Lahir tahun 1944, Beliau seorang wanita tangguh yang sorot matanya terpaku pada Baitul Maqdis… padanya terpendam kekuatan seorang laki-laki dan kelembutan seorang wanita. Ia tegar menghadapi penjajahan dengan segala kebengisannya, dan nekat menerjang rintangan yang penuh aral dan duri kaum Zionis, untuk menuju Masjidil Aqsha tanpa takut dan bosan. Ia tak berbeda seperti ibu-ibu Palestina lainnya yang pemberani, yang merelakan buah hati mereka untuk syahid demi membela kehormatan. Beliau seorang mujahidah, da’iyah, dan penulis: Sayyidah Nailah Hasyim Shabri, penulis kitab “Tafsir Al Mubshir Linuuril Qur’an (16 jilid)”, adalah salah seorang murabithah[1] di tanah suci kaum muslimin, Al Quds Palestina. Beliau adalah isteri dari Syaikh Dr. Ikrimah Shabri, Khatib Masjidil Aqsha, mantan Mufti Al Quds dan Kepala “Al Hai’ah Al Islamiyyah Al ‘Ulya” (Lembaga Tinggi Islam) di Al Quds.

Sayyidah Nailah adalah wanita yang dibesarkan oleh keluarga ulama. Ia telah hafal Al Qur’an sejak kecil. Ia adalah ibu dari lima anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Kajian-kajian tafsir yang rutin disampaikannya kepada para wanita Al Quds di Masjidil Aqsha benar-benar menggusarkan pihak Zionis. Puluhan wanita dan anak-anak memenuhi halaman Masjidil Aqsha untuk mendengar penafsiran beliau tentang ayat-ayat jihad dan kemenangan, dan bahwa apa yang dialami umat Islam hari ini yang demikian lemah dan tercerai-berai, adalah salah satu tahapan sejarah yang akan segera berlalu dan menyiratkan fajar kebebasan.

Ia seorang wanita yang produktif menulis karya ilmiyah. Selain kitab Tafsir “Al Mubshir Linuuril Qur’an” yang merupakan tafsir Al Qur’an lengkap dalam 16 jilid, beliau juga menulis sejumlah buku lain. Di antaranya adalah sejumlah makalah dengan judul “Wamdhatun fi Dhalaam” (1972), “Filistiniyyah Sa-abqa” (1979), “Kawaakibu Filistin” (1978), dan “Haadzihi Ummati” (1980). Akhir-akhir ini beliau juga menulis sebuah bantahan terhadap propaganda yang dilancarkan oleh seorang penulis wanita sekuler bernama Nawal Al Sa’dawi, yang sebentar lagi akan terbit insya Allah. Selain itu, beliau juga menulis sejumlah kitab kecil seperti “Rihlati bil Hajji wal Umrah” (Perjalananku untuk Haji dan Umrah), dan sejumlah cerita lain yang belum sempat diterbitkan, akibat berbagai tekanan dari pihak Zionis.

Beliau datang ke Kairo ditemani oleh suaminya, Sang Mujahid Dr. Ikrimah Shabri, Khatib Masjidil Aqsha sekaligus Mufti-nya. Kami menemuinya dan mewawancarainya dalam kesempatan tersebut, dan ia menceritakan kepada kami serangkaian penderitaan yang dialami wanita-wanita Al Quds dan Tepi Barat di bawah penjajahan Zionis, serta apa peran mereka dalam melindungi Masjidil Aqsha.

Dia seorang Syaikhah[2], puteri seorang Syaikh[3] dan isteri seorang Syaikh pula. Ketika kami bertemu di sebuah muktamar yang diadakan oleh Pusat Media Arab di Kairo, ia mengingatkanku dengan kata-kata yang sama, yang diucapkan oleh DR. Aisyah bintu Asy-Syathi’ tentang dirinya. Keduanya memang sangat mirip, sebab keduanya sama-sama dibesarkan dalam rumah tangga yang kental dengan nuansa ilmu syar’i. Keduanya juga berkecimpung di dunia ilmu syar’i, dan keduanya juga sama-sama menjadi isteri seorang alim. Yang membedakan mereka berdua hanyalah tanah kelahirannya.

Berikut ini adalah penuturan beliau yang penulis rangkum dari dua wawancara terpisah, yang dilakukan oleh Rasya Muhammad Sa’id[4] dan Iman Isma’il[5], dengan sedikit penyesuaian.

20 Tahun Bersama Kitabullah

Soal: Bagaimana tentang studi dan aktivitas ilmiah Ibu?

Jawab: Selama 20 tahun, aku mengajarkan Al Qur’an dan hidup bersamanya. Selama tempo itu, aku telah menelaah 150 kitab tafsir yang bermacam-macam, baik yang klasik maupun kontemporer. Faktor yang mendorongku untuk memulai amal tersebut ialah karena aku merasakan betapa sedikitnya kitab-kitab tafsir yang kontemporer. Adapun kitab-kitab tafsir klasik, semuanya ditulis dengan metode klasik yang sulit difahami oleh kebanyakan pembaca, terutama para pemuda. Maka lewat kitab tafsirku yang berjudul: “Al Mubshir Linuuril Qur’an”, aku berusaha untuk menyuguhkan sebuah tafsir kontemporer dengan metode yang sederhana (mudah difahami).

Metode yang kupakai dalam penulisannya ialah menghindari sepenuhnya kisah-kisah Israiliyyat yang sering dipakai oleh para mufassirin klasik dalam tafsir mereka. Aku juga berusaha menghubungkan antara realita kaum muslimin hari ini dengan penafsiran ayat secara global. Kemudian dari situ, aku menarik sejumlah hikmah, ibrah, dan pelajaran. Alhamdulillah, cetakan pertama dari tafsir ini telah terbit dalam 11 jilid, dan cetakan keduanya akan diterbitkan -atas izin Allah- dalam 16 jilid.

Dunia ilmu sama sekali tidak menyibukkanku dari sejumlah tanggung jawabku sama sekali. Meski aku sejak dulu hingga hari ini selalu menghabiskan lebih dari tujuh jam tiap hari untuk membaca dan menulis, namun aku tak pernah sehari pun menerlantarkan kewajibanku. Aku senantiasa membawa putera-puteraku saat pergi ke perpustakaan umum, lalu aku membaca dan mereka juga membaca, hingga muncullah dalam jiwa mereka rasa cinta membaca dan mencari ilmu.

Generasi Pembebas…

Soal: Bagaimana tentang kajian tafsir yang Ibu sampaikan di Masjidil Aqsha?

Jawab: Kajiannya selalu berkaitan dengan tafsir Al Qur’anul Kariem dengan merenungi ayat-ayat yang melaluinya kami dapat memperhatikan kondisi kami, lalu kita ambil sejumlah pelajaran dan ibrah yang meneguhkan kita dalam perjuangan. Karenanya, halaman Masjidil Aqsha seluruhnya dipadati oleh kaum wanita dan anak-anak dari segala umur. Mereka semua tekun rajin menghadiri kajian tersebut, hingga sering kali suaraku tidak mencapai seluruh hadirin saking berdesakannya mereka yang hadir. Atas karunia Allah, meski banyak tekanan yang ditujukan kepada kami, namun hal itu tidak menggusarkan hati kami sedikitpun dan tidak mengurungkan niat seorang pun dari kami untuk hadir, termasuk anak-anak.

Soal: Bagaimana kalian para ibu mendidik anak-anak agar kelak menjadi generasi pembebas insya Allah?

Jawab: Caranya ialah dengan mengajak mereka secara periodik ke Masjidil Aqsha agar melihat secara langsung para serdadu penjajah dan bagaimana kelakuan mereka terhadap ibu-ibu mereka dan anak-anaknya. Dengan demikian tumbuhlah kebencian dalam hati mereka terhadap kaum Zionis dan setiap kaki tangannya. Teriakan perlawanan terhadap kezhaliman pun akan senantiasa mengiang di telinga mereka, yang seakan memanggil setiap jiwa merdeka dari putera umat untuk menyelamatkan tempat Isra’ Rasulullah e. Selain itu, ibu yang bersangkutan hendaklah menjadi teladan dan tidak boleh takut ketika bersikap di depan pasukan Israel saat diperiksa dan lain sebagainya, agar anak-anak mereka meneladani mereka. Sebenarnya, hidup berdampingan dengan kaum zionis dengan segala kepahitannya sudah cukup untuk mendidik dan mentarbiyah mereka.

Menggenggam Bara Api

Kalian, sebagaimana aku, tiap hari mengikuti perkembangan yang terjadi di Tepi Barat dan Al Quds, berupa serangkaian kejahatan kaum Zionis Israel yang sebagian kecil darinya dipublikasikan, namun sebagian besarnya tidak diketahui. Di antara kejahatan tersebut ada yang berbahaya, namun tidak terekam oleh lensa kamera… Kami di Tepi Barat demikian menderita akibat perang global yang dilancarkan atas kami. Agama kami diserang, demikian pula akhlak dan identitas Arab kami dengan demikian gencar. Sebagai contoh: sebab utama beredarnya narkotika di kalangan pemuda di Tepi Barat kembali kepada serdadu Israel yang menggunakan segala cara, sampai-sampai mereka mencampurkan narkotik dalam makanan “sandwich” bagi pemuda-pemuda di Tepi Barat, supaya mereka ketagihan narkotik dan membinasakan mujahidin muda tersebut.

Dalam perang global atas kami ini, kaum wanita mendapat porsi terbesar dari serangan mereka. Contohnya, dalam rangka memerangi agama kita, para penjajah Zionis mengkader orang-orang yang siap bekerja untuk menyebarkan nilai-nilai sekulerisme di antara wanita-wanita Al Quds. Ada tim-tim khusus yang telah dilatih untuk mengunjungi wanita-wanita Al Quds dan berusaha meyakinkan mereka akan keistimewaan menikah ala kolonial di hadapan pengacara umpamanya, sebagai ganti dari pernikahan syar’i yang dilangsungkan atas sepengetahuan dan persetujuan keluarga. Mereka juga berusaha meyakinkan kaum wanita agar berani mengadukan suami-suami mereka ke para pengacara dan mahkamah Israel, yang senantiasa berpihak kepada wanita sepanjang jalan, dan menghukum pihak laki-laki atas kesalahan yang terkecil sekalipun.

Ada pula sejumlah yayasan wanita bikinan Zionis yang memanfaatkan kesulitan yang dialami oleh wanita-wanita Al Quds yang bersuamikan orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza, untuk meyakinkan mereka agar mengimani ajaran sekulerisme dengan imbalan bahwa yayasan tersebut akan membantu mereka dalam mengajukan tuntutan ke pengadilan, agar mempermasalahkan hak suami mereka untuk mendapatkan KTP Al Quds.

Adapun yayasan sosial Islam, maka sebagian besarnya telah ditutup, dan hampir semuanya nyaris tidak bisa berkutik di bawah tekanan Undang-undang yang dipaksakan oleh Zionis Israel atas kita, yang menghalangi sampainya setiap bentuk santunan yang datang dari seluruh penjuru dunia ke tangan warga Al Quds, dengan alasan menutup kucuran dana atas para teroris!

Identitas yang Terancam

Sebagai salah seorang warga Al Quds, aku dan suamiku terpaksa meninggalkan rumah kami di Tepi Barat dan tinggal di sebuah apartemen di Al Quds, itu semua agar kami tidak kehilangan identitas kami sebagai warga Al Quds. Pernah suatu hari penjajah Israel memanggil suamiku, Syaikh Ikrimah Shabri dan memperingatkannya bahwa suatu hari nanti mereka akan mencabut identitas Al Quds kami, sebab kami menghabiskan hari-hari yang lebih banyak di rumah kami di Tepi Barat dari pada hari-hari kami di apartemen kami di Al Quds.

Bahkan pihak Zionis menyewa bagian atas dan belakang rumah kami yang ada di Tepi Barat, dalam rangka mengawasi kami dan memastikan bahwa kami tidak lagi mengunjungi rumah kami yang ada di Tepi Barat. Selain itu, kami juga dilarang untuk memindahkan apa pun dari rumah kami di Tepi Barat ke Al Quds.

Identitas sebagai warga Al Quds sangatlah berharga. Wanita-wanita Al Quds yang menikah dengan lelaki Palestina dari daerah lain benar-benar menderita. Mereka harus mengurung suami mereka dalam rumah dan tidak boleh melihat jalanan kecuali sesekali, atau mereka akan segera dideportasi dari Al Quds.

Pos-pos Pemeriksaan Maut

Penderitaan warga Al Quds akibat pos-pos pemeriksaan Israel melebihi apa yang kita bayangkan. Kita juga pasti masih ingat peristiwa yang dialami oleh seorang wanita bercadar yang dipaksa oleh tentara Israel untuk melepas cadarnya di hadapannya, namun ketika si wanita menolak, tentara tadi mencabutnya dengan paksa hingga si wanita meludahi mukanya… Tak ayal lagi, si tentara Israel memukulinya bertubi-tubi hingga ia menderita kebutaan dan lumpuh. Sampai-sampai Presiden Mesir Hosni Mubarak campur tangan dan memindahkan si wanita ke Kairo untuk menjalani perawatan medis, dan alhamdulillah ia dapat diobati hingga penglihatannya kembali.

Banya juga di antara wanita hamil yang mati di pos-pos pemeriksaan. Karena tentara Israel tidak lagi memiliki belas kasihan dalam hati mereka. Mereka melarang para ibu yang kesakitan ingin melahirkan untuk melewati pos pemeriksaan… mereka malah berdiri mengamati ibu-ibu tadi dengan kaca pembesar saat mereka melahirkan sembari tertawa… dan hasilnya ialah: matinya sang ibu, atau si janin, atau keduanya… laa haula walaa quwwata illaa billaah!

Aku juga ingat ada salah seorang ibu yang hendak melalui pos pemeriksaan militer, dan ia membawa cairan pembersih untuk membersihkan rumahnya. Maka salah seorang tentara wanita Israel memaksanya untuk meminum sebagian cairan tersebut atau ia akan membunuhnya… maka tak ada pilihan lain bagi si ibu kecuali meminumnya, dan belum lagi ia sampai ke rumahnya ia pun meninggal dunia!

Ada sebuah kejadian lucu yang sekaligus tragis yang pernah kualami. Pernah suatu ketika aku dilarang lewat karena aku membawa balah[6]. Alasannya, mereka meyakini bahwa kami menggunakan biji balah untuk membikin bahan peledak. Pos-pos pemeriksaan telah mengubah hidup kami seperti tinggal dalam Neraka. Perjalanan yang mestinya ditempuh dalam setengah jam harus kami tempuh selama lima atau enam jam. Pos-pos tersebut telah mencabik-cabik kami, menghancurkan kami, dan memutus hubungan silaturahmi kami, sampai-sampai mengunjungi keluarga menjadi perjalanan yang penuh adzab yang mungkin tidak berujung pada keselamatan. Tiap kota dipisah dengan dinding-dinding yang mengisolasinya secara sempurna dari sekitarnya, dan masuk ke sana menjadi hal yang sangat sulit.

Dari Sungai Nil ke Eufrat

Anda jangan menduga bahwa ambisi kaum Zionis sebatas bumi Palestina saja, akan tetapi ambisi mereka seluas peta yang dibikin oleh Theodore Hertzel, yang terdapat dalam aula di Gereja Israel, yang meliputi wilayah dari sungai Nil (Mesir) hingga Eufrat (Irak).

Pernah juga suatu ketika aku berjalan dengan membawa beberapa kurma yang tentunya tanpa biji. Tiba-tiba seorang serdadu Israel yang menarik kurma tersebut dan mengatakan: “Aku mencium bau kurma Khaibar[7]“, biarkan kurma ini untukku.

Pernah juga suatu ketika seorang serdadu Israel berkata kepada Ammar puteraku: “Tahukah kamu dari mana asalku? Aku adalah orang Arab seperti kamu…”, Ammar menjawab: “Aku tidak tahu dari mana, mungkin dari Mesir, Irak, atau Maroko”. “Oh bukan, Aku berasal dari Bani Nadhir, dari Yatsrib (Madinah)… dan aku sangat rindu dengan negeri asalku dan aku akan pergi ke sana!”.

Al Aqsha di depan mataku, namun shalat dilarang

Kami di sini senantiasa menghitung hari demi hari, menunggu berakhirnya tempo pengasingan yang dijatuhkan oleh penjajah Israel atas suamiku dari Al Aqsha. Selama ini ia hanya duduk di kantornya yang hanya terpisah oleh tembok dengan Masjidil Aqsha. Ia mendengar suara shalat berjamaah namun tidak bisa shalat di Masjidil Aqsha, ia hanya bisa shalat sendirian. Selama ini kami terus berdoa dan bersimpuh di hadapan Allah agar segera mencabut pengasingan secepatnya dari suamiku dan supaya pihak Israel tidak menjatuhkan sangsi pengasingan yang baru.

Usaha pembobolan terhadap Masjidil Aqsha terus berlangsung secara kontinyu, akan tetapi kami selalu melawan dengan gigih. Akhir-akhir ini, sejumlah jamaah shalat wanita di Masjidil Aqsha berhasil menghadapi usaha penetrasi yang dilakukan oleh sebagian warga yang ingin menerobos Al Aqsha sambil membawa miniatur Haikal Sulaiman (singgasana Sulaiman), para jama’ah wanita tadi melemparinya dengan sepatu hingga jatuhlah miniatur tersebut dari tangan mereka dan gagal lah makar tersebut.

Inilah takdir kami, intimidasi yang abadi dan telah biasa kami rasakan. Aku ingat bahwa pernah suatu ketika pasukan penjajah memanggil salah seorang puteraku. Ia mengancam ayahnya di hadapannya, yaitu Syaikh Ikrimah. Salah seorang jenderal Israel berkata kepada puteraku: “Katakan kepada ayahmu agar jangan tergesa-gesa ingin masuk Surga; ia pasti akan menuju kesana mau tidak mau”. Dan menurutku, inilah nasib setiap warga Palestina yang terhormat yang membela agama dan negaranya.

Soal: Di tengah bungkamnya negara-negara Arab dan Islam yang demikian aneh akan masalah Palestina dan warganya, pernahkah kalian berfikir untuk pindah dari Al Quds dari pada harus menghadapi berbagai tekanan dan penghinaan?

Jawab: Tentu saja tidak… kami tidak akan mencoba maupun berpikir untuk itu sama sekali… Al Quds adalah darah daging, ruh, dan bumi kami, dan kami tidak akan menerlantarkan sejengkal pun darinya. Anak-anak, jiwa, dan harta kami kami anggap murah demi sebutir tanah Al Quds, sebab semua wanita di Al Quds telah terikat dengan masjid itu, dan dengan kota suci yang menimbulkan iri hati banyak orang, sebab Allah menjadikan dirinya sebagai penghuninya, dan kelak ia menjadi barisan terdepan dari para wanita murabithah yang menjaga Al Quds dan Masjidil Aqsha. Intinya, Al Quds telah mengalir dalam darah setiap wanita di sana, sebab ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari prinsip, akidah, dan keimanannya, dan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilepaskan begitu saja[8].


[1] Artinya, wanita yang melakukan ribath (tinggal di sebuah front jihad).

[2] Artinya Syaikh perempuan. Ini sebuah gelar yang biasa diberikan kepada wanita alim, seperti syaikh bagi laki-laki.

[3] Ayahnya adalah Syaikh Hasyim Hasan Shabri, Mufti daerah Qalqilia (sebuah kota kecil di barat Tepi Barat), dan Imam Mesjid Al ‘Umary, serta Guru mata pelajaran agama Islam di Madrasah Al Murabithin dan Madrasah As Sa’diyyah hingga tahun 1978.

[4] Lihat di: http://www.al-qudsonline.com/print.asp?id=8843&lang=0.

[5] Lihat di: http://www.ikhwanonline.com/Article.asp?ArtID=58852&SecID=323.

[6] Balah adalah buah kurma yang belum masak dan masih berwarna merah dan berasa sepat.

[7] Khaibar adalah sebuah wilayah perkebunan di dekat Madinah, yang di zaman Nabi menjadi benteng kaum Yahudi Bani Quraidhah. Pasca terbongkarnya pengkhianatan kaum Yahudi saat kaum muslimin dikepung oleh pasukan Ahzab, dan setelah Allah mengalahkan mereka, Nabi e memerintahkan para sahabat untuk menuju Khaibar dan mengepungnya karena mereka telah berkhianat. Ketika Nabi berniat untuk membakar kebun korma mereka agar memutus suplai logistik, mereka menyerah dan siap menerima keputusan salah seorang sahabat, yaitu Sa’ad bin Mu’adz, yang dahulunya adalah sekutu mereka. Akhirnya Sa’ad memutuskan agar setiap lelaki yang telah baligh dari mereka dieksekusi. Setelah itu, Rasulullah membikin perjanjian dengan sisa warga Khaibar bahwa mereka boleh tetap tinggal di Khaibar asalkan separuh dari hasil kurma mereka diberikan kepada Rasulullah.

[8] Semoga Allah memberi hidayah kepada beliau dan kita semua. Meski setiap muslim siap berkorban demi tanah suci kaum muslimin, akan tetapi tanah suci bukanlah segalanya dalam Islam. Yang lebih penting bagi kaum muslimin ialah bagaimana ia bisa beribadah kepada Allah dan menampakkan syiar-syiar Islam dengan leluasa. Kalaulah Baitul Maqdis demikian agung di mata kaum muslimin, dan bangsa Palestina adalah bangsa yang mulia karena perjuangan mereka; maka sesungguhnya Masjidil Haram di Mekkah adalah lebih agung dari Masjidil Aqsha, dan Rasulullah e adalah lebih mulia dari seluruh orang Palestina, bahkan dari seluruh manusia. Pun demikian, ketika kota Mekkah kondisinya tidak lagi memungkinkan beliau dan kaum muslimin untuk bebas beribadah dan menjalankan syiar-syiar Islam, beliau memerintahkan para sahabatnya untuk hijrah ke bumi lain seperti Habasyah, bahkan beliau sendiri akhirnya hijrah ke Madinah. Ini jelas menunjukkan bahwa mati-matian mempertahankan suatu wilayah yang di sana kaum muslimin ditindas dan tidak bisa beribadah dengan leluasa, padahal masih ada wilayah lain –meski dalam negara yang sama- yang ‘wellcome’ terhadap mereka; bukanlah tindakan yang terpuji, wallaahu a’lam.