Sebelumnya, saya ucapkan ‘syahr mubarak’ atas masuknya bulan Ramadhan 1431 H, semoga Allah memudahkan kita untuk melaksanakan shiyam dan qiyam di dalamnya, dan menjadikan kita insan-insan yang bertakwa… aamin.

Amma ba’du… Pembahasan tentang asma’ was sifat memang menimbulkan polemik sejak dahulu. Polemik ini muncul akibat kekeliruan  sebagian pihak dalam memahaminya. Ada golongan yang menolak asma’ was sifat sebagai bagian dari tauhid, dan mengatakan bahwa pembagian tauhid menjadi 3 (rububiyyah, uluhiyyah, dan asma’ was sifat) adalah bid’ah-nya orang-orang ‘wahhabi’… Mereka mengatakan bahwa pembagian tersebut tidak ada dalilnya sama sekali. Kepada mereka kita pantas bertanya: Dalil apakah yang kalian maksudkan? Kalau dalil berupa ayat atau hadits atau ijma’ yang bunyinya: “Tauhid terbagi menjadi tiga: uluhiyyah, rububiyyah dan asma’ was sifat”, ya MEMANG TIDAK ADA… sebagaimana tidak adanya dalil (ayat, hadits, atau ijma’) yang mengatakan bahwa Syarat sahnya shalat ada enam umpamanya, yaitu: Islam, mumayyiz, thaharah, masuk waktu, niat, dan menghadap kiblat… atau syarat wajib zakat ada dua, yaitu nisab dan haul… atau syarat haji ada sekian, dst… demikian pula rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan sunnah-sunnahnya yang banyak kita jumpai dalam kitab-kitab fikih… Akan tetapi anehnya mereka yg menolak pembagian tauhid menjadi tiga tidak pernah menolak hal-hal yg tersebut di atas… padahal semuanya sama-sama tidak punya dalil yg bunyinya: “Syarat sahnya shalat terbagi menjadi bla-bla-bla…” dst. ANEH… padahal mereka semestinya konsekuen dong… kalau pembagian tauhid menjadi tiga mereka tolak krn dianggap tidak ada dalilnya, maka pembagian yg berkenaan dgn syarat ibadah, atau rukun2nya juga harus mereka tolak.

Untuk menjawab syubhat ini, perlu kita ketahui bahwa apa yg dilakukan ulama Ahlussunnah (yg mereka juluki Wahhabi tsb) sebenarnya tidak berbeda dgn yg dilakukan para fuqoha’. Masing-masing mendasarkan pembagiannya dengan apa yg disebut istiqraa-un nushuush, artinya mengumpulkan dan menelaah nash-nash atau dalil-dalil yg ada tentang suatu masalah, lalu mengambil kesimpulan berdasarkan dalil-dalil tersebut. Bila kita teliti secara obyektif, ternyata Al Qur’an sendiri membedakan antara tauhid rububiyyah, yg artinya mengimani Allah sebagai pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta; dengan tauhid uluhiyyah yang merupakan tuntutan agar manusia hanya mengesakan Allah dlm semua bentuk ibadahnya… Buktinya, dalam banyak ayat Allah menyebutkan bhw pabila kaum musyrikin ditanya: siapakah yg menciptakan langit dan bumi? Niscaya mereka menjawab: Allah… (lihat: QS. Al Ankabut: 61; Luqman: 25; Az Zumar: 38 dll) pun demikian mereka tetap dianggap musyrik… dan tauhid mereka yg seperti itu tidak bisa menyelamatkan mereka dari api neraka. Ini jelas menunjukkan bahwa mentauhidkan Allah memiliki dua bagian yang harus dipenuhi, dan tidak cukup sekedar salah satunya… yaitu mentauhidkan Allah dengan hal-hal yg berkaitan dengan diri-Nya (yg tak lain adalah tauhid rububiyyah) dan mentauhidkan Allah lewat amal ibadah kita (alias tauhid uluhiyyah)…

Lantas apa dalilnya asma’ was sifat? Sebenarnya tauhid asma’ was sifat merupakan bagian dari rububiyyah, karena ia berkaitan dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah ‘azza wa jalla. Akan tetapi berhubung tidak semua orang yg mengimani rububiyyah Allah juga mengimani asma’ was sifat-Nya, maka para ulama memisahkan  masalah asma’ was sifat dalam bagian tersendiri. Tentunya mereka punya dalil dlm masalah ini, yaitu firman Allah dlm QS. Al Furqan: 60 yg berbunyi:

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اسْجُدُوا لِلرَّحْمَنِ قَالُوا وَمَا الرَّحْمَنُ أَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُورًا} [الفرقان: 60]

Jika dikatakan kepada mereka (kaum musyrikin): “Sujudlah kepada Ar Rahman”, mereka mengatakan: “Apa itu Ar Rahman? Apa kami hendak bersujud kepada apa yg kau perintahkan?” dan perintah itu menjadikan mereka semakin lari dari iman.

Demikian pula yang terjadi dlm perjanjian Hudaibiyyah tatkala Nabi menyuru Ali bin Abi Thalib agar menulis: Bissmillahirrahmanirrahiem, Suhail bin Amr yg merupakan duta kaum musyrikin menyela: “Ar Rahman? Demi Allah, aku tidak tahu apa itu… tapi tulis saja: Bismikallaahumma, sebagaimana yg dahulu kamu tulis”. (HR. Bukhari no 2581).

Ini menunjukkan bahwa kaum musyrikin yg mengimani rububiyyah Allah ternyata tidak mengimani salah satu nama Allah, yaitu Ar Rahman, yg mengandung sifat kasih sayang… Kesimpulannya, tauhid memiliki tiga unsur yg harus dipenuhi: Rububiyyah, Uluhiyyah, dan asma’ was sifat. Bila salah satunya tidak dipenuhi, berarti pelakunya masih tergolong ‘kafir’  dan belum ‘muwahhid’, entah itu kafir dalam masalah rububiyyah, atau kafir dlm uluhiyyah, atau kafir dalam masalah asma’ was sifat. Namun khusus yg terakhir, tidak semua yang keliru dalam menyikapi asma’ was sifat lantas kita katakan sebagai  ‘orang kafir’, akan tetapi tergantung bagaimana kekeliruannya. Jika ia menolak semua asma’ dan sifat Allah, berarti dia tergolong Jahmiyyah yang menurut ijma’ ulama dianggap kafir, sebagaimana yg dinukil oleh Imam Bukhari dalam bagian awal dari kitab beliau yg berjudul: Khalqu Af’aalil ‘Ibaad. Namun bila mereka mengatakan bahwa Allah hanya memiliki nama tanpa memiliki sifat, maka merekalah golongan Mu’tazilah yg dianggap sesat dan ahli bid’ah oleh para ulama. Namun ada juga golongan yang ‘bingung’ dan terombang-ambing di antara kedua golongan tadi, yaitu kaum Asy’ariyah. Di satu sisi mereka membantah kesesatan golongan Jahmiyyah dan Mu’tazilah… namun di sisi lain mereka mengikuti kedua golongan tadi. Mereka menetapkan sejumlah sifat bagi Allah seperti: wujud, qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi, qiyamuhu binafsihi, ilmu, iradah, qudrah, dst… yang jumlahnya kadang sampai dua puluh, dan mereka namakan sifat wajib bagi Allah… lalu ada pula sifat Ja-iz, dan ada pula sifat Mustahil.

Perlu kita tanyakan kepada mereka: “Apa dalil kalian atas pembagian tersebut? Adakah dalil dari Al Qur’an atau Sunnah yg mengatakan seperti itu?”. Tentunya tidak ada sama sekali… sebab itu merupakan pembagian yg muncul dari pengaruh ilmu kalam (filsafat)… yang sama sekali tidak pernah ada di masa para salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in).

Mereka menetapkan sifat wujud (ada) bagi Allah, demikian pula sifat ilmu (mengetahui/berilmu), qudrah (mampu), hayah (hidup), khalq (menciptakan), iradah (berkehendak), sami’ (mendengar), bashir (melihat), dan sejumlah sifat lainnya… akan tetapi menolak sifat istiwa’ di atas Arsy, atau berada di atas ‘Arsy. Mereka juga menolak bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam terakhir… menolak sifat al-‘uluww, atau Allah berada di atas… menolak bahwa Allah memiliki wajah yg hakiki yg bukan berarti keridhaan… menolak bahwa Allah memiliki dua tangan yang hakiki… memiliki jari jemari… memiliki kaki yg hakiki… menolak bahwa Allah bisa marah, atau tertawa, atau ridha yang hakiki…

Sedangkan Ahlussunnah meyakini semua sifat tadi sebagai sifat yg hakiki bagi Allah, tanpa menafikan, menyerupakan, menakwilkan, atau menanyakan bagaimana hakikatnya. Ahlussunnah meyakini bahwa Allah memiliki wajah yg sesuai dengan kebesaran dan keagungan diri-Nya, yang tidak serupa dengan wajah makhluknya, dan tidak menakwilkan wajah sebagai keridhaan-Nya… sebab wajah adalah sifat yg berkaitan dengan Dzat Allah, sedangkan keridhaan berkaitan dengan perbuatan Allah… dan Ahlussunnah juga tidak menanyakan bagaimana hakikat wajah Allah tersebut.

Kita patut bertanya kepada mereka yg menolak sebagian sifat Allah dan menakwilkannya dengan dalih bahwa konsekuensi sifat tersebut adalah tajsim (menjasmanikan Allah) atau tasybih (menyerupakan Allah dgn makhluk-Nya); Kita tanyakan kepada mereka: “Bukankah Allah itu ada, hidup, mendengar, melihat, dsb…?” Mereka pasti mengiyakan… lalu kita katakan: “Kita pun ada, hidup, mendengar dan melihat”, apakah berarti keberadaan, kehidupan, sifat mendengar dan melihat kita sama dengan keberadaan, kehidupan, mendengar dan melihat-nya Allah?? Tentu tidak bukan… nah, begitu pula sifat-sifat lainnya… kita harus sikapi dengan cara yang sama.

Allah memiliki wajah, kedua tangan, jari-jemari, kaki dan lain-lain sesuai yg Allah tetapkan bagi Diri-Nya, atau yg ditetapkan oleh Rasul-Nya; dan sifat-sifat dzat tersebut jelas hakiki alias benar-benar ada… sebagaimana manusia yg juga memiliki wajah, kedua tangan, jari-jemari, kaki dll… namun jika kita menetapkan bahwa Allah memiliki wajah, dll; tidak berarti wajah-Nya, tangan-Nya, dll seperti wajah, tangan, dan anggota badan manusia… namun ia juga bukan berarti keridhaan, kekuasaan, dll; karena manusia benar-benar memiliki wajah, dan wajahnya tidak sama dengan keridhaan-nya… namun kita tidak boleh menanyakan bagaimana wajah, tangan, dan sifat-sifat dzat Allah lainnya.

Dengan begitu, kita bisa mengimani dan menyikapi semua masalah asma’ was sifat dengan benar. yaitu dengan memperhatikan empat syarat tadi: tidak menafikan, tidak menyerupakan, tidak menakwilkan dan tidak menanyakan bagaimana hakikatnya/caranya. Sedangkan mereka yg menolak sebagian sifat dzat atau sifat perbuatan Allah tadi, sebenarnya telah terjerumus terlebih dahulu dalam tasybih atau ta’thil (menyerupakan Allah dgn makhluk-Nya atau membatalkan sifat tsb). Bagaimana bisa begitu? Cobalah kita ikuti pola pikir mereka… ketika mereka mendengar bhw Allah itu punya tangan, atau berada di atas ‘Arsy, atau turun ke langit dunia, atau punya wajah, dst… segera terbayang dlm benak mereka: tangan manusia, wajah manusia, atau seseorang yg duduk di atas singgasana, atau seseorang yg turun dari suatu tempat, dan semisalnya… kemudian mereka segera mengingkari itu semua karena takut menyerupakan Allah dgn makhluk-Nya. INI JELAS BAYANGAN YG KELIRU !! sehingga kesimpulannya pun keliru. Siapa bilang tangan Allah seperti tangan manusia? atau wajah Allah spt wajah manusia? atau Allah berada di atas ‘Arsy spt orang duduk di atas singgasana? atau Allah turun ke langit dunia spt orang turun dari suatu tempat? Itu khan bayangan Anda pribadi, sedangkan kami tidak mengatakan spt itu…

Lantas bila mereka mengatakan: “Oh bukan begitu, wajah Allah itu artinya keridhaan… sedangkan tangan-Nya artinya kekuasaan… lalu istiwa’ di atas Arsy artinya istaula ‘alaih (menguasai ‘Arsy tsb) dst”  sebagaimana keyakinan mereka orang-orang Asy’ariyah. Mereka lupa, bahwa dengan menakwilkan sifat-sifat tersebut sebenarnya mereka terjerumus dalam ta’thil… alias membatalkan hakikat sifat tersebut. Kepada mereka kita katakan: “Siapakah yg lebih tahu tentang Allah, Dia atau kalian?” … “Kalaulah Allah telah mengatakan bahwa dirinya memiliki semua sifat dzat dan perbuatan tadi, lantas mengapa kalian menafikannya dan menakwilkannya tanpa dalil?”

Lalu kita bisa membikin analogi sederhana berikut: “Kalian memiliki wajah, tangan, kaki, bisa berbicara, bisa berjalan, berlari, dst”, lalu makhluk lain seperti monyet umpamanya, juga memiliki wajah, tangan, kaki, bisa bicara, berjalan, berlari dst… apakah semua sifat ini sama? tentu tidak bukan? Bahkan wajah, tangan, kaki, cara bicara, cara berjalan, dst yg dimiliki si Anton beda dengan yang dimiliki si Budi… Nah, bila sesama makhluk, bahkan sesama manusia saja berbeda-beda dlm semua sifat tadi, dan sifat-sifat tersebut juga tidak kita takwilkan dengan selainnya… maka bukankah perbedaan antara Khaliq dengan makhluk adalah lebih besar lagi?

kalau kita tidak menakwilkan bahwa wajah monyet adalah keridhaannya, atau tangan monyet berarti kekuasaannya, dst… lantas mengapa kita harus menakwilkan sifat-sifat Allah?

Terkadang, mereka menolak sebagian sifat Allah karena menganggap hal tsb mustahil dan memiliki konsekuensi yg tidak layak bagi Allah… contohnya sifat bahwa Allah senantiasa turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Mereka menolak sifat ini karena menurut ‘akal sakit’ mereka, sifat ini menimbulkan beberapa konsekuensi yg tidak baik, yaitu:

1-Allah akan senantiasa turun dan tidak naik-naik, karena sepertiga malam selalu bergeser dari satu tempat ke tempat berikutnya.

2-Allah berada di bawah alam semesta, alias diliputi oleh alam semesta… dan ini berarti ada yg lebih besar dari Allah.

3-Kalau Allah bisa turun, berarti dia berada di ‘atas’, alias dia diliputi oleh suatu arah dan tempat, dan ini -menurut mereka- adalah sesuatu yg mustahil bagi Allah.

Tentunya asumsi-asumsi tersebut bertolak dari kesalahan besar yg mereka lakukan sebelumnya… yaitu TASYBIH !! Ya… Mereka hendak lari dari tasybih namun justeru terperangkap ke dalamnya… Mereka yg menolak sifat tersebut pada hakikatnya telah menyerupakan Allah dgn manusia yg lemah yg tidak mungkin melakukan hal tersebut kecuali dengan konsekuensi-konsekuensi tadi… Memang, manusia tidak bisa turun kecuali konsekuensinya dia berada lebih rendah dari apa yg ada di atasnya… dst. Tapi Siapa bilang Allah seperti itu? Itu khan asumsi mereka… Sekarang marilah kita bikin sebuah perbandingan sederhana: Cobalah kita lihat salah satu makhluk Allah yg bernama Matahari. Dia adalah satu dari sekian banyaknya makhluk Allah… matahari yg jumlahnya hanya satu itu, ternyata mampu melakukan banyak hal yg tidak masuk akal… Di saat yg sama, dia menimbulkan panas yg luar biasa di suatu daerah, namun di daerah lain sebaliknya… dia terbit di suatu tempat, namun tenggelam di tempat lain, dia menimbulkan siang di satu lokasi, namun malam di lokasi lainnya… padahal mataharinya ya itu-itu juga dan gerakannya cuma searah… Namun mengapa mereka tidak menolak kemampuan matahari tersebut? Jawabnya karena mereka tidak menyerupakan matahari dengan diri mereka, sehingga bayangan yg keliru tadi pun tidak terbetik dalam benak mereka. Kalaulah matahari saja mampu melakukan hal-hal yg hebat tadi, maka apakah penciptanya tidak mampu (mustahil) untuk turun tanpa diliputi oleh tempat tertentu, atau turun tanpa tidak naik lagi, atau turun tanpa meninggalkan ‘Arsy-Nya… Mengapa Allah dianggap mustahil melakukan itu semua? Bukankah kalian mengimani bahwa ALlah mendengar doa seluruh hamba-Nya di mana pun, kapan pun, dengan bahasa apa pun mereka berdoa… kalian meyakini bahwa Allah tidak ‘bingung’ dengan banyak dan beranekaragamnya doa tsb… kalian juga meyakini bahwa Allah memberi rezeki semua makhluknya, baik manusia yg sekian milyar jumlahnya, maupun jin, semua binatang yang ada termasuk semut-semut di liangnya, ikan di lautan, burung di udara, dll… tanpa tersibukkan oleh mereka sedikitpun dan tanpa terlalaikan dari urusan lainnya… Kalau kalian mengimani semua kehebatan dan sifat Allah tadi, mengapa kalian tidak bisa mengimani bahwa Allah turun ke langit dunia secara hakiki, sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya dan tidak sama dengan cara turun makhluk-Nya? Demikian pula dengan sifat-sifat lainnya seperti tertawa, marah, dll…

Seandainya kalian kembali kepada fitrah dan meninggalkan pola pikir filsafat, lalu menerapkan keempat syarat tadi, niscaya semua sifat akan kalian imani dengan baik dan benar tanpa menimbulkan masalah sedikitpun…

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat, dan penulis berlindung kepada ALlah dari setiap kekeliruan dan salah tulis… semua kebenaran adalah milik-Nya, dan kesalahan adalah dari penulis pribadi. Wallahu a’lam bisshawaab.