Bissmillahirrahmaanirrahiem…

Adalah musibah besar ketika umat kehilangan ulama-ulama robbani-nya. Musibah ini mengakibatkan sejumlah mafsadat nyata. Yang paling besar di antaranya ialah: makin beraninya ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu dalam mendakwahkan bid’ah dan kesesatan mereka. Imam Al Aajurry mengatakan dalam kitab “Akhlaqul Ulama”: “ Para ulama ibarat pelita manusia, penerangan negara, dan tonggak kejayaan umat. Mereka ibarat sumber hikmah yang selalu memancing kemarahan setan. Melalui mereka, hati pengikut kebenaran akan hidup, dan hati pengikut kesesatan akan mati. Perumpamaan mereka di bumi ibarat bintang-bintang di langit, yang menjadi petunjuk di kegelapan malam saat berlayar di tengah lautan. Jika bintang-bintang itu hilang, bingunglah para pelaut tak karuan; dan begitu cahayanya terlihat, barulah mereka bisa melihat di kegelapan”.

Salah satu contohnya ialah sebagaimana yg diceritakan oleh Al Hafizh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala’, dari Yahya bin Aktsam yang mengisahkan: “Khalifah Al Ma’mun (yg berakidah mu’tazilah dan meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk) pernah berkata kepada kami: “Kalaulah bukan karena posisi Yazid bin Harun (salah seorang tokoh Ahli Sunnah di zamannya), pastilah kunyatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Ada yg bertanya: Memangnya siapa itu Yazid sehingga perlu disegani? Jawab Al Ma’mun: Payah kamu ! Aku menyeganinya bukan karena ia berkuasa, namun aku khawatir jika kunyatakan masalah ini kemudian ia membantahku, sehingga terjadi perselisihan di tengah masyarakat dan timbul fitnah”.

Ini menunjukkan bahwa hidupnya para tokoh Ahlussunnah merupakan benteng bagi syari’at dan manusia secara umum dari pengaruh bid’ah dan kesesatan. Meskipun kisah ini berkaitan dengan penjagaan terhadap bid’ahnya penguasa, akan tetapi maknanya juga berlaku dalam menjaga umat dari kesesatan semua kalangan, baik mereka itu penguasa maupun rakyat jelata. Sebagian orang yang berjiwa revolusioner cenderung memahami keberanian hanya dalam skup amar ma’ruf nahi munkar; dan ketika seseorang berani menyatakan kebenaran di depan penguasa saja; bukan di depan yg lainnya.

Padahal, realita yang terjadi adalah bahwa keberanian itu lebih luas cakupannya dari kedua contoh tadi. Bahkan keberanian sesungguhnya ialah ketika seseorang bisa bersabar demi membela sunnah dan membasmi bid’ah saat kebanyakan orang menentang sikapnya. Betapa banyak kalangan yang mendapat dukungan publik dan popularitas karena sikapnya yang ‘anti-pemerintah’… bahkan ada di antara mereka yang sengaja menjadikan hal itu sebagai wasilah untuk mewujudkan ambisinya… sehingga bila pengikutnya telah demikian banyak, ia pun akan ‘bernegosiasi’ dengan pemerintah dengan imbalan materi atau yang semisalnya !

Saat ini, kita telah kehilangan tiga orang ulama top di mata Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddien Al Albani, dan Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin -rahimahumullah jami’an-.

Pasca wafatnya ketiga ulama tadi, badai fitnah mulai melanda satu-persatu… berbagai kelompok yang terpengaruh pemikiran harakah mulai ‘unjuk gigi’ dan terang-terangan mendukung demonstrasi, bahkan menganggapnya sebagai saranya inkarul munkar yang syar’i.

Karena tergiur dengan demonstrasi yang cocok dengan selera mereka, mereka pun mencari-cari dalil yang sarat dengan ketidakjelasan (baca: syubhat); demi membantah dalil-dalil nyata yang bersih dari syubhat. Mereka meyakini terlebih dahulu, baru kemudian mencari dalil mati-matian untuk membenarkan keyakinannya. Inilah karakter mereka dalam menyikapi banyak wasilah dakwah yang tergolong bid’ah… seperti yang mereka namakan nasyid Islami, drama Islami, dan seterusnya…

Berikut ini adalah sebagian syubhat yang penulis temukan dalam pernyataan mereka, beserta bantahannya. Akan tetapi sebelum mengupas hal itu secara ilmiah, ada baiknya jika kita mengetahui dalil-dalil mereka yang mengharamkan demonstrasi, sbb:

Demonstrasi sebenarnya terbagi menjadi dua:

Pertama, demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang bersifat syar’i.

Kedua, demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang bersifat duniawi; dan inipun terbagi menjadi dua:

Pertama, demonstrasi untuk menjatuhkan pemerintahan, yang semata-mata karena motivasi duniawi bukan agama.

Kedua, demonstrasi untuk kepentingan duniawi lainnya.

Adapun jenis pertama, yaitu demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang bersifat syar’i, maka hukumnya tergolong bid’ah dalam agama. Sebab ia merupakan perkara baru, sedangkan kaidah syar’i yang berlaku dalam hal ini, ialah yang dikatakan oleh Nabi, bahwa semua bid’ah adalah sesat, sebagaimana yg diriwayatkan oleh imam Muslim dalam Shahihnya, dari Jabir secara marfu’.

Kalau ada yang berkata: “Demonstrasi kan termasuk wasilah (sarana), dan menggunakan wasilah hukum asalnya boleh selama ia memang mubah?”

Maka jawabnya: Memang benar. Akan tetapi hukum ini adalah bagi wasilah-wasilah yang bukan ditujukan untuk ibadah, sebab wasilah apa pun tidak lepas dari tiga kondisi:

Pertama, wasilah yang dianggap tidak berlaku. Yaitu setiap wasilah yang dilarang secara khusus oleh suatu dalil. Wasilah semacam ini jelas merupakan bid’ah bila digunakan. Seperti orang yang menggunakan drama sebagai sarana berdakwah, ini jelas haram hukumnya, sebab drama mengandur unsur ‘bohong’ yang jelas-jelas diharamkan.

Kedua, wasilah-wasilah yang dianggap mu’tabar. Yaitu setiap wasilah yang dibolehkan secara khusus oleh suatu dalil. Contohnya menggunakan adzan sebagai sarana memberitahukan masuknya waktu shalat. Ini jelas dibolehkan dan merupakan wasilah yang syar’i.

Ketiga, wasilah yang tidak memiliki dalil khusus yang membolehkan maupun melarangnya. Nah, wasilah semacam ini hukumnya berada antara mashalih mursalah dan bid’ah muhdatsah. Kaidah pembeda di antara keduanya -sebagaimana yg dirumuskan dengan sangat indah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- ialah dua poin berikut:

Pertama: kita harus memperhatikan hal yang diklaim sebagai maslahat dan hendak dilakukan tsb; apakah motivasi terjadinya hal tsb telah ada di zaman Nabi, dan tidak ada penghalangnya?

–          Kalau memang kondisinya seperti itu, maka melakukan hal yg dianggap maslahat tadi hukumnya adalah bid’ah. Alasannya, kalaulah hal itu memang baik, maka para sahabat pasti lebih dulu melakukannya, sebab mereka lah yang lebih mengenal Allah, lebih takut kepada-Nya dan semua kebaikan ialah dengan mengikuti sikap mereka.

–          Namun bila motivasi (atau sebab yang mendorong) terwujudnya hal tsb belum ada di zaman Nabi; atau sudah ada namun ada penghalang tertentu yang menghalangi dilakukannya hal yang dianggap maslahat tersebut; maka hal ini tidak dianggap sebagai bid’ah, bahkan ialah yang dimaksud dengan maslahat mursalah. Contohnya seperti pengumpulan Al Qur’an di zaman Rasulullah. Kita tahu para sahabat tidak memiliki motivasi dlm hal ini, sebab Rasulullah masih hidup di tengah-tengah mereka dan mereka tidak khawatir Al Qur’an akan hilang atau dilupakan. Namun setelah beliau wafat, mulailah kekhawatiran tersebut muncul, sehingga para sahabat terdorong untuk mengumpulkan Al Qur’an. Contoh lainnya ialah mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, merekam kajian dengan kaset, dan shalat tarawih berjama’ah di bulan Ramadhan. Semua hal ini terhalang untuk dilakukan di zaman Nabi. Dua contoh yang pertama tidak bisa dilakukan karena memang sarananya belum ada di zaman Nabi, sedangkan contoh ketiga ialah karena Nabi sengaja meninggalkannya supaya tidak diwajibkan, sedangkan pasca wafatnya Nabi, tidak mungkin ada sesuatu yang tadinya tidak wajib menjadi diwajibkan.

Kedua, jika motivasi (sebab yang mendorong) dilakukannya hal tersebut belum ada di zaman Nabi, maka perlu diperhatikan: apakah yang mendorong dilakukannya hal itu bagi kita adalah dosa sebagian kalangan? Kalau memang demikian, maka seseorang tidak boleh mengadakan hal baru yang menurutnya adalah maslahat mursalah. Bahkan kita diperintahkan untuk kembali kepada dienullah dan berpegang teguh dengannya; sebab inilah yang dituntut agar dilakukan oleh pihak yang berdosa, sedangkan pihak yang tidak berdosa hendaknya mengajak pihak yang berdosa agar segera bertaubat. Contoh tipe kedua ini misalnya mendahulukan khutbah sebelum shalat hari Raya agar orang-orang mendengarkan khutbah hingga selesai. Tindakan semacam ini tergolong bid’ah muhdatsah dan bukannya mashalih mursalah. Berikut ini adalah ucapan Ibnu Taimiyyah yg menjelaskan kaidah tersebut dlm Iqtidha’ Shiratil Mustaqim (2/59): “Kaidah dlm hal ini -wallahu a’lam- adalah dengan menyatakan bahwa orang-orang tidak mungkin mengada-adakan sesuatu, kecuali karena menganggapnya bermaslahat, sebab jika mereka menganggapnya bermafsadat, niscaya mereka tidak akan mengada-adakannya. Sebab secara logika maupun agama, hal itu tidak aka nada manfaatnya. Jadi, berkenaan dengan apa-apa yang dipandang maslahat oleh masyarakat, kita harus meneliti apakah sebab yang mendorongnya? Kalau memang sebab tersebut adalah sesuatu yang baru terjadi di zaman Nabi dan bukan akibat keteledoran kita; maka dalam kondisi ini bisa saja kita mengadakan apa-apa yang perlu diadakan. Demikian pula ketika sebab yang mendorongnya telah ada di zaman Nabi, namun beliau meninggalkannya karena suatu halangan yang kemudian hilang setelah beliau wafat, maka kita juga boleh melakukan hal tersebut.

Adapun hal-hal yang belum memiliki sebab terjadinya, atau sebab terjadinya adalah dosa sebagian kalangan; maka ketika ini kita tidak boleh mengada-adakan suatu. Jadi, segala perkara yang sebab terjadinya telah ada di zaman Nabi namun tidak dilakukan, maka ia sebenarnya bukan suatu maslahat. Adapun apa yang penyebabnya baru ada setelah kematian beliau dan bukan karena maksiat manusia; maka boleh jadi ia termasuk maslahat bila dilakukan kemudian.

Beliau lantas mengatakan: Adapun apa-apa yang sebabnya telah ada di zaman beliau -dan dianggap maslahat-, namun beliau tetap tidak mensyari’atkannya; maka bila hal tersebut tetap dilakukan, berarti mengadakan perubahan dalam agama Allah. Para penguasa, ulama, dan ahli ibadah yang dianggap terjerumus dalam tindakan merubah agama Allah tadi, biasanya karena hasil ijtihad. Hal ini telah diperingatkan oleh Nabi sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, yang berbunyi:

إن أخوف ما أخاف عليكم: زلَّة عالِم, وجدال منافقٍ بالقرآن, وأئمةٌ مضلُّون

“Termasuk hal yang paling kutakutkan atas kalian ialah: tergelincirnya seorang alim, orang munafik yang pandai berdebat dalam Al Qur’an, dan pemimpin-pemimpin yang menyesatkan”.

Contoh dari tipe ini ialah mengumandangkan adzan sebelum shalat hari raya. Ketika ada sebagian penguasa yang mengadakan hal tersebut, kaum muslimin segera mengingkarinya karena merupakan bid’ah.

Setelah menyimak penjelasan yang memukau dari Syaikhul Islam tadi, kita jadi tahu bahwa perbuatan sahabat dan salaf menunjukkan bahwa memang bid’ah bisa saja masuk ke hal-hal yang bersifat wasilah, sebagaimana masuk ke hal-hal yg bersifat ghaayah (tujuan). Siapa yang menentang hal tersebut, berarti menentang para salaf dan menjadi rival mereka. Agar lebih jelasnya, coba perhatikan contoh berikut:

Dalam kasus pengumpulan Al Qur’an, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab ra mengusulkan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan Al Qur’an. Maka jawab Abu Bakar: “Bagaimana kamu hendak melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan Rasulullah?”. Jawaban ini pula yang diucapkan Zaid bin Tsabit kepada Abu Bakar ketika ditawari untuk mengumpulkan Al Qur’an.

Ini jelas menunjukkan bahwa bid’ah pun bisa masuk ke hal-hal yang sifatnya wasilah (sarana), sebagaimana masuk ke ibadah itu sendiri. Sebab, mengumpulkan Al Qur’an sebetulnya merupakan sarana, pun demikian, mereka berdalih bahwa Rasulullah tidak melakukannya.

Lantas, mengapa kok akhirnya mereka kumpulkan juga? Jawabnya: Karena alasannya baru ada di zaman Abu Bakar, mengingat dahulu ketika Nabi masih hidup, mereka tidak khawatir Al Qur’an akan terlupakan karena Nabi ada di tengah mereka.

Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Ad Darimi dan Ibnu Wadhdhah bahwa Ibnu Mas’ud mengingkari orang-orang yg membikin halaqah-halaqah dzikir dan menghitung lafazh takbir, tasbih, dan tahlil mereka dengan kerikil. Beliau berdalil bahwa Rasulullah dan para sahabatnya tidak melakukan hal itu, padahal menghitung tasbih tak lebih dari sarana saja.

Setelah mengetahui bahwa demonstrasi demi mewujudkan hal-hal yang syar’i adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat -padahal mereka bisa saja melakukannya-, maka tidak lagi dibenarkan bila seseorang memrotes hal ini karena menganggap bahwa hukum asal demonstrasi adalah ‘mubah’ dan tidak boleh dilarang kecuali dengan dalil. Mengapa demikian? Karena dalam kasus ini, demonstrasi menjadi ibadah, dan hukum asal ibadah adalah ‘haram’. Mereka yang memrotes hal tersebut sama dengan mereka yang memrotes pelarangan merayakan maulid Nabi, dengan dalih bahwa hal tersebut tidaklah dilarang.

Maka sanggahannya: yang menjadi dalil bahwa hal tersebut dilarang, ialah karena ia merupakan ibadah yang tidak memiliki dalil yang mensyariatkannya, sehingga jadilah ia bid’ah. Karena hukum asal setiap bentuk ibadah adalah ‘terlarang’ dan ‘tidak boleh’.

Adapun demonstrasi (unjuk rasa) tipe kedua yang tujuannya hal-hal duniawi, juga ada dua macam. Pertama, unjuk rasa untuk menjatuhkan pemerintah karena alasan duniawi murni. Hal ini diharamkan jika ditilik dari nas-nas yang mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada pemerintah, meskipun dia seorang fasik dan zhalim. Selain dalil yang demikian banyak dalam hal ini, para salaf juga telah ijma’ akan haramnya hal tersebut. Mereka menganggap pihak yang menyelisihi dalam hal ini sebagai orang yg keliru (baca: tersesat). Silakan anda teliti sendiri di berbagai kitab yang memuat akidah para salaf.

Siapa yang berusaha menentangnya, maka ucapannya tertolak, dan ia tersesat karena menyelisihi dalil-dalil sunnah dan atsar para salaf. Dengan alasan seperti inilah para salaf menganggap sesat berbagai kelompok.

Haramnya unjuk rasa macam ini semakin besar jika dilakukan demi agama, sebab selain haram, dia juga dianggap bid’ah. Di samping itu, dalil-dalil yang akan kami sebutkan berkenaan dengan unjuk rasa tipe kedua, juga bisa menjadi dalil bagi tipe pertama.

Adapun tipe kedua, yaitu unjuk rasa untuk kepentingan duniawi lain selain menjatuhkan pemerintah; maka hukumnya haram dari berbagai sisi:

Pertama; meskipun unjuk rasanya bersifat damai, tetap saja ia bertentangan dengan perintah Rasulullah agar bersabar terhadap kezhaliman penguasa yang merampas hak-hak rakyatnya. Sebagaimana yg diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah bersabda:

ستكون أثَرَةٌ وأمور تنكرونها، قالوا يا رسول الله فما تأمرنا ؟ قال: تؤدون الحق الذي عليكم، وتسألون الله الذي لكم

Kelak akan terjadi sikap mementingkan diri sendiri dan perkara-perkara yang kalian ingkari[1]. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, lantas apa yang engkau perintahkan kepada kami?”. Kata beliau: “Tunaikanlah haknya atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah”.

Dalam Shahihain, Usaid bin Hudhair meriwayatkan bahwa Nabi bersabda:

ستلقون بعدي أثرة، فاصبروا حتى تلقوني على الحوض

Sepeninggalku nanti, kalian akan mendapati sikap mementingkan diri (pada para penguasa). Maka bersabarlah ! Hingga kalian bersua denganku di Telaga” (yakni telaga beliau di hari Kiamat).

Jadi, kita diperintah agar bersabar… bukan berunjuk rasa untuk menekan pemerintah. Para imam dan ulama ahlussunnah juga memerintahkan agar kita bersabar. Mereka mengatakan: (حتى يستريح بر، أو يستراح من فاجر) “(Tunggu saja) sampai orang yang baik istirahat (wafat) atau yang bejat diistirahatkan (diwafatkan)”.

Kedua; melalui unjuk rasa, roda pemerintahan akan berpindah ke tangan rakyat, dan ini merupakan pintu kerusakan. Tiap kali rakyat menginginkan sesuatu, mereka lantas berunjuk rasa menuntutnya. Kalaulah para pemuja hawa nafsu menghendaki agar syahwat mereka terpuaskan dengan cara haram, mereka akan terus berunjuk rasa hingga tuntutan mereka dipenuhi. Kemudian jika kaum sekuler dan liberal menginginkan sesuatu, mereka juga tinggal berunjuk rasa hingga tuntutannya dikabulkan… demikian seterusnya.

Padahal kita semua memaklumi bahwa kalangan yang baik dan agamis jumlahnya jauh lebih sedikit dari yang lainnya dalam komunitas kaum muslimin. Allah berfirman:

فَمِنْهُمْ مُهْتَدٍ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُون

Di antara mereka ada yang mendapat petunjuk, namun kebanyakan dari mereka adalah orang fasik (Al Hadid: 26).

Ketiga; sebagian besar aksi unjuk rasa -kalau tidak bisa dibilang seluruhnya- pasti mengandung campur baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilat) dalam bentuk yang diharamkan. Unjuk rasa tanpa ikhtilat sangat jarang terjadi dan tidak bisa dijadikan tolok ukur. Bukti terkuat akan hal ini adalah kenyataan di lapangan.

Keempat; kezhaliman penguasa penyebabnya adalah dosa rakyatnya. Sedangkan dosa tidak akan diampuni kecuali dengan taubat dan tunduk kepada Allah. Bukan dengan unjuk rasa. Dalam Minhajus Sunnah (4/315), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Hasan Al Bashri sering berkata: Hajjaj (bin Yusuf) adalah siksa Allah, maka janganlah kalian lawan siksa Allah dengan kekuatan, namun kalian harus tunduk dan bersimpuh di hadapan Allah; sebab Allah berfirman: (وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ) “Sebelumnya kami pernah menimpakan azab kepada mereka, akan tetapi mereka tidak menjadi tunduk dan bersimpuh di hadapan Rabb mereka” (Al Mukminun: 76). Thalq bin Habib (seorang tabi’in) juga sering berkata: “Waspadailah fitnah dengan bertakwa…” [.]

Keempat sisi ini berkaitan dengan unjuk rasa yang dianggap ‘damai’. Adapun unjuk rasa yang disertai kekerasan, maka selain mengandung berbagai mudharat tadi, ia juga mengakibatkan pertumpahan darah, perusakan harta benda, pelanggaran kehormatan, dll.

Setelah semua penjelasan ini, marilah kita kupas syubhat-syubhat mereka yang membolehkan unjuk rasa (pendukung demonstrasi) beserta sanggahannya. Dan sekali lagi perlu saya tegaskan, bahwa sebenarnya mereka meyakini terlebih dahulu baru mencari-cari dalil dengan penuh takalluf (pemaksaan) dan pemelintiran nas-nas syari’at.

Syubhat ke-1. Pendukung demonstrasi mengklaim bahwa perbuatan unjuk rasa telah disinggung dalam hadits, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/40), bahwa pasca masuk Islamnya Umar bin Khatthab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar memimpin dua barisan yang berisi sahabatnya. Barisan pertama dikepalai oleh Umar, dan barisan kedua oleh Hamzah. Beliau melakukan hal tersebut demi menunjukkan kekuatan kaum muslimin, sehingga kaum Quraisy tahu bahwa kaum muslimin memiliki kekuatan.

Sanggahannya: Ini sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan unjuk rasa bila ditinjau dari dua sisi; yaitu sisi riwayah dan dirayah.

Secara riwayah (verifikasi riwayat): sanadnya tergolong dha’if, sebab ada perawi yang bernama Ishaq bin Abi Farwah. Imam Ahmad mengatakan: “Menurutku, meriwayatkan hadits darinya adalah tidak halal”. Beliau juga mengatakan: “Ia tidak pantas diterima riwayatnya”. Sedangkan Ibnu Ma’ien mengatakan bahwa ia itu kadzdzab (pendusta) (lihat biografinya di tahdzibut tahdzib).

Adapun secara dirayah (pemahaman hadits), kota Makkah sebenarnya tidak memiliki kekuasaan yang syar’i, sebab musuh kaum muslimin di sana adalah kafir harbi. Maka setelah kaum muslimin makin kuat, merekapun memakai kekuatan sesuai kemampuan. Lantas dimanakah letak persamaannya antara kejadian ini dengan para demonstran yang berkumpul melawan pemerintah mereka, dalam rangka menunjukkan kemarahan mereka atas suatu kebijakan tertentu??!!

Syubhat ke-2: Pendukung demonstrasi mengklaim bahwa alasan bolehnya berdemonstrasi ialah karena ia merupakan sarana yang mujarab, dan terbukti bermanfaat untuk mencapai tujuan.

Sanggahan atas syubhat ini dalam dua sisi:

Pertama, terbukti pula dalam sangat banyak kejadian bahwa demonstrasi tidak mendatangkan manfaat. Jadi, ia merupakan sarana yang tidak pasti. Belum lama ini kita menyaksikan demonstrasi di Prancis melawan kebijakan pelarangan cadar, tapi toh tidak ada manfaatnya. Dan masih banyak contoh lain. Nah, bila kenyataannya seperti ini, maka ini tidak bisa menjadikan apa yang haram menjadi boleh, dan sebelumnya telah kita paparkan dalil-dalil yang mengharamkan demonstrasi.

Kedua, kalaupun akhirnya sarana ini berhasil membuahkan, maka tetap saja ia tidak bisa menjadi tolok ukur halal dan sahnya perbuatan itu sama sekali. Alasannya karena tujuan tidaklah menghalalkan segala cara.

Syubhat ke-3: Pendukung demonstrasi juga berdalil bahwa Rasulullah pernah didatangi oleh seorang lelaki yang mengeluhkan tetangganya. Nabipun berkata: “Sabarlah” (tiga kali), lalu keempat kalinya beliau berkata: “Buanglah barang-barangmu di jalan”, dan lelaki itupun menurutinya. Orang-orang yang lewat di sampingnya lantas bertanya: “Ada apa denganmu?” maka katanya: “Ia diganggu oleh tetangganya”, sehingga merekapun melaknat tetangganya. Si tetangga kemudian mendatanginya dan berkata: “Ambillah kembali barang-barangmu. Demi Allah, aku takkan mengganggumu lagi selamanya!”. Dalam riwayat lain disebutkan: Tetangga yang mengganggu tadi lantas datang kepada Rasulullah seraya mengeluh: “Ya Rasulullah, tahukah apa yang kuterima dari orang-orang?” “Apa yang kau terima dari mereka?” tanya beliau. “Mereka melaknatiku”, katanya. Maka jawab beliau: “Allah telah melaknatmu sebelum mereka”. “Aku takkan mengulanginya” kata orang itu. Lalu datanglah lelaki yang tadi mengeluhkannya kepada Nabi, maka Nabi bersabda kepadanya: “Ambil kembali barang-barangmu, Karena masalahmu telah ditanggulangi”. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang ‘berkumpul menentangnya’.

Sanggahannya: Istidlal (cara berdalil) mereka dengan hadits ini semakin menguatkan asumsi bahwa mereka telah meyakini terlebih dahulu baru mencari-cari dalil, walaupun dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil. Contohnya hadits ini.

Mereka mengatakan bahwa dalam hadits ini disebutkan bahwa orang-orang berkumpul untuk mengingkari perbuatan tersebut. Maka bantahannya adalah dari beberapa sisi:

Pertama, riwayat yang mengatakan ‘maka orang-orang berkumpul menentangnya’, disebutkan dalam Al Adabul Mufrad, dan tergolong riwayat yang lemah, karena dari jalur Muhammad bin ‘Ajlan yang meriwayatkan dari ayahnya.

Kedua, perkumpulan mereka ini terjadi secara kebetulan, bukan disengaja untuk menekan dan mengingkari pemerintah. Ini jelas beda dengan unjuk rasa yang kita bahas.

Ketiga, kalaulah riwayat ini kita anggap shahih dan perkumpulan tersebut memang disengaja, maka di manakah letak kesamaannya dengan berkumpulnya sejumlah orang untuk menekan pemerintah, sebagaimana yang dilakukan para demonstran??

Keempat, kalaupun riwayat ini kita anggap shahih dan perkumpulan mereka memang disengaja; maka istidlal mereka paling-paling dengan mengqiyaskannya dengan unjuk rasa. Padahal telah menjadi ketetapan di antara seluruh ulama, bahwa bila suatu qiyas bertabrakan dengan dalil, jadilah ia qiyas yang fasid (rusak), sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Dan dalil-dalil yang menunjukkan haramnya unjuk rasa telah kita bahas.

Kelima, instruksi Rasulullah tersebut tujuannya agar yang bersangkutan sadar akan bahayanya mengganggu tetangga, dan beliau adalah orang yang memiliki kekuasaan untuk mengingkari dengan ‘tangan’nya.

Syubhat ke-4: Mereka berdalil dengan anjuran syari’at kepada laki-laki, perempuan, bahkan gadis pingitan dan wanita haidh; untuk hadir di tempat shalat ‘ied. Ini menunjukkan dianjurkannya ‘demonstrasi’, sebab perbuatan tersebut mengandung unsur menunjukkan kekuatan kaum muslimin; sama halnya dengan demonstrasi.

Sanggahan atas hal ini adalah sbb;

Pertama, anjuran shalat ‘ied di lapangan bukanlah dalam rangka menunjukkan kekuatan kaum muslimin, namun dalam rangka menampakkan syi’ar ini yang mengandung beberapa hikmah. Di antaranya: menunjukkan kerukunan kaum muslimin, berkumpul di satu tempat, dan menampakkan rasa bahagia atas hari raya tersebut. Bukankah hal ini juga terjadi di zaman Rasulullah ketika kaum muslimin dalam kondisi kuat? Demikian pula di zaman Umar bin Khatthab dan Utsman bin ‘Affan, dan itu juga zaman-zaman keemasan Islam? Apalagi jika mengingat bahwa shalat tersebut dilakukan di Madinah, yang merupakan ibukota daulah Islam. Jadi, mereka hendak unjuk kekuatan kepada siapa di Madinah??

Kedua, kalaupun dalil ini kita terima, ujung-ujungnya adalah qiyas. Dan bila qiyas bertabrakan dengan dalil-dalil syar’i, maka rusaklah dia.

Ketiga, di manakah letak persamaannya antara berkumpulnya kaum muslimin untuk menghadiri shalat ‘ied, dengan berkumpulnya para demonstran untuk memrotes kebijakan pemerintah?

Aneh sekali cara mereka berdalil… tidakkah mereka berfikir?

Ketiga sanggahan tadi juga ditujukan kepada mereka yang berdalil dengan shalat jum’at, shalat berjama’ah di mesjid-mesjid, dan even-even ibadah semisal.

Syubhat ke-5: Mereka berdalih bahwa syari’at memerintahkan kita untuk mengingkari kemungkaran, dan demonstrasi ini juga demi mengingkari kemungkaran.

Sanggahannya adalah sebagai berikut:

Pertama, dalih tersebut tidak bisa diterima begitu saja. Sebab bolehnya mengingkari kemungkaran tidak berarti membolehkan cara tersebut -dengan mengingat kembali dalil-dalil yg mengharamkan demonstrasi-. Jadi, kebatilan tidak boleh diingkari dengan kebatilan juga. Cara untuk memperbaiki kondisi yang sesuai dengan syar’i masih banyak, bagi yang ingin melakukannya.

Kedua, tercapainya kemaslahatan melalui demonstrasi hanya bersifat dugaan, dan dalam berbagai kasus demonstrasi terbukti tidak bermanfaat. Kalau kenyataannya seperti itu, maka yang haram tidaklah menjadi boleh karenanya. Apalagi jika mengingat bahwa demonstrasi seringkali menyebabkan kemungkaran yang lebih besar.

Ketiga, syari’at telah mengajarkan berbagai cara untuk mengingkari kemungkaran. Jika seseorang menerapkannya dan ia berhasil, maka Alhamdulillah. Namun jika tidak berhasil, maka ia telah bebas dari tanggung jawab dan melaksanakan kewajibannya.

Syubhat ke-6: mereka berdalil bahwa Izzuddien bin Abdussalaam dan ulama lainnya pernah melakukan semisal demonstrasi.

Sanggahannya adalah sbb:

Pertama, kalaupun benar bahwa para ulama tadi melakukan hal tersebut, toh perkataan dan perbuatan ulama hanya bersifat menguatkan dalil sekaligus membutuhkan dalil (yuhtajju laha), dan bukan sebagai dalil (yuhtajju biha). Jadi, perbuatan dan perkataan ulama bukanlah hujjah (dalil) menurut ijma’ ulama. Apalagi jika ada sejumlah dalil yang mengarah kepada tidak dianjurkannya demonstrasi, sebagaimana yg telah dibahas.

Kedua, kebanyakan sikap ulama yang mereka nukil dalam masalah ini, tidak bisa dianggap sebagai demonstrasi sama sekali. Mereka hanya ‘memperluas’ pengertiannya dan menggunakan qiyas yang fasid, untuk menyamakannya dengan demonstrasi.

Ketiga, banyak perbuatan bid’ah yang juga dilakukan oleh mereka yang dijuluki ulama tersebut. Izzuddien bin Abdussalaam misalnya, ia menganggap bahwa para wali bisa saja mengetahui apa yang tertulis di lauhul mahfuzh (lihat kitab beliau yg berjudul ‘Qowa’idul Ahkam 1/140). Beliau juga termasuk orang yang menghujat para salaf dalam meyakini sifat-sifat Allah; dan kekeliruan (baca: kesesatan) beliau ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya.

Syubhat ke-7: mereka yang merekayasa dalil, berdalih bahwa para ulama melarang demonstrasi hanya sebagai tindakan preventif (saddud dzarie’ah), karena bisa menimbulkan berbagai kerusakan. Nah, bila ada suatu demonstrasi yang diperhitungkan tidak akan menimbulkan kerusakan-kerusakan tadi, maka ia boleh dilakukan.

Untuk menyanggahnya, kita katakana bahwa tidak semua yang dilarang oleh para ulama sebagai tindak preventif (saddud dzarie’ah) berarti haru berakibat seperti itu. Akan tetapi maksudnya bahwa biasanya akan berakibat seperti itu, sehingga mereka melarangnya walaupun tidak berakibat seperti itu kadang-kadang. Inilah makna dari saddud dzarie’ah yang dalil-dalilnya dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau yang berjudul ‘Bayaanud daliel ‘ala Buthlaanit Tahliel’. Di sana beliau menyebutkan lebih dari 30 dalil yang mengarah kepada saddud dzarie’ah. Kemudian ditambahkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab I’laamul Muwaqqi’ien hingga menjadi 99 dalil.

Salah satu dalil bahwa saddud dzarie’ah dapat dipakai sebagai hujjah, adalah aturan syari’at yang mengharamkan seorang lelaki berduaan dengan wanita ajnabiyah. Alasannya ialah agar tidak terjerumus dalam hal-hal yang diharamkan Allah. Padahal mungkin saja terjadi dua-duaan tanpa melakukan hal-hal yang diharamkan. Pun demikian, hal ini tetap dilarang dan diharamkan. Nah, seperti itu pula lah setiap hal yang dilarang dalam rangka saddud dzarie’ah; karena syari’at tidak membeda-bedakan kasus yang sejenis.

Syubhat ke-8: Ada sebagian kalangan yang menisbatkan demonstrasi kepada para salaf dan sahabat Nabi; dan menganggapnya sebagai metode yang ‘salafi’ karena dilakukan oleh para sahabat. Dalil mereka ialah bahwa Ummul Mukminin Aisyah ك , Thalhah bin ‘Ubeidillah, dan Az Zubeir bin ‘Awwam م  , telah berkumpul dalam Perang Jamal dan ini merupakan fenomena demonstrasi. Sebab mereka bermaksud menekan dan memrotes Ali bin Abi Thalib ط .

Cara berdalil seperti ini juga menguatkan asumsi yang lalu, bahwa para pendukung demonstrasi memang telah meyakini terlebih dahulu, baru kemudian mencari-cari dalil secara paksa untuk membenarkan keinginan mereka. Kejadian Perang Jamal ini tidak sah dijadikan dalil karena beberapa alasan:

Pertama, berkumpulnya mereka saat itu bukan dalam rangka menekan Ali bin Abi Thalib agar melakukan sesuatu. Mereka hanya berkumpul untuk menuntut darahnya Utsman bin Affan. Jadi, Az Zubeir bin ‘Awwam dan Thalhah bin ‘Ubeidillah terjun dalam rangka menuntut darah ‘Utsman. Sedangkan Aisyah terjun dalam rangka ishlah (mendamaikan), sebagaimana dalam sebuah riwayat shahih dari beliau sendiri, yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (6/236).

Jadi, mereka tidak berkumpul di Perang Jamal dalam rangka apa yang disebut: unjuk rasa untuk menekan pemerintah agar melakukan sesuatu. Sebab mereka sebenarnya ingin terjun langsung dalam menuntut balas kematian Utsman.

Kedua, apa yang dilakukan oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubeir tadi merupakan suatu kesalahan yang akhirnya mereka sesali. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Minhajus Sunnah (6/129) berdasarkan nukilan dari mereka. Beliau mengatakan: “Aisyah juga menyesal karena ikut berangkat ke Basrah, dan tiap kali ia mengingat kejadian tersebut, ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya. Demikian pula Thalhah yang menyesal karena mengira bahwa dirinya kurang maksimal dalam membela Utsman dan Ali, selain dengan cara itu. Zubeir pun juga menyesal karena berangkat pada saat Perang Jamal”.

Beliau juga mengatakan (4/170): “Aisyah sebenarnya tidak ikut perang, dan tidak berangkat untuk berperang. Ia hanya berangkat dengan maksud mendamaikan kaum muslimin, dan mengira bahwa keikutsertaannya akan mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin. Akan tetapi kemudian ia sadar bahwa yang lebih baik ialah bila dirinya tidak berangkat; sehingga tiap kali ia mengingat keberangkatannya ke Perang Jamal, iapun menangis hingga kerudungnya basah oleh air mata. Demikian pula seluruh sahabat yang tergolong assaabiquunal awwaluun. Mereka menyesali keterlibatan mereka dalam perang saudara… Thalhah, Zubeir, dan Ali semuanya menyesali hal tersebut. Tragedi Perang Jamal benar-benar diluar dugaan mereka, dan mereka sama sekali tidak punya niat untuk berperang”.

Telah dimaklumi pula, bahwa para sahabat secara personal tidaklah ma’sum. Mereka bisa saja keliru, dan bila mereka keliru maka hanya mendapat satu pahala, dan kedudukan mereka tetap terjaga. Namun bila mereka benar akan mendapat dua pahala, berdasarkan keumuman hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim, dan hadits Amru bin Ash dalam Shahihain; bahwa Nabi bersabda:

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران. وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر

Jika seorang hakim berijtihad dalam membikin keputusan dan keputusan tadi ternyata benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun bila keputusannya salah maka ia mendapat satu pahala.

Nah, keputusan mereka dalam kasus ini adalah keliru; dan kekeliruan yang telah disesali oleh mereka tidak sah untuk dijadikan dalil. Barang siapa tetap mengikutinya, berarti dia mengikuti hawa nafsu.

Ketiga, ada sejumlah banyak sahabat yang menyelisihi mereka yang berangkat untuk menuntut darah ‘Utsman. Di antara yang paling keras menyelisihinya ialah Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, bahkan mayoritas sahabat juga menyelisihi hal ini dengan tidak terlibat dalam fitnah tersebut; kecuali hanya beberapa gelintir saja di antara mereka yang terlibat.

Dalam Al Bidayah wan Nihayah (7/261), Ibnu Katsir mengatakan: Asy Sya’bi berkata: Tidak ada peserta perang Badar yang ikut membela Ali dalam hal ini kecuali hanya enam orang, tidak ada yang ketujuh. Sedangkan selain Asy Sya’bi mengatakan hanya empat orang. Ibnu Jarir dan yang lainnya mengatakan bahwa di antara tokoh sahabat yang menerima ajakan Ali adalah: Abul Haitsam ibnut Tiehan, Abu Qatadah Al Anshari, Ziyad bin Hanzhalah, dan Khuzaimah bin Tsabit”.

Jika memang demikian kenyataannya, maka kejadian Perang Jamal tidak sah untuk dijadikan dalil karena alasan tadi. Ini juga semakin menguatkan pernyataan para ulama, bahwa demonstrasi adalah cara bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun para sahabat.

Berikut ini adalah fatwa sejumlah ulama Ahlussunnah kontemporer yang mengharamkan demonstrasi, agar kita bisa membandingkannya dengan pernyataan sebagian kalangan yang hanya mengandalkan semangat dan emosi dalam masalah ini.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:

“Cara yang baik adalah faktor paling dominan yang menyebabkan diterimanya kebenaran. Sedangkan cara yang jelek adalah faktor paling berbahaya yang menyebabkan ditolaknya kebenaran, terjadinya kekacauan, kezhaliman, permusuhan, dan ketidak stabilan. Termasuk di dalamnya apa yang dilakukan sebagian kalangan dengan berunjuk rasa yang mengakibatkan kerugian besar atas para da’i. Mengadakan konvoi di jalan-jalan dan meneriakkan yel-yel bukanlah metode dakwah dan islah (memperbaiki kondisi). Metode yang benar ialah dengan mengadakan kunjungan dan menyurati dengan cara yang paling baik. Dengan cara inilah kita menasehati kepala negara, gubernur, dan pemuka kabilah (kelompok). Bukan dengan cara kekerasan dan demonstrasi. Karena Nabi selama 13 tahun tinggal di Mekkah tidak pernah memakai cara demonstrasi dan konvoi. Beliau juga tidak pernah mengancam orang-orang dengan tindak pengrusakan dan pembunuhan. Tidak diragukan lagi bahwa cara-cara semacam ini justru merugikan dakwah dan para da’i, serta menghalangi penyebaran dakwah. Bahkan menjadikan para penguasa dan pembesar semakin memusuhinya dengan segala kekuatan. Mereka menghendaki kebaikan dengan cara tersebut, namun yang terjadi justru sebaliknya. Jadi, bila seorang da’i mengikuti jalan para Rasul dan pengikutnya; maka meskipun lama, cara ini lebih utama daripada melakukan hal-hal yang merugikan dakwah dan mempersempit gerakannya, atau bahkan menumpasnya. Laa haula walaa quwwata illa billaah (majalah buhuts al islamiyyah, no 210 hal 38).

Syaikh Al Albani dalam kasetnya yg berjudul ‘Silsilah al huda wan nuur’ (no 210) mengatakan: “Memang benar, bahwa wasilah yang tidak bertentangan dengan syari’at hukum asalnya adalah mubah. Ini tidak masalah. Akan tetapi jika wasilah tersebut berupa meniru cara-cara yang tidak islami; maka wasilah tersebut menjadi wasilah yang tidak syari’i. Ikut serta dalam demonstrasi atau unjuk rasa untuk menampakkan kesukaan atau ketidak sukaan, dan menunjukkan dukungan atau protes terhadap suatu kebijakan atau undang-undang tertentu; cara semacam ini hanya klop dengan model pemerintahan yang mengatakan: pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun ketika masyarakatnya bersifat islami, tidak perlu ada demonstrasi. Yang perlu dilakukan ialah menyampaikan hujjah kepada pemerintah yang menyelisihi syari’at.

Beliau kemudian berkata: “Aku menilai demonstrasi seperti ini bukan merupakan wasilah islami dalam menunjukkan sikap setuju atau tidak setuju dari rakyat. Sebab masih banyak cara lain yang bisa mereka tempuh…”

Kemudian beliau berkata: “Akhirnya, apakah benar bahwa demonstrasi-demonstrasi tadi bisa merubah kebijakan pemerintah jika para demonstran bersikukuh dengan tuntutannya? Kita tidak tahu sudah berapa banyak terjadi demonstrasi, dan berapa banyak korban jiwa yang jatuh di dalamnya; akan tetapi kondisinya tetap seperti sebelum terjadinya demonstrasi. Karenanya, kami tidak menganggap cara semacam ini dalam pengertian ‘bahwa hukum asal sesuatu adalah dibolehkan’, karena ia termasuk taklid kepada masyarakat barat”.

Dalam kitab Silsilah al Ahadiets al Maudhu’ah (14/74), beliau mengatakan: “Masih saja ada sejumlah kelompok Islam yang berunjuk rasa. Mereka lupa bahwa cara tersebut adalah kebudayaan dan metode orang kafir, yang hanya cocok dengan ideologi mereka bahwa pemerintahan itu milik rakyat; dan bertentangan dengan sabda Nabi yang mengatakan bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ع ”.

Syaikh Muhammad bin Utsaimin pernah ditanya: “Apakah demonstrasi termasuk wasilah dakwah yang syar’i?”.

Jawab beliau: “Demonstrasi adalah perkara baru yang tidak dikenal di zaman Nabi ع, di zaman khulafa’ur rasyidin, maupun para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Di samping itu, demonstrasi mengandung kekacauan dan kerusuhan yang menjadikannya terlarang… yaitu dengan pemecahan kaca, perusakan pintu, dan lain-lain. Dalam demonstrasi juga terjadi ikhtilat  (campur-baur) antara laki-laki dengan perempuan, antara kawula muda dan orang tua, dan berbagai kemungkaran lainnya. Adapun masalah menekan pemerintah, kalaupun ini kita terima, maka cukuplah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah sebagai penasehat baginya. Inilah tawaran terbaik yang ditujukan kepada seorang muslim. Adapun bila ia seorang kafir, maka ia tidak akan mempedulikan para demonstran. Ia paling-paling hanya bermuka manis di hadapan mereka dan menyembunyikan niat jahat dalam hatinya. Karenanya, kami memandang bahwa demonstrasi adalah perkara munkar.

Adapun mereka yang mengatakan bahwa demonstrasi ini bersifat ‘damai’, maka boleh jadi ia memang damai awalnya atau pertama kalinya; namun kemudian menjadi tindak pengrusakan. Kunasehatkan agar para pemuda mengikuti ajaran para salaf, sebab Allah ta’ala telah memuji para muhajirin dan anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” (lihat: Al Jawabul Abhar hal 75).

Syaikh Shalih Al Fauzan pernah ditanya: “Apakah melakukan demonstrasi termasuk wasilah dakwah dalam memecahkan problematika umat Islam?”

Jawab beliau: “Agama kita bukanlah agama yang kacau. Agama kita adalah agama yang teratur, agama yang tertib dan tenang. Demonstrasi tidak termasuk prilaku kaum muslimin, dan tidak dikenal oleh kaum muslimin zaman dahulu. Agama Islam agama agama yang tenang, penuh rahmat, dan jauh dari kekacauan, gangguan, serta tidak menyulut fitnah. Inilah agama Islam. Hak-hak bisa diperjuangkan tanpa cara seperti ini, namun dengan menuntutnya secara syar’i dan dengan cara yang syar’i. Demonstrasi-demonstrasi seperti ini hanya menimbulkan berbagai macam fitnah, mengakibatkan pertumpahan darah, dan pengrusakan harta benda. Maka perkara ini hukumnya tidak boleh” (lihat: Al Ijaabaatil Muhimmah fil Masyaakil Al Mulimmah, oleh Muhammad al Hushain hal 100).

Wallaahu ta’ala a’lam.
(disadur dengan sedikit perubahan dari artikel berjudul: كشف شبهات مجوزي المظاهرات oleh Syaikh Abdul Aziz ar Rayyis).

[1] Artinya: Akan ada penguasa yang mementingkan diri sendiri dan merampas hak-hak rakyatnya, serta banyak berbuat maksiat.