Dahulu Aku Seorang Qubury[1]
Bag. 1
Aku sering kali ragu untuk menulis pengakuan ini karena beberapa alasan… lalu akhirnya kulakukan juga karena beberapa alasan. Alasan maju dan mundur sebenarnya sama… Aku khawatir jika ada yang membaca judul tulisan ini lalu mengatakan: “Apa urusan kita dengan bualan mantan pemuja kubur?”… akan tetapi, mungkin juga ada pembaca yang memiliki kejiwaan sama denganku sebelum meluruskan keyakinanku… lalu mereka membaca pengakuan-pengakuanku dan memahaminya, kemudian beranjak dari kegelapan khurafat kepada cahaya akidah –dan itu cukup menjadi motivatorku untuk mengungkap jati diri di hadapan umum— selama hal itu menyebabkan datangnya hidayah kepada mereka tentang hakikat tauhid…
Sungguh, dahulu aku benar-benar seorang qubury sejati. Tiap kali aku mampir di suatu kota yang di sana ada kuburan atau makam seorang Syaikh (Kyai) besar siapa saja, serta merta aku thawaf di sekelilingnya… baik aku tahu tentang karamah syaikh tersebut atau tidak sama sekali. Bahkan terkadang aku mengarang sejumlah karamah untuknya… atau membayangkannya… atau mengkhayalkannya. Bila anakku lulus tahun ini… maka itu berkat sejumlah uang yang kubayarkan ke kotak nadzar[2]… dan bila isteriku sembuh dari sakitnya, itu berarti karena gemuknya domba yang kusembelih bagi Syaikh Fulan, Wali Allah itu ! . . .
Suatu ketika aku bertemu dengan Doktor Jamil Ghazi untuk membahas tentang pendirian sebuah majalah Islami yang memublikasikan tentang Yayasan Al Aziz Billah di Kairo. Yayasan ini nantinya akan menaungi sejumlah mesjid, dengan ‘tauhid’ dan ‘pelurusan akidah’ sebagai misi utamanya. Berhubung kami harus bertemu berulang kali, mau tidak mau aku harus ikut shalat Jum’at di mesjid Al Aziz Billah. Dengan santai dan sangat rasional, Doktor Jamil menyerang habis-habisan penyimpangan akidah yang demikian berbahaya ini. Ia menamainya sebagai ‘syirik kepada Allah’, alasannya karena manusia -yang melalaikan akalnya tersebut- meminta tolong kepada makhluk yang sudah mati !
Serangan dan kenyataan tersebut membuatku ketakutan… dan alangkah menakutkannya suatu hakikat bagi orang-orang yang lalai… Andai saja doktor Jamil mencukupkan sampai di situ, urusannya masih kuanggap ringan… akan tetapi tiap kali ia berkhutbah, ia pasti menyinggung masalah itu dengan ngotot . . . Bukankah kuburan hanya berisi orang mati saja, atau bahkan kosong dari tulang-belulang yang tidak bisa memberi manfaat maupun madharat sekalipun ?!
Awalnya aku terguncang dan seakan hilang keseimbangan… aku pulang ke rumah tiap usai shalat Jum’at dengan perasaan sedih… seakan ada sesuatu yang menekan dadaku dan membelenggu seluruh perasaanku… aku berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari perasaan tersebut. Benarkah selama bertahun-tahun ini aku berada dalam kesesatan ? Ataukah temanku yang doktor tadi terlalu berlebihan dalam masalah ini . . . sebab aku meyakini bahwa setiap orang yang mengucap syahadat tidak mungkin menjadi kafir hanya karena satu kesalahan atau keteledoran . . . !
Ada hal lain yang membuat hatiku membara dan mengusir ketenangan darinya . . . yaitu karena si doktor menempatkanku dalam sebuah front pertempuran secara langsung dengan para wali penghuni kubur; padahal para khatib senantiasa menyerukan dari atas mimbar siang dan malam, bahwa barang siapa berani mengganggu seorang wali, berarti ia terlibat perang dengan Allah U, dan ada hadits shahih yang mengatakan seperti itu . . . padahal aku tidak ingin sama sekali untuk melawan para penghuni kubur, sebab aku berlindung kepada Allah agar jangan sampai terlibat perang dengan-Nya !
Hatiku berkata: “Melawan adalah cara bertahan terbaik”… kubaca kembali beberapa halaman dari kitab Ihya’ Ulumiddien karya Al Ghazali, lalu beberapa halaman lagi dari kitab Latha-iful Minan karya Ibnu ‘Atha Al Iskandary… segudang karamah juga telah kuhafal di luar kepala, beserta nama para wali yang memilikinya sekaligus even-even terjadinya itu semua… Lalu pada Jum’at berikutnya aku berangkat. Kutahan emosiku selama mendengar ceramah si doktor, dan begitu ia selesai pengajian, ia bersikeras mengundangku makan siang.
Usai makan siang… kuberondong dia dengan seluruh argumentasiku tanpa henti, dengan bertumpu pada dua alasan: . . .
Pertama: karena aku telah menghafal banyak karamah para wali…
Kedua: aku yakin bahwa dia tidak akan gegabah dalam bersikap, atau melayangkan telapak tangannya yang tebal kepadaku, mengingat aku adalah tamu di rumahnya!
Kukatakan kepadanya –yang maknanya kurang lebih sebagai berikut- : “Tidak ada yang bisa memahami derajat para wali kecuali orang yang hatinya bersih dan transparan seperti mereka… mereka adalah orang-orang yang ikhlas kepada Allah, maka Allah khususkan untuk mereka sebagian ayat kebesaran-Nya yang tidak diberikan-Nya kepada orang lain… dan mereka begini… begitu… dan seterusnya…
Si doktor menunggu hingga aku selesai dengan ucapanku… aku merasa bahwa ia akan bungkam seribu bahasa, namun tiba-tiba ia mengatakan:
“Apakah menurutmu ada di antara syaikh (kyai/wali) tadi yang lebih mulia di sisi Allah dari Rasulullah?”
“Tidak…”, jawabku dengan tercengang.
“Kalau begitu, bagaimana dia bisa berjalan di atas air… atau terbang… atau memetik buah-buahan di Surga sedangkan ia berada di bumi… padahal Rasulullah tidak bisa melakukan itu semua?” tanyanya.
Sebenarnya itu sudah cukup untuk menyadarkanku… akan tetapi itulah fanatisme dan ta’asshub yang tercela!! Aku gengsi untuk menyerah dengan begitu mudah… bagaimana bisa kucampakkan pemikiran ‘Islami’ yang telah berumur lebih dari 30 tahun dalam diriku… walau mungkin saja itu semua keliru, akan tetapi aku memandangnya sebagai kebenaran, dan tidak ada kebenaran lain selain itu !!
Aku pun kembali membaca kitab-kitab yang memenuhi perpustakaan rumahku… lalu aku menemui si doktor dan kami tenggelam dalam diskusi hingga larut malam. Aku memang dahulu orang yang begitu gandrung dengan kaum sufi, mengapa? Karena aku suka dengan syair-syair mereka… cinta dengan musik mereka dan merdunya nyanyian mereka yang merupakan paduan dari seni tradisional dan campuran berbagai nyanyian klasik… dari budaya Timur, Persia, Mamalik[3], dan gendang Afrika yang kadang ditabuh sendirian… atau lantunan syair Mesir dengan nada sedih yang menggema dalam hati… ditambah syair-syair lain tentang perjumpaan dua orang kekasih di pagi hari…!
Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya, aku jatuh cinta pada ajaran sufi… banyak dari syair para wali qutub yang kuhafal di luar kepala, terutama Ibnul Faaridh. Semua argumentasi yang kuberikan untuk menghadapi si doktor ialah karena dia dan orang-orang sepertinya yang mengajak kepada tauhid, tidak ingin agama memiliki nilai spirit… mereka ingin menelanjangi agama dari seluruh khayalan… padahal mereka harus mencapai dulu peringkat para wali yang mendapat karomah tadi, baru mereka bisa memahami karomah-karomah tersebut…! Karena ombak tidak akan dilihat kecuali oleh yang melihat laut, dan gelora cinta tidak akan dirasakan kecuali oleh yang jatuh cinta… dan ini merupakan cara kaum sufi dalam berdalil . . .
Agar perasaanku tidak kacau, kuhentikan kunjunganku kepada si doktor… namun agaknya ia tidak membiarkanku… Aku terkejut saat kulihat dia mengetuk pintu rumahku… tak bisa kupercaya apa yang kulihat… benar, memang dialah yang datang… dia datang untuk menanyakan kabarku… dan seperti biasa kami tenggelam dalam obrolan yang panjang lebar…
Ketika dia menanyaiku tentang apa sebabnya aku tidak lagi hadir shalat Jum’at di mesjidnya… maka kukatakan dengan terus terang:
“Aku sudah putus asa denganmu”
“Tapi aku tidak putus asa denganmu… engkau adalah orang yang banyak kebaikannya”, jawabnya.
“Hmm… ini adalah trik lamanya untuk menarikku” kataku dalam hati, dan kulihat dia membawa sebuah buku tulisannya tentang biografi Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.
“Biarlah buku ini untukku… boleh khan?” pintaku.
“Maaf, naskah yang ini bukan untukmu, tapi aku janji akan memberimu buku yang sama” jawabnya.
Memang begitulah triknya untuk membikin penasaran… ia selalu tidak memberi apa yang kuminta saat itu juga… tapi kurebut buku tersebut darinya dan tidak kukembalikan lagi !
Lewat tengah malam aku mulai membacanya… topik dan cara pembahasan buku itu benar-benar menarik perhatianku… aku sampai tidak tidur hingga fajar !
Meski ukuran buku itu cukup bersahaja, namun pengaruhnya seperti badai dan gempa… ia menyeret diriku menuju cakrawala yang baru… sejak berkisah tentang pribadi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, lalu kisah dakwahnya yang sarat dengan perjuangan dan penderitaan yang panjang… dadanya senantiasa memendam kasih sayang…
Hatiku selalu mengikuti baris demi baris pada setiap halaman yang kubaca… dan jika aku terpaksa menutup buku tersebut karena suatu hal yang perlu direnungi atau diteliti kembali dalam kitab lainnya, aku merasa berdosa; sebab aku meninggalkan Syaikh di kota Basrah (Irak) dan aku tak sabar untuk menantikan kepulangannya… atau aku meninggalkannya di Baghdad saat bersiap-siap untuk mengembara ke Kurdistan… akhirnya aku harus sabar untuk terus membaca hingga ia pulang dari perantauannya ke daerah asalnya…!
[1] Qubury artinya orang yang mengagungkan kuburan secara berlebihan, dan melakukan berbagai ritual ibadah padanya. Kisah ini disadur dari buku: “Kuntu Quburiyyan”, oleh Abdul Mun’im Al Jeddawi.
[2] Salah satu praktek syirik yang sering dilakukan para pengagum (pemuja) kubur adalah bernadzar untuk yang dikubur.
[3] Mamalik adalah sebuah daulah (negara) yang pernah berkuasa di Mesir sejak tahun 648 – 923 H.