ketika NABI wafat, tdk satu sahabatpun yg TAHLILAN
untuk NABI,
padahal ABU BAKAR adalah mertua NABI,
UMAR bin KHOTOB mertua NABI,
UTSMAN bin AFFAN menantu NABI 2 kali malahan,
ALI bin ABI THOLIB menantu NABI.
Apakah para sahabat BODOH….,
Apakah para sahabat menganggap NABI hewan….
(menurut kalimat sdr sebelah)
Apakah Utsman menantu yg durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan…
Apakah Ali bin Abi Tholib durhaka.., mertua
meninggal gk di TAHLIL kan….
Apakah mereka LUPA ada amalan yg sangat baik,
yaitu TAHLIL an koq NABI wafat tdk di TAHLIL i..
Saudaraku semua…, sesama MUSLIM…
saya dulu suka TAHLIL an, tetapi sekarang tdk
pernah sy lakukan. Tetapi sy tdk pernah mengatakan
mereka yg tahlilan berati begini.. begitu dll.
Para tetangga awalnya kaget, beberapa dr mereka
berkata:” sak niki koq mboten nate ngrawuhi
TAHLILAN Gus..”
sy jawab dengan baik:”Kanjeng Nabi soho putro
putrinipun sedo nggih mboten di TAHLILI, tapi di
dongak ne, pas bar sholat, pas nganggur leyeh2,
lan sakben wedal sak saget e…? Jenengan Tahlilan
monggo…, sing penting ikhlas.., pun ngarep2
daharan e…”
mereka menjawab: “nggih Gus…”.
sy pernah bincang-bincang dg kyai di kampung saya,
sy tanya, apa sebenarnya hukum TAHLIL an..?
Dia jawab Sunnah.., tdk wajib.
sy tanya lagi, apakah sdh pernah disampaikan
kepada msyarakat, bahwa TAHLILAN sunnah, tdk
wajib…??
dia jawab gk berani menyampaikan…, takut timbul
masalah…
setelah bincang2 lama, sy katakan.., Jenengan
tetap TAHLIl an silahkan, tp cobak saja
disampaikan hukum asli TAHLIL an…, sehingga
nanti kita di akhirat tdk dianggap menyembunyikan
ILMU, karena takut kehilangan anggota.., wibawa
dll.
Untuk para Kyai…, sy yg miskin ilmu ini,
berharap besar pada Jenengan semua…., TAHLIL an
silahkan kl menurut Jenengan itu baik, tp sholat
santri harus dinomor satukan..
sy sering kunjung2 ke MASJID yg ada pondoknya.
tentu sebagai musafir saja, rata2 sholat jama’ah
nya menyedihkan.
shaf nya gk rapat, antar jama’ah berjauhan, dan
Imam rata2 gk peduli.
selama sy kunjung2 ke Masjid2 yg ada pondoknya,
Imam datang langsung Takbir, gk peduli tentang
shaf…
Untuk saudara2 salafi…, jangan terlalu keras
dalam berpendapat…
dari kenyataan yg sy liat, saudara2 salfi memang
lebih konsisten.., terutama dalam sholat.., wabil
khusus sholat jama’ah…
tapi bukan berati kita meremehkan yg lain.., kita
do’akan saja yg baik…
siapa tau Alloh SWT memahamkan sudara2 kita kepada
sunnah shahihah dengan lantaran Do’a kita….
demikian uneg2 saya, mohon maaf kl ada yg tdk
berkenan…
semoga Alloh membawa Ummat Islam ini kembali ke
jaman kejayaan Islam di jaman Nabi…, jaman
Sahabat.., Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Amin ya Robbal Alamin
Ustadz hafidzakallah, mohon nasihat antum mengenai mendengarkan kajian dari sebuah kelompok pengajian bernama MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) yang berpusat di Solo. Kelompok tersebut sudah terkenal sering mengingkari ritual-ritual bid’ah seperti selamatan kematian, tujuh bulanan dan ritual-ritual kejawen lainnya sehingga acap kali terjadi bentrok dg kalangan “tradisionalis”. Kelompok ini mulai mendapat pengaruh di daerah Solo Raya, Klaten, Wonogiri, Sragen, Purwodadi, Magetan, dan sekitarnya. Alhamdulillah, semenjak ortu ana mendengar siaran kajian tersebut dan mengetahui hukumnya dari ritual-ritual tersebut sudah tidak mau lagi hadir dalam acara kenduri. Tetapi kelompok tersebut sudah terkenal memiliki penyimpangan di dalam aqidah seperti mengingkari syafaat nabi, mengingkari adanya orang-orang mu’min yg dientaskan dari adzab neraka dan kemudian dimasukkan ke dalam syurga, mengingkari shiroth (jembatan), mengingkari adanya sihir/santet, mengingkari kesurupan jin, membolehkan musik, meremehkan jenggot, dsb (berdasarkan kesaksian dari para mantan anggota kelompok pengajian tersebut. Pertanyaannya apakah masih dibolehkah mendengarkan siaran kajian di radio tersebut untuk konsumsi orang-orang awwam mengingat di salah satu sisi adanya manfaat(pengingkaran terhadap ritual-ritual kejawen dan berbagai macam bid’ah yg marak di masyarakat) tetapi di salah satu sisi tidak lepas dari bid’ah dalam masalah aqidah seperti yg telah disebut di atas. Atas perhatian ustadz ana ucapkan jazaakallahu khairan.
Kalau memang penyimpangan mereka sampai ke masalah-masalah akidah spt itu, dan jumlahnya juga banyak, berarti mereka sudah berada di luar ahlussunnah wal jama’ah, alias termasuk ahlul bid’ah wal furqah (masuk dlm 72 golongan yg celaka, kecuali bila bertaubat), walaupun ada sejumlah bid’ah yg mereka ingkari. Nah, kalau sudah begitu, menurut para salaf, mereka harus dijauhi dan jgn didengarkan saat bicara ttg agama (Ini berlaku utk semua ahli bid’ah yg memang mendakwahkan bid’ahnya). Antum harus alihkan ke radio lainnya spt Radio Suara Qur’an Solo (Ma’had Al Ukhuwwah Sukoharjo). Atau kalau ada kelonggaran duit, silakan pasang parabola (paling cuma sejuta) agar bisa menangkap siaran2 tv dan radio sunnah, spt RodjaTV, Rodja radio, InsanTV, WesalTV, dll.
kenduri merupakan budaya jaman dulu yang masih dipakai oleh masyarakat kita walapun telah berIslam masih ada wilayah tertentu yang tujuan kenduri untuk memperingati hari kematian seperti 40 harian, 100 hari, 100 hari.
Menurut Ustadz, kira2 yang mengikuti ritual semacam ini apakah juga akan berdosa ??
Terima kasih
iya, karena itu termasuk bid’ah.
saya heran dengan umat islam sekarang ini, yang lebih banayak menghabiskan waktu pada hal-hal bidi’ah yang mungkin belum tentu salah atau benar,apa lagi masalah yang masih dalam katagori khilafiyah.sekarang yang kita perlukan bagai mana caranya umat islam ini bersatu untuk memberantas penjajahan, prostitusi,korupsi,pembunahan,dan perkara lain yang bukan bid’ah tapi perbuatan laknatillahi Ta’ala.
Agar tidak heran, pelajarilah Islam dengan baik dan benar. Darimana antum bisa membedakan mana masalah khilafiyah dan mana masalah bid’ah?
Kalau Anda berharap agar umat ini bersatu untuk melawan apa-apa yg anda sebutkan; maka ketahuilah bahwa yg bisa mempersatukan umat adalah akidah yg benar, yg sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Sunnah, bukan yg terlumuri bid’ah, khurafat, dan syirkiyyat… spt kondisi kaum muslimin hari ini.
Justru yg memecah belah umat dan menjadikannya sebagai bulan2an musuh, adalah munculnya berbagai bid’ah itu sendiri. Buktinya, di masa Abu Bakar, Umar dan Utsman umat Islam demikian jaya karena tidak ada bid’ah yg muncul. Namun di masa Ali bin Abi Thalib muncul bid’ah khawarij dan syi’ah, sehingga demikian menyibukkan beliau dari meneruskan penaklukan negeri2 kafir. Beliau dan kaum muslimin justru tersibukkan memerangi ahli bid’ah (khawarij) yg ada, bahkan beliau terbunuh di tangan salah satu dari mereka.
Setelah beliau pun para ulama tidak henti-hentinya memperingatkan umat dari bahaya bid’ah (dengan segala macam bentuknya). Kitab-kitab yg membantah bid’ah senantiasa ditulis dari dulu sampai hari ini…
Apakah menurut Anda mereka semuanya keliru? Apakah di zaman mereka tidak ada penjajahan, perzinaan, pencurian, dan pembunuhan?
Jawab: Ada. Namun cara pandang ulama beda dengan kita (Anda).
Seorang pembunuh, pelacur, perampok, dan ahli maksiat lainnya; tidak pernah merasa dirinya benar… ia akan selalu merasa dirinya orang jahat. karenanya, orang spt ini lebih mudah untuk bertaubat dan biasanya tidak mengajarkan kejahatannya kepada orang lain. Agama pun tidak disangkut-pautkan dengan perbuatannya…
Akan tetapi pelaku bid’ah tidak pernah merasa dirinya keliru. ia memandang apa yg dilakukannya adalah baik dan benar. Ia telah menodai kesucian agama tanpa sadar. Ia akan mengajarkan bid’ah tsb kepada orang lain, shg lambat-laun yg sunnah jadi kabur dan ditinggalkan, sedangkan yg bid’ah jadi masyhur dan marak dilakukan.
Tidak semua orang faham akan hal ini… hanya ulama-lah yg faham. makanya, kalau masih awam banyak-banyaklah belajar, dan jangan tergesa-gesa berkomentar. Sebab komentar kita tidak akan luput dari catatan malaikat.
Baarakallaahu fiik.
Maaf ya Ustadz, menurut saya jawaban ustadz atas pertanyaan hamba yang bodoh diatas tidak mencontohkan kepribadian Rasulullah, seperti yang digaungkan selama ini, dan saya yakin jika ini dilakukan oleh “hamba yang bodoh” udah pasti dia dikucilkan dan bahkan bisa menimbulkan pertengkaran. Sangat ironis jika kita mau menghilangkan bid’ah tetapi menimbulkan sesuatu yang “haram” (sesuatu yang lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya).
menurut saya sebaiknya adalah:
1. Jangan menghindar, tetapi jelaskanlah dengan santun dengan mengatakan “maaf ya saya tidak dapat menhadiri acara tersebut sesuai dengan keyakinan saya, tetapi saya akan mendoakan almarhum(ah) seperti yang dilakukan para sahabat nabi terhadap sahabat-sahabt nabi lainnya yang telah mendahului mereka”.
2. Katakan dengan santun “maaf, bukan saya tidak mau menerima ini, tetapi faham saya melarang hal semacam ini, namun agar tidak menjadi mubazir (mubazir hukumnya haram) sebaiknya berikanlah kepada yang membutuhkannya seperti anak yatim”. Atau terima saja, namun katakan dengan santun “maaf ya, ini sy terima, tapi sebenarnya faham saya melarang menerima hal semacam ini, kalo diizinkan, bolehkan kalo bingkisan ini saya berikan kepada anak yatim?”. lantas berikan bingkisan itu ke anak yatim atau orang yang membutuhkannya.
3. Disini kita harus berfikir, kita lebih baik membantu atau malah memberatkan beban pikiran orang yang kemalangan?, Allah maha pengampun, namun manusia..?? kalau saya, saya akan berusaha untuk menjaga perasaan tetangga saya agar tidak tersayat hatinya, sembari memberi pemahaman-pemahaman secara perlahan dan tidak perlu memaksa….
mohon maaf jika saya salah, sekali lagi.. saya lebih takut jika ada orang yg tersayat hatinya.
Ya, mungkin jawaban anda lebih bisa diterima oleh orang yg halus perasaannya… syukron atas masukannya.
ustadz, saya mau bertanya:
1. Kalo benar acara kenduri yg didalamnya ada TAHLILAN,YASINAN,DO’A BERSAMA yg didahului mengirim pahala al-Fatihah adalah bid’ah sedangkan bid’ah itu katanya adl maksiat, maka benarkah perbuatan saya yang sering menghindarkan diri dari acara kenduri tersebut yg akan diadakan oleh tetangga dan saya pergi dgn alasan yang benar yaitu pergi menghadiri kajian salaf di tempat lain?
2. Setelah pulang saya mndapat laporan dari keluarga bahwa orang yg mengirim bandulan (istilah jawa bagi yg tidak hadir) mengatakan yg intinya mengecam sya yg tidak mau hadir dg kata2 “orang dikasih rejeki makanan kok ga mau hadir, LAGI PULA KALO MATI SIAPA YG MENGUBURKAN KALO BUKAN TETANGGA”
Tolong diberi bantahannya. Bgmn cara menyampaikan bentahan tsb yang baik?
3. Bolehkah istri saya membantu masak yang sebagiannya akan digunakan untuk hidangan pada acara tersebut?
Perlu saya sampaikan bahwa dilingkungan saya sebagian besar sekarang tidak ada lagi menggunakan sesaji berupa apapun yg tampak di dalam acara itu dan dagingnya biasanya membeli ayam yg sdh dipotong dipasar atau bila memotong sendiri juga disebut nama Allah.
1. Benar sekali itu.
2. Jawab aja: Siapa yang mau menanggung resikonya di akhirat, TETANGGA?
3. Itu berarti ta’awun ‘alal itsmi wal ‘udwaan. Jelaskan saja duduk perkaranya kpd mereka dengan baik dan benar, dan katakan bahwa seseorang berhak memilih apa yg diyakininya sebagai kebenaran selama berdasarkan kepada dalil, walaupun menurut orang lain itu tidak pantas.
Menghadiri undangan itu wajib. Lalu, bagaimana hukum menghadiri undangan acara-acara bid’ah (baca: tahlil, yasinan, dll.)?
Ulama yg mengatakan wajibnya menghadiri undangan makan, mensyaratkan beberapa hal yg diantaranya:
1-Undangan tsb bersifat khusus, bukan umum. Artinya nama antum disebutkan secara khusus dlm undangan tsb.
2-Undangan tsb tidak mengharuskan antum untuk safar.
3-Undangan tsb tidak mengandung kemungkaran.
4-Yang mengundang bukanlah orang yg secara syar’i harus di-hajr (alias dikucilkan. Spt orang yg terkenal dengan kefasikannya atau bid’ahnya).
Nah, undangan yg antum tanyakan tsb tidak memenuhi syarat karena berisi kemungkaran dan biasanya yg mengundang adalah orang yg pantas dikucilkan (ahli bid’ah). jadi tidak boleh hadir.
pak ustad bgi mn cra nya untuk menyampaikn kpd ortu bahwa kenduri itu bid’ah
Tergantung latar belakang ortu antum akhi, kalau mereka org awam namun tidak fanatik, maka insya Allah dengan penjelasan yg santun dan lembut mrk bisa menerima. namun bila mereka org yg fanatik dgn adat leluhur, maka perlu trik dan belum tentu mrk mau menerima. Menurut ana, langkah pertama yg penting dilakukan ialah meluluhkan hati mereka terlebih dahulu… jadilah anak yg berbakti dan santun terhadap ortu, tunjukkan bahwa semakin banyak antum belajar agama, semakin santun pula antum terhadap orang tua. Banyak ikhwan yg setelah ‘ngaji’ justru kurang respek terhadap ortunya. ia memandang ortu sbg orang jahil dan dirinya lebih alim, shg ada sedikit sikap sombong dsb. ini justru memperburuk citra dia di mata ortu, sehingga kalau dia menasehati, kemungkinan besar akan mental… tapi cobalah luluhkan hati mereka dgn sikap dan akhlak yg baik, insya Allah setelah itu mereka akan mendengar dan mengikuti nasehat antum. wallahu a’lam.