Soal-Jawab
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Kepada ikhwan dan akhwat pengunjung Blog Abu Hudzaifah yg saya cintai…
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas Blog ini, saya khususkan halaman ini bagi yg ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’-nya, baik keluhan, pertanyaan, atau sekedar curhat… Semoga dengan itu semua saya jadi lebih semangat untuk menyampaikan ilmu saya kepada antum semua.
Jadi, saya tunggu partisipasi antum… Jazakumullahu khairan katsieran,
Wassalaam,
Assalaamu’alaikum
Nabi SAW bersabda ”Kelak akan dikatakan kepada orang yang membaca al-Qur’an ”Bacalah, telitilah dan tartillah sebagaimana engkau mentartilkannya di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu adalah diakhir ayat yang engkau baca.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
==============================
Afwan Ustadz, mohon penjelasan ttg hadits tsb diatas.
Jazakallohu khair
Setahu ana, terjemahannya bukan “bacalah dan telitilah…” tapi “Bacalah dan naiklah, dan bacalah dengan tartil… dst”.Ibnu Taimiyyah menyimpulkan dari hadits ini, bahwa tingkatan (derajat) Surga sebanyak jumlah ayat di Al Qur’an. Hadits ini juga menunjukkan bahwa makin banyak ayat yg dihafal seseorang, maka makin tinggi pula tingkatannya di Surga. Jadi seseorang akan terus naik kedudukannya selama dia membaca Al Qur’an, dan akan berhenti naik setelah hafalannya habis. Begitu dhahirnya, wallahu a’lam.
Aswab……….
di sela-sela shalat malam , mau bertanya ke Ustadz yang banyak ilmunya.
bagaimanakah keagamaan Ayah dan Kakek Nabi Muhammad SAW, apakah mereka itu MUSLIM atau KAFIR?
kalau ane YAKIN MEREKA PASTI ISLAM. menurut Ustadz bgm?
ayo ilmunye di share dong ! syukran…….!
Aswab…ustadz..
ayo.. ustadz,…………Qiyamullail………!
tidak mengapa antum menghapus lagi comment ane yang terakhir. lagi dan lagi comment ane dihapus oleh antum. maklum super ego.
tapi sebagai muslim ane tetap mendo’akan kebaikan untukmu! membersihkan hati antum dari kesombongan memiliki secuil ilmu, namun telah berani mengecilkan nilai muslim yang tidak sepaham.
Dahsyat….bukankah sekeras-kerasnya BATU, masih ditemukan keluarnya mata air di celah-celahnya di puncak pegunungan ?
pertama nt bilang: “ustadz yang Banyak ilmunya” terus komen berikutnya: “memiliki secuil ilmu”
Pertama nt bilang : “apakah mereka itu MUSLIM atau KAFIR?” terus nt jawab sendiri: “kalau ane YAKIN MEREKA PASTI ISLAM”
kesimpulan: Orang syi’ah itu kontradiksi, sekarang bilang “Iya” lalu 2 jam lagi bilang “TIdak”.
“di sela-sela shalat malam”… Memang orang syi’ah suka pamer (dari Imam, presiden, sampai pengagum Iran sama semua… suka pamer).
Afwan Salim, kok “ayo, ustadz…Qiyamullail”. Nt dimana, ustadz dimana. Nt sama Ustadz kan beda negara.
assalaamualaikum
ustadz, apakah ada kaidah bahwa setiap hewan yang diharamkan dimakan maka kotorannya adalah najis. Misalnya tikus, ada dalil tentang perintah untuk membunuhnya sehingga haram, maka apakah kotoran tikus ini najis?
jazaakalloohu khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah…
Iya, memang ada kaidah spt itu. Demikian pula sebaliknya, bahwa setiap hewan yang halal dimakan, maka kotoran dan kencingnya tidak najis. Khusus yg kedua ini dalilnya cukup banyak, spt perintah Nabi untuk meminum kencing unta bagi orang yg sakit perut (muttafaq ‘alaih). Demikian pula izin beliau untuk shalat di kandang kambing (HR. Muslim), dan yang namanya kandang pasti terkena kotoran dan kencing. Mungkin dari situ lantas ditarik mafhum mukhalafah bahwa kotoran dan kencing binatang yg haram dimakan adalah najis. Wallahu a’lam.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah…
Iya, memang ada kaidah spt itu. Demikian pula sebaliknya, bahwa setiap hewan yang halal dimakan, maka kotoran dan kencingnya tidak najis. Khusus yg kedua ini dalilnya cukup banyak, spt perintah Nabi untuk meminum kencing unta bagi orang yg sakit perut (muttafaq ‘alaih). Demikian pula izin beliau untuk shalat di kandang kambing (HR. Muslim), dan yang namanya kandang pasti terkena kotoran dan kencing. Mungkin dari situ lantas ditarik mafhum mukhalafah bahwa kotoran dan kencing binatang yg haram dimakan adalah najis. Wallahu a’lam.
@Tony
Kamis, 29 Juli 2010 00:00 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Alhamdulillah, sekarang kami punya kesempatan untuk mengkaji kembali pembahasan zakat. Pada pertemuan sebelumnya telah kami sajikan apa saja syarat-syarat zakat. Setelah memahami dan mengetahui hal itu, saat ini kami akan melanjutkan dengan penjelasan zakat emas, perak dan mata uang. Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca rumaysho.com sekalian.
Zakat Emas dan Perak
Jika emas dan perak serta pemiliknya telah memenuhi syarat-syarat zakat, lalu ditambah dengan memenuhi nishob dan telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah[1]), maka wajib ketika itu untuk mengeluarkan zakat. Emas dan perak tersebut nantinya akan dikeluarkan zakatnya setiap tahun sekali.
Nishab Emas dan Perak
Nishab atau ukuran minimal dikenai zakat pada emas dan perak serta berapa persen zakat yang ditarik diterangkan dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ – يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikit pun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.” (HR. Abu Daud no. 1573. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima uqiyah “. (HR. Bukhari no. 1447 dan Muslim no. 979)
Dan pada hadits riwayat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dinyatakan,
وَفِى الرِّقَةِ رُبْعُ الْعُشْرِ
“Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).” (HR. Bukhari no. 1454)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya kita dapat simpulkan beberapa hal:
Nishab adalah batas minimal dari harta zakat yang bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu pada hadits riwayat Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”
Harta emas dan perak yang telah mencapai nishob harus telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah).
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah 1/40 atau 2,5 %.
Nishab emas adalah 20 (dua puluh) dinar, setara dengan 70 gram emas.[2]
Nishab perak yaitu sebanyak 5 (lima) uqiyah, setara dengan 460 gram perak.[3]
Perlu diingat bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak di atas adalah emas dan perak murni (24 karat). Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, maka ia dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut:
Cara pertama: Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua: Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu. Sehingga yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menanyakan harga beli emas atau perak per gram saat dikeluarkannya zakat. Jika ternyata telah memenuhi nishob dan haul, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5 % (1/40) dari berat emas atau perak yang dimiliki dan disetarakan dalam mata uang di negeri tersebut.
Info yang kami peroleh terakhir (28 Juli 2010 pagi), harga emas murni Rp338.000,-/gram dan perak murni Rp5400,-/gram.
Nishob emas = 70 gr x Rp338.000,-/gr = Rp23.660.000,-
Nishob perak = 460 gr x Rp5400,-/gr = Rp2.484.000,-
Contoh 1: Harta yang dimiliki adalah 100 gram emas (24 karat) dan telah bertahan selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (emas) = 1/40 x 100 gr emas = 2,5 gr emas
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 2,5 gr emas x Rp338.000,-/gr emas = Rp845.000,-
Contoh 2: Harta yang dimiliki adalah 600 gram perak murni dan telah bertahan selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (perak) = 1/40 x 600 gr perak = 15 gr perak
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 15 gr emas x Rp5.400,-/gr perak = Rp81.000,-
Zakat Mata Uang
Zakat mata uang ini tetap ada karena sebagai alat tukar pengganti emas dan perak untuk saat ini. Namun masalahnya bagaimana dengan nishob zakatnya?
Sebagian ulama saat ini semacam Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Tetap Penelitian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia) menyatakan bahwa yang jadi patokan dalam zakat mata uang adalah nishob perak. Karena inilah yang bisa mencakup antara nishob emas dan perak, juga jika kita mendekatinya dengan perak, maka itu akan lebih menyenangkan fakir miskin.
Pendapat lainnya, menyatakan bahwa yang jadikan patokan dalam zakat mata uang adalah nishob emas. Di antara alasannya:
Nilai perak akan jauh berbeda antara zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman setelahnya. Hal ini berbeda dengan emas.
Jika disetarakan dengan nishob emas, maka itu akan mendekati nishob zakat lainnya seperti nishob pada zakat hewan ternak. Contohnya saja, zakat kambing adalah 40 ekor. Kalau kita perkirakan, nishob kambing setara dengan = 40 ekor x Rp600.000,-/ekor = Rp24.000.000,-. Lihatlah hampir mendekati dengan nishob emas. Namun coba jika yang jadi patokan adalah nishob perak, yaitu Rp2.484.000,-. Nishob perak semacam ini setara dengan 6 ekor kambing. Coba bayangkan, sungguh aneh jika hanya memiliki 6 ekor kambing saja dikatakan ghoni (sudah berkecukupan) dan dikenai zakat.
Dari dua pendapat di atas, penulis lebih cenderung pada pendapat kedua karena alasannya yang begitu kuat.[4]
Jika kita memilih pendapat yang menyatakan bahwa zakat mata uang memakai nishob emas, maka berarti:
Nishob mata uang = 70 gr x Rp338.000,-/gr = Rp23.660.000,-
Contoh: Ahmad memiliki simpanan uang sebesar Rp40.000.000,- pada akhir tahun. Nishob mata uang sekitar Rp23 juta. Harta tersebut bertahan masih di atas nishob mulai sejak 28 Ramadhan 1430 H s/d 28 Ramadhan 1431 H. Berarti harta tersebut wajib dikenai pajak.
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 1/40 x Rp40.000.000,- = Rp1.000.000,-.
Zakat Penghasilan
Yang tepat tentang masalah ini, zakat penghasilan barulah ada jika telah mencapai nishob dan telah mencapai masa satu tahun (bukan setiap bulan) sebagaimana diterangkan dalam syarat-syarat zakat. Jadi tidak tepat jika dikeluarkan tiap bulan Hijriyah.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah yang pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah, pernah berkata, “Jika gaji telah mencapai haul (gaji bertahan setahun) dan telah mencapai nishob, maka ketika itu wajib dikenai zakat. Namun jika gaji tersebut tidak memenuhi dua hal tadi, maka tidak ada zakat.”[5]
Apalagi jika ada kebutuhan setiap bulannya, padahal telah kita ketahui bersama bahwa zakat merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok. Jika gaji tersebut masih dibutuhkan untuk kebutuhan pokok bulanan, maka tentu saja hal itu lebih didahulukan. Sehingga untuk perhitungan zakat penghasilan, kita total setahun penghasilan yang ada dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran (kebutuhan pokok).
Rumus zakat penghasilan = 1/40 x (total gaji dalam setahun – pengeluaran)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di Panggang-GK, 16 Sya’ban 1431 H (28 Juli 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://www.rumaysho.com
[1] Patokan satu tahunnya adalah tanggal Hijriyah dan bukan tanggal Masehi.
[2] Lihat Az Zakah, hal. 92, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyar. Ukuran ini lebih lebih sedikit daripada pendapat sebagian ulama yang menyatakan nishob zakat emas jika disetarakan menjadi 85 gram emas (dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin), ada pula yang mengatakan 91 3/7 gram (dipilih oleh Al Lajnah Ad Daimah dalam Fatawa no. 5522, 9/255). Nishob emas dengan 70 gr emas kami rasa lebih baik karena lebih hati-hati dan nantinya lebih menyenangkan si miskin atau orang yang berhak menerimanya.
[3] Lihat Az Zakah, hal. 92. Ukuran ini lebih lebih sedikit daripada pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, yang menyatakan zakat perak setara dengan 595 gram perak murni.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/23.
[5] Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 14/135.
Assalamu`alaikum
@Tony
Kamis, 29 Juli 2010 00:00 Muhammad Abduh Tuasikal Hukum Islam
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Alhamdulillah, sekarang kami punya kesempatan untuk mengkaji kembali pembahasan zakat. Pada pertemuan sebelumnya telah kami sajikan apa saja syarat-syarat zakat. Setelah memahami dan mengetahui hal itu, saat ini kami akan melanjutkan dengan penjelasan zakat emas, perak dan mata uang. Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca rumaysho.com sekalian.
Zakat Emas dan Perak
Jika emas dan perak serta pemiliknya telah memenuhi syarat-syarat zakat, lalu ditambah dengan memenuhi nishob dan telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah[1]), maka wajib ketika itu untuk mengeluarkan zakat. Emas dan perak tersebut nantinya akan dikeluarkan zakatnya setiap tahun sekali.
Nishab Emas dan Perak
Nishab atau ukuran minimal dikenai zakat pada emas dan perak serta berapa persen zakat yang ditarik diterangkan dalam hadits berikut ini.
Dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ – يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikit pun –maksudnya zakat emas- hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.” (HR. Abu Daud no. 1573. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima uqiyah “. (HR. Bukhari no. 1447 dan Muslim no. 979)
Dan pada hadits riwayat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dinyatakan,
وَفِى الرِّقَةِ رُبْعُ الْعُشْرِ
“Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).” (HR. Bukhari no. 1454)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya kita dapat simpulkan beberapa hal:
Nishab adalah batas minimal dari harta zakat yang bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu pada hadits riwayat Ali radhiyallahu ‘anhu di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”
Harta emas dan perak yang telah mencapai nishob harus telah mencapai haul (masa satu tahun hijriyah).
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah 1/40 atau 2,5 %.
Nishab emas adalah 20 (dua puluh) dinar, setara dengan 70 gram emas.[2]
Nishab perak yaitu sebanyak 5 (lima) uqiyah, setara dengan 460 gram perak.[3]
Perlu diingat bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak di atas adalah emas dan perak murni (24 karat). Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat.
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, maka ia dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut:
Cara pertama: Membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua: Ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu. Sehingga yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menanyakan harga beli emas atau perak per gram saat dikeluarkannya zakat. Jika ternyata telah memenuhi nishob dan haul, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5 % (1/40) dari berat emas atau perak yang dimiliki dan disetarakan dalam mata uang di negeri tersebut.
Info yang kami peroleh terakhir (28 Juli 2010 pagi), harga emas murni Rp338.000,-/gram dan perak murni Rp5400,-/gram.
Nishob emas = 70 gr x Rp338.000,-/gr = Rp23.660.000,-
Nishob perak = 460 gr x Rp5400,-/gr = Rp2.484.000,-
Contoh 1: Harta yang dimiliki adalah 100 gram emas (24 karat) dan telah bertahan selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (emas) = 1/40 x 100 gr emas = 2,5 gr emas
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 2,5 gr emas x Rp338.000,-/gr emas = Rp845.000,-
Contoh 2: Harta yang dimiliki adalah 600 gram perak murni dan telah bertahan selama setahun. Berarti dikenai wajib zakat karena telah melebihi nishob.
Zakat yang dikeluarkan (perak) = 1/40 x 600 gr perak = 15 gr perak
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 15 gr emas x Rp5.400,-/gr perak = Rp81.000,-
Zakat Mata Uang
Zakat mata uang ini tetap ada karena sebagai alat tukar pengganti emas dan perak untuk saat ini. Namun masalahnya bagaimana dengan nishob zakatnya?
Sebagian ulama saat ini semacam Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Tetap Penelitian Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia) menyatakan bahwa yang jadi patokan dalam zakat mata uang adalah nishob perak. Karena inilah yang bisa mencakup antara nishob emas dan perak, juga jika kita mendekatinya dengan perak, maka itu akan lebih menyenangkan fakir miskin.
Pendapat lainnya, menyatakan bahwa yang jadikan patokan dalam zakat mata uang adalah nishob emas. Di antara alasannya:
Nilai perak akan jauh berbeda antara zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman setelahnya. Hal ini berbeda dengan emas.
Jika disetarakan dengan nishob emas, maka itu akan mendekati nishob zakat lainnya seperti nishob pada zakat hewan ternak. Contohnya saja, zakat kambing adalah 40 ekor. Kalau kita perkirakan, nishob kambing setara dengan = 40 ekor x Rp600.000,-/ekor = Rp24.000.000,-. Lihatlah hampir mendekati dengan nishob emas. Namun coba jika yang jadi patokan adalah nishob perak, yaitu Rp2.484.000,-. Nishob perak semacam ini setara dengan 6 ekor kambing. Coba bayangkan, sungguh aneh jika hanya memiliki 6 ekor kambing saja dikatakan ghoni (sudah berkecukupan) dan dikenai zakat.
Dari dua pendapat di atas, penulis lebih cenderung pada pendapat kedua karena alasannya yang begitu kuat.[4]
Jika kita memilih pendapat yang menyatakan bahwa zakat mata uang memakai nishob emas, maka berarti:
Nishob mata uang = 70 gr x Rp338.000,-/gr = Rp23.660.000,-
Contoh: Ahmad memiliki simpanan uang sebesar Rp40.000.000,- pada akhir tahun. Nishob mata uang sekitar Rp23 juta. Harta tersebut bertahan masih di atas nishob mulai sejak 28 Ramadhan 1430 H s/d 28 Ramadhan 1431 H. Berarti harta tersebut wajib dikenai pajak.
Zakat yang dikeluarkan (uang) = 1/40 x Rp40.000.000,- = Rp1.000.000,-.
Zakat Penghasilan
Yang tepat tentang masalah ini, zakat penghasilan barulah ada jika telah mencapai nishob dan telah mencapai masa satu tahun (bukan setiap bulan) sebagaimana diterangkan dalam syarat-syarat zakat. Jadi tidak tepat jika dikeluarkan tiap bulan Hijriyah.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah yang pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah, pernah berkata, “Jika gaji telah mencapai haul (gaji bertahan setahun) dan telah mencapai nishob, maka ketika itu wajib dikenai zakat. Namun jika gaji tersebut tidak memenuhi dua hal tadi, maka tidak ada zakat.”[5]
Apalagi jika ada kebutuhan setiap bulannya, padahal telah kita ketahui bersama bahwa zakat merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok. Jika gaji tersebut masih dibutuhkan untuk kebutuhan pokok bulanan, maka tentu saja hal itu lebih didahulukan. Sehingga untuk perhitungan zakat penghasilan, kita total setahun penghasilan yang ada dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran (kebutuhan pokok).
Rumus zakat penghasilan = 1/40 x (total gaji dalam setahun – pengeluaran)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish showab. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di Panggang-GK, 16 Sya’ban 1431 H (28 Juli 2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://www.rumaysho.com
[1] Patokan satu tahunnya adalah tanggal Hijriyah dan bukan tanggal Masehi.
[2] Lihat Az Zakah, hal. 92, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyar. Ukuran ini lebih lebih sedikit daripada pendapat sebagian ulama yang menyatakan nishob zakat emas jika disetarakan menjadi 85 gram emas (dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin), ada pula yang mengatakan 91 3/7 gram (dipilih oleh Al Lajnah Ad Daimah dalam Fatawa no. 5522, 9/255). Nishob emas dengan 70 gr emas kami rasa lebih baik karena lebih hati-hati dan nantinya lebih menyenangkan si miskin atau orang yang berhak menerimanya.
[3] Lihat Az Zakah, hal. 92. Ukuran ini lebih lebih sedikit daripada pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, yang menyatakan zakat perak setara dengan 595 gram perak murni.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/23.
[5] Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 14/135.
assalamualaikum
ustadz mohon penjelasan zakat mal …(uang,dan emas) dan bagaimana pula dengan zakat penghasilan,berapa jumlah uang dan eman baru dikeluarkan,dan brp jumlah yg harus di keluarkan…
bagai mana pula dengan zakat penghasilan,dan zakat pertanian/perkebunan
jazakallahu khairan
assalamualaikum
ustadz mohon penjelasan zakat mal …(uang,dan emas) dan bagaimana pula dengan zakat penghasilan,berapa jumlah uang dan eman baru dikeluarkan,dan brp jumlah yg harus di keluarkan…
bagai mana pula dengan zakat penghasilan,dan zakat pertanian/perkebunan
jazakallahu khairan
Wa’alaikumussalaam wr wb. Pertanyaan antum terlalu luas, jawabannya yg mendetail bisa antum baca di buku2 fiqih yg mengulas masalah zakat. Tapi intinya, zakat mal wajib dibayarkan tatkala seseorang memiliki kekayaan tunai yg senilai dgn 85 gram emas murni. Misal, harga emas/gr = Rp 500.000, maka jika ia memiliki (85 x 500 rb =) Rp 42.5 jt, berarti dia sdh masuk nishab. Nah, mulai saat itu ia sdh DIBOLEHKAN membayar zakat mal-nya sebesar 2.5 % darinya, namun BELUM WAJIB. Ia baru WAJIB membayarnya jika kekayaan tadi telah berumur genap 1 TAHUN HIJRIYAH (354/355 hari), dan selama setahun tsb tidak pernah berkurang dari nishab. Bila ternyata di akhir tahun kekayaannya menjadi 50 jt misalnya, maka zakatnya adalah 2.5 % dari 50 jt.
Adapun zakat penghasilan, maka apa maksudnya? Kalau yg dimaksud adalah zakat atas gaji bulanan/mingguan yg didapat seseorang, maka ini tidak ada dasarnya dlm Islam. Kecuali jika seseorang memiliki penghasilan sangat besar tiap bulan/minggunya, yakni sekali terima gaji nilainya sama dengan/lebih dari 85 gram emas murni, barulah ia bisa membayar zakatnya. Tapi kalau gajinya masih di bawah nishab, maka tidak ada zakatnya, sebab nishab adalah SYARATnya zakat.
Tapi jika yg dimaksud adalah penghasilan dari mengontrakkan rumah, menyewakan mobil, dan usaha lainnya; maka tetap mengacu kepada jumlah total kekayaan yg berhasil dikumpulkan darinya. Bila ia mencapai nishab (85 gram emas murni saat itu), maka ia terkena zakat 2.5 %, namun bila belum ya berarti tidak ada zakatnya.
Adapun zakat hasil pertanian maka jika ia berupa beras (makanan pokok yg bisa disimpan lama), maka zakatnya dibayar setiap panen dgn ketentuan sbb:
1. Nishab hasil pertanian adl 5 wasaq, atau setara dgn 300 sha’, dan 1 sha’ setara dgn 2.3 liter kira2. Nah, bila volume beras yg dipanen oleh seorang petani mencapai (2.3 x 300 =) 690 liter, maka berarti telah masuk nishab. INGAT: Nishab diukur dengan TAKARAN (Volume), bukan Timbangan. Sebab sha’ adalah takaran, bukan timbangan. Dan setelah diadakan penelitian untuk mengetahui berapakah satu sha’ itu menurut takaran masa kini, hasilnya = 2.3 liter kira-kira.
2. Zakat yg harus dibayarkan sesuai dengan cara pengairan yg digunakan. Kalau pengairannya memakan biaya, spt dengan menggunakan pompa listrik, atau dgn irigasi dsb yg membutuhkan biaya, maka zakatnya 5 % dari total hasil panen (tanpa dipotong biaya apa pun). Sedangkan bila pengairannya mengandalkan air hujan atau cara lain yg bebas biaya, maka zakatnya 10 % dari total hasil panen. Zakat diberikan berupa hasil panen tsb.
3. Kalau hasil panennya berupa buah-buahan atau sayuran yg tidak tahan lama dan tidak menjadi makanan pokok masyarakat, maka ia dianggap sebagai harta kekayaan yg pembayaran zakatnya mengikuti zakat mal.
ustadz apakah ada riwayat pada jaman imam ahmad, kedekatan kepada beliau -rahimahullah- sbg tolak ukur seseorang seorang ahli sunnah atau ahli bid’ah? Jika ada tolong dijelaskan
Ana tidak tahu ada/tidaknya riwayat tersebut. Tapi kalau sudah sekelas Imam Ahmad, maka sikap seseorang thd beliau bisa menjadi pertanda apakah dia seorang Ahlussunnah ataukah Ahlul bid’ah. Siapa yg mencintai beliau berarti Sunni, dan siapa yg membenci beliau berarti mubtadi’. Tapi ini berkenaan dgn mencintai/membenci, bukan dekat/jauh. Sepeninggal beliau tidak ada lg orang yg bisa dekat dgn beliau, tapi tetap bisa mencintai/membenci beliau… dan di zaman beliau seseorang mungkin saja tidak pernah bertemu/jauh dgn beliau, tapi bisa mencintai dan membenci beliau. Inilah yg dikenal dgn istilah wala’ dan baro’.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ustadz, ada kebingungan bagi saya. saya bingung kebanyakan ulama terutama yg diindonesia bermazhab syafi’i. Dan ada yg menerangkan harusnya bermazhab.
Sebagaimana dengan kutipan yg saya ambil dari teman saya..
orang -orang awam yang mengambil warisan ilmu-ilmu mereka seolah-olah seperti bertanya lansung kepada Imam yang empat. Dengan begitu, jauhlah mereka dari kesesatan dan menyesatkan orang. Tetapi orang bodoh yang tidak mau bermadzhab akan menanyakan permasalahannya kepada orang yang berlagak alim dan mujtahid tetapi bodoh, tolol dan sok tahu, maka dia berfatwa menurut hawa nafsunya dan perutnya dalam memahami hadits dan lainnya. Orang ini sangat membahayakan dan menyesatkan umat Islam. Mereka tidak menyadari kesesatan mereka dan berusaha untuk menyebarkan pemahaman mereka, inilah ciri-ciri kebodohannya.
bahwa tak usah ragu dengan fatwa Imam SYafii, karena kesemuanya berlandaskan dg pendapat shahih, mengenai jika masa kini menemukan hadits shahih yg bertentangan dg fatwa syafii, maka tentunya tdk bisa dijadikan dalil untuk menjatuhkan fatwa Imam Syafii. Sudah ada puluhan Imam dan ratusan Alhafidh yg mengikuti madzhab beliau, tentunya mereka akan mengoreksi fatwa Imam Syafii jika terdapat yg lebih shahih, tp ternyata bahkan murid beliau sendiri yaitu Imam Ahmad bin Hanbal (imam hambali) yg hafal 1 juta hadits berikut sanad dan hukum matannya (Rujuk tadzkiratul huffadh dan Siyar a’lamunnubala), beliau mengatakan tdk pernah kulihat orang yg selalu ingin berfatwa dg hadits shahih melebihi imam syafii. kesimpulannya, orang yg boleh mengacak dan memilih mana imam/madzhab yg harus diikuti ini haruslah seorang Imam dan pakar syariah bukan orang awam.
——————————————————————
dan kebingungan itu dialami juga oleh teman saya yg Muallaf. dia bertanya pada saya yg mana yg benar. Karena masing2 mengaku berlandaskan Al qur’an dan Sunnah?.
Mohon penjelasannya Ustadz. dan mengenai Banyaknya Ulama yg Bermazhab Syafi’i khususnya diindonesia, mungkin Ustadz bisa buat artikelnya yg banyak membuat bingung khususnya Muallaf… Atas penjelasannya Jazakallahu khairan…
Coba antum jelaskan, apa sih sebenarnya yg membuat antum bingung? Banyaknya ulama bermazhab syafi’i atau banyaknya perbedaan pendapat, atau apa? Perlu kita ketahui, bahwa tidak ada seorang ulama pun yang menguasai seluruh ilmu agama, pasti ada sebagian dari ilmu agama yang tidak dia ketahui. Ini sudah menjadi ijma’. Nah, kalau begitu, kita boleh saja bermazhab syafi’i, atau hambali, atau maliki atau hanafi, namun jangan taklid buta kepada para imam tadi. Artinya, bila terbukti pendapat imam A dalam suatu masalah tidak sesuai dengan hadits Nabi atau dalil lain, maka kita harus meninggalkan pendapat beliau dan mengikuti hadits Nabi atau dalil lain tsb.
Apa yg dikatakan teman antum bahwa sudah ada puluhan bahkan ratusan Alhafidh yang mengikuti mazhab syafi’i, dan tentunya mereka akan mengoreksi fatwa Imam Syafi’i jika terdapat yg lebih shahih… dst. Saya katakan: “apakah Imam Syafi’i itu ma’shum alias tidak mungkin keliru dalam berfatwa?”. “Apakah Imam syafi’i hafal semua hadits yang ada?”. Tidak ada yg berani mengatakan spt itu selain orang bodoh.
Antum tidak perlu bingung. Kalau antum dan teman antum itu baru pemula dalam mempelajari agama, maka ikutilah mazhab syafi’i. belajarlah fiqih syafi’i dari kitab-kitab dasar yg menjadi acuan bagi pemula, lalu naik secara bertahap… kelak kalau antum sudah menguasai dasar-dasar fiqih syafi’i, silakan perbandingkan dengan mazhab lain. Tapi kuncinya ialah menguasai bahasa Arab terlebih dahulu supaya bisa merujuk langsung ke kitab-kitab fiqih perbandingan mazhab, dan itu perlu proses…
Tentunya tidak masuk akal kalau antum dan teman antum bingung thd semua masalah yg dipelajari… mesti ada masalah-masalah tertentu yg jelas dan ada yg membingungkan, nah kalau memang ada yg membingungkan, maka kewajban antum ialah mencari ustadz yang kredibel dan mumpuni dlm masalah tsb, lalu minta fatwa darinya, dan peganglah fatwa tersebut. Antum jangan bertanya ke orang lain setelah itu agar tidak bingung. Nah bila suatu saat antum merasa bhw fatwa tsb tidak lagi relevan karena satu dan lain hal, maka silakan menanyakan kembali ke ybs atau ke ustadz lain yang lebih alim. Begitu saran saya.
ttg matsurat. dikuliahan ane diwajibin bjamaah abis solat subuh. Gimana ne ? Apakah ane sebaiknya pura2 ikut aj?
Ane ada disekolah besutan antoni* syafi* yg katanya pakar ekonomi syariah.
thx.
Ga’ boleh tuh mewajibkan bacaan ma’tsurat kaya begitu… Bid’ah kok diwajibkan? Adapun si Antoni Syafi’i, mungkin maksud antum: Syafi’i Antonio itu ya? Sejauh yg ana tahu, meski banyak orang menggelari dia sbg pakar ekonomi syari’ah, tapi kelihatannya dia jahil dlm banyak hal dari syari’ah Islam (pakar ekonomi syari’ah tidak sama dengan pakar syari’ah). Salah satu buktinya ialah karena sekolah yg dia besut mewajibkan sesuatu yg tidak wajb, bahkan sebenarnya bid’ah.
Nt tidak boleh ikut-ikutan… cari aja alasan yg logis, spt: saya mau baca wirid subuh yg diajarkan Nabi, dan saya tidak bisa menggabungkannya dgn Ma’tsurat. Nt bisa baca buku kecil yg berjudul Hisnul Muslim, di situ ada bacaan dzikir pagi dan sore, nah yg pagi itu dibaca abis subuh ampe matahari terbit. Atau nt baca Qur’an aja, dan kalau ditegur nt bisa bilang: Mana yg lebih baik: Ma’tsurat atau Al Qur’an? Atau alasan lain…
Ga’ boleh tuh mewajibkan bacaan ma’tsurat kaya begitu… Bid’ah kok diwajibkan? Adapun si Antoni Syafi’i, mungkin maksud antum: Syafi’i Antonio itu ya? Sejauh yg ana tahu, meski banyak orang menggelari dia sbg pakar ekonomi syari’ah, tapi kelihatannya dia jahil dlm banyak hal dari syari’ah Islam (pakar ekonomi syari’ah tidak sama dengan pakar syari’ah). Salah satu buktinya ialah karena sekolah yg dia besut mewajibkan sesuatu yg tidak wajb, bahkan sebenarnya bid’ah.
Nt tidak boleh ikut-ikutan… cari aja alasan yg logis, spt: saya mau baca wirid subuh yg diajarkan Nabi, dan saya tidak bisa menggabungkannya dgn Ma’tsurat. Nt bisa baca buku kecil yg berjudul Hisnul Muslim, di situ ada bacaan dzikir pagi dan sore, nah yg pagi itu dibaca abis subuh ampe matahari terbit. Atau nt baca Qur’an aja, dan kalau ditegur nt bisa bilang: Mana yg lebih baik: Ma’tsurat atau Al Qur’an? Atau alasan lain…
maaf ustadz yg ana maksud si A yg msh beragama nashoro..
Apalagi masih Nashoro, ya Impossible bin mustahil dia bisa menikahi B kembali.
syukron ustadz atas tanggapannya..na’am ustadz si C msh beragama nashoro..thoyyib nanti akan ana sampaikan penjelasan ustadz..mudah2an apa yg disampaikan ustadz akan memberikan solusi buat mereka Insya Alloh Ta’ala..semoga Alloh Ta’ala memberikan kemudahan..
jazzakumullohu khayran
Assalamualaykum Ustadz..ana ada titipan pertanyaan dari istri ana..begini ustadz sebut saja si (A) suami dan si (B) istri mereka berdua beragama nashoro khatolik ketika menikah. lalu mereka bercerai krn si A temperamental dan tidak bekerja sementara si B lah yg mencari nafkah..setelah bercerai si (B) istri memeluk agama islam (muallaf) dan menikah dgn (C) pria muslim dengan 2 org anak. Belakangan ini si (A) ingin rujuk kembali dan menggangu ketentram si B dengan suami barunya. Dia berdalih bahwa mereka belum resmi bercerai/berpisah secara agama karena walau secara hukum catatan sipil (KUA)mereka resmi bercerai, surat nikah atas nama gereja katolik di Roma mereka belum bercerai. (dalam agama katolik, ketika menikah mereka mendapat 2 surat resmi nikah; catatan sipil Indonesia (KUA) dan surat nikah atas nama gereja katolik di Roma).Dan si mantan suami (A) berkata bahwa penikahan istrinya tidak sah dan merupakan zina. Si suami (C) yg sekarang menjadi bingung krn percaya thp perkataan si (A).walhasil skrg hubungan pernikahan mereka (B dan C) diambang perceraian..
yang jadi pertanyaan adalah ustadz:
Bagaimana status hukum perceraian antara si A dan B,batalkah/terputusnya status hukum yg lama (hukum Nashoro) dikarenakan si B sudah memeluk agama Islam sekarang.
Adakah solusi/masukan dari ustadz? afwan ustadz sudah merepotkan anta..
syukron wa jazzakumullohu khayran
Masalah spt ini tidak bisa diselesaikan lewat blog karena melibatkan beberapa pihak yg saling bertikai, jadi harus diselesaikan lewat pengadilan agama.
Adapun jawaban dari pertanyaan ini adalah: Secara syar’i, bila si istri masuk Islam sedangkan suaminya masih kafir, maka pernikahan mereka langsung batal, sebab wanita muslimah tidak halal dinikahi oleh lelaki kafir. Dalilnya adalah firman Allah (فإن علمتموهن مؤمنات فلا ترجعوا إلى الكفار، لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن) “Jika kalian telah mengetahui keimanan mereka (wanita-wanita kafir yg hijrah ke negeri Islam meninggalkan suami mereka yg kafir), maka janganlah kalian kembalikan mereka ke suami2 mereka. Sebab wanita2 muslimah tadi tidak halal diperistri oleh mantan suaminya yg kafir, dan mantan suami2 tadi pun tidak boleh menikahi mantan istri mereka yg muslimah” (Al Mumtahanah: 10).
Jadi, menurut mayoritas ulama (bahkan hampir terjadi ijma’), pernikahan A dan B telah batal, bahkan batal dua kali. Pertama karena memang mereka telah bercerai, dan kedua karena si B masuk Islam lalu menikah dgn C. Jadi secara syar’i tidak ada hak sedikitpun bagi A untuk rujuk. Ana heran, ko’ bisa2nya si A mengatakan bhw pernikahan B dgn C adalah tidak sah?? Yg lebih heran lagi adalah ketika C percaya dgn omongan A?? Apa A sdh masuk islam?
Ustad , apakah membaca Ma’tsurat scr bjamaah itu bid’ah ?
Apakah semua doa dgn dikoordinasi satu org (dipimpin) itu bid’ah ?
terimakasih.
Kalau caranya seperti itu, maka jelas bid’ah dholalah… karena persis dengan cara yg dilakukan sejumlah orang di zaman Ibnu Mas’ud (di kota Basrah) yg membentuk halaqah2 dzikir lalu di masing2 halaqah td ada seorang yg mengomandoi mereka untuk tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir. Maka Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan mereka dan menyatakan bahwa mereka tidak lepas dari 2 kemungkinan:
1- Mereka berada di jalan yang lebih benar dari jalannya para sahabat Nabi (dan ini mustahil). atau,
2- Mereka sedang membuka gerbang kesesatan, dan ternyata inilah yg terjadi. Sebab tak lama setelah kejadian tsb, ternyata kebanyakan peserta ‘dzikir berjama’ah’ tadi berperang di pihak Khawarij melawan kaum muslimin pada hari Nahrawan (HR. Ad Darimi dlm Muqaddimah Sunan-nya).
Kalau caranya seperti itu, maka jelas bid’ah dholalah… karena persis dengan cara yg dilakukan sejumlah orang di zaman Ibnu Mas’ud (di kota Basrah) yg membentuk halaqah2 dzikir lalu di masing2 halaqah td ada seorang yg mengomandoi mereka untuk tasbih, tahlil, tahmid, dan takbir. Maka Ibnu Mas’ud mengingkari perbuatan mereka dan menyatakan bahwa mereka tidak lepas dari 2 kemungkinan:
1- Mereka berada di jalan yang lebih benar dari jalannya para sahabat Nabi (dan ini mustahil). atau,
2- Mereka sedang membuka gerbang kesesatan, dan ternyata inilah yg terjadi. Sebab tak lama setelah kejadian tsb, ternyata kebanyakan peserta ‘dzikir berjama’ah’ tadi berperang di pihak Khawarij melawan kaum muslimin pada hari Nahrawan (HR. Ad Darimi dlm Muqaddimah Sunan-nya).
ASsalamu`alaikum
Benarkah tulisan :
Perlu diketahui, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani sendiri mengetahui sikap Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Asy Syaukani ini, beliau berkata:
فأجاز الإمام أحمد التوسل بالرسول صلى الله عليه وسلم وحده فقط وأجاز غيره كالإمام الشوكاني التوسل به وبغيره من الأنبياء والصالحين
“Imam Ahmad membolehkan tawassul dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja. Ada pula yang membolehkan dengan selainnya, seperti pendapat Imam Asy Syaukani, bahwa boleh bertawassul dengan selain Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik dari kalangan para nabi dan orang shalih.” (At Tawassul, Hal. 34)
Ana dapat dari tulisan http://faridnuman.blogspot.com/2011/07/bolehkah-kita-tawasul.html
Masalahnya ialah pengertian bertawassul dengan para Nabi dan orang shalih itu bagaimana caranya? Apakah dengan mendatangi kuburan mereka lalu menyeru mereka? Ataukah dengan menyebut nama mereka dlm doa… atau apa? Masalahnya ialah kita tidak pernah berjumpa dengan para Nabi tsb, shg tidak mungkin bisa bertawassul dengan mereka dlm pengertian minta didoakan oleh mereka. Adapun mendatangi kuburan mereka, maka ini perlu dalil khusus yg membolehkan, sebab bila dibolehkan secara mutlak maka akan membuka pintu besar bagi yg hendak berbuat syirik, dan hal ini sudah sering terjadi tanpa diberi peluang… apalagi bila diberi peluang.
Ucapannya imam Ahmad tentu tidak bisa disamakan dengan ucapan Imam Syaukani, sebab keilmuan, ketakwaan, keshalihan Imam Ahmad jauh melebihi Asy Syaukani. Imam Ahmad adalah imam Ahlussunnah wal Jama’ah, yang pendapatnya memiliki bobot tersendiri di mata para ulama, sehingga kita lebih bisa menerimanya, dan beliau masih tergolong salafus shalih. Namun kalau yg berpendapat adalah Asy Syaukani yg hidup di abad 13 H, dan pendapat tsb mengandung ketidakjelasan (spt dlm masalah tawassul ini), maka sebaiknya kita hindari saja dan kita cukupkan dengan tawassul2 yg diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau dipraktikkan oleh para sahabat yg mulia. Adapun selain itu, maka tidak perlu kita ikuti mengingat banyaknya orang yg tergelincir dlm masalah ini, sehingga alih-alih bertawassul dia justru terjerumus dlm bid’ah, atau bahkan syirik.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh….
Ustadz mau tanya mengenai ini apa maksudnya…
(ini kata K. Muhammad Muhaimin)
Apakah antum mengkaji Al Quran dengan tulisan arab gundul?
Apakah antum mengkaji hadits dengan tulisan arab gundul?
jika TIDAK, maka mustahil antum TIDAK BERTAQLID
wallahu a’lam
————————————————————–
Dan bagaimanakah defenisi dari taqlid yg sebenarnya.?
Apakah benar ada dalam kitab Ibnu Taymiyah pernah mengatakan, “seorang Imam ketika berhujjah, bisa menjelaskan hujjahnya bisa juga tidak. Penjelasannya bisa sampai kepada kita bisa tidak. Penjelasan yg sampai kepada kita, bisa kita pahami juga bisa tidak”
Kalau benar apa maksud dari pernyataannya tersebut…?
Mohon penjelasannya.
Jazakallahu Khair…
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Taqlid itu tidak mutlak haram, yg haram adalah taklid kepada seseorang walaupun sudah diketahui bhw orang tsb menyelisihi kebenaran (dalil). Atau taklid yg dilakukan secara buta, sehingga seakan menganggap yg ditaklid tidak akan keliru, padahal ia bukanlah Nabi.
Taklid itu boleh dilakukan oleh orang yg memang tidak bisa berijtihad atau mencari jawaban atas masalah agama yg dihadapinya. Tapi syaratnya ia harus taklid kepada orang yg pantas untuk ditaklid, spt imam yg 4, atau ulama lain yg memang diakui keilmuan dan ketaqwaannya oleh kaum muslimin. Ia harus hati-hati dulu dlm memilih orang alim mana yg harus dia ikuti pendapatnya (ditaklid), bukan asal ngikuti perkataan ulama yg sesuai dgn keinginannya. Itu namanya mengikuti hawa nafsu, dan bukan lagi taklid yg dibenarkan. Nah, inilah yg sering kali terjadi… pokoknya kalau si ulama A berfatwa sesuai dgn keinginannya, maka dipegang erat-erat. Tapi kalau fatwanya beda dengan keinginannya, maka dia beralih ke ulama lain. Nah, ini namanya ngikuti hawa nafsu, bukan taklid. Faham?
Ana tidak tahu apakah ungkapan tsb ada dlm kitab Ibnu Taimiyyah/tidak. Tp ketika menukil ucapan Ibnu Taimiyyah, kita harus perhatikan ucapan sebelum dan sesudahnya, sebab beliau terkenal panjang lebar dlm membahas/menjawab suatu masalah, sehingga bila sekedar comot di tengah-tengah kaya’ begitu, maka kita akan salah faham. Ana pun tidak bisa menjelaskan apa maksud ungkapan di atas karena dua hal:
1-Ana tidak yakin bhw itu perkataan Ibnu Taimiyyah.
2-Ungkapan tsb kedengarannya tidak dinukil lengkap, tapi ada bagian yg terputus yg menjadi kuncinya.
Jadi wallahu a’lam.
Syukran Ustadz atas penjelasannya. dan sebagai orang yg baru mengenal Manhaj Ahlussunnah wal Jam’ah. Kitab apa yg bisa saya pelajari sebagai langkah awal. Agar tertib dalam belajar dan tidak terkesan lompat sana..lompat sini. dan juga tidak terkesan setengah-setengah dalam memahami suatu ilmu.
Atas Nasehatnya…
Jazakallahu khair…
Mulai dulu dari Al Usuuluts Tsalatsah (tiga landasan utama), lalu diikuti dengan “Al Qowa’idul Arba’ ” (Kaidah yg empat), lalu kitab tauhid (semuanya disusun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah). Ini dlm masalah tauhid uluhiyyah. Adapun dlm masalah tauhid asma’ was sifat, bisa antum baca kitabnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin yg berjudul Al Qowa’idul Mutsla. Ana tidak tahu apakah semuanya sdh diterjemahkan atau belum, tapi untuk yg pertama dan ketiga yakin sudah diterjemahkan dengan judul tsb.
Ana sarankan jangan pernah mencukupkan diri dengan belajar dari buku, apalagi buku terjemahan, sebab kemungkinan salah tulis atau salah terjemah sangat besar, terutama untuk masalah-masalah yg rumit spt Asma’ was Sifat. Belum lagi kalau antum-nya yg salah faham… dan semua itu hanya bisa diluruskan dengan belajar (mengkaji kitab tsb) bersama ustadz yg ahli, atau minimal menanyakan hal-hal yg kurang jelas.
Adapun ttg manhaj ahlussunnah, maka ana belum tahu adakah terjemahannya dlm bahasa Indo ataukah tidak, tapi contoh kitabnya dlm bahasa Arab cukup banyak. Di antaranya:
1-As Sunnah, tulisan Al Khallal (3 jilid).
2-As Sunnah, tulisan Abdullah bin Imam Ahmad.
3-As Sunnah, tulisan Imam Ibnu Abi ‘Ashim.
4-Asy Syari’ah, tulisan Imam Al Aajurry (6 jilid).
5-Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, karya Al Laalakaa-i (4 jilid).
Dan masih banyak lagi. Itu kitab-kitab yg panjang lebar mengupas ttg akidah dan manhaj Ahlussunnah. Adapun yg sangat singkat tapi padat adalah: “Ushuulussunnah” (أصول السنة) tulisan Imam Ahmad.
ustadz, mohon dikritisi cara memahami hadits di tulisan ini …
http://rendyasylum.wordpress.com/2010/10/08/masbuq-berjamaah/
ada ormas di Indonesia ini yang biasa mempraktekkan masbuq bersambung jama’ahnya, dengan dalil hadits ini .. adakah praktek ini dilakukan oleh ummat Islam di belahan bumi yang lain ..?
Syukran
Sudah ana kirimi tanggapan, tinggal nunggu moderasi dari pemilik blog tsb. Intinya ialah analogi yg dipakai untuk menafsirkan kebersamaan Nabi dengan Mughirah sebagai ‘shalat berjama’ah’, adalah kurang tepat. Sebab dalil-dalil lain yg dijadikan pembanding memiliki latar belakang berbeda dengan yg terjadi di sini. Dlm hadits Mughirah tsb, Nabi dan Mughirah sejak awal shalat sama-sama berstatus ma’mum, sehingga status ini mestinya tetap berlaku hingga akhir shalat, kecuali kalau ada murajjih/dalil lain yg menunjukkan bhw status beliau kemudian bergeser menjadi imam. Nah, dalil/murajjih tsb -sejauh yg ana ketahui- hanyalah lafazh (قام النبي وقمت معه) Nabi bangkit dan akupun bangkit bersama beliau… lalu kami menyempurnakan satu roka’at yg tertinggal. Secara bahasa, ungkapan ini tidak mutlak menunjukkan bhw keduanya mengqadha’ satu raka’at tsb secara berjama’ah, namun sekedar menunjukkan bahwa keduanya sama-sama mengqadha’ raka’at tsb.
Adapun hadits-hadits lain yg dijadikan pembanding, spt hadits ibn Abbas: (قام النبي وقام الناس معه، فكبر وكبر الناس معه) Nabi bangkit (untuk shalat) lalu orang-orang pun bangkit. Kemudian beliau bertakbir dan orang-orang pun bertakbir bersama beliau. Atau hadits bangkitnya Nabi ketika melihat jenazah wanita Yahudi, yg kemudian diikuti oleh para sahabatnya, dsb. Maka kita katakan bhw memang Nabi dalam berbagai kondisi tadi berperan sbg panutan para sahabatnya (imam), sehingga otomatis kalau ada sahabat yg berbicara ttg shalat lalu menggunakan lafazh (orang-orang berdiri bersamanya… bertakbir bersamanya), harus kita tafsirkan sebagai berjama’ah, bukan sekedar bersama-sama tapi shalat sendirian. Sebab memang konteksnya mengarah kesana dan tidak ada kesamaan status antara Nabi dan para sahabatnya dalam hal ini. Beda dengan yg terjadi dlm riwayat Mughirah saat Nabi dan ia sama-sama menjadi ma’mum di awal shalat, lalu tiba-tiba terjadi perubahan status hanya karena keduanya sama-sama mengqadha’ satu rakaat… ini jelas membutuhkan dalil tambahan, dan dalil itu -sejauh yg ana ketahui- tidak ada. wallahu a’lam bisshawaab.
Ana juga tidak mendapati praktik spt itu kecuali di daerah bandung, mungkin hanya PERSIS yg punya pendapat spt itu… dan ini juga sangat janggal… masa’ kalau sunnah ko’ hanya PERSIS yg ngamalkan selama ini? Di mana para ulama salaf yg jauh lebih antusias dlm mengamalkan sunnah dr pd kita… kalau memang itu sunnah? Aneh khan…?
Ustadz di Al Durar al Saniyah fi al Ajwibah al Najdiah tertera kutipan sebagai berikut:
ص -277- … وسئل بعضهم: عن مسبوق ائتم بمثله، هل ينويان حالة دخولهما مع الإمام أنه يأتم أحدهما لصاحبه بعد المفارقة؟ أو تكفي بعد السلام، لأنه وقت ائتمامه به؟
فأجاب: هذه المسألة فيها وجهان لأصحاب أحمد، وبعضهم حكى فيها روايتين؛ قال في الإنصاف: وإن سبق اثنان ببعض الصلاة، فأتم أحدهما بصاحبه في قضاء ما فاتهما، فعلى وجهين. وحكى بعضهم الخلاف روايتين، منهم ابن تميم:
إحداهما: يجوز ذلك، وهو المذهب؛ قال المصنف، والشارح، وصاحب الفروع، وغيرهم – لما حكوا الخلاف -: هذا بناء على الاستخلاف، وتقدم جواز الاستخلاف على الصحيح من المذهب، وجزم بالجواز هنا في الوجيز، والإفادات، والمنور، وغيرهم، وصححه في التصحيح والنظم.
والوجه الثاني: لا يجوز، قال المجد في شرحه هذا منصوص أحمد، في رواية صالح. وعنه: لا يجوز هنا، وإن جوزنا الاستخلاف، اختاره المجد في شرحه، فرق بينها وبين مسألة الاستخلاف. والذي يترجح عندنا هو الوجه الأول، سواء نويا ذلك في حال دخولهما مع الإمام، أو لا، والله أعلم.
وما الذي أشكل عليكم؟
جزاكم الله على هذه الإفادة الطيبة… إذا، عمدة المجيزين هو القياس على جواز الاستخلاف وليس ثمة سنة عن النبي صلى الله عليه وسلم ثابتة في ذلك، لا سيما وقد نص أحمد على عدم جوازه. لا سيما إذا فعله الإنسان باستمرار بحيث يظن العوام أنه سنة، فلا شك أن جانب المنع أقوى، والله أعلم. وعندما أجبت على سؤال السائل في هذا الموضوع، تصورت في ذهني ما كنت أشاهده في باندونغ (عاصمة جاوى الغربية) من كثرة من يفعل هذا وكأنها أمر مشروع مستحب وليس مجرد “مباح” كما هو ظاهر قول صاحب الدرر السنية، والله أعلم. وما رأيكم أنتم؟
Assalaamu’alaikum
Ustadz, shohihkah hadits ini:
فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa puasa Ramadhan dan shalat malam dengan mengharap ridha Allah, maka dia keluar dari dosanya seperti bayi yang dilahirkan ibunya (HR. Ahmad).
Jazaakalloh khoiron
Wa’alaikumussalaam. kalau dengan lafazh spt maka tidak shahih karena diriwayatkan dari jalur Nadhar bin Syaiban yg didha’ifkan oleh para ulama, namun maknanya shahih karena dlm riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan: (من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه، ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه) Siapa yg puasa Ramadhan dengan keimanan dan harapan mendapat pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa2nya yg lalu. Dan siapa yg shalat malam di bulan Ramadhan dengan keimanan dan harapan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa2nya yg telah lalu.
Ustadz, bagaimana blog ini menurut antum:
http://syubhatsalafy.blogspot.com/
Mohon tanggapannya ustadz, cz ana resah… kalo bisa dijawab syubhat-syubhatnya…
Jazakallohu khoiron…
Ini ana nukilkan inti dari syubhat2 yg ditulis oleh si penulis dlm kolom: Tentang Kami. yaitu sbb:
1.Mengapa kalian anggap ustadz diluar kalian tidak mengikuti manhaj salaf? Apakah setiap orang dan da’i harus mengklaim bahwa dia dirinya adalah seorang salafy? Sedangkan kalian mengetahui bahwa kewajiban kita adalah mengikuti manhaj salaf bukan menamakan diri dengan istilah ‘salafi’ atau ‘dakwah salafiyah’ ?
Jawab: Itu anggapan siapa ya? APakah kalau ada satu/dua orang yg ‘dianggep’ salafi/ustadz salafi berkata demikian, lantas berarti salafi punya pemahaman demikian? Apakah ini penilaian yg adil? Itu pendapat pribadi dia, bukan berarti salafiyyin punya pemahaman spti itu… lagian, siapa yg mengangkat ybs sbg jurubicara salafiyyin shg pendapatnya dianggap mewakili para salafiyyin?? Cobalah menilai dgn inshaf… kita bisa saja mengatakan bahwa semua mujahidi itu khawarij, hanya dengan menilai satu atau dua orang yg mengklaim dirinya sbg mujahidin yg mengusung pemahaman khawarij.. tapi itu kan tidak ilmiah dan obyektif.
2.Mengapa kalian berbecah belah? jika kalian katakan ini bukan perpecahan tapi masalah perbedaan istihadi maka kami katakan: Kalau memang perbedaan itu bukan dalam masalah prinsif kenapa tabdi’, tajrih dan tahdzir harus terjadi? Bukankah dalam masalah ijtihadi tidak boleh saling menghujat dan tidak boleh menancapkan bendera al Wala dan al Baro di atasnya.
Jawab: Mana yg lebih berat: perpecahan tanpa peperangan/pertumpahan darah, ataukah perpecahan dgn pertumpahan darah? Tentu yg kedua bukan? nah, antum juga tahu semuanya bhw adanya perpecahan/perbedaan pendapat/atau bahkan peperangan tidak selalu menunjukkan bhw pihak2 yg berpecah itu batil semua. Bukankah Sayyidina Ali dan pendukungnya berperang dgn Sayyidina Mu’awiyah dan pendukungnya? Bukankah perselisihan antar madzhab juga pernah dialami oleh kaum muslimin selama beberapa abad, yakni ketika kaum muslimin hidup dalam kejahilan dan fanatisme golongan, bahkan ada di antara mereka yg saling mengkafirkan hanya karena beda madzhab?? In kunta laa tadri fatilka mushiibatun, wa in kunta tadri fal mushiibatu a’dhamu !! Adanya perselisihan internal bukanlah dalil qothi akan batilnya suatu kelompok, karena yg namanya oknum selalu ada dimana-mana, baik dlm tubuh salafi, haroki, sufi, dsb. Kun munshifan ya akhi.
3.Bagaimana mungkin kalian akan menyatukan umat diatas manhaj salaf? Sedangkan dakwah salafiyah sendiri berpecah belah? Sungguh tidak masuk akal kalau ada kelompok yang berpecah belah akan bisa menyatukan umat.
Jwb: Lho, siapa yg punya target spt itu? kami hanya mendakwahkan apa yg kami yakini sebagai al haq dengan dalil2nya, setelah itu bukan tanggung jwb kami. Fadzakkir innamaa anta mudzakkir… ma ‘alaika illal balaagh. Innamaa ana nadziir. Apakah ketika ALi dan Mu’awiyah saling berperang (dan ini adalah puncak perpecahan) keduanya harus berhenti mendakwahkan Islam dan apa yg mereka yakini sbg kebenaran?
4.Mengapa dalam membahas tauhid yang dibahas hanya masalah syirik kubur semata? Apakah kalian tidak mengetahui bahwa ada syirik dustur dan syirik ketaatan yang sedang menimpa negeri ini? Dan bagaimana mungkin kalian menganggap negara ini sebagai negara islam? Sedangkan orang awam dan para pejabatnya tidak mengakui klaim kalian, bahkan mereka menolak jika dikatakan negara indonesia sebagai negara islam?
Jwb: Nt berapa tahun ngaji di ‘salafi’? Siapa ustadz Nt? Wallaahi tsumma billaahi tsumma tallaahi, kalau nt bener-bener belajar manhaj salaf dari ustadz2 salafi yg kredibel (bukan oknum), nt akan tahu bahwa yg namanya salafi juga bicara ttg syirkut tho’ah. Tapi nt yg jujur dong… berapa banyak orang yg tenggelam dlm syirik kubur dan semisalnya, dan berapa banyak yg tenggelam dlm syirkut tho’ah tsb?
Adapun masalah indonesia ini negara Islam ataukah bukan, maka antum harus tahu bhw Negara itu ada tiga: Pemerintah, Rakyat, dan Undang-undang. Kalau undang2 maka jelas bukan hukum ALlah, tapi campuran antara kolonial, adat, dan sebagian syari’at. Dan ini baaatil. Tapi kalau rakyat dan pemerintah, maka fiihi tafshiil, ada yg kafir dan ada yg muslim. Ga’ bisa nt gebyah uyah kaya’ gitu. Lagi pula menghukumi beda dengan menyikapi. Tidak semua yg kafir lantas harus diperangi, tapi lihat maslahat dan mafsadatnya dong. Beranikah nt memfatwakan bagi kaum muslimin yg tinggal di negara AS dan Eropa (yg jelas-jelas kafir) untuk mengangkat senjata melawan pemerintah negara2 tsb tanpa melihat kemampuan mereka dan untung ruginya? fatadabbar ya akhi.. baarakallaahu fiik.
5.Mengapa kalian menolak demokrasi tetapi mengakui dan membela produk demokrasi dan elemen-elemennya dan justru memusuhi mujahidin yang berusaha mengganti demokrasi dengan sistem Islam..? Hal ini sangat aneh kalau ditinjau dari dalil maupun akal.
jwb: Siapa mujahidin yg antum maksud? Apakah jihad itu harus identik dengan mengangkat senjata, membuat peledakan2 yg (diakui atau tidak) lebih banyak menimbulkan korban di tengah2 kaum muslimin sendiri drpd kuffar? APakah jihad adalah tujuan ataukah wasilah? Apakah jihad tidak pakai aturan main? Apakah semua bentuk peperangan melawan orang kafir berarti jihad… dst.
Tolong sebutkan, bagaimana para salafi membela produk demokrasi sebagaimana yg antum tuduhkan, beserta dalil2nya !! iyyaakum wadh dhanna, fainnadh dhanna akdzabul hadits.
6.Apakah dahulu ketika indonesia dipimpin oleh presiden wanita, kalian anggap dia sebagai ulil amri? Kalau iya, mana dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang membolehkan mengangkat wanita sebagai ulil amri? Kalau tidak ada, berarti dia tidak sah menurut Alloh dan Rosulnya, tapi anehnya kalian mendengar dan ta’at pada ulil amri yang tidak sah menurut Al Qur’an dan Sunnah.
jwb: Apa kalau tidak sah jadi presiden kita harus melengserkannya dengan kekerasan? Pertanyaan ana sama dengan: Apakah minoritas muslim yg tinggal di negara kafir harus melawan pemerintah mereka? Yaa akhi, jihad itu bukan untuk menghilangkan kekafiran, tapi untuk meninggikan kalimatullah dan mempertahankan eksistensi kaum muslimin. Kalau apa yg diklaim sbg jihad justru memporak-porandakan negeri islam, menyebabkan terbunuhnya ratusan ribu atau bahkan jutaan kaum muslimin secara zhalim (spt kaum wanita, anak-anak, dll yg menjadi korban terbesar perang AS-Irak, AS-Afghanistan, dll); maka apa faidah dari jihad ini secara duniawi maupun ukhrawi??? Bukankah Nabi bersabar menghadapi tokoh2 Quraisy ketika di Mekkah? Padahal kekafiran mereka dan permusuhannya thd para ahli tauhid lebih nyata dari matahari di siang bolong… bukankah Musa dan Bani Israil ditindas demikian rupa oleh Fir’aun? Bahkan sampai ke tingkat disembelihnya bayi2 yg tak berdosa hanya karena mereka laki-laki bani Israil? Pun demikian, bagaimana ALlah menyuruh Musa dan Harun (manusia terbaik saat itu) untuk mendakwahi Fir’au yg notabene manusia paling kafir dan bengis di muka bumi kala itu? Mengapa kita tidak bercermin dengan para nabi dlm berdakwah? Mengapa kita lebih suka memvonis pemerintah dengan istilah toghut, padahal mungkin saja mereka belum tahu ttg akidah yg benar, atau terpaksa, atau karena lain hal… wa ‘ala kulli haall, kekejaman mereka tidak seberapa dibanding fir’aun, dan keshalihan kalian yg menamakan diri sbg mujahidin juga tidak ada apa2nya dibanding Nabiyyullah Musa wa Haarun ‘alaihimas sholaatu wassalaam. Fatadabbar ya akhi.. baarakallaahu fiik.
7.Mengapa kalian lebih percaya dengan Amerika dan antek-anteknya beserta dengan segala propagandanya dari pada kepada mujahidin? Ini sesuatu yang aneh. Kalian juga tidak pernah curiga dengan keterlibatan intel-intel ‘negara muslim’ (tentu intel tersebut dikomando pimpinan) dengan aktifitas intelijen negara kafir, tetapi sangat curiga dengan mujahidin, lalu sebenarnya siapa wali atau kawan kalian?
Jwb: Bagaimana bentuk kepercayaan kami thd AS dan antek2nya? dan bgmn kecurigaan kami thd ‘mujahidin’ tsb? Yg tahu manhaj salaf dengan baik dan benar, tentu bisa membedakan mana salafi sejati dan mana yg oknum salafi. Dan bisa membedakan mana yg menjadi kesepakatan salafiyyin (shg sah untuk dinyatakan sbg manhaj mereka), dengan mana yg berupa pendapat tokoh-tokoh pribadi, yg bisa salah dan bisa benar, dan tidak mewakili pendapat salafiyyin.
8.Jika dakwah kalian yang paling benar dan paling berbahaya bagi orang kafir, mengapa kekuatan kaum kafir tidak diarahkan kepada kalian dan justru amerika dan sekutunya dengan segala sumber daya dan senjata di kerahkan ke Afghanistan? Apa kalian juga percaya akan ‘kebaikan’ dan ‘kearifan’ Amerika dan sekutunya untuk menyelematkan dunia dari teror dan slogan itu bukan kedok semata? Apakah orang-orang kafir itu bodoh dan tidak tahu musuh yang paling berbahaya bagi mereka?
Jwb: Siapa yg menjadikan permusuhan orang kafir thd suatu kelompok sebagai tolok ukur kebenaran? Mana dalilnya? Lagi pula, antum hanya menilai permusuhan dari sisi yg sempit, yaitu peperangan. Menurut ana, Afghanistan dibombardir oleh koalisi kafir gara-gara Usamah bin Ladin dan Al Qaedahnya yg tidak bertanggungjawab itu… plus karena Taliban tidak mau menyerahkan satu orang (bin Laden) untuk menghindari perang tsb. Padahal kalau dilihat scr syar’i, darah bin laden tidak lebih mahal dari darah antum, ana, maupun orang afghan manapun. Lantas apa yg menghalangi Taliban untuk menyerahkan Bin Laden ke AS, dan apa yg menghalangi Bin Laden untuk ihtisab dan menyerahkan dirinya demi menghindari perang yg tak sebanding dan jatuhnya korban demikian besar dari rakyat Afghan yg tak berdosa itu? Mengapa dia justru ngumpet terus slama 10 tahun? Apa keuntungan dari ini semua bagi kaum muslimin?? NOTHING !! Bayangkan: Dua Menara kembar ditebus dengan dua negara yg hancur total (IRAK & Afghanistan), lalu 3000 orang kafir sipil ditebus dengan… hanya Allah yg tahu. Wallaahi, lau kuntum ta’qiluunal haqiiqah, maa qultum haadzal kalaama abadan. Fatadabbar yaa akhii.. baarakallaahu fiikum.
Ini dulu tanggapan ana… ana sisakan dua pertanyaan terakhir dari antum yg sengaja belum ana jawab agar antum renungi dulu komentar ana (yg ana sarikan dari banyak nara sumber setelah bertahun-tahun ana ngaji dan mengenal harokah. Ana lahir dan besar di solo, dan kenal baik dgn sejumlah ikhwah yg ba’dhuhum sdh gugur terbunuh oleh Densus 88, Allaahu yarhamuhum wayaghfir lahum zallaatihim. Dan ba’dhuhum sudah berubah dari pemikiran mereka, dan ba’dhuhum masih spt itu. Ana juga sdh membandingkan antara dakwah ikhwan, tabligh, salafi, dan haroki (yg mungkin antum namakan sbg mujahidin tsb). Antum perlu tahu bhw banyak dari tokoh2 pemikiran jama’ah jihad yg sudah ruju’, spt Syaikh Abdul Aziz bin Abdul Qadir, Syaikh ‘Ashim bin Abdul Majid, mantan rais Jama’ah Islamiyyah Mesir. beliau juga menulis buku sangat indah dgn judul: Nasihah waajibah liqaadatil qaa’idah, adapun Syaikh Abdul Aziz menulis sejumlah bantahan thd Al Qaedah, spt Watsiqah Tarsyidul Jihad, Mudzakkiratut Ta’riyah likitaabit Tabri’ah, dll. Coba antum cari di google dan baca buku itu (bhs arab). Ana harap antum bisa berbahasa Arab agar bisa langsung ana tunjuki maraji’ asli salafi yg menjadi pijakan dakwah salafiyyin…) Gitu dulu akhi… mohon komentar ini ditampilkan. Kalau antum tidak bisa menjawab pertanyaan ana juga tidak apa-apa, yg penting antum tinjau ulang dan tanyakan ke masyayikh antum…
Wassalaamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh…
Assalamualaikum warohmatulloh,
Pak Ustadz, apakah gelar rahimahulloh bagi seseorang yang telah meninggal hanya dinisbatkan kepada para penuntut ilmu Islam, atau boleh untuk setiap muslim yang telah meninggal? Kemudian, apakah doa kepada orang tertentu yang telah meninggal diterima walau bukan dari anaknya sendiri?
Jazakallahu khoir..
Rahimahullah itu doa, bukan gelar. demikian pula radhiyallahu ‘anhu, ‘alaihissalaam, dan semisalnya.
Arti rahimahullah adalah semoga Allah merahmatinya. Doa ini boleh diucapkan kepada setiap muslim yg telah wafat, akan tetapi bila ia tergolong orang bejat dan ahli bid’ah, maka sebaiknya tidak kita doakan agar dirahmati, sebab hal itu seakan menunjukkan bhw kita merestui kebid’ahan dan kebejatan yg dilakukannya selama ini. Para salaf juga tidak mau mengucapkan rahimahullah kpd Ahli bid’ah yg mati, sebagai kecaman bagi mereka dan peringatan bagi yg masih hidup agar tidak mengikuti bid’ah mereka. Wallahu a’lam..
Assalamu’alaykum Ustadz.
Kita meyakini bahwa yahudi dan nasrani adalah kafir dan masuk neraka.
Misal, si A seorang nasrani dan tinggal di Indonesia. Kita tidak mengetahui apakah si A ini telah paham ttg ajaran Islam atau belum. Kemudian si A meninggal dunia dalam keadaan beragama nasrani (berdasarkan KTP terakhirnya).
Pertanyaannya, bolehkah kita memastikan si A masuk neraka?
Jazakallohu khoyron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah…
Perlu diketahui, bahwa menghukumi seseorang sebagai kafir tidak sama dengan menghukumi dia sebagai penghuni Neraka. Tidak semua orang kafir HARUS masuk Neraka, sebab Nabi mengatakan:
والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار
Demi yg nyawa muhammad berada di tangan-Nya (Allah), Tidak seorangpun dari umat manusia ini, baik Yahudi maupun Nasrani yg pernah mendengar tentang (kenabian)-ku, lalu ia mati dalam keadaan tidak beriman kepada ajaranku, melainkan dia menjadi penghuni Neraka (HR. Muslim).
Jadi, bila si Yahudi/Nasrani/Kafir manapun belum pernah mendengar ttg islam lalu dia mati, maka kita tetap menghukumi dan memperlakukannya sebagai orang kafir, NAMUN tidak menghukuminya sebagai penghuni Neraka, kecuali yg telah mendengar ttg islam dan tetap tidak mau beriman, atau yg jelas-jelas dihukumi sbg penghuni Neraka, spt Fir’aun, Abu Jahal, Abu Lahab, dll.
Nah, kalau setelah mendengar hal tsb dia tidak tertarik untuk mempelajari dan menyelidiki kebenaran ajaran tsb, namun dia tetap acuh, maka orang ini adalah orang kafir yg bila mati akan masuk neraka, sebab keacuhannya tsb adalah termasuk kekafiran. Ana rasa kalau dia tinggal di kota-kota besar di Indonesia, pasti dia pernah mendengar ttg islam sehingga dia tidak punya alasan untuk tidak masuk Islam kalau memang dia mencari kebenaran. Wallaahu a’lam.
Syukron Ustadz -Hafidzakalloh-.
Yang masih membuat ana bingung adalah makna “mendengar” pada hadist riwayat Muslim di atas.
ustadz mengatakan:”Mengetahui ttg islam tidak sama dengan memahami Islam. Yg penting dia pernah mendengar bahwa ada Nabi akhir zaman yg diutus dgn ajaran Islam, yaitu Muhammad.“.
Syaikh Abdul Aziz ar Rais berkata:”Para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan ‘mendengar’ dalam hadits ini bukanlah semata-mata mendengar yang tidak diiringi dengan kepahaman. Ijma ini diceritakan oleh Syeikh Ishaq bin Abdullah bin Hasan. Sehingga yang dimaksud dengan ‘mendengar’ di sini adalah mendengar yang diiringi dengan kepahaman.” (http://ustadzaris.com/bila-muslim-berbuat-kemusyrikan)
Mohon penjelasan lebih lanjut.
Jazakallohu khoyron.
Iya, ungkapan ana kurang tepat memang. astaghfirullaaha wa atuubu ilaih. Yg ingin ana nafikan adalah pemahaman mendetail ttg islam. Ini yg tidak disyaratkan, tapi cukup faham dengan benar secara global saja, sebab toh mayoritas kaum muslimin sendiri tidak memahami detail-detail Islam khan? Apalagi yg belum masuk islam.
Bahkan syaikh Utsaimin pernah mengatakan begini: Kalau yg belum tahu ttg islam saja mendapat udzur, maka yg tahu ttg islam namun dalam gambaran yg buruk (spt yg digambarkan oleh mass media barat sbg agama teroris, agama kolot, dst) lebih layak untuk mendapat udzur, sebab ia mengetahui Islam dari sisi yg justru membuatnya lari dari Islam. Wallahu a’lam.
Cuma jangan lupa bhw banyak orang yg pernah mendengar kemudian acuh, nah ini yg bahaya… karena salah satu jenis kekafiran ialah kufrul i’radh, kufur karena berpaling dari Islam. Yakni tidak mau mempelajari sama sekali.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh….
Ustadz maaf, Apakah berdasarkan hadist ini…
Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ”Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan.” (HR Muslim [4079]).
Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut.” Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak¬anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).
Maka jimat dibolehkan? Mohon penjelasannya ustadz…
Jazakallahu khair….
Waduh, siapa itu yg nerjemahkan bacaan2 ruqyah dengan ‘jimat’?? Antum jangan sembarang beli buku terjemahan lho… bahaya tuh, apalagi kalo penerbitnya tidak bermanhaj salaf, jangan beli. Antum nukil dari mana terjemahan tsb???
kata Ar Ruqaa dlm hadits itu artinya bacaan2 yg dipakai untuk meruqyah orang sakit dan semisalnya. Nah, itulah yg dibolehkan oleh Rasulullah dlm hadits itu, dengan syarat tidak mengandung syirik. Berarti harus dengan lafazh yg jelas dlm bhs arab, sebab orang jahiliyyah juga sering menggunakan ruqyah dlm pengertian mantra2 spt yg dibaca dukun, dan mantra tsb menggunakan kata-kata yg tidak jelas dan tidak bisa difahami dlm bahasa arab, karena tujuannya adalah minta bantuan kpd jin, dan ini berarti mengandung syirik, dan inilah yg dilarang oleh Nabi. Faham?
Maaf Ustadz itu mungkin karena kecerobohan saya yg kurang ilmu mau saja jika diajak berdiskusi… Masalahnya dikota saya Makassar bingung mau belajar dimana…? jadi jalan yg saya ambil melalui internet… dan buku2 yang saya anggap bagus… Tp kalo ustadz bersedia mungkin tau diMakassar dimana saya bisa belajar..
Atas nasehatnya.. Jazakallahu Khair…
Coba antum ke Yayasan Wahdah Islamiyyah, di sana banyak ustadz lulusan Madinah ana rasa…
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh… maaf sekali ustadz atas kelancangan saya. saya mencari mengenai Yayasan Al Wahdah Islamiyyah dan saya menemukan ini…
http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/mengapa-saya-keluar-dari-wahdah-islamiyah-muqaddimah.html
http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/fatwa-kesesatan-jamaah-yayasan-ormas-wahdah-islamiyah.html
Bagaimanakah menurut ustadz?
Dan apakah tanggapan ustadz mengenai Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi pendiri pondok pesantren Assunnah?
Maaf ustadz dalam hal ini saya butuh Nasehat biar saya tidak kecolongan lagi menganggap baik sesuatu yg buruk.. dalam belajar..
Dan bukankah untuk mengetahui suatu keburukan bukan berarti harus melakukan keburukan itu…. Atas Nasehatnya Syukran
Jazakallahu khair…
Ana pernah berbicara langsung dengan Ust. Zaitun Rasmin, maupun dengan mahasiswa Madinah yg dari WI, tapi yg ana dapatkan dari mereka tidak seperti yg diberitakan oleh salafiyyin makassar. Apa yg disampaikan oleh salafiyyin makassar itu mungkin ‘dulu’, adapun sekarang tidak lagi demikian. Wallahu a’lam, ana sarankan antum belajar dari dua pihak, dari WI dan Assunnah. Insya Allah antum bisa lebih luas dan obyektif dlm menilai. Adapun fatwa kesesatan WI yg diterjemahkan dari perkataan syaikh Rabi’, maka itu sama sekali bukanlah dalil qoth’i untuk menghukumi WI. Lagi pula yg menceritakan ttg WI kepada Syaikh Rabi’ adalah pihak yg memusuhi WI, sehingga independen dan obyektivitas mereka dalam menceritakan ttg WI sangat diragukan, bahkan boleh jadi tidak bisa diterima sejak semula, karena kesaksian dari seseorang yg sifatnya memberatkan lawannya dlm peradilan adalah tidak bisa diterima. Wallahu a’lam.
Adapun ttg Dzulqornain maka ana tidak kenal beliau dan tidak pernah bertemu langsung/berbicara dgn beliau.
Nasehat ana: Silakan ambil ilmu yg ada di kedua belah pihak tanpa hanyut dengan perseteruan mereka. Semua yg sifatnya ‘tuduhan’ dari masing-masing pihak kepada pihak lainnya tidak perlu antum perhatikan. Dengan begitu antum tidak akan bingung… toh musuh ahlussunnah yg lebih berbahaya masih banyak, spt Syi’ah… yg ana dengar sedang berkembang sangat pesat di Indonesia timur. Anehnya kenapa kita jarang mendengar tahdzir dari pihak ‘salafiyyin’ thd tokoh2 syi’ah? Apakah menurut mereka orang WI lebih berbahaya dari syi’ah? Aneh tapi nyata.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh….
maaf ustadz, saya ingin bertanya, akhir2 ini ada yg diskusi mengenai Masih hidupkah nabi Khaidir dan Isa bin maryam… Apakah Para Nabi tersebut betul masih hidup???
Para ulama berbeda pendapat ttg masih hidup/tidaknya Nabi Khadhir (ini pengejaan yg benar, bukan “Khaidir”). Ala kulli haal, tidak ada satu riwayat shahih pun yg menunjukkan bhw Khadhir masih hidup, dan yg rajih ialah bhw dia sudah mati spt nabi-nabi lainnya. Wallahu a’lam. (lagi pula, apa sih faedahnya kita tahu dia masih hidup ataukah tidak? kan tidak ada amalan ttt yang terkait dengan hidup/matinya khadhir… jadi, ini merupakan ilmu yg tidak ada manfaatnya untuk diketahui, dan tidak ada madharatnya untuk tidak diketahui. Hal-hal semacam ini biasanya tidak suka dibahas oleh para salaf.
Adapun Isa bin Maryam, maka spt yg difirmankan oleh Allah, beliau tidaklah dibunuh maupun disalib, akan tetapi Allah mengangkatnya ke langit (An Nisa': 157-158). Allah hanya mewafatkannya dlm artian menidurkannya, lalu mengangkatnya (Aali Imran: 55). Karena kata wafat dlm bhs Arab juga dipakai dlm pengertian tidur, sebab tidur adalah saudaranya mati. Lalu dlm hadits shahih disebutkan bhw Isa bin Maryam akan turun ke dunia di akhir zaman untuk membunuh dajjal dst… lalu beliau wafat dan dishalatkan oleh Imam Mahdi. Jadi, Isa bin Maryam belum mati, namun beliau juga tidak hidup di dunia kita, namun di langit sana. Wallahu a’lam bishshawaab.
Syukron. . Ustd
Pgn tanya.. Lagi..
-Ibnu khaldun ntu sufi ato bukan sih ? Ato dia termasuk sufi baik yg skedar zuhud ?
searching di internet , cuma dpt yg baek2nya doang ttg beliau..
saya suka Style-nya dlm mengintegrasikan ilmu2 eksak n sosial dgn syariat islam.
Wallaahi maa adri. Setahu ana dia bukan sufi…
afwan , pgn nanya..
Apakah ada dalil yg kuat ttg ‘Dabbat Al-Ard’ ? Atau ini hnya khufatat ?
syukron.
Apakah ada dalil yg kuat ttg ‘Dabbat Al-Ard’ ? Atau ini hnya khufatat ?
syukron.
Adanya Daabbatul Ardh harus diimani, sebab ia termaktub dlm Al Qur’an dan hadits shahih, bukan sekedar khurafat. Silakan lihat: An Naml: 82, lalu baca tafsirnya, pasti anda akan mendapati banyak riwayat shahih yg menjelaskan bhw daabbatul ardh itu memang akan muncul menjelang hari kiamat.
Assalaamu’alaikum
Ustadz, shohihkah hadits ini:
فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa puasa Ramadhan dan shalat malam dengan mengharap ridha Allah, maka dia keluar dari dosanya seperti bayi yang dilahirkan ibunya (HR. Ahmad).
Jazaakalloh khoiron
afwan saya ingin tanya, apakah beda antara kelompok salafy dengan ahlussunnah wal jama’ah atau yang disingkat aswaja oleh banyak orang ?
Secara istilah syar’i sebenarnya keduanya adalah sama, namun dalam penggunaannya khususnya di Indonesia, aswaja identik dgn NU atau Asy’ariyah yg dlm berbagai aspek (baik ibadah maupun akidah) sudah jauh menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yg sesungguhnya. Alias sekedar klaim saja. Meskipun tidak menutup kemungkinan kalau masih ada yg menggunakan istilah Aswaja dlm pengertian yg benar.
Sayangnya, istilah ‘salafy’ pun sering dielu-elukan oleh sejumlah kalangan yg berpemahaman sempit dan dangkal terhadap hakikat manhaj ‘salaf’ itu sendiri. Sehingga akhirnya citra baik dakwah salaf pun sedikit ternodai oleh tingkah laku sebagian oknum salafy yg tidak bertanggung jawab tsb. Namun jika kita lihat dari asal-usul penamaannya, maka ‘salafy’ berarti orang yg menisbatkan dirinya kepada As Salafus Shalih (Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in). Dan As Salafus Shalih adalah leluhurnya kaum Ahlussunnah wal Jama’ah yg sejati (bukan yg sekedar klaim spt NU). Jadi tidak ada bedanya.
Assalamu’alaikum warrohmatulloh,
Ustadz mau tanya sedikit. Di artikelnya ustadz Firanda : http://www.firanda.com/index.php/artikel/keluarga/119-suami-sejati-bag-2-qkehidupan-rasulullah-bersama-istri-istri-beliauq
DIsana disebutkan bahwa umur Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam tatkala menikahi Khadijah -radhiyallahu ‘anha- adalah 25 tahun sedangkan umur Khadijah ketika itu adalah 28 tahun, di bagian catatan kaki disebutkan oleh ustadz Firanda bahwa ini adalah riwayat Muhammad bin Ishaq. Ini bertentangan dengan yg selama ini ana ketahui bahwa umur Khadijah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 40 tahun, disebutkan oleh ustadz Firanda bahwa riwayat ini adalah dari Muhammad bin Umar Al Waqidi, dan ana pernah baca bahwa status Al Waqidi ini menurut para ahli hadits adalah “matruk”. Oleh karena itu, otomatis riwayat Ibnu Ishaq adalah lebih jayyid.
Afwan ustadz, ana minta ta’liq antum terhadap hal ini karena ini baru bagi ana, dan agar ana lebih tenang karenanya untuk rujuk pada riwayat yg lebih valid/shahih.
Memang riwayat yg terkenal adalah riwayatnya Al Waqidi. Dlm kitab Al Istie’aab fi ma’rifatil Ash haab (hal 888), tatkala bercerita ttg biografi Khadijah, Ibnu Abdil Barr hanya menyebutkan riwayat bhw beliau menikah dgn Rasulullah ketika berumur 40 th, dan Rasulullah berumur 25 th menurut kebanyakan riwayat. Khadijah tetap mendampingi beliau selama 24 th, dan wafat dlm usia 64 th. Dalam kitab Al Ishaabah fi tamyiizis shahaabah 13/315-316, Ibnu Hajar juga menukil riwayat Al Waqidi tsb yg menyebutkan bhw umur Khadijah lebih tua 15 tahun dari Rasulullah. Ibnu Hajar tidak menyebutkan riwayat Ibnu Ishaq tsb, dan agaknya hal ini menunjukkan bhw riwayat Al Waqidi-lah yg beliau anggap lebih kuat, sebab dlm hal sirah Nabawiyyah dan maghazi (kisah-kisah peperangan Nabi), para ahli hadits cenderung tasahul dalam menukil riwayat dari para perawi yg dianggap lemah jika memang ia memiliki spesialisasi di bidang ini. Contohnya adalah Al Waqidi.
Kemudian ada dalil-dalil lain yg menunjukkan bhw Nabi memang menikahi Khadijah di usia yg relatif ‘tua’, salah satunya ialah Hadits Aisyah dlm Shahihain sbb:
صحيح مسلم – عبد الباقي (4/ 1889)
استأذنت هالة بنت خويلد أخت خديجة على رسول الله صلى الله عليه وسلم فعرف استئذان خديجة فارتاح لذلك فقال اللهم هالة بنت خويلد فغرت فقلت وما تذكر من عجوز من عجائز قريش حمراء الشدقين هلكت في الدهر فأبدلك الله خيرا منها
“Suatu ketika, Halah binti Khuwailid (saudari Khadijah yg suaranya sangat mirip dgnnya) minta izin untuk menemui Rasulullah. Nabi pun kontan teringat dengan suara Khadijah sehingga merasa bahagian karenanya. Beliau mengatakan: “Ya Allah, (Mudah-mudahan itu adalah) Halah binti Khuwailid !”. Sehingga akupun (Aisyah) cemburu, dan kukatakan: “Engkau masih saja menyebut-nyebut perempuan tua suku Quraisy yg sudah ompong dan mati, padahal Allah telah menggantimu dengan istri yg lebih baik darinya?!”… Al Hadits.
Syahid dari hadits ini adalah ketika Aisyah menyifati Khadijah radhiyallaahu ‘anha sebagai (عجوز من عجائز قريش) dan secara bahasa, ‘ajuuz itu artinya perempuan tua (jompo). Nah, kapankah seorang wanita layak dianggap sebagai perempuan tua? Kalau menurut riwayat Ibn Ishaq, umur khadijah saat wafat belum mencapai 60 th. Sebab khadijah dinikahi umur 28 th dan Nabi umur 25 th. Lalu kita tahu bhw Nabi hijrah umur 53 th dan Khadijah telah wafat sebelum itu, tepatnya tahun 10 kenabian, yakni tatkala umur Rasulullah sekitar 50 th. Berarti umur khadijah baru 53 tahun, dan ini tidak sesuai dengan perkataan Aisyah bhw Khadijah adalah ‘perempuan tua’. Lagi pula, rata-rata kitab sirah menyebutkan bhw Umur Khadijah tatkala menikah adalah 40 tahun. Adapun alasan Dr. Akram Al Umari yg menguatkan riwayat Ibn Ishaq karena Khadijah sempat melahirkan 6 orang anak setelah pernikahannya dgn Rasulullah, dan biasanya wanita telah menopause sebelum 50 tahun; maka ini pun sifatnya ‘ihtimal’ (sekedar kemungkinan), karena boleh jadi wanita zaman dahulu lebih kuat dan awet muda dari wanita masa kini. Lagi pula, dalam kurun 10 tahun pun seorang wanita bisa saja memiliki 6 anak, bahkan 10 pun bisa. (Contohnya ana sendiri yg dalam 3,5 tahun punya 3 anak). Apalagi jika mengingat bhw dua putera beliau wafat ketika masih kecil, sehingga otomatis jeda kehamilannya menjadi lebih pendek. Wallahu a’lam.
Assalamu’alaykum ustadz, mau tanya :
-Bila kita ber-imam kepada seorang masbuk, tetapi ia tidak mengeraskan suara (takbir, i’tidal) bagaimana? harus tetep ikut?
-Apabila kita sebagai imam masbuknya, misalnya dalam sholat maghrib, apakah setelah ditepuk orang harus mengeraskan bacaan?
-Bila kita jadi imam masbuk dimana hanya ada satu makmum, saat itu makmumnya batal dan pergi, apakah status kita sebagai imam masih berlaku?-Bagaimana bila kita batal di rakaat kedua shalat jum’at, tapi saat kita kembali sholat sudah selesai? sholat apa yang harus kita kerjakan? jum’at / dzuhur?
jazakallahu khair
Wa’alaikumussalaam>
Jawabannya:
1. Iya, harus tetap ikut walaupun imamnya tidak mengeraskan bacaan takbir/i’tidal, dll.
2. Mengeraskan bacaan itu hukumnya sunnah bagi imam.
3. Kalau makmumnya batal, ya antum otomatis jadi shalat sendirian bukan sebagai imam lagi. Adapun bila antum batal di rokaat kedua shalat jum’at lalu saat kembali shalat sudah selesai, maka antum wajib shalat dhuhur 4 rokaat dan bukan shalat jum’at .
bismillah, assalamu’alaykum ustadz..
saya mau bertanya, apa hukum bagi seorang muslim yang berjualan makanan pada siang hari di bulan ramadhan?
apakah seorang pekerja yang karena pekerjaannya itu dia tidak bisa berpuasa diberikan udzur padanya untuk membayar fidyah? misalnya supir bus antar pulau, (bukan supir angkot yang pastinya ustadz).
jazakallaahu khairan
assalamu’alaikum ustadz jazakumullahi katsiron ana mo nanya 1) dalam sholat witir apkh doa qunut termasuk sunnah atw bid’ah 2) air kencing bayi umur 8 bulan apkh sudah termasuk najis dan wajib mandi jk trkena. syukron jawabanya ustadz
Wa’alaikumussalaam warahmatullah.
Do’a qunut dlm shalat witir bukanlah bid’ah, tapi disunnahkan oleh Rasulullah.
Adapun air kencing bayi bila masih dibawah dua tahun dan belum disapih (masih murni minum ASI), maka tak lepas dari dua kondisi:
1-Bayi laki-laki, maka bekas kencingnya cukup diciprati air saja tanpa harus digebyur/dicuci.
2-Bayi perempuan, maka bekas kencingnya harus digebyur (disiram) pakai air.
Tapi kalau sudah disapih dan sudah mengonsumsi selain ASI, maka seperti kencing orang dewasa (najis) walaupun baru berumur 6 bulan. Artinya bagian yg kena kencing harus dicuci/disiram air. Adapun orang yg terkena kencingnya tidak diwajibkan mandi atau berwudhu’, tapi cukup membersihkan bekas kencing tsb.
assalamualaikum ustadz
mau tanya ustadz…
dalam buku sifat sholat nabi karya syekh al albani yang isinya “beliau sallallahu ‘alaihi wasallam melarang IKHTISAR ketika sholat karena halnya seperti salip yang merupakan hal terlarang…maksud dari kata kati itu apa ya ustasz…mohon penjelasannya
syukron
jazakallahu khoiran..
Ikhtishar (اختصار) adalah berkacak pinggang, artinya meletakkan kedua tangan di pinggang, alias ‘melangkrik’ kata orang jawa. Memang bentuknya tidak persis seperti salib, tapi mirip. Faham?
assalamualaikum ustadz
mau tanya ustadz…
dalam buku sifat sholat nabi karya syekh al albani yang isinya “beliau sallallahu ‘alaihi wasallam melarang IKHTISAR ketika sholat karena halnya seperti salip yang merupakan hal terlarang…maksud dari kata kati itu apa ya ustasz…mohon penjelasannya
jazakallahu khoiran
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Ustadz maaf sebelumnya, saya sempat membawakan Artikel ustadz yg berjudul
http://basweidan.wordpress.com/2011/04/24/ini-dalilnya-4/
Bukan untuk tujuan Komersil karena saya menghadirkankan sumbernya. Tapi saya ditanya apakah siap bertanggung jawab..????
Bagaimana cara saya menanggapinya?
Karena tujuan saya hanya agar bisa dibaca sama semua yg ada di Facebook..
atas perhatiannya… jazakallah khair…
Tidak usah ditanggapi. Tidak semua komentar dan pertanyaan harus ditanggapi. Yang ingin berdiskusi silakan komentar di blog aslinya secara ilmiah, gitu saja.
Assalamualaikum warohmatulloh
Bismillah. Pa Ustadz, bagaimana hukumnya membuat kuburan keluarga? Atau pekuburan kecil ‘umum’ yang terpisah dari kuburan umum publik. Mohon penjelasannya.
Jazakallahu kharon…
wallaahu a’lam.
melanjutkan dan melengkapi pertanyaan
(Aulia bin Jamaluddin
Agu 10, 2011 @ 06:19:37)
mungkin yg membikin syubhat adalah tulisan ust. farid numan ini
http://faridnuman.blogspot.com/2011/07/bolehkah-kita-tawasul.html
disitu disebutkan bhw imam hasan al banna mengatakan masalah tawasul adalah masalah fiqih/furu’ bukan aqidah, ini juga pendapat syaikh muhammad bin abdul wahhab
ust. farid numan mengkritik orang yg terlalu keras membawa masalah ini hanya masalah aqidah saja, sehingga tidak ada toleransi dlm hal ini.
selama ini, kita baca dari sumber salafy, bhw tawassul adalah masalah aqidah, tapi ternyata syaikh muhammad bin abdul wahhab (ulama salafy) berpendapat bhw masalah tawasul adalah masalah fiqih/ijtihad saja
ustad, apakah masalah tawassul dng makhluk, ini adalah masalah furu’ saja ? bukan aqidah ?
mohon penjelasannya
Ana sudah baca artikel tsb, memang boleh jadi masalah tawassul dianggap sebagai masalah fiqih (furu’), namun tetap saja ia tidak bisa lepas dari akidah atau keyakinan orang yg bertawassul itu sendiri. Sebab ketika seseorang melakukan sesuatu, pasti ada keyakinan ttt yg mendorongnya untuk itu. Ketika seseorang bertawassul dengan makhluk dengan cara yg keliru, kita tidak bisa mutlak mengatakan dia hanya keliru secara fiqih, tapi harus kita perinci. Misalnya orang yg bertawassul dengan orang yg sudah mati atau orang yg tidak hadir, dengan minta didoakan oleh si mayit atau si ghaib tsb umpamanya… ini bisa jadi bid’ah, bisa juga syirik, dan bisa jadi sesuatu yg keliru. Jika ia meyakini bahwa si mayit bisa mendengar permintaannya, maka berarti dia telah mengingkari firman Allah (wamaa anta bimusmi’in man fil qubuur), “Engkau (Muhammad) tidak bisa memperdengarkan ucapanmu kepada yg ada dalam kubur” (Faathir: 22). Atau karena dia meyakini bahwa si mayit/si ghaib tadi bisa mendengar seruannya, yang berarti secara tidak langsung menyamakannya dengan Allah yg maha mendengar. Dengan begitu, ia terjerumus dlm syirik/kufur. Namun bila ia terkena syubhat yg mengatakan bahwa orang mati bisa menjawab salam dari orang yg menziarahinya, lalu ia mengqiyaskannya dengan permintaan doa, maka ia tidak syirik, namun telah berbuat bid’ah dan kekeliruan.
Jadi, walaupun ada sementara ulama yg menganggap tawassul sebagai masalah fiqih, tidak berarti kekeliruan dlm masalah ini dianggap remeh. Contohnya masalah meninggalkan shalat, apa hukumnya? Hal ini dibahas dlm kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer. Ada yg mengatakan bhw orang yg tidak shalat itu harus dieksekusi setelah tidak mau disuruh bertaubat selama 3 hari, dan dia dieksekusi sbg orang MURTAD, namun ada yg mengatakan dia harus dieksekusi tapi masih dianggap MUSLIM, dan ada pula yg mengatakan cukup dipenjara hingga mati. dst… Nah, apakah hanya karena masalah fiqih kita boleh meremehkan masalah ini? Tentu tidak khan… Demikian pula dengan masalah tawassul.
Demikian ta’liq ana, semoga memberi sedikit kejelasan.
Assalamualaikum warohmatulloh…
Bismillah, Ustadz saya punya 2 pertanyaan,
1. Booking/memesan tempat untuk pemakaman seseorang, yang orang tersebut belum meninggal, bagaimana hukumnya dalam Islam.
2. Pada masa Umar radhiyallahuanhu shalat tarawih dihidupkan kembali selama sebulan penuh, sedangkan Rasulullah shallalahualaihiwassalam sholat tarawih dimasjid hanya 3 malam, kemudian dilanjutkan dirumah. Apakah lebih baik sunnahnya Rasulullah shalat tarawih 3 malam dimesjid saja atau sunnahnya Umar sebulan penuh?
Jazakallahu Khoyron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
1. Pada dasarnya hal itu tidak mengapa, asal tidak sampai menyebabkan kemudharatan bagi jenazah lain. Misalkan jika seseorang memesan tempat di sebuah area pemakaman yg sudah padat padahal dirinya masih sehat wal afiat dan tidak menunjukkan gejala hendak wafat, lalu ada jenazah lain yg sangat membutuhkan liang dan tidak memungkinkan untuk dikubur di tempat lain; maka dalam kondisi ini hendaknya tempat tsb diberikan kepada jenazah ybs karena ia lebih berhak dari pada yg masih hidup. Wallahu a’lam. Dalil hal ini ialah pesan Umar bin Khattab sebelum wafatnya agar para sahabat memintakan izin kepada Ummul Mukminin Aisyah supaya Umar dikuburkan di kamar beliau berdampingan dengan Rasulullah dan Abu Bakar As Shiddiq, maka kata Aisyah “Sebenarnya aku menginginkan tempat tersebut bagi diriku”, namun akhirnya beliau mengizinkannya untuk Umar yg memang sedang diambang kematian akibat tusukan Si Majusi Abu Lu’luah.
2.Rasulullah sengaja tidak shalat tarawih sebulan suntuk karena khawatir shalat tersebut diwajibkan atas umatnya. Jadi Umar sekedar menghidupkan sunnah yg dahulu ditinggalkan Rasulullah karena suatu alasan yg telah hilang sepeninggal wafat beliau. Pun demikian, Umar sendiri tidak ikut tarawih berjama’ah, dan mengatakan bahwa saat di mana mereka (para jama’ah tarawih) itu tidur (maksudnya di akhir malam), adalah lebih utama dibanding saat mereka shalat tarawih (yakni di awal malam). Ini menunjukkan bahwa bagi orang yg bisa memanfaatkan waktu akhir malam untuk shalat tarawih (meskipun sendirian), maka lebih baik baginya untuk mengakhirkan tarawih. namun bagi yg tidak bisa seperti itu, maka lebih baik dia shalat bersama imam di mesjid, karena biasanya seseorang lebih bersemangat bila shalat berjama’ah. Di samping itu, ada sebuah hadits yg menganjurkan kita untuk shalat berjama’ah hingga imam beranjak dari lokasinya. Wallahu a’lam.
Tanya ustadz, menyambung jawaban ustadz pada : Agu 16, 2011 @ 01:17:54
Berarti jika sesorang sudah terbiasa solat tahajud di akhir malam, apakah lebih utama baginya solat tarawih sendiri dari pada ikut tarawih berjama’ah?
Tterimakasih.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Ustadz ada teman saya yang bermazhab syi’ah berusaha mengenalkan syi’ah pada saya dengan memasukkan catatan mengenai syi’ah dalam kitab-kiyab ulama sunni… diantaranya…
Bagaimana Pulakah Mengenai Buku Ini… “MAHZAB PECINTA AHLUL BAYT karya AYATULLAH SAYYID MUHAMMAD al-MUSAWI” karena dia menyuruh saya untuk mengenal syi’ah harus dari sumber aslinya bukan melalui fitnah Google….
Sebagai orang yg baru belajar saya tentunya masih bisa terpengaruh oleh hal-hal syubhat…
Atas perhatiannya… Jazakumullah Khair
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Saran dan nasehat saya untuk anda ialah: Jauhi teman anda tsb. Kalau dia mengirimkan via e-mail, maka tandailah sebagai spam dan jangan sekali-kali membacanya. Ini nasehat para ulama kepada kaum muslimin agar jangan bermajlis atau bahkan berdiskusi dengan ahli bid’ah, sebab begitu syubhat melekat di hati, maka akan sulit dihilangkan, terutama bagi orang awam/yg baru belajar Islam.
Orang syi’ah tidak bisa dipercaya sama sekali karena mereka meyakini wajibnya TAQIYYAH di hadapan ahlussunnah. Taqiyyah ialah menyembunyikan keyakinan yg sesungguhnya dengan bersikap manis, alias bermunafik. Semua orang syi’ah tanpa kecuali -termasuk teman anda- pasti bertaqiyyah ketika mendakwahkan syi’ah kepada Ahlussunnah. Mereka baru meninggalkan taqiyyah setelah berkuasa, seperti yg terjadi di IRan, IRak, Lebanon, dan Suriah.
Saya sengaja tidak memuat syubhat-syubhat tsb agar pembaca yg lain tidak terkena getahnya. Semua yg dia tulis itu hanya rekayasa yg penuh kedustaan. Sumber-sumbernya juga tidak otentik, bahkan ditulis oleh para sejarawan yg berakidah tidak benar spt Al Ya’qubi. Atau buku yg dinisbatkan secara dusta kepada salah seorang ulama ahlussunnah, spt kitab Al Imamah was Siyasah yg dinisbatkan kepada Ibnu Qutaibah. Orang syi’ah selalu merujuk kepada kitab-kitab sejarah/tarikh yg memang memuat segalanya, baik yg benar maupun batil. Dan itu sudah menjadi ciri khas kitab-kitab sejarah. Hanyasaja, ketika seorang sejarawan ahlussunnah menukil sebuah riwayat, ia pasti menyertakan sanadnya atau minimal menyebutkan sumbernya, sehingga dengan begitu setiap orang yg ‘faham’ bisa menilai keabsahan riwayat tsb. Namun karena mayoritas kaum muslimin adalah orang yg tidak faham ilmu sanad, maka mereka bisa dengan leluasa mengklaim bhw riwayat ini ada dlm buku-buku ahlussunnah (?). Apakah ketika seorang ulama sunni meriwayatkan hadits batil dalam kitabnya, berarti ia meyakini dan membenarkan kebatilan tsb? Tentu tidak, dan hanya orang bodoh yg berpemahaman spt itu. Kecuali bila dia berkomitmen untuk hanya memuat hadits yg benar saja, maka ketika ada hadits yg tidak benar dlm kitabnya, kita bisa mengatakan bahwa si penulis memang meyakininya sebagai kebenaran. Namun ketika dia tdk mensyaratkan untuk hanya memuat riwayat-riwayat yg shahih, maka kita tidak bisa mengatakan bhw apa yg ada dlm kitabnya adalah shahih menurut si penulis. Dan inilah hakikat kitab-kitab sejarah yg ditulis oleh para ulama ahlussunnah macam Ath Thabari, Ibnul Atsir, Ibnu Katsir, dll.
Singkatnya, jangan sekali-kali mau diajak diskusi oleh orang syi’ah. PERCUMA SAJA, karena mereka hanya berani diskusi dengan orang awam, bukan dengan para ustadz. Ini berarti mereka hanya ingin menyesatkan, bukan ingin mencari hidayah.
Assalamu’alaikum ustad..
Dalam surat Al Baqoroh 256 dijelaskan bahwa seseorang itu disebut berpegang teguh dengan kalimat tauhid dengan 2 syarat, yaitu Yakfur Bitthoghut Wa Yu’minbillah. lalu apakah thoghut itu ustad ?? bagaimana sifat Yakfur Bitthoghut ??
Syukron Jazakumullah…
Thaghut itu semua yg melampaui batas, baik sebagai sesembahan (pujaan), panutan, atau sesuatu yg dicintai (baik manusia/yg lainnya). Thaghut itu banyak macamnya, namun dedengkotnya ada lima:
1-Iblis, la’natullah ‘alaih.
2-Siapa yg rela disembah (selain Allah),
3-Siapa yg mengajak orang lain untuk beribadah kpd dirinya.
4-Siapa yg mengklaim tahu sesuatu yg ghaib (dukun, paranormal, orang pinter, dsb)
5-Orang yg berhukum dengan selain hukum Allah.
Cara kufur dengan thoghut ialah membencinya dlm hati, mengingkari perbuatannya, dan memusuhinya semampu kita bahkan memeranginya kalau perlu. Termasuk pula tidak mempercayainya, karena yg namanya kufur itu artinya ingkar. Jadi, kalau anda tidak percaya dengan prediksi seorang peramal akan hal ghaib (walaupun ternyata benar), maka anda telah kufur kepadanya.
Assalamu’alaykum Ustadz,
Semoga Alloh selalu menjaga anda.
Apakah tawassul masuk dalam bab fiqh atau aqidah?
Benarkah para ulama ikhtilaf ttg penetapan hal tsb?
Jazakallohu khoyron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Amin, wa iyyaak.
Tawassul bisa masuk ke masalah akidah dan fiqih sekaligus, tergantung sudut pandang dan cara menilainya. Khilaf dalam masalah tawassul (dan masalah akidah/fiqih secara umum) itu macam-macam bentuknya, ada khilaf yg mu’tabar dan ada yg tidak mu’tabar, mana yg antum maksud?
Khilaf yg mu’tabar Ustadz.
Semoga ustadz dapat memberikan ta’liq thdp artikel ini:
http://faridnuman.blogspot.com/2011/07/bolehkah-kita-tawasul.html
Karena menimbulkan syubhat bagi saya.
Jazakallohu khoyron.
Assalamu’alaikum
USTADZ, ana ingin menanyakan terkait koreksi waktu shubuh yang sudah berjalan selama dua tahun terakhir ini.
Apakah di saudi sekarang juga sudah ada perubahan untuk mengundurkan waktu sholat shubuh?
Jazaakallah khairan
Di Saudi sejauh ini belum mengalami pengunduran waktu shalat subuh secara maksimal, hanya saja mereka kini mendasarkan pada 18 derajat, yg berarti kemajuan sekitar 15 menit menurut acuan yg lebih akurat (yakni 15 derajat di bawah ufuk). Namun di saudi mesjid-mesjidnya memiliki acuan waktu tetap antara adzan dan iqamah, yaitu 25 menit. Jadi, walaupun adzannya mungkin kemajuan, namun pelaksanaan shalat berjama’ahnya tetap setelah masuk waktu, karena iqamahnya 25 menit kemudian. Ana sendiri biasa mengakhirkan qabliyah fajarnya hingga 15-20 menit setelah adzan.
“….15 menit menurut acuan yg lebih akurat (yakni 15 derajat di bawah ufuk)….. ”
Afwan ustadz, “lebih akurat” disini apakah pendapat mayoritas para ustadz yang belajar di Saudi atau ustadz Abu Hudzaifah sendiri? Karena sepertinya polemik fajar subuh di antara para ustadz di tanah air dulu masih “ngambang” (belum clear).
Itu pendapat ana pribadi berdasarkan sebuah survey independen yg dilakukan oleh sejumlah ahli (baik dlm ilmu falak maupun ahli agama) di Saudi yg mengamati di lima lokasi berbeda di gurun sekitar Riyadh, dengan peralatan canggih, yg diutus oleh Mufti Saudi sekarang dan Menteri Agama Saudi (syaikh Shalih Alusy Syaikh) pd tahun 2005 lalu. Antum bisa download hasil laporannya di sini: http://www.4shared.com/get/jfRZ5pU9/___-__.html
Aslmlkmwrwb.
Ustd , saya sdh mncicipi dakwah salafyyah. Terbukti memang merekalah yg plg ilmiah diantara jamaah lain diindonesia.
Tetapi kok , ada perpecahan secara internal diantara mereka ? Ustd salafy A menghujat ustd salafy B , saya jadi bingung bersandar kemana.
1. Jadi bagaimana saya seharusnya bertindak utk permasalahan ini? Utk belajar agama
2. Dan tolong beritau saya ustad , bagaimana cara berDoa yg benar(sesuai sunnah)?
3. Saya sdh ikut muqobalah UIM di jakarta, apakh bnar itu hanya formalitas ? Krna itu diikuti ratusan org dan ada tes tulis segala
Assalamu’alaykum
Ustadz kalo ada dua sanad seperti ini:
Tirmidzi ->A[dha’if] ->B[dha’if] ->C[dha’if] ->D[dha’if] ->E[dha’if] ->S[Sahabat Nabi] ->Rasulullah
Ibnu Abi Ad-Dunya->V[dha’if] ->W[dha’if] ->X[dha’if] ->Y[dha’if] ->Z[dha’if] ->S[Sahabat Nabi] ->Rasulullah
Seperti yang antum katakan diatas: karena semua perawinya dha’if maka kedua sanad ga bisa saling menguatkan.bahkan menjadi dha’if jiddan.
Nah, yang ana tanyakan: berapakah batas minimal kedha’ifan/cacat dalam masing2 sanad agar kedua sanad masih bisa saling menguatkan? Apakah hanya satu rawi saja yang boleh dha’if dari masing2 sanad? atau dua atau berapa?
Mohon penjelasan antum,,,
Tergantung sebab kedhai’fannya masing-masing perawi. Kalau sekedar lemah hafalan, atau ikhtilat (kacau hafalannya), atau karena alasan-alasan tertentu lainnya; maka bisa saling menguatkan. Perlu antum ingat bahwa setiap hadits memiliki cara penanganan dan citarasa tersendiri, sehingga kita sulit untuk memberi suatu kaidah umum di sini. jawaban ana thd contoh yg antum tanyakan pun sifatnya sekedar teori, yg bila dipraktikkan mungkin hasil akhirnya tidak seperti itu. Dan masalah ini juga tidak keluar dari ijtihad yg memungkinkan bagi seorang peneliti hadits untuk berbeda pendapat dengan peneliti hadits lainnya dlm menghukumi suatu hadits.
Assalammu’alaikum,
1. Cara sholat tasbih itu bagaimana ? Saya memang sudah membaca hadisnya, tp tetap ada yg ingin saya tanyakan.Setelah kita membaca surat setelah alfatihah, lalu kita membaca dzikir sholat tasbih 15 kali, setelah itu ruku, sujud, duduk antara 2 sujud. Nah, ketika sujud, ruku dan duduk, apakah kita membaca dulu tasbih rukuk seperti biasa subhanarabbiyal a’la terlebih dahulu tau langsung membaca tasbih sholat tasbih 10 kali ?
2. Ketika tahiyat akhir di rakaat keempat sholat tasbih, apakah ketika tasyahud akhirnya itu membaca dulu tasyahud terus shalawat terus doa terus setelah itu baca tasbih sholat tasbih 10 kali ?
3. Saya sehabis sholat subuh berjamaah, terus dzikir ba’da sholat subuh, terus dzikir pagi, nah karena bulan Ramadhan di masjid dari mulai pukul 5 sampai pukul 6 ada kuliah subuh dulu, jadi saya mendengarkan ceramah sampai pukul 6. Apakah setelah itu saya bisa sholat isyraq ?
Syukron,
ustadz, bisa memberikan faidah ke saya : apa perbedaan antara Ruwaibidhoh, Ashoghir, & Khutoba ? جَزَاك اللهُ خَيْرً
Ruwaibidhah sebagaimana dlm hadits disebutkan bhw artinya adalah orang bodoh yg berbicara tentang masalah umum. Adapun ashoghir adalah bentuk jama’ dari ashghar, artinya orang-orang yg masih muda belia atau belum cukup umur. Ini secara bahasa, adapun secara istilah maka tergantung konteks kalimatnya, dan siapa yg mengucapkannya. Adapun khuthoba’ adalah bentuk jama’ dari khatib (juru khutbah/orator). Ini juga secara bahasa, adapun maksudnya bisa berarti orang yg hanya pandai bicara, wallahu a’lam.
assalamuala’ikum ustadz ana mau nanya setelah sholat witir pd rekaat yng terakhir ditempat ana membaca 3 surat pendek apakah ad keharusan atau membaca 1 surat saja itu cukup syukron jawabanya.
Keharusan sih tidak ada, satu surat saja sudah cukup, bahkan hanya baca al fatihah saja sudah sah shalatnya.
Assalamu’alaykum ustadz,
Seseorang lulus tes cpns karena memanfaatkan keluarganya yg menjadi pejabat di suatu tempat (misal pejabat tsb memberikan rekomendasi), tanpa memberi suap kpd pejabat tsb.
Sebenarnya org tsb mempunyai keahlian di bidang di mana dia melamar jd cpns tsb, akan tetapi banyakny praktek suap saat penerimaan cpns, menyebabkan peluang dia lulus kecil sekali, sehingga terpaksa meminta tolong kepada anggota keluarganya yg jadi pejabat agar memberikan rekomendasi supaya dia diluluskan (tanpa memberi suap atau sepeser pun uang pada pejabat tsb).
Apakah gaji yg dia terima halal atau haram?
Jazakallohu khoyron
Kalau memang begitu keadaannya, insya Allah gaji yg diterimanya halal asalkan selama kerja dia tidak terlibat praktek suap/manipulasi data/kecurangan lainnya.
SOAL 3:
Tirmidzi ->A[dha’if] ->B[dha’if] ->C[dha’if] ->D[dha’if] ->E[dha’if] ->S[Sahabat Nabi] ->Rasulullah
Ibnu Abi Ad-Dunya->V[dha’if] ->W[dha’if] ->X[dha’if] ->Y[dha’if] ->Z[dha’if] ->S[Sahabat Nabi] ->Rasulullah
Jawaban ana: E [dha’if] dalam sanad Tirmidzi mendapat Mutaba’ah dari Z [dha’if] dalam sanad Ibnu Abi Ad-Dunya maka hadits S [sahabat Nabi] tersebut menjadi Hasan Lighairih walau semua rawi dalam kedua sanad tersebut [baik riwayat Tiridzi maupun Ibnu Abi Ad-Dunya] adalah dha’if tapi karena dha’ifnya ringan [yasir] bukan dha’if yang berat [syadid] maka hadits tersebut tetap bisa terangkat derajatnya menjadi Hasan Lighairih.
O tidak, kalau semuanya dha’if maka derajatnya menjadi dha’if jiddan, bukan sekedar dha’if.
Ustadz, karena ana masih merasa samar tentang penerapan kaidah “taqwiyatul hadits” maka ana ingin konformasi jawaban ana untuk 4 contoh soal latihan berikut. Mohon koreksi jika ana salah.
SOAL 1:
Tirmidzi ->A[tsiqah] ->B[tsiqah] ->C[tsiqah] ->D[tsiqah] ->E[dha’if] ->S[Sahabat Nabi] ->Rasulullah
Ibnu Abi Ad-Dunya->V[tsiqah] ->W[matruk] ->X[tsiqah] ->Y[tsiqah] ->Z[tsiqah] ->S[Sahabat Nabi] ->Rasulullah
Jawaban ana: Dalam diagram diatas, E [dha’if] dalam sanad Tirmidzi mendapat mutaba’ah dari Z [tsiqah] dalam sanad Ibnu Abi Ad-Dunya tapi karena dalam sanad Ibnu Abi Ad-Dunya terdapat W [rawi matruk] maka sanad Tirmidzi tetap tidak bisa naik derajatnya menjadi Hasan Lighairihi. Kesimpulannya, hadits S [sahabat Nabi] tersebut tetap dha’if.
Iya, betul.
Bismillah
Assalamu’alaykum..
Ustadz ; mohon jawaban antum, ana sudah kirim via e-mail ; jazaakallahu khoir …
Wa’alaikumussalaam. Afwan akhi, ana masih banyak kesibukan mendesak, tolong antum alihkan pertanyaan tsb ke ustadz yg lain saja, spt Ust. Muh Arifin Badri misalnya…