Mukaddimah

mana dalilnya1 1Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamien… kami menyanjung-Nya, mengharap pertolongan dari-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Namun barangsiapa dibiarkan sesat oleh-Nya, maka tiada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tiada ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad saw adalah hamba dan utusan-Nya…. penghulu sekalian manusia dan pemimpin orang-orang bertakwa… semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepadanya, keluarganya, sahabatnya, dan setiap orang yang berpegang teguh dengan Sunnah-Nya…. aamien.

Amma ba’du,

Memang… saat ini kita hidup di zaman yang penuh fitnah[1]). Ada fitnah yang menyerang fisik, ada yang menyerang hati, dan ada pula yang menyerang pemikiran. Sebagian orang tenggelam dalam fitnah ini tanpa peduli… sebagian lagi tenggelam dengan sadar… dan sejumlah orang terjerumus ke dalamnya karena ikut-ikutan.

Orang yang hatinya hidup sampai-sampai heran terhadap apa yang dilihatnya. Wajah-wajah telah berubah, bukan lagi seperti yang dikenalnya dahulu… amal perbuatan tak lagi seperti yang diajarkan… dan akal fikiran pun tak lagi mendapat cahaya dari Allah ‘azza wa jalla.

Fitnah tersebut telah membaur dengan masyarakat dan demikian akrab dengan aktivitas mereka, hingga orang yang berada di atas kebenaran seakan terasing di tengah kaumnya.

Diantara fitnah yang paling berbahaya dan paling menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus ialah; fitnah yang menghalangi perwujudan makna syahadatain; syahadat bahwa tiada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad saw adalah Rasul-Nya. Alangkah banyak orang yang menebarkan fitnah ini dengan sengaja, dan alangkah banyak orang yang termakan fitnah ini karena taklid buta (ikut-ikutan).

Fitnah semacam ini amat beragam bentuknya, dan semuanya terkumpul di zaman ini. Tak pernah ia terkumpul dalam suatu zaman seperti terkumpulnya di zaman ini… namun, alangkah sedikitnya orang yang faham tentangnya dan berjihad melawannya, padahal pengaruhnya telah sedemikian dahsyat!

Ada sementara kalangan yang bila ditanya tentang makna laa ilaha illallaah mengira bahwa maknanya: tiada pencipta selain Allah. Seakan-akan orang jahiliyah tempo dulu –yang kepadanya Allah mengutus para Rasul– menyatakan bahwa pencipta itu ada banyak, hingga Allah mengutus para Rasul-Nya untuk mengajarkan laa ilaha illallaah.

Padahal, masalah sebenarnya bukanlah karena mereka menganggap ada banyak pencipta, akan tetapi karena mereka menyembah banyak ilah. Karenanya Allah mengutus para Rasul dengan laa ilaha illallaah, yang maknanya persis seperti ucapan para Nabi ‘alaihimussalaam kepada kaumnya: “…Janganlah kalian beribadah (menyembah) kecuali kepada Allah” (Fushshilat: 14).

Makna Ibadah dalam bahasa Arab ialah ketundukan, kerendahan diri dan kekhusyu’an. Berbagai ritual ibadah disebut sebagai ‘ibadah’ ialah karena semuanya dilakukan dengan penuh rendah diri, tunduk dan khusyu’, yang nantinya mewariskan sikap tunduk terhadap Rabbul ‘Alamien atas setiap perintah dan larangan-Nya. Inilah makna ibadah yang difahami bangsa Arab lewat ucapan mereka, dan karena pemahaman inilah mereka tidak mau tunduk kepada laa ilaaha illallaah meski sekedar mengucapkannya!

Hari ini, jika anda perhatikan sikap sebagian orang, anda akan dapati bahwa ketundukan dan kekhusyu’an mereka tatkala berdiri di samping kubur, atau di area pemakaman, atau dalam perjalanan mereka untuk ziarah kubur, adalah lebih besar daripada ketundukan mereka saat berada dalam mesjid yang tidak ada kuburnya.

Di sekitar kubur tadi, anda akan dapati berbagai hal yang membatalkan makna tauhid uluhiyyah yang tak terhitung banyaknya. Entah dengan tawaf mengelilinginya, atau mengatakan: “Wahai Wali Allah, sembuhkan sakitku… hapuskan hutangku… dll. Mereka meyakini bahwa si penghuni kubur memiliki pengaruh di dunia, seakan Allah menyerahkan urusan ini kepada mereka.

Namun ada diantara mereka yang tidak meyakini demikian, tapi mengikuti golongan lain yang berbuat syirik dalam mendekatkan diri kepada Allah, yang nantinya menghantarkan mereka ke syirik akbar seperti sebelumnya. Mereka meminta pada si penghuni kubur agar memberikan syafa’at yang dengannya dosa mereka diampuni, rezeki mereka lancar, musibah yang mereka alami berakhir, dan mereka sembuh dari sakitnya. Mereka menyeru perantara-perantara tadi agar menjadi penghubung antara mereka dengan Allah dalam memenuhi hajat mereka. Seakan-akan Allah ‘azza wa jalla telah menutup pintu-Nya dan tidak lagi mengabulkan hajat dan doa mereka.. atau seakan-akan sikap mereka mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak akan memberi atau menolak sesuatu kecuali dengan perantara, dan ini jelas-jelas meremehkan kekuasaan Allah ‘azza wa jalla.

Anda dapati bahwa mereka mendekatkan dirinya kepada si penghuni kubur dengan berbagai cara. Diantara mereka ada yang berkurban untuk si penghuni kubur dan ada pula yang tawaf mengelilinginya untuk mencari syafa’at.

Dua fenomena syirik akbar tadi sayangnya telah merajalela, laa haula walaa quwwata illa billaah…!! Banyak orang tertipu dengan hal ini, lebih-lebih mereka yang awam. Namun ada juga yang justeru memanfaatkannya sebagai peluang mengumpulkan kekayaan. Praktek semacam ini biasanya sangat laris di kalangan kaum sufi akibat terlalu banyaknya ahli ibadah yang bodoh di kalangan mereka. Akhirnya orang-orang bodoh ini mereka peralat untuk mencari kekayaan pribadi.

Fitnah ini semakin menyebar di kalangan kaum muslimin setelah abad ke-5 H. Pengaruhnya semakin ganas dan meluas, hingga nyaris tak tersisa satu kota pun yang selamat darinya. Di manapun dan kapan pun manusia-manusia itu berada, maka tiap kali diantara mereka ada yang wafat segeralah mereka dirikan kubah/bangunan diatas kuburnya, lalu lokasinya dijadikan tempat ziarah… alias tempat orang mencari syafa’at dan minta-minta.

Kuburan semakin banyak, seiring dengan semakin banyaknya ‘oleh-oleh’ yang dipersembahkan oleh para peziarah… hingga makin banyak pula orang yang tertarik menjadi juru kunci dan mengambil manfaat dari ini semua.

Memang… harta adalah fitnah, sebagaimana pamor dan kekuasaan merupakan fitnah. Mereka yang alergi dengan dakwah tauhid ingin supaya orang-orang selalu mengagungkan mereka. Entah dengan mencium tangan, mengusap-usap pakaian, atau dengan menundukkan ucapan dan anggota badan dihadapan mereka.

Kondisi kaum muslimin hari ini memang terlalu panjang untuk dikisahkan… akan tetapi, intinya tersimpulkan dalam penggalan cerita berikut…

Ketika berada di suatu kota di Afrika, kami [2]) berdebat dengan salah seorang ulama besar yang terjerumus dalam fitnah ini. Ia menghasung orang-orang untuk mengangungkan kuburan beserta para juru kuncinya. Lantas, dimanakah arti ibadah kepada Allah? Bagaimana pula dengan pemahaman akan dua kalimat syahadat?? Dengan enteng orang ini menjawab: “Aku tahu bahwa Anda berada diatas kebenaran, namun… biarlah mereka mencari penghidupan!

Inilah kenyataannya…

Jadi, masalahnya bukan bagaimana memperjuangkan kebenaran dengan dalil-dalilnya, akan tetapi bagaimana mempertahankan pengaruh spiritual, pamor, pengagungan, nama harum, dan kekayaan. Mereka lantas mencari-cari dalil demi melegitimasi perbuatan mereka, walau dengan hadits-hadits palsu atau sekedar akal-akalan.

Menjaga pamor dan kehormatan adalah kunci utama para penjaja bid’ah. Pamor dan kehormatan tadi mereka lestarikan secara turun temurun agar anak cucu mereka kelak menjadi orang kaya dan terpandang. Kalau ada diantara mereka yang binasa, segeralah mereka menjadikan kuburnya sebagai pusara besar yang menjadi tambatan hati para pengikutnya. Dengan demikian, generasi penerusnya akan semakin kaya, terkenal dan disegani.

Di belahan bumi manapun yang disana terdapat pemuja kubur, rata-rata ada sekelompok orang yang tetap berjalan sesuai petunjuk Nabi saw. Mereka tidak silau dengan kekuasaan, tidak pula terpengaruh dengan berbagai syubhat. Mereka adalah orang-orang yang terasing dan dikucilkan di banyak tempat. Mereka mengajak manusia kepada sunnah dan membimbing mereka kepada tauhid. Mereka berusaha menuntun hati manusia agar mengagungkan Allah semata, serta hanya takut dan berharap kepada-Nya. Mereka tidak mengaitkan hati kecuali dengan Penciptanya, bukan dengan ciptaan-Nya. Mereka mencintai karena Allah, membenci karena-Nya dan tidak menyembah selain Dia. Jiwa dan raga mereka selalu tercurah dalam rangka menyeru manusia untuk mengesakan Allah dalam setiap ibadah, baik ibadah jiwa maupun raga.

Mereka dijuluki oleh musuh-musuhnya sebagai wahhabi atau muslim fundamentalis. Musuh-musuh mereka cukup giat dalam menyebarkan buku-buku yang kontradiksi dengan misi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab [3]). Mereka membuat berbagai macam kedustaan atas beliau dan para pengikutnya. Ada yang menuduh beliau mengkafirkan kaum muslimin, mengingkari karamah para wali, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau tidak mengakui kerasulan Rasulullah Muhammad saw.

Metode yang mereka gunakan pun bermacam-macam, sesuai dengan tempat buku-buku tersebut disebarkan. Di beberapa daerah mereka menentang secara terus terang, namun di daerah lain mereka menentang secara sembunyi-sembunyi dengan berbagai kamuflase. Akan tetapi, perang yang mereka lancarkan pada hakikatnya sama saja. Jalan yang mereka lalui adalah jalan lama yang banyak dilalui orang… di kanan kiri jalan tersebut berdiri dai-dai mereka, hingga jika salah satunya berteriak maka semua ikut berteriak menyambutnya.

Di Indonesia, ironisnya fitnah ini justeru disebarkan oleh sebagian mereka yang ‘mengaku’ sebagai ahlul bait (anak cucu Nabi saw) [4]). Salah seorang dari mereka bahkan telah menulis beberapa buku demi melestarikannya. Ia hendak membentuk opini bahwa berbagai ritual keagamaan yang mereka lakukan selama ini bukanlah bid’ah dan syirik, namun justeru dianjurkan dalam Islam.

Cara yang dia tempuh sebenarnya bukan cara ilmiah –sebagaimana yang tersirat dalam judulnya–, namun tak lebih dari sebuah cara yang tujuannya mendukung setiap penyeru kebatilan di manapun mereka berada. Ia menggunakan seribu satu jurus untuk melegitimasi berbagai kebatilan tersebut, meskipun dengan memelintir nash-nash Al Qur’an dan Hadits sesuai keinginannya, atau menamainya dengan bid’ah hasanah, atau mengumpulkan berbagai perkataan ‘ulama’ yang sesuai dengan seleranya meski bertentangan dengan dalil, atau berdalil dengan hadits-hadits yang dho’if bahkan palsu, yang penting mendukung pendapatnya.

Dalam buku Mana Dalilnya 1, si penulis nampaknya memang ahli memutarbalikkan fakta. Tak sekedar mencampuradukkan antara yang haq dan yang batil, ia bahkan menjadikan yang haq tadi sebagai syubhat yang harus dibantah habis-habisan karena tidak sesuai dengan tarekat-nya. Langkah pertama yang dia lakukan ialah ‘meluruskan’ (baca: memelintir) pengertian bid’ah. Maklum saja, sebab memang tidak ada tarekat sufi yang bersih dari bid’ah. Di mana ada tarekat, disitulah sarang bid’ah dan khurafat.[5]

Buku yang merupakan ungkapan dari keyakinan penulisnya ini memang sarat dengan penyimpangan dalam masalah tauhid. Ia membela bid’ah mati-matian, dan membuka berbagai pintu syirik dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, bahkan dianjurkan!!

Kemungkaran besar ini tentunya tidak boleh didiamkan, sebab itu kami memohon pertolongan kepada Allah dalam menjelaskan yang haq dan membongkar kebatilan mereka. Semoga lembaran-lembaran ini diterima di sisi-Nya sebagai amal shaleh, dan semoga Dia menjadikannya bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.[6]


[1]) Yang dimaksud dengan fitnah ialah cobaan, musibah, bencana, azab, dan apapun yang berdampak negatif bagi manusia.

[2]) Yang bercerita di sini adalah Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alus Syaikh, yang sekarang menjabat Menteri Urusan Agama Saudi Arabia.

[3])Berangkat dari sini, maka julukan wahhabi yang ditujukan kepada pengikut beliau adalah keliru dari segi lafazh dan maknanya. Dari segi lafazh, mestinya orang yang mengikuti beliau dijuluki Muhammadi bukan wahhabi, karena nama beliau adalah Muhammad dan nama ayahnya Abdul Wahhab, sedangkan Wahhab adalah salah satu nama Allah. Adapun dari segi makna, julukan tadi seakan mengisyaratkan bahwa beliau mengajarkan ajaran baru yang berbeda dari ajaran Islam, padahal siapa pun yang membaca kitab-kitab beliau secara obyektif dan independen, pasti mendapati bahwa beliau tidak membawa ajaran baru, namun sekedar berusaha mengembalikan kaum muslimin kepada Al Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman As Salafus Shaleh. Sebagai bukti, silakan saudara baca kitab beliau yang paling monumental: Kitab Tauhid, yang tiada lain isinya adalah ayat Al Qur’an, Hadits Nabi saw. dan ucapan para ulama.

[4]) Kami tidaklah mengingkari keutamaan mereka (kalaulah mereka memang tergolong ahlul bait). Namun yang kami ingkari ialah sikap dari mayoritas haba-ib tadi yang justeru bertentangan dengan ajaran Rasulullah saw., yang notabene adalah penghulu ahlul bait itu sendiri. Kalau Rasulullah saw. menghabiskan umur beliau demi menegakkan tauhid (memurnikan ibadah kepada Allah), mereka justeru acapkali mengajarkan pengikutnya untuk tabarruk dengan ‘orang shaleh’, menyemarakkan kuburan, tawassul dengan orang mati, dan berbagai pintu syirik lainnya.

Ironis memang, tatkala misi utama Rasulullah saw. di kemudian hari justeru digagalkan oleh mereka yang ‘mengaku’ sebagai anak-cucu beliau…! Sungguh demi Allah, seandainya mereka memperjuangkan dakwah tauhid ini, niscaya kami akan mencintai mereka lebih dari yang lainnya, pertama karena cinta kami terhadap sesama muslim, dan kedua karena kedekatan nasab mereka terhadap orang yang paling kami cintai, yaitu Baginda Rasulullah saw. .

[5]) Perlu diketahui bahwa berkembangnya bid’ah khurafat di kalangan mereka ialah sejak leluhur mereka yang dijuluki Al Faqieh Al Muqaddam (574-651 H) menganut ajaran tasawuf dan menyebarkannya di Hadramaut, Yaman Selatan. Padahal sebelumnya –sejak As Sayyid Ahmad bin ‘Isa Al Muhajir rahimahullah (leluhur mereka yang pertama kali singgah di Hadramaut, wafat sekitar abad 4 H)– mereka adalah tokoh-tokoh Ahlussunnah dan orang-orang shalih yang berjalan sesuai dengan manhaj sahabat. Sangat disesalkan mengapa mereka tidak meneladani leluhur mereka sebelum Al Faqieh Al Muqaddam yang bersih dari bid’ah & khurafat? Bukankah generasi pertama mereka lebih mulia dan lebih pantas untuk diikuti dari pada yang belakangan? (lihat: Tahqiequl Farqi bainal ‘Aamil Bi’ilmihi wa Ghairihi, hal 25-26 (footnote), oleh ‘Allaamah wa Mufti Hadhramaut; As Sayyid Abdurrahman bin ‘Ubeidillah Assaqqaf (w. 1375 H), tahqiq & ta’liq: As Sayyid ‘Alawi bin Abdul Qadir Assaqqaf, cet.1, 1426/2005). Kesufian Al Faqieh Al Muqaddam diakui sendiri oleh Novel Alaydrus dalam bukunya: Jalan Nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi; hal 97-112.

[6]) Disadur dari mukaddimah kitab: Haadzihi Mafaahimuna, oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Aalu Syaikh dengan beberapa penyesuaian.