tongueLisan atau lidah manusia, adalah sebuah otot yang bersambung dengan otot-otot mulut lainnya. Sebagian besar lidah tersusun atas otot rangka yang terlekat pada tulang hyoideus, tulang rahang bawah dan processus styloideus di tulang pelipis. Terdapat dua jenis otot pada lidah yaitu otot ekstrinsik dan intrinsik. Adapun jumlah sel syaraf yang terdapat padanya mencapai sepuluh ribu, sel-sel tersebut berperan sebagai pusat informasi yang senantiasa mengirimkan info ke bagian pengecap yang ada di otak. Sel-sel ini mendapat suplai makanan dari sejumlah pembuluh darah yang ada dalam lidah, yang berkaitan erat dengan pusat pengaturan yang ada pada otak, yaitu melalui sejumlah syaraf sensorik dan motorik yang terdapat padanya. Syaraf-syaraf tersebut tugasnya ialah mengubah berbagai macam kode dan perintah ke dalam gerakan tertentu; seperti gerakan lidah saat berbicara, mencampur makanan dengan liur[1], mengunyah, menelan dan mengecap rasa makanan.

           

Permukaan lidah memiliki banyak tonjolan yang membuatnya terasa kasar bila diraba. Tonjolan-tonjolan tersebut dinamakan papila, dan terbagi menjadi tiga jenis:

  1. papila filiformis (fili=benang); berbentuk seperti benang halus (jumlahnya paling banyak);
  2. papila sirkumvalata (sirkum=bulat); berbentuk bulat, tersusun seperti huruf V di belakang lidah;
  3. papila fungiformis (fungi=jamur); berbentuk seperti jamur.

gambar lisan

Indera pengecap yang satu ini mudah terpengaruh oleh banyak faktor, diantaranya radang atau gangguan pada sistem pernapasan, dan saat terjadi gangguan penciuman. Efeknya terasa jelas sekali ketika seseorang terserang flu atau hidung tersumbat… saat itu ia akan sulit merasakan makanan yang disantapnya, bahkan ketika indera penciumannya terganggu ia akan merasa bahwa makanan tersebut jadi pahit rasanya.

Selain faktor di atas, indera pengecap juga terpengaruh oleh suhu makanan yang dimakan. Anda tidak akan mengecap nikmatnya daging panggang atau kentang goreng dalam keadaan dingin, sedangkan pemakaian rempah-rempah dan merica hitam/chili akan menimbulkan sensasi pedas/panas di lidah, yang mempengaruhi citarasa makanan yang Anda makan. [1]

            Subhaanallaah… ternyata lisan amat berperan dalam menghadirkan surga dunia bagi kita. Coba bayangkan jika berbagai macam makanan dan minuman yang lezat tidak bisa kita rasakan… bagaimana kiranya hidup kita di dunia? Atau jika semua makanan dan minuman terasa manis, masam, asin atau pahit…? Belum lagi fungsinya yang amat vital sebagai alat komunikasi, yang merupakan nikmat Allah yang tak terhingga nilainya.

            Kita akan menyadari besarnya nikmat lisan tatkala menyaksikan bagaiamana orang bisu yang mencoba bicara… ia demikian sulit menyampaikan isi hatinya, orang-orang pun tak faham apa yang diucapkannya meski ia telah susah payah mengucapkannya. Kalaupun ia harus menggunakan bahasa isyarat, maka ia tak bisa berkomunikasi dengan semua orang… ia harus melakukan gerakan tangan yang bermacam-macam untuk ‘mengucapkan’ satu kalimat… bukankah hal tersebut cukup melelahkan?
Lisan, nikmat dunia yang tiada tara…

         

Dalam lembaran berikut, penulis ingin mengajak pembaca yang budiman untuk merenungkan sebuah kisah nyata yang dialami oleh salah seorang saudara kita dari Saudi. Kisah ini akan menunjukkan betapa besar karunia Allah yang berupa secuil daging tak bertulang tersebut… simaklah kisahnya yang menakjubkan sebagaimana yang dituturkan oleh Syaikh Abdullah Al Utsman berikut…

            Ia adalah seorang pemuda yang hobi memelihara unta. Suatu ketika, ia membeli beberapa ekor unta yang kemudian ia tempatkan di daerah gurun, dan mulai saat itu ia sering mondar-mandir ke tempat penggembalaan untanya tersebut. Pemuda ini meski begitu gemar memelihara unta, namun ia tetap rajin berdzikir… Ia banyak mengucap tasbih, tahmid, takbir, dan semisalnya atau membaca Al Qur’an… dengan kata lain lisannya selalu basah dengan dzikrullah. Aku sempat berkenalan dengannya saat di Masjidil Haram, lalu ia menceritakan kisahnya yang ajaib kepadaku; ia mengatakan:

“Suatu hari, aku pergi lewat jalan airport baru[2] untuk menengok unta-untaku. Ketika itu jalannya sedang dibangun dan belum selesai. Aku pergi bertepatan dengan waktu asar, dan setibanya di lokasi, kuperiksa unta-untaku kemudian kuminum susu perahan hari itu.

            Menjelang maghrib, aku beranjak pulang ke rumah melewati jalan yang sama… namun saat perjalanan pulang, tiba-tiba kudapati setumpuk aspal di tengah jalan tanpa ada peringatan sebelumnya. Maklum, karena aspal dan jalannya sama-sama hitam dan saat itu matahari hampir tenggelam, aku tidak menyadari adanya tumpukan aspal tersebut… aku pun berusaha mengurangi kecepatan namun sia-sia… akhirnya, terpaksa kuterjang benda tersebut dan braakkk…!! Kutabraklah tumpukan aspal tadi”.

            Sebetulnya kecelakaan ini tidaklah seberapa baginya, akan tetapi ia mengalami pendarahan. Ia pun mencari-cari sumber pendarahan tadi di sekitar tubuhnya, ternyata darahnya demikian deras mengucur… ia melihat ada sebagian lidahnya yang terpotong dan merasa bahwa lidahnya demikian berat tak bisa bicara. Ia takut kalau bagian lidah tersebut sampai putus berarti ia akan meminum darahnya sendiri! Namun ia juga tidak bisa membalut lidahnya dengan perban… lagi pula siapa gerangan yang bisa mengeluarkan lidahnya lalu membalutnya sendiri, atau menghentikan pendaharannya? Ia melanjutkan: “Aku pun keluar dari mobil dengan tercengang… aku tak tahu harus berbuat apa, dan tak tahu harus kemana?! Mobilku kini mogok tak bisa jalan, dan aku seorang diri di pinggir kota! Kutinggalkan mobilku yang telah pecah kaca depannya…

            Sungguh, musibah ini begitu mengagetkan… lebih-lebih melihat lidahku yang telah demikian banyak mengeluarkan darah. Aku pun yakin bahwa aku pasti mati sebentar lagi, kecuali bila Allah menyelamatkanku!

Aku mulai jalan perlahan-lahan sambil menahan rasa perih dan pendarahan dari lidahku… tubuhku terasa demikian berat. Perasaan letih dan lemas mulai menjalar ke seluruh tubuh… diikuti dengan kepala yang pusing tujuh keliling.

            Tiba-tiba, kulihat ada bayangan hitam di kejauhan… rupanya mereka sekelompok orang yang sedang menyusuri jalan. Mereka nampaknya para pekerja asal India yang jalan kaki menuju ke jalan raya. Saat itu antara aku dan jalan raya jaraknya tak lebih dari 4 kilometer. Maka aku pun memberi isyarat kepada mereka… begitu mendapatiku seorang diri di waktu maghrib yang remang-remang dengan mulut penuh darah, mereka jadi takut dan mengiraku adalah jin… sontak mereka pun lari kocar-kacir dan meninggalkanku sendirian, inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun … gumamku.

            Aku tak punya harapan lagi untuk sampai ke jalan raya, namun kucoba untuk tetap berjalan… tapi lagi-lagi langkahku terasa berat dan kekuatanku mulai lumpuh. Aku berjalan terseok-seok… sesekali melangkah dan sesekali menyeret kaki. Aku mulai mengingat Allah dan memperbanyak dzikir kepada-Nya… hari-hari yang telah lalu pun mulai teringat kembali… Apa yang telah kulakukan selama ini? Apa yang telah kuamalkan selama hidupku? Bagaimana kelak aku akan menghadap Allah… dan dengan apa aku akan menghadap-Nya?

            Kuingat kembali dosa-dosaku selama ini… seakan-akan kubuka lembaran hidupku satu persatu sejak kanak-kanak hingga saat ini. Aku teringat akan puteri-puteriku… aku sibuk memikirkan siapa yang kelak akan mengurus mereka sepeninggalku? Demikian pula isteriku… bahkan aku khawatir juga terhadap unta-untaku, kelak akan kuserahkan kepada siapa? Dan segudang masalah lainnya…

 

            Demikianlah pikiran-pikiran tadi begitu mengusik benakku. Aku tetap berjalan dan berjalan meski yakin bakal terjatuh sewaktu-waktu karena kepayahan. Namun subhanallaah… di saat yang kritis tersebut, tiba-tiba ada mobil ambulan yang belok dari jalan utama menuju jalan tempatku berada, yaitu jalan airport baru. Mereka adalah petugas yang biasa memeriksa apa yang terjadi sepanjang jalan. Siapakah yang mengirim mereka? Hanya Allah yang tahu…!!

            Sambil tergeletak di jalan, kulambaikan tanganku ke arah mereka dan mereka pun datang untuk mengangkutku ke dalam mobil. Saat itu, aku mencoba untuk bicara pertama kalinya… aku baru sadar bahwa kini lidahku tak lagi bisa mengucapkan kata-kata. Aku berusaha untuk bicara namun tak bisa… maka kukeluarkan KTP ku dari saku dan kutunjukkan bahwa aku adalah tentara dan ingin dirawat di RS militer. Alhamdulillah mereka paham maksudku dan segera mengantarku ke Rumah Sakit. Mereka juga tak tahu hendak berbuat apa, karena tak seorang pun tahu bagaimana cara membalut lidah. Mereka tak tahu bagaimana menghentikan pendarahan di lidah sebab ia bukanlah organ luar yang mudah diperban jika terluka. Ia tidak sama dengan luka di jari atau di kaki, ia adalah lidah…!!

            Aku pun tiba di RS militer dan langsung dibawa ke unit gawat darurat. Kutuliskan beberapa kalimat untuk mereka agar menghubungi keluarga dan teman-temanku. Kemudian dokter yang menanganiku datang menghampiri… ia menggambar sesuatu kemudian menerangkankannya kepadaku, akan tetapi aku tak bisa memahami… mereka pun memberiku cairan infus hingga aku mulai sadar sedikit demi sedikit. Aku mulai mengenal orang-orang di sekitarku dan kucoba untuk memberi isyarat kepada mereka. Dokter menunjukkan gambar lidahku yang nyaris putus total… kecuali sedikit sekali bagian lidah yang masih melekat.

            Tatkala menatap gambar tersebut, aku kaget bukan kepalang! Aku baru sadar akan masalah besar yang mengancam lidahku… Sang dokter mengatakan: “Kita harus masuk ruang operasi sekarang dan operasinya mungkin memakan waktu lama… kita tidak tahu apakah operasinya akan berhasil hingga Anda bisa kembali bicara, ataukah tidak… dst!!

            Saat itulah aku baru sadar akan nikmat lisan yang selama ini kumiliki… sungguh tak masuk akal rasanya, aku yang selama ini lancar bicara lantas mendadak tak bisa lagi bicara?? Aku yang tadinya biasa ngobrol di mana pun dan dengan siapa pun … kini harus membisu?? Kemudian aku teringat, bahwa kelak aku tak lagi bisa berdzikir padahal selama ini aku demikian sering melakukannya…

            Demikianlah perasaan cemas yang terus menyelimuti pikiranku… Sang dokter terus menerangkan, akan tetapi keterangannya tak begitu kuperhatikan karena sibuk memikirkan nasib diriku nanti! Bagaimana aku bisa menelpon keluargaku nanti dan bagaimana menasehati mereka?! Bagaimana menjelaskan kepada isteri dan anak-anakku?? Bagaimana aku mengutarakan segala keinginan pribadiku? Bagaimana nasib pekerjaanku? Kemana aku harus pergi saat aku tak lagi memiliki lisan nanti? … Subhaanallaah, padahal baru satu kenikmatan yang dicabut; yaitu ‘nikmat lisan’.

            Semua bisikkan tersebut memenuhi kepalaku saat dokter mengatakan: “Aku harus menjahit lidahmu, tapi kita tidak menjamin operasi akan berhasil… Anda mungkin bisa kembali bicara, atau… ini terakhir kali Anda punya lidah!”

            Aku terpaksa menyetujui operasi tersebut dan tak punya pilihan lain. Kutanda tangangi pernyataan resmiku kemudian mereka segera membawaku ke ruang operasi. Menurut tim medis, operasinya berlangsung cukup lama… mereka berusaha menjahit lidahku dengan ekstra hati-hati agar kembali normal.

            Aku pun keluar dari ruang operasi… aku mulai siuman dan mengenali apa yang ada di sekelilingku. Untuk pertama kalinya aku merasa bahwa lidahku seperti kaleng! Bagian dalam tenggorokanku terasa bengkak… aku bahkan tak bisa menelan ludah maupun mengeluarkan lidah karena bengkak yang cukup besar… Aku mengira ini hanyalah perasaan semu, akan tetapi memang itulah yang kurasakan… lidahku membengkak dan aku tak bisa bicara! Kucoba untuk mengeluarkan suara dari tenggorokan atau pangkal lidah… namun percuma saja, aku tetap tak bisa bicara, inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun…

            Setelah melalui semua kesulitan dan tekanan batin tersebut, aku hanya kembali mengingat Allah ‘azza wa jalla dan berlindung kepadanya… Aku memohon pertolongan dari-Nya agar meringankan musibahku dan memperbaiki segala amalku…

            Alhamdulillah, beberapa minggu yang penuh kesulitan di Rumah Sakit telah kulewatkan bersama keluarga dan teman-teman… mereka semua hadir untuk menghiburku… dan Alhamdulillah aku mulai bisa mengucapkan beberapa kata. Subhanallaah… aku jadi seperti anak kecil yang baru belajar bicara. Mereka mengeluarkan beberapa kata lewat ujung lidah dan tenggorokan agar aku menirukannya… sembari memperhatikan mereka, aku tertawa melihat diriku yang seperti bayi lagi.

            Namun Alhamdulillah, berkat taufik dan pertolongan Allah, kurang lebih enam bulan kemudian aku mulai bisa mengucapkan setiap kata dengan baik dan benar. Aku amat bersyukur kepada Allah ‘azza wa jalla yang telah mengembalikan lisanku, padahal ia hanyalah bagian kecil dari nikmat Allah atas hamba-Nya. Aku pun bertekad untuk lebih banyak lagi berdzikir dan memuji-Nya”.[3]

 

Lisan, salah satu tanda kebesaran Allah…

 

Allah ‘azza wa jalla berfirman:

{أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَاناً وَشَفَتَيْنِ}

Bukankah Kami telah menciptakan baginya (manusia itu) kedua mata, lisan dan kedua bibir? [4]

            Ada apa di balik ketiga hal tersebut? Simaklah penjelasan Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berikut… beliau mengatakan:

Tiga kenikmatan ini termasuk anugerah terbesar bagi manusia… Bukankah Kami telah menciptakan baginya kedua mata?  yang dengan keduanya ia dapat melihat dan memperhatikan… kemudian apa yang dilihatnya tadi meresap ke hatinya, hingga pabila ia melihat yang diharamkan ia pun berdosa, dan pabila melihat untuk bertaqarrub kepada Allah ia dapat pahala…. Kemudian Allah menjadikan pula baginya lisan dan kedua bibir… yakni lisan untuk berbicara, dan bibir yang mengatur pengucapan. Inipun termasuk nikmat yang besar dari Allah U, sebab dengan lisan dan kedua bibir tadi seseorang dapat mengungkapkan isi hatinya. Kalaulah tidak karena ini semua, ia takkan mampu melakukannya… bayangkan jika manusia tak bisa bicara, bagaimana ia hendak mengutarakan isi hatinya? Bagaimana menyatakan keinginannya? Paling-paling dengan isyarat… tapi ia akan lelah, dan membuat lelah orang yang diberinya isyarat. Namun Allah ‘azza wa jalla memberinya lisan agar manusia dapat bicara, dan memberinya sepasang bibir yang membantu lisan dalam bicara.

Selain kenikmatan yang besar, ini juga merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah. Setiap ucapan  muncul dari hembusan udara yang keluar dari paru-paru, kemudian mengalir melewati jalan-jalan tertentu… tatkala lewat jalan ini menjadi huruf tertentu, dan tatkala lewat jalan yang lain menjadi huruf yang lain, padahal udaranya itu-itu juga dan keluar dari tempat yang sama… akan tetapi ia melewati pita-pita suara yang halus di tenggorokan lalu dibawa ke rongga mulut kemudian ke bibir… pita suara itulah yang menghasilkan bunyi, lalu dengan kerjasama antara lidah dan bibir menghasilkan suara yang kita inginkan. Karenanya, Anda dapati bahwa huruf ba’ dan syien sama-sama berasal dari hembusan udara dari paru-paru, pun demikian keduanya berbeda karena perbedaan jalan yang dilaluinya di mulut, sebagaimana yang terkenal dalam ilmu makhraj… dan sekali lagi, ini merupakan kesempurnaan nikmat Allah.[5] 

 


[1]  Diterjemahkan dari artikel berjudul: “Ma huwa tarkiebu al lisan?” (www. noo-problems.com) dan “Lidah” (wikipedia).

[2]   Salah satu jalan raya menuju bandara yang biasanya melewati daerah gurun (tanah kosong).

[3]  Disadur dari sebuah artikel berbahasa arab dari situs: muntadayaat lamasaat al ‘arab.

[4]  QS Al Balad: 8-9.

[5]  Lihat: Tafsir Juz ‘Amma surat Al Balad: 8-9, tulisan Syaikh ‘Utsaimin dengan sedikit penambahan.

 


[1]   Di atas-bawah lidah terdapat 6 kelenjar yang terus menerus memproduksi liur dengan jumlah yang pas. Setiap harinya kelenjar-kelenjar tadi menghasilkan sekitar 1,5 liter air liur. Bila produksinya bertambah sedikit akan penuhlah mulut kita dengannya, dan bila berkurang sedikit mengeringlah mulut dan lidah kita hingga bicara pun sulit.