Dalam dunia bisnis, pemasaran memiliki peranan vital demi keberlangsungannya. Tanpa pemasaran yang baik, bisnis apa pun akan bangkrut; baik berupa barang maupun jasa. Dan bagi kita tinggal di Negara seperti Indonesia, pangsa pasar sering kali tidak terbatas pada kaum muslimin saja; akan tetapi juga banyak merambah kalangan non muslim. Oleh karenanya, setiap pengusaha muslim harus memiliki idealisme dalam memasarkan produknya.

            Imam Ahmad pernah ditanya tentang kaum Nasrani yang mewakafkan sepetak tanah untuk kepentingan gereja, bolehkan ia disewa oleh seorang muslim? “Tidak. Jangan disewa meski semurah apapun, dan jangan menolong kebatilan mereka”, jawab Imam Ahmad.

Beliau juga pernah ditanya tentang seorang pekerja bangunan, bolehkah ia membangun kuil untuk kaum Majusi? “Jangan”, jawab beliau. “Jangan sampai kamu membantu mereka melestarikan kebatilan mereka”, lanjut beliau. Lantas bagaimana dengan seorang muslim yang menyewakan jasa gali kubur bagi kafir dzimmi[1]? “Tidak mengapa”, jawab beliau.

Mungkin kita bertanya: Apa perbedaan dari kedua masalah di atas? Ibnu Taimiyyah menjelaskan, “Perbedaan kedua masalah tadi ialah karena kuil merupakan ciri khas agama batil mereka, seperti gereja bagi kaum Nasrani. Lain halnya dengan kuburan mutlak[2], yang pada dasarnya tidak mengandung maksiat dan bukan merupakan ciri khas agama mereka.[3]

Demikian pula dengan orang yang membeli sesuatu dari yayasan atau badan usaha yang mendanai gereja dan semisalnya. Ini lebih terlarang lagi, karena uang yang dibayarkan tadi otomatis dipergunakan untuk maksiat. Mirip halnya dengan seseorang yang menjual perasan anggur kepada pembuat khamer. Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Menurutku, seorang muslim tidak boleh menjadi arsitek, tukang kayu, atau yang semisalnya bagi tempat-tempat ibadah orang kafir[4].

Kesimpulannya, seorang muslim tidak boleh membeli produk atau menyewa jasa dari orang kafir, bila hal tersebut secara langsung memperkuat kebatilan mereka.

Lantas bagaimana dengan menjual sesuatu kepada mereka? Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang menjual rumahnya kepada kafir dzimmi, dan rumah tersebut memiliki mihrab (ruang khusus untuk ibadah). Maka beliau kembali bertanya, “Mihrab Nasrani !!??” tanya beliau dengan nada heran… “Tidak boleh menjual rumah yang nantinya memperdengarkan suara lonceng, atau dipasangi salib… jangan kamu jual rumah tersebut kepada orang-orang kafir” jawab beliau tegas.

Beliau juga pernah ditanya tentang seseorang yang hendak menjual rumahnya, dan ia sempat didatangi oleh seorang Nasrani dengan iming-iming harga yang lebih tinggi. Apakah menurutmu ia boleh menjual rumah tersebut kepada pembeli yang Nasrani, Yahudi, atau Majusi tadi? “Aku tidak menyukainya. Apakah dia hendak menjual rumah tadi kepada orang kafir untuk melakukan kekafiran di dalamnya? Lebih baik ia menjualnya kepada seorang muslim”, jawab Imam Ahmad.

Lain halnya dengan menyewakan rumah kepada kafir dzimmi untuk ditinggali, walaupun si muslim tahu bahwa orang kafir tadi akan minum khamer dan berbuat syirik di dalamnya. Hal ini pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad, dan beliau menjawab dengan mengatakan bahwa Ibnu ‘Aun konon hanya mau menyewakan rumahnya kepada kafir dzimmi. Alasannya karena dengan begitu ia bisa menagih mereka. Artinya, ia bisa memberi tekanan dan sedikit kehinaan kepada kafir dzimmi dengan menagih uang sewa; seperti ketika mereka ditagih untuk membayar jizyah. Berhubung Ibnu ‘Aun tidak ingin menekan seorang muslim dengan menagih uang sewa, maka ia tidak mau menyewakan rumahnya kepada seorang muslim” tutur Imam Ahmad.

Menurut salah seorang murid beliau yang bernama Ibrahim ibnul Harits, Imam Ahmad menunjukkan kekagumannya terhadap sikap Ibnu ‘Aun tadi. Sedangkan Ibnu ‘Aun sendiri adalah seorang ulama panutan dan ahli hadits yang tsiqah dan rajin beribadah.

Pernah diceritakan kepada Imam Ahmad, bahwa Al Auza’iy pernah ditanya tentang seorang muslim yang bekerja sebagai pengawas kebun anggur Nasrani, dan Al Auza’iy memakruhkannya. Maka Imam Ahmad berkata, “Pendapat yang sangat bagus. Sebab pada dasarnya, anggur tersebut akan dibuat khamer. Kecuali bila si muslim tahu bahwa anggur tersebut dijual bukan untuk dijadikan khamer, maka tidak mengapa”, lanjut beliau.

Sikap Imam Ahmad ini sepintas nampak aneh, sebab di satu sisi beliau melarang seorang muslim yang menjual rumahnya kepada orang kafir sebagai tempat berbuat kufur dan maksiat, namun beliau takjub dengan sikap Ibnu ‘Aun yang hanya mau menyewakan rumahnya kepada kafir dzimmi; yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa beliau menyetujui pendapat tersebut.

Akan tetapi, ada sebuah perbedaan antara jual beli dengan sewa menyewa menurut Ibnu Muflih. Kata beliau, bedanya ialah, bahwa dampak negatif dari sewa menyewa yang berupa dukungan kepada orang kafir untuk bermaksiat tadi, diimbangi dengan kemaslahatan lain yang berupa terhindarnya kaum muslimin dari tuntutan membayar sewa yang membuat mereka tertekan. Dengan beralihnya tuntutan tadi kepada orang kafir, jadilah ia seperti kewajiban membayar jizyah (upeti) yang menghinakan mereka.[5]

Allah berfirman, “Perangilah kaum Ahli kitab yang tidak mau beriman kepada Allah dan hari kiamat, serta tidak mengharamkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya, dan tidak mau menganut agama yang benar; sampai mereka mau membayar jizyah dalam keadaan terhinakan” (At Taubah: 29).

Jadi, walaupun ada unsur membiarkan terjadinya kemungkaran dalam rumah yang disewa orang kafir tadi, tetap saja hal ini diimbangi oleh kemaslahatan ‘izzah kaum muslimin ketika menagih mereka. Dan karena alasan ini pula, kaum muslimin dibolehkan menerima tawaran damai dari orang kafir dengan imbalan upeti yang mereka bayarkan.

Sedangkan dalam jual beli, kesan ‘menghinakan’ tersebut tidak ada lagi, sehingga Imam Ahmad memandang tidak bolehnya hal tersebut, walaupun jual beli itu sendiri tetap sah dilakukan[6]. Wallahu a’lam.

 


[1] Yaitu kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang hidup dalam naungan Negara Islam, dengan kewajiban membayar jizyah dan menaati aturan-aturan tertentu.

[2]  Artinya, kuburan yang sekedar berupa galian lubang, tanpa ada kijing atau atribut lain yang terlarang dalam Islam.

[3]  Dinukil dari Al Aadaabusy Syar’iyyah 3/254 karya Ibnu Muflih Al Hambali.

[4]  Idem.

[5] Idem, hal 257.

[6]  Idem. Sah artinya bahwa uang yang didapat dari hasil penjualan tadi boleh dipergunakan dan menjadi milik penjual secara syar’i.