mana_dalilnya_2_front_covSyubhat 3:

Ada Apa Dengan Syair Abbas bin Abdil Mutthalib radhiyallaahu ‘anhuma ?

Pada halaman 70, Ustadz Novel mengutip sebuah syair yang konon diucapkan oleh Abbas bin Abdil Mutthalib radhiyallaahu ‘anhuma kepada beliau sepulang dari perang Tabuk. Terjemahan syair itu menurutnya adalah sebagai berikut:

Sebelum terlahir ke dunia,

Engkau hidup senang di Surga

Ketika aurat tertutup dedaunan

Engkau tersimpan di tempat yang aman

Kemudian Engkau turun ke bumi

Bukan sebagai manusia, segumpal darah maupun daging,

tetapi nutfah, yang menaiki perahu Nuh

Ketika banjir besar menenggelamkan semuanya

anak cucu Adam beserta keluarganya

Kemudian engkau berpindah dari sulbi ke rahim

Dari satu generasi ke generasi berikutnya

Hingga kemuliaan dan kehormatanmu

berlabuh di nasab terbaik

yang mengalahkan semua bangsawan

Ketika engkau lahir

Bumi bersinar

cakrawala bermandikan cahayamu

Kami pun berjalan di tengah-tengah cahaya,

sinar dan jalan yang penuh petunjuk itu

Kemudian Ustadz Novel mengatakan: Coba Anda simak, bait-bait syair di atas. Dalam syair di atas secara ringkas Sayyidina ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma menceritakan perjalanan hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum terlahir ke dunia ini hingga hari lahir ke muka bumi. Karena itu sungguh aneh jika ada orang yang menyatakan bahwa para sahabat tidak pernah menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi, sedangkan Sayidina ‘Abbas telah menyampaikan bait-bait syair tersebut di hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dan sejumlah sahabat. Inilah salah satu bentuk peringatan maulid yang diselenggarakan oleh para sahabat.[1])

Saya katakan: sungguh aneh kalau Ustadz Novel menganggap apa yang dilakukan oleh ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma tadi sebagai peringatan maulid. Mengapa? Pertama: ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma tidak mengucapkan syair tadi pada hari kelahiran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam , namun ia mengucapkannya sepulang dari perang Tabuk, sedangkan perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab tahun sembilan Hijriah[2]). Lantas apa sangkut-pautnya dengan peringatan maulid yang diselenggarakan tiap bulan Rabi’ul Awwal? Siapa yang aneh disini kalau begitu…? Kedua: hal ini hanya terjadi satu kali sepanjang sejarah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam , dan ia mendapat persetujuan beliau. Sedangkan peringatan maulid yang kita saksikan sekarang terulang terus setiap tahun tanpa ada persetujuan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam . Lalu bagaimana yang kedua ini hendak dikiaskan dengan apa yang dilakukan ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma ? Ketiga: Yang disetujui oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini ialah syair ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma karena isinya tidak berlebihan[3]). Artinya persetujuan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tadi tidak berlaku pada setiap syair yang dipersembahkan kepada beliau di kemudian hari, mengapa? Karena boleh jadi syair-syair lainnya mengandung unsur ghuluw kepada beliau. Sebagai contoh, perhatikan riwayat berikut:

قَالَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ : جَاءَ النَّبِيُّ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ لاَ تَقُوْلِي هَذَا وَقُوْلِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ (رواه البخاري برقم 4001, 5147)

Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afra’ mengatakan: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam datang di hari pernikahanku, kemudian beliau duduk di atas dipanku seperti posisi dudukmu sekarang [4]). Maka mulailah gadis-gadis kecil menabuh rebana sembari menyebut-nyebut kepahlawanan nenek moyangku yang terbunuh dalam perang Badar[5])… sampai ketika ada diantara mereka yang mengatakan: “…diantara kita ada seorang Nabi yang tahu apa yang terjadi esok”, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyela: “Jangan berkata begitu, katakan saja apa yang sebelumnya kau katakan” (H.R. Bukhari no 4001, 5147).

Coba saudara perhatikan, jelas sekali bahwa ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyetujui pujian-pujian tertentu yang ditujukan kepadanya, tidak berarti pujian lain hukumnya seperti itu. Apalagi kalau Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam belum pernah mendengarnya semasa hidupnya. Karenanya, syair-syair pujian yang ditujukan kepada beliau sepeninggal beliau, tidak bisa kita samakan dengan syair-syair yang diucapkan oleh para sahabat di hadapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam atas persetujuannya. Karena yang terakhir ini telah ‘lulus sensor’, sedang yang pertama belum. Jadi harap dibedakan mas Novel…

Bersambung ke syubhat keempat….

^$^$^


[1]) Mana Dalilnya 2, hal 71-72.

[2]) Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab ‘Uyunul Atsar, 2/253, oleh Muhammad bin Abdillah bin Yahya (ibnu Sayyidin Naas), cet. Muassasah ‘Izzuddien th 1406H, Beirut-Libanon.

[3]) Inipun setelah kita menganggap bahwa kisah ini benar adanya.

[4]) Ibnu Hajar dalam Fathul Baari mengatakan bahwa dengan memperhatikan berbagai nash yang ada, dapat disimpulkan bahwa Rasulullah e memiliki kekhususan bahwa beliau merupakan mahram bagi tiap wanita muslimah. Karenanya, hadits di atas tidak boleh dijadikan dalil bolehnya seorang lelaki ajnabi berduaan dengan wanita ajnabiyyah, karena hal ini merupakan kekhususan Rasulullah e (lihat syarh hadits no 5147).

[5]) Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang dimaksud nenek moyang di sini ialah secara majaz. Karena yang terbunuh pada perang Badar ialah ayahnya, pamannya, dan kerabatnya dari suku Khazraj seperti Haritsah bin Suraqah t (Fathul Baari, syarh hadits no 4001).