Soal-Jawab
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Kepada ikhwan dan akhwat pengunjung Blog Abu Hudzaifah yg saya cintai…
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas Blog ini, saya khususkan halaman ini bagi yg ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’-nya, baik keluhan, pertanyaan, atau sekedar curhat… Semoga dengan itu semua saya jadi lebih semangat untuk menyampaikan ilmu saya kepada antum semua.
Jadi, saya tunggu partisipasi antum… Jazakumullahu khairan katsieran,
Wassalaam,
Assalamualaikum…
Pak Ustadz, langsung saja pertanyaannya ya…
1. Saat khotib membacakan do’a diakhir khutbah, apakah kita mengaminkan dilidah atau cukup didalam hati atau tidak perlu sama sekali?
2. Apakah do’a bersama pada event2 khusus diluar sholat jumat, seperti saat kumpul makan2 atau dipertemuan2, yang dibacakan (dipimpin) oleh satu orang dan diaminkan oleh yang lain bukan perkara bid’ah dan dibolehkan dilihat dari point 1.
Jazakallahu khoiron…
jazakallahu khoiron ustadz atas jawaban yang antum berikan atas pertanyaan ana dan ikhwan lainnya, semoga Alloh membalas dengan kebaikan kepada antum,
ustadz ada suatu pertanyaan yang mengganjal di hati ana, ana pertemanan di facebook dengan orang2 yang berpemahaman bahwa pemimpin indonesia saat sdh kafir dan boleh memberontak dan membunuhnya, ketika ana sampaikan dalil2 dari hadist Rasululloh shalallahu alaihi wassalam tentang wajibnya kita taat kepada penguasa, mereka mengatakan bahwa dalil2 tersebut adalah ditujukan kepada pemimpin yang berhukum kepada hukum Alloh, walaupun mereka dzalim, tapi mereka berhukum kepada hukum Alloh dan kita wajib taat sedangkan pada saat ini pemimpin negara ini tidak berhukum kepada hukum Alloh tapi berhukum kepada undang2 buatan manusia dan pancasila maka hadits2 tersebut tidak bisa kita pake untuk mereka, bagaimna dengan syubhat ini ya ustadz???? mohon jawabannya, jazakallahu khoiron, semoga Alloh menjaga antum didalm terus menunutut ilmu dan bisa bermanfaat kelak apabila antum kembali ke indonesia, Barakallahu fiik..
Jawabannya, kalau yang mereka maksudkan adalah berhukum dengan hukum Allah dalam seluruh aspeknya, tanpa pernah menyelisihi satu hukum Allah pun, maka pemimpin seperti ini tidak akan ada. Sebab betapapun shalih dan adilnya seorang penguasa, pasti ia pernah salah dan melanggar hukum Allah, baik sengaja maupun tidak sengaja, dan baik atas dasar ijtihad, ta’wil, maupun sekedar mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi, hal itu tidak bisa serta-merta membatalkan keabsahannya sebagai waliyyul amri. Contohnya ialah ketiga khalifah Bani Abbas yg semuanya berpemahaman bahwa Al Qur’an adalah makhluk, yaitu Al ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq. Mereka tak sekedar meyakini sesuatu yang disepakati oleh para ulama sebagai kekafiran, namun memaksa para ulama dengan ancaman siksa dan bunuh bila mereka tidak mau mengikuti keyakinan mereka. Pun demikian, Imam Ahmad selaku imam Ahlussunnah wal jama’ah di zamannya, tetap tidak menghalalkan darah mereka, dan masih menganggap mereka sebagai waliyyul amri yg sah. Imam Ahmad bahkan melarang para pemuka masyarakat Baghdad untuk memberontak kepada Al Mu’tashim dan memperingatkan mereka akan terjadinya pertumpahan darah bila nekat melakukan hal tsb. Intinya, imam Ahmad tidak mau menuruti keinginan khalifah dlm hal ini karena itu suatu kekufuran, namun tetap menganggapnya sebagai waliyyul amri. Ini semua demi kemaslahatan umat. Jawaban yg lebih lengkap tentang boleh-tidaknya memberontak kepada penguasa yg dianggap kafir dapat antum baca dlm artikel “Nasehat untuk AL QAEDA”.
Kalau toh pemimpin kita memang kafir, maka itu bukanlah satu-satunya alasan yg mengharuskan kita memberontak kpd mereka. Kita harus punya kekuatan militer yg setara atau bahkan lebih besar dari mereka sehingga bisa menggulingkan pemerintah yg didukung oleh ratusan ribu personel TNI dengan segala alutsista-nya… kasi tahu mereka agar jangan asal ngomong tanpa perhitungan ! Kalau cuma punya pedang, bedil rakitan, dan bom yg asal meledak tanpa membedakan mana muslim mana kafir, ya namanya belum punya kekuatan untuk melawan, apalagi menggulingkan. Kalau nekat, ya bukannya kemenangan Islam dan kaum muslimin yg terjadi, namun pembantaian massal dan penindasan terhadap segala atribut Islam di negeri yg mayoritas penduduknya adalah muslim… ini namanya tindakan gila bin tolol yg mengatasnamakan agama, padahal bukan dari ajaran agama sedikitpun.
Afwan ustadz,jd bgmna sikap qt terhadap pemerintah indonesia skg ini?kan sudah jelas bhwa mereka tidak menegakkan syari’at islam d ngri ini,apa kita sbg umat muslim tetap taat atau berlepas diri dari pemerintah?trus seandainya taat,bagaimana dg syhadat qt?karena dalam QS. An Nisa’ :60
Ayat ini mendustakan org yg mengaku beriman pd saat yg sama mau berhukum dgn selain syariat Alloh. Ibnu Qoyyim dlm A’lamul Muwaqi’in I/85 berkata,” Lalu Alloh SWT memberitahukan bahwa siapa sj yg berhukum ato memutuskan hukum dgn selain apa yg dibawa Rosululloh, berarti tlh berhukum ato memutuskan hukum dgn hukum thoghut. Thoghut sgl hal melewati batas hamba, baik berupa hal yg disembah, diikuti, ato ditaati…
Jazakallohu khoir
Taatilah mereka dlm hal-hal yang ma’ruf, artinya tidak bertentangan dengan syari’at islam (spt peraturan lalu lintas dsb). Namun bila aturan mereka bertentangan dengan syariat, maka jangan taati aturan tsb secara khusus. Kita berlepas diri dari semua keputusan pemerintah yg tidak diridhai oleh Allah, adapun terhadap pemerintah itu sendiri, maka jika yg dimaksud adalah presiden SBY (muslim) dan mentri2nya yg muslim; kita tidak boleh berlepas diri dari pribadi mereka, namun berlepas diri dari perbuatan mereka yg termasuk maksiat. Sebab saat Nabi mendengar bahwa Komandan yg beliau angkat -yaitu Khalid bin Walid- menginstruksikan eksekusi terhadap kaumnya Malik bin Nuwairah karena menurutnya dianggap murtad padahal tidak demikian; beliau mengatakan:
اللهم إني أبرأ إليك مما صنع خالد
Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yg dilakukan oleh Khalid.
Nabi tidak mengatakan bhw beliau berlepas diri dari Khalid, namun dari perbuatannya yg keliru. Jadi, harap dibedakan antara berlepas diri dari seseorang dengan berlepas diri dari perbuatan seseorang. Yg pertama khusus bagi orang kafir/yg setingkat, sedangkan yg kedua meliputi orang kafir maupun mukmin yg bermaksiat. Jadi, jika yg dimaksud pemerintah adalah orang-orang tertentu yg kebetulan kafir (spt sebagian menteri kabinet/pemda); maka kita berlepas diri dari mereka dan mereka bukanlah waliyyul amri kita. Namun tidak berarti kita boleh mengangkat senjata kpd mrk begitu saja tanpa mempertimbangkan maslahat dan mafsadat… bahkan kita tetap harus bersabar thd segala kezhaliman mereka thd kita sampai Allah mengganti mereka dengan yg lebih baik, tanpa menimbulkan fitnah. Dan ingatlah bahwa kezhaliman penguasa adalah akibat dosa rakyat… jangan lupakan itu. Allah tidak akan mengangkat pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz kalau rakyatnya masih bobrok spt ini… jangan ngimpi laah. Umar bin Abdul Aziz hanya cocok untuk memimpin rakyat yg setara dengannya, dan pemimpin kita pun setara dengan kita… kalau kualitas pemimpinnya kayak begini, ya berarti kualitas kita -secara umum- tidak jauh beda dari mereka.
Solusinya, benahilah diri kita, keluarga kita, dan masyarakat kita… niscaya dari mereka akan lahir pemimpin2 yg adil dan bertakwa.
Sebab mrk yg sekarang memimpin, 20 atau 30 tahun yang lalu adalah rakyat jelata dan suatu saat akan kembali menjadi rakyat jelata. dan yg sekarang rakyat jelata, kelak akan menjadi pemimpin. Jadi semua harus dibenahi. faham?
Assalamualaikum warohmatullahi afwan ustadz semoga Allah senantiasi meneguhkan kita diatas petunjuk Alqu’an dan Sunnah sesuai dg pemahaman para salaf shalih ana mau tanya,” Ane tugas dalam kedinasan militer bagian logiistik setiap ada kegiatan latihan operasi militer ana bertugas sebagai penyuplai logistik (makan) ke pasukan yang latihan, lebih rincinya begini stazd pasukan yang disuplai umpama 200 org tapi logistiknya ana ajukan untuk 250 orang yg 50 untuk cadangan tapi dilapangan yg 50 ini kalau tidak habis ana ambil berupa uang pada rekanan tempat ane mengambil logistik tsb setelah selesai operasi latihannya ya itung2 untuk obat lelah gitu stazd setelah latihan operasi berakhir semua pengambilan dirinci termasuk cadangan tsb dan diajukan ke komandan dan komandan pun tanpa bertanya menandatangani surat pengajuan tsb untuk mencairkan dana makan operasi tsb. yang ana tanyankan bagai mana hukum yang 50 ini stadz bagi ana. ana berharrab banyak atas jawaban antum stdz jazakallah khaiir.
Assalamu`alaikum
1.Apakah bila ada seseorang yang mewasiatkan baik lisan maupun tulisan kepada ahli warisnya agar berqurbarkan atas nama si pemberi wasiat sendiri diperbolehkan atau tidak?
2. Bolehkah kita berqurban atas nama orang meninggal secara sendirian tanpa si mayyit mengeluarkan wasiatnya?
Assalamu’alaykum Ustadz rahimahullah,
Mohon dibantu, bagaimana mu’amalah dengan tetangga nasrani yang mengundang acara pernikahan? Atau bolehkan jika kita memberikan hadiah pernikahan untuk dia jika tidak boleh hadir ?
Syukron wa jazakallahou khoyron
Abu Salwa
kalau nasrani yg ngundang pasti banyak kemungkaran atau bahkan kekufuran di sana, antum ga’ boleh hadir, tapi silakan beri hadiah karena tetangga punya hak thd kita.
Syukron katsiron atas jawaban antum ya Ustadz, sedikit tambahan lagi, bagaimana jika si Nasrani ini adalah teman sejawat di kantor yang hendak nikah, apakah sama kedudukannya dengan tetangga dan boleh kita beri hadiah untuk pernikahannya ?
Memberi hadiah kepada orang kafir boleh-boleh saja, tidak harus bertetangga atau berteman juga boleh… terutama bila diharapkan keislamannya, atau paling tidak ia jadi suka kepada Islam walaupun tidak masuk Islam.
Assalamu’alaikum Wr Wb. Apa kabar ustad?. Ustad , saya mau bertanya dengan yang berhubungan qurban di iedul adha, Apa yang menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk menunaikan qurban di Iedul adha?. Apakah kewajiban itu harus ditunaikan ketika menjelang iedul adha ada kelebihan rezeki sehingga bisa untuk membeli seekor kambing. lalu bagaimana ketika saat itu tidak ada kelebihan rezeki untuk membeli seekor kambing. Lalu bagaimana dengan cara menabung tiap bulannya apakah disyariatkan?. Mhn jawabannya Ustad. Syukron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Alhamduillah, kabar baik. Bila seorang muslim memiliki kelebihan harta yg cukup untuk membeli hewan kurban, maka dia wajib berkurban menurut pendapat yg paling rajih. namun bila ia masih dinafkahi oleh orang tua (alias belum mandiri dan belum berkeluarga), maka cukuplah orang tuanya yg berkurban mewakili seluruh anggota keluarga yg masih dinafkahinya. Demikianlah yg diajarkan oleh Rasulullah. beliau berkurban untuk kesembilan orang istrinya cukup dengan seekor domba. Bila ia berniat (sudah punya uang) untuk berkurban, maka sejak awal bulan Dzul Hijjah (malam tanggal 1 Dzul hijjah) dia tidak boleh memotong kuku, mencabut rambut, atau mengambil bagian dari kulitnya sedikitpun hingga ia menyembelih hewan kurbannya. Ini khusus berlaku bagi yg berkurban (kepala keluarga), adapun anggota keluarga lainnya tidak terkena aturan tsb (spt istri dan anak-anak misalnya). Silakan menabung untuk beli hewan kurban, tapi itu tidak wajib setahu ana.
assalamualaikum ustadz..semoga Alloh selalu menjaga antum dalam kebaikan..
afwan ana pertanyaan titipan..mudah2an ana juga bisa mengambil manfaat dari jawaban ustadz
1. Bagaimana hukum seorang petugas keamanan (ana ga tau apakah beliau polisi atau tentara, tapi sepertinya polisi) yang mendapat tugas untuk menjaga tempat ibadah agama lain, tapi hati kecilnya dia menolak, tapi karna tugas ia tetap melaksanakannya??
2. Bagaimana cara/trik menghafal asmaul husnah??bolehkan sambil seperti dilagukan??
jazakallahu khoiron atas jawabannya ustadz
wallaahu a’lam, ana tidak bisa menjawab yg pertama.
Adapun yg kedua, ana khawatir cara tsb termasuk bid’ah. Lagi pula susunan asma’ul husna yg banyak beredar itu tidak memiliki dasar kuat. Itu hanya ijtihad seseorang dan tidak meliputi seluruh asmaul husna yg ada dlm Al Qur’an maupun Sunnah. Yg tak kalah pentingnya ialah menyelami makna asmaul husna tsb dan mengamalkan konsekuensinya dlm kehidupan sehari-hari. Misal, kita mengetahui bahwa Allah itu As Samie’, maha mendengar, ini berarti tak ada bisikan selirih apa pun melainkan terdengar oleh Allah, dan ini mestinya menjadikan kita selalu hati-hati dalam berucap. dan begitu seterusnya dengan nama-nama Allah lainnya, karena setiap nama pasti mengandung sifat, bukan sebaliknya.
Assalaamu’alaikum,
Ustadz, apa hukum shalat di masjid yang ada digantung jimat yang terdiri dari kaligrafi ayat Al-Qur’an untuk perlindungan, gambar pedang, wafaq/wifiq?
Jazakallahu khairan.
Kalau ga’ ada mesjid lain yang bebas dari begituan, ya silakan aja. Tapi kalau ada mesjid lain ya ahsan jangan shalat di situ.
Assalamu`alaikum
Ustadz,ada yang mengatakan mereka kini para harakiyyun atau hizbiyyun itu berdakwah aqidah dan mengurus negara sebagaimana yang dilakukan beberapa parpol Islam sebagian kegiatannya adalah berdakwah aqidah dan sebagian lagi berdakwah dengan menurus negara atau berpolitik, Bagaimana tanggapan antum dengan pernyataan mereka ini? Mohon bimbingannya ustadz. Jazakallah
Bagaimana hukumnya mengikuti Multy Level Marketing(MLM) ustadz?
Apa tanggapan ustadz ttg:
Ketika Ulama Salafi Mulai Perbolehkan Revolusi & Demonstrasi
Diposting pada Senin, 04-04-2011 | 08:48:14 WIB
Revolusi” Mesir memang sudah berlalu, Mubarak pun sudah lengser dari jabatannya. Namun, ada pelajaran dari peristiwa tersebut. Seorang ulama Salafi Mesir pun angkat bicara tentang revolusi itu. Bagaimana isinya?
Peristiwa “Revolusi 25 Januari” tidak hanya mengubah rezim, namun juga mengubah pandangan yang selama ini digunakan oleh komunitas Muslim yang menamai diri mereka sebagai penganut salaf alias Salafi. “Revolusi Mesir pada tanggal 25 Januari, memaksa mayoritas orang berfikir dan meninjau ulang pemahaman yang mereka miliki, yang sebelumnya pemahaman itu tidak bisa dikritik dan ditinjau ulang, lebih-lebih untuk bisa diubah,” demikian, Khalid As Syafi’i, penulis buku “Ana Wahabi Fa Kana Madza?” (Saya adalah Wahabi, Memang Kenapa?), yang juga berasal dari komunitas tersebut, mengakui hal itu. (onislam.net, 8/3)
Sebab itulah, Khalid menulis otokrotik untuk komunitasnya sendiri, untuk meninjau ulang beberapa pandangan fikih yang sebelumnya digunakan, khususnya dalam masalah hubungan antara hakim (penguasa) dengan mahkum (rakyat). Masuk dalam persoalan ini hukum demontrasi, pemberontakan, serta nahi munkar terhadap penguasa.
Saat demontrasi melawan kezaliman penguasa menyebar di dunia Arab, Syeikh Abdul Aziz Alu As Syaikh selaku Mufti Saudi, yang juga menjadi rujukan dalam komunitas ini, telah mengeluarkan pernyataan dalam khutbah Juma’at (4/2) yang ditujukan kepada para pemuda di berbagai negara, bahwa demonstrasi bisa menyebabkan timbulnya fitnah dan kesesatan.
Ia juga menyatakan pandangan dalam masalah fikih bahwa demontrasi tidak disyariatkan. Mufti juga menyeru agar para pemuda menjauh aktivitas ini.
Namun, pendapat mufti Saudi di atas, tidak sepenuhnya didukung oleh Salafi Mesir. Komunitas Salafi Kairo lebih memilih turun ke jalan bergabung dengan demonstran lain di lapangan Tahrir. Para tokoh komunitas ini seperti Syeikh Muhammad Abdul Maqsud, Syeikh Nasy’ad Ahmad, Syeikh Fauzi Sa’id, beserta ratusan muridnya ikut bergabung dengan demonstran sepanjang revolusi, hingga Husni Mubarak lengser pada tanggal 11 Februari 2011.
Syeikh Muhammad Hasan yang juga ditokohkan dalam komunitas ini, mengaku di kanal Ar Arabiya, bahwa ia bergabung dengan demonstran di lapangan Tahrir bersama anak-anaknya. Muhammad Hasan juga muncul di kanal Al Mahwar pascatragedi “Rabu Berdarah”, dan menyatakan terang-terangan bahwa pemerintah sudah kehilangan legitimasi.
Ia juga menyatakan bahwa penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap demonstran adalah hal yang dilarang syari’at, sebagaimana dinukil onislam.net (26/3)
Sedangkan Syeikh Muhammad Abdil Maqsud dalam sebuah khutbah Jumat juga mengajak jama’ah untuk bergabung dalam revolusi yang ia sebut sebagai revolusi yang diberkahi itu, demikian disebutkan onislam.net (26/3)
Namun, Salafi Iskandariyah berbeda dengan Salafi Kairo. Pada tanggal 8 Februari 2011 mereka mengadakan muktamar untuk menyikapi revolusi Mesir. Hasilnya, mereka akhirnya menyuarakan tuntutan secara terang-terangan kepada pemerintah agar diakhirinya UU Darurat dan dilakukan pembebasan tahanan yang ditangkap tanpa alasan.
Mereka juga menuntut agar penguasaan partai pemerintah Hizb Al Wathani terhadap media diakhiri Di samping itu mereka meminta pengaktifan UU pasal 2, yang menyebutkan bahwa syari’at merupakan sumber hukum, dalam perundang-undangan Mesir.
Mereka memilih tidak bergabung dengan demonstran, karena alasan ikhtilath dan agar rakyat tidak dinilai sebagai radikal, dengan bergabungnya mereka dalam demontrasi. Hal ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Farid, salah satu tokoh Salafi di wilayah pesisir tersebut, sebagaimana disebutkan dalam koran As Syuruq, seperti dinukil oleh Al Mafkarat (6/3).
Namun, bukan berarti demontrasi dilarang mutlak, jika perkara yang dilarang, menurut mereka, seperti ikhtilath tidak terjadi. Sehingga Syeikh Ahmad Farid sendiri menyeru turun ke jalan untuk menuntut agar UU pasal 2 tidak diutak-atik, padahal sebelumnya komunitas sangat antipati terhadap demonstrasi.
Untuk hal ini, Syeikh Ahmad Farid menjelaskan,”Fatwa bisa berubah, sesuai dengan tampat dan waktu. Wasilah untuk mengungkapkan pendapat sekarang sudah jelas, yakni demonstrasi. Undang-Undang memperbolehkan untuk melakukannya. Hal ini bukan termasuk keluar dari hakim.” Sebagaimana dilansir Al Mafkarat (6/3)
Walau tidak setuju dengan demontrasi yang saat itu berlangsung, karena disertai perkara yang menurut mereka dilarang, namun komunitas ini toleran kepada mereka yang memilih turun ke jalan. Dr. Yasir Burhami yang juga ditokohkan dalam komunitas ini menyatakan dalam kanal Al Majdi, bahwa pendapatnya yang tidak mendukung demonstrasi adalah perkara yang benar, tapi memungkinkan untuk salah, demikian juga pendapat tokoh lain yang mendukung demonstrasi. Salah tapi memungkinkan benar. Sebab itu, ia membolehkan penilaian mereka yang wafat dalam peristiwa revolusi sebagai syuhada, sesuai dengan niat mereka, demikian disebutkan taseel.com, (21/3).
Ikut Pemilu Juga Dianjurkan
Syeikh Muhammad Hasan selaku salah satu pembicara menyatakan,”Saya meminta kepada para syeikh kita untuk meninjau kembali, terhadap hal-hal yang telah diterima pada tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pencalonan dalam parlemen dan syura, serta (pencalonan) presiden dan pemerintahan. Saya meminta kepada para syeikh kita untuk berkumpul untuk mengurai masalah ini, agar para pemuda kita terhindar dari fitnah dan bercerai berai.”
Sepertinya, usulan Syeikh Muhammad Hasan kepada para tokoh Salafi untuk mengoreksi ulang pendapat mengenai hukum mengikuti pemilu, mendapatkan sambutan. Syeikh Ahmad Farid, yang juga salah satu tokoh komunitas Salafi Iskandariyah juga menyatakan bahwa pembentukan partai politik masih merupakan kemungkinan-kemungkinan. Demikian dikutip Al Mafkarah (6/3), dari Koran As Syuruq. Hal ini menunjukkan tekad komunitas ini berpartisipasi dalam pemilu.
Respon terhadap usulan itu semakin besar dengan berkumpulnya para tokoh Salafi yang tergabung dalam jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah untuk membahas hukum berpartisipasi dalam pemilu.
Akhirnya, pada tanggal 12 Maret 2011 Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah Pusat secara resmi mengumumkan pandangan mereka dalam situs resminya, elsunna.com. Salah satu poin dari keputusan menyebutkan,”Kami tidak melihat adanya larangan syar’i untuk berpartisipasi dalam perpolitikan, baik di parlemen, syura, serta parlemen lokal, karena hal itu merupakan wasilah dakwah kepada masyarakat umum.”
Demikian juga, mereka menyarankan agar para dai tidak mencalonkan diri, hingga menyebabkan aktivitas dakwah terganggu. Disamping itu, himbauan ditujukan kepada umat Islam agar dalam pemilu penentuan presiden, mereka memilih calon yang paling memiliki perhatian kepada urusan umat Islam.
Keputusan ini hasil dari musyawarah Ahli Syura jama’ah ini, diantaranya adalah Dr. Abdullah Syakir, Syeikh Muhammad Husein Ya’kub, Syeikh Muhammad Hasan, Dr. Jamal Al Murakibi, Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Abu Bakr Al Hanbali, Syeikh Wahid Abdussalam Bali, serta Syeikh Jamal Abdurrahman.
Dianut Tokoh Salafi Yordan, Bahrain & Kuwait
Sebenarnya, pendapat bolehnya mengikuti pemilu bukan hanya pandangan sejumlah tokoh Salafi Mesir pasca revolusi saja. Sebelumnya beberapa tokoh Salafi di luar Mesir juga telah meninjau ulang pendapat yang mereka anut mengenai pemilu. Dua tokoh Salafi Yordan yang saat ini masih dijadikan rujukan sebagian komunitas Salafi Indonenesia, yakni Syeikh Ali Al Halabi dan Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman telah menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan hal yang dibolehkan, sebagaimana dilansir Al Jazeera (26/10).
“Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Syeikh Ali Hasan kepada Al Jazeera.
Masih menurut Syeikh Al Halabi, “Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu, di saat itu beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab. Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi
Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan, “Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan”
Namun, perubahan pendapat beberapa tokoh Salafi Mesir dan Yordan masih terhitung “lambat” dibanding saudara-saudara mereka di Kuwait dan Bahrain. Di Kuwait, At Tajammu’ As Islami As Salafi telah bergabung dengan parlemen. Sebelumnya, tahun 1981 komunitas Salafi yang saat itu diwakili Ihya’ At Turats memboikot pemilu, namun setelah itu mereka bergabung dalam parlemen.
Walau dalam situs resminya ( alislami.org), Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain.
Sedangkan di Bahrain, komunitas Salafi juga sudah bergabung dengan parlemen. Di bawah komando Syeikh Adil Al Mua’wwidah, pada 6 Mei 2002, didirikanlah Al Ashalah Al Islamiyah, organisasi politik yang pada pemilu tahun 2010 lalu memperolah 4 kursi.
Sikap Salafi Al Jazair & Mereka yang Tidak Setuju
Berbeda dengan Mesir, Kuwait, Bahrain dan Yordania, seorang tokoh Salafi yang berpengaruh di Aljazair mengeluarkan fatwa setebal 48 halaman tentang demokrasi.
“Sepanjang pemimpin negara adalah seorang Muslim, kalian harus mematuhi dan mendengarkannya. Orang yang menentangnya hanya mencari peluang untuk menggantikan posisinya, dan hal itu tidak dibenarkan,” demikian antara lain bunyi fatwa Syeikh Abdul Malik Ramdani yang kini tinggal di Arab Saudi.
Saat melakukan unjuk rasa, kata Syeikh Ramdani, pria dan wanita bercampur baur dan kondisi seperti itu dilarang menurut aturan Islam.
Syeikh Ramdani yang kabarnya memiliki ratusan ribu pengikut, hijrah ke Arab Saudi setelah mendapat ancaman dari kelompok lain. Negerinya Aljazair diguncang gelombang protes sejak bulan Januari, akibat melonjaknya harga-harga bahan pangan.
“Unjuk rasa adalah sebuah alat yang diciptakan sistem demokrasi yang bertentangan dengan Islam,” katanya, sebagaimana dikutip Gulf News dari Reuters (16/3)
Dalam menghadapi pemimpin Muslim yang tidak disukai, umat sebaiknya berdoa dan bersabar serta tidak melakukan pemberontakan, ujarnya.
Di Mesir pun, tidak seluruh tokoh ulama Salafi berseragam opini dalam menyetujui aksi demonstrasi dan menasehati penguasa secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh para tokoh, baik dari Kairo maupun Iskandariyah.
Di antara mereka adalah Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Mahmud Al Mishri, serta Syeikh Muhammad Husein Ya’kub. Mahmud Al Mishri sendiri sempat menyeru para demonstran untuk meninggalkan lapangan Tahrir.
Sedangkan tokoh yang belum menunjukkan sikap pro atau kontra adalah Syeikh Abu Ishaq Al Huwayyini. Di samping tidak muncul lagi di televisi, telefonnya juga tidak aktif. Sehingga, sampai saat ini belum dikatahui sikapnya mengenai revolusi Mesir, sebagaimana disebutkan taseel.com (21/3)
Walhasil, peristiwa “revolusi Mesir” di samping menjelaskan “peta” komunitas Salafi dalam merespon revolusi, juga menjelaskan adanya perubahan pendapat dalam masalah hubungan rakyat dan penguasa. Kini terlihat, para tokoh Salafi ada yang memandang bahwa demontrasi dan mengkritik pemerintah terang-terangan dibolehkan, tentunya dengan syarat-syaratnya.
Lalu bagaimanakah dengan kaum Salafi di Indonesia? Apakah akan memperbolehkan demonstrasi, revolusi, dan pemilu juga?
(muslimdaily/hidayatullah)
Kebenaran tidak menghalalkan segala cara. Demonstrasi dalam pengertian yg kita lihat hari ini bukanlah cara syar’i untuk merubah kebijakan pemerintah yg tidak sesuai syari’at. Jangan menilai sesuatu dari hasilnya saja tanpa memperhatikan caranya. kebanyakan orang menganggap demonstrasi sebagai cara yg paling manjur untuk mengubah kebijakan pemerintah yg dinilai tidak sesuai dengan keinginan rakyat, tapi ternyata tidak semua demonstrasi membawa dampak positif. kalaulah ia dianggap ‘berhasil’ di mesir, tunisia, dan libya… maka toh ia telah menelan korban ratusan orang, ribuan, atau bahkan puluhan ribu jiwa… dan bahkan di beberapa negara hal itu tidak membuahkan hasil apa-apa, contohnya di Yaman dan Saudi. Kesimpulannya, demonstrasi hanyalah cara yg bersifat zhanni, bukan qoth’i… ini jika kita lihat dari sisi efektivitasnya tanpa memandang syar’i/tidaknya hal tsb. Adapun dari sisi syar’i/tidaknya hal tsb, maka jelaslah bahwa mereka yang menganggapnya syar’i telah keliru besar dlm hal ini, sebagaimana yg telah dijelaskan dlm artikel ‘syubhat-syubhat demonstrasi’. Ini yg pertama.
Yg kedua: Manhaj Salaf tidak akan berubah dengan berubahnya sikap orang-orang yg mengaku sbg Salafi. Ingat, manhaj salaf bukanlah salafiyyin; sebagaimana Islam bukanlah muslimin. Ada di antara kaum muslimin yg fasik dan bejat, namun ada pula yg shalih dan bertaqwa. Demikian pula salafiyyin, ada yg baik dan ada yg jelek, sedangkan Islam dan manhaj salaf sedikitpun tidak ada yg tercela, alias semuanya baik. Jadi, kalau ada sekelompok orang yg menamakan dirinya salafiyyin, atau dijuluki sebagai salafiyyin, lalu mereka berubah haluan… ini sama sekali tidak berarti bahwa manhaj salaf-nya berubah haluan. Sama sekali tidak. Yg berubah haluan adalah ijtihad sebagian salafiyyin yg mungkin awalnya menganggap demonstrasi tidak boleh, lalu karena satu dan lain hal lantas membolehkannya. Ini tidak mengubah status hukum demonstrasi itu sendiri. Contohnya ketika seorang Imam seperti imam Syafi’i yg awalnya menganggap bahwa hukum perbuata A adalah haram, kemudian beliau berganti ijtihad dan memakruhkannya atau membolehkannya. Apakah berarti hukum masalah itu di mata syari’at juga berubah? Tidak, namun ia hanya berubah di mata imam Syafi’i… bahkan bisa jadi sebagian ulama yg mengaku bermadzhab syafi’i tetap berpendapat bahwa hal itu haram walaupun imamnya telah berubah ijtihad. Demikian pula dengan masalah pemilu, demonstrasi, dan semisalnya yg tak lepas dari ijtihad; yg bila benar maka mujtahidnya mendapat dua pahala, dan bila keliru maka hanya satu pahala. Pun demikian, kebenaran tidak mungkin berpihak kepada semua mujtahid, alias tidak mungkin semua pendapat hasil ijtihad yg saling bertolak belakang bisa dibenarkan, yang benar hanya salah satu: Demonstrasi itu Haram, atau demonstrasi itu boleh. Akhirnya, kita kembali lagi kepada dalil bukan…? Mana yg lebih kuat. maka itulah yg kita ikuti, walaupun si fulan dan fulan telah berubah pendapat. That’s it…
Assalamu`alaikum sebenarnya ana gak mau ngurusin ini dan malu rasanya bertanya yang sama2 saja tapi karena banyak muncul berita syubhat ttg bolehnya ikut pemilu dan demokrasi oleh Syaikh Mamshur dan Ali Hasan sbg contoh
Ikhwan Boikot, Salafi Yordan Malah Serukan Ikut Pemilu
Hasan Salman dan Ali Halabi berpendapat bolehnya mengikuti pemilu, menurut mereka, hal ini sesuai dengan pendapat Al Albani
Hidayatullah.com–Kelompok Muslim Yordan yang menamakan komunitas mereka sebagai Salafi, masuk kepada perdebatan runcing, mengenai boleh tidaknya berpartisipasi dalam Pemilu parlemen Yordan pada bulan November mendatang. Hal ini terjadi setelah salah satu tokoh mereka Masyhur bin Hasan Alu Salman berpendapat bahwa pemboikotan terhadap pemilu bukan perkara yang terpuji, sebagaimana dilansir Aljazeera.net (26/10).
Masyhur mengkritik pemboikotan Pemilu, dengan mengatakan,”Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan.”
Hal yang sama dikatkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi, yang juga merupakan tokoh rujukan dalam komunitas ini. Ia menolak seruan Al Ikhwan Al Muslimun Yordan, yang mensosialisasikan pemboikotan Pemilu mendatang. “Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Ali Hasan kepada Al Jazeera.
Masih menurut Al Halabi, Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu di saat itu, beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab.
“Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti Pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi. [tho/jzr/hidayatullah.com]
Apa tanggapan ustadz ttg hal ini? Ana mohon pencerahan ustadz/
Apanya yg perlu ditanggapi? Mengenai boleh/tidaknya ikut pemilu adalah masalah ijtihadiyah, dan dari dulu memang ada sejumlah ulama salafiyyin yg membolehkan (dengan syarat2 tertentu) seperti Syaikh Utsaimin dan Syaikh Al Albani. Kalau sekarang murid-murid mereka berubah pendapat ya itu wajar-wajar saja, apalagi jika ditinjau dari kaidah: Memilih satu dari dua hal yg paling ringan madharatnya..
Oh ya ustadz,terus ada mengatakan klo salafy itu banyak salah mengira soal IM karena sesungguhnya apa yang mereka lakukan adalah persoalan ijtihad dan ko salafy suka memvonis mereka sesat sih padahal dakwah mereka juga tauhid tapi juga ikut ngurus negara ak ustadz. Bagaimana menurut ustadz.
Ana males njawab nih…
Assalamu`alaikum
Ustadz ana maaf klo pertanyaannya tak bermutu krn ana sendiri baru belajar salaf dan keluar dari IM dalam 1 tahun ini. Jadi maklum ana masih rancu dengan hal2 ini
la ba’sa ya akhi… alhamdulillah kalau antum sdh keluar dari IM.
Ketika Ulama Salafi Mulai Perbolehkan Revolusi & Demonstrasi
Diposting pada Senin, 04-04-2011 | 08:48:14 WIB
Revolusi” Mesir memang sudah berlalu, Mubarak pun sudah lengser dari jabatannya. Namun, ada pelajaran dari peristiwa tersebut. Seorang ulama Salafi Mesir pun angkat bicara tentang revolusi itu. Bagaimana isinya?
Peristiwa “Revolusi 25 Januari” tidak hanya mengubah rezim, namun juga mengubah pandangan yang selama ini digunakan oleh komunitas Muslim yang menamai diri mereka sebagai penganut salaf alias Salafi. “Revolusi Mesir pada tanggal 25 Januari, memaksa mayoritas orang berfikir dan meninjau ulang pemahaman yang mereka miliki, yang sebelumnya pemahaman itu tidak bisa dikritik dan ditinjau ulang, lebih-lebih untuk bisa diubah,” demikian, Khalid As Syafi’i, penulis buku “Ana Wahabi Fa Kana Madza?” (Saya adalah Wahabi, Memang Kenapa?), yang juga berasal dari komunitas tersebut, mengakui hal itu. (onislam.net, 8/3)
Sebab itulah, Khalid menulis otokrotik untuk komunitasnya sendiri, untuk meninjau ulang beberapa pandangan fikih yang sebelumnya digunakan, khususnya dalam masalah hubungan antara hakim (penguasa) dengan mahkum (rakyat). Masuk dalam persoalan ini hukum demontrasi, pemberontakan, serta nahi munkar terhadap penguasa.
Saat demontrasi melawan kezaliman penguasa menyebar di dunia Arab, Syeikh Abdul Aziz Alu As Syaikh selaku Mufti Saudi, yang juga menjadi rujukan dalam komunitas ini, telah mengeluarkan pernyataan dalam khutbah Juma’at (4/2) yang ditujukan kepada para pemuda di berbagai negara, bahwa demonstrasi bisa menyebabkan timbulnya fitnah dan kesesatan.
Ia juga menyatakan pandangan dalam masalah fikih bahwa demontrasi tidak disyariatkan. Mufti juga menyeru agar para pemuda menjauh aktivitas ini.
Namun, pendapat mufti Saudi di atas, tidak sepenuhnya didukung oleh Salafi Mesir. Komunitas Salafi Kairo lebih memilih turun ke jalan bergabung dengan demonstran lain di lapangan Tahrir. Para tokoh komunitas ini seperti Syeikh Muhammad Abdul Maqsud, Syeikh Nasy’ad Ahmad, Syeikh Fauzi Sa’id, beserta ratusan muridnya ikut bergabung dengan demonstran sepanjang revolusi, hingga Husni Mubarak lengser pada tanggal 11 Februari 2011.
Syeikh Muhammad Hasan yang juga ditokohkan dalam komunitas ini, mengaku di kanal Ar Arabiya, bahwa ia bergabung dengan demonstran di lapangan Tahrir bersama anak-anaknya. Muhammad Hasan juga muncul di kanal Al Mahwar pascatragedi “Rabu Berdarah”, dan menyatakan terang-terangan bahwa pemerintah sudah kehilangan legitimasi.
Ia juga menyatakan bahwa penggunaan kekerasan oleh aparat terhadap demonstran adalah hal yang dilarang syari’at, sebagaimana dinukil onislam.net (26/3)
Sedangkan Syeikh Muhammad Abdil Maqsud dalam sebuah khutbah Jumat juga mengajak jama’ah untuk bergabung dalam revolusi yang ia sebut sebagai revolusi yang diberkahi itu, demikian disebutkan onislam.net (26/3)
Namun, Salafi Iskandariyah berbeda dengan Salafi Kairo. Pada tanggal 8 Februari 2011 mereka mengadakan muktamar untuk menyikapi revolusi Mesir. Hasilnya, mereka akhirnya menyuarakan tuntutan secara terang-terangan kepada pemerintah agar diakhirinya UU Darurat dan dilakukan pembebasan tahanan yang ditangkap tanpa alasan.
Mereka juga menuntut agar penguasaan partai pemerintah Hizb Al Wathani terhadap media diakhiri Di samping itu mereka meminta pengaktifan UU pasal 2, yang menyebutkan bahwa syari’at merupakan sumber hukum, dalam perundang-undangan Mesir.
Mereka memilih tidak bergabung dengan demonstran, karena alasan ikhtilath dan agar rakyat tidak dinilai sebagai radikal, dengan bergabungnya mereka dalam demontrasi. Hal ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Farid, salah satu tokoh Salafi di wilayah pesisir tersebut, sebagaimana disebutkan dalam koran As Syuruq, seperti dinukil oleh Al Mafkarat (6/3).
Namun, bukan berarti demontrasi dilarang mutlak, jika perkara yang dilarang, menurut mereka, seperti ikhtilath tidak terjadi. Sehingga Syeikh Ahmad Farid sendiri menyeru turun ke jalan untuk menuntut agar UU pasal 2 tidak diutak-atik, padahal sebelumnya komunitas sangat antipati terhadap demonstrasi.
Untuk hal ini, Syeikh Ahmad Farid menjelaskan,”Fatwa bisa berubah, sesuai dengan tampat dan waktu. Wasilah untuk mengungkapkan pendapat sekarang sudah jelas, yakni demonstrasi. Undang-Undang memperbolehkan untuk melakukannya. Hal ini bukan termasuk keluar dari hakim.” Sebagaimana dilansir Al Mafkarat (6/3)
Walau tidak setuju dengan demontrasi yang saat itu berlangsung, karena disertai perkara yang menurut mereka dilarang, namun komunitas ini toleran kepada mereka yang memilih turun ke jalan. Dr. Yasir Burhami yang juga ditokohkan dalam komunitas ini menyatakan dalam kanal Al Majdi, bahwa pendapatnya yang tidak mendukung demonstrasi adalah perkara yang benar, tapi memungkinkan untuk salah, demikian juga pendapat tokoh lain yang mendukung demonstrasi. Salah tapi memungkinkan benar. Sebab itu, ia membolehkan penilaian mereka yang wafat dalam peristiwa revolusi sebagai syuhada, sesuai dengan niat mereka, demikian disebutkan taseel.com, (21/3).
Ikut Pemilu Juga Dianjurkan
Syeikh Muhammad Hasan selaku salah satu pembicara menyatakan,”Saya meminta kepada para syeikh kita untuk meninjau kembali, terhadap hal-hal yang telah diterima pada tahun-tahun sebelumnya, seperti masalah pencalonan dalam parlemen dan syura, serta (pencalonan) presiden dan pemerintahan. Saya meminta kepada para syeikh kita untuk berkumpul untuk mengurai masalah ini, agar para pemuda kita terhindar dari fitnah dan bercerai berai.”
Sepertinya, usulan Syeikh Muhammad Hasan kepada para tokoh Salafi untuk mengoreksi ulang pendapat mengenai hukum mengikuti pemilu, mendapatkan sambutan. Syeikh Ahmad Farid, yang juga salah satu tokoh komunitas Salafi Iskandariyah juga menyatakan bahwa pembentukan partai politik masih merupakan kemungkinan-kemungkinan. Demikian dikutip Al Mafkarah (6/3), dari Koran As Syuruq. Hal ini menunjukkan tekad komunitas ini berpartisipasi dalam pemilu.
Respon terhadap usulan itu semakin besar dengan berkumpulnya para tokoh Salafi yang tergabung dalam jama’ah Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah untuk membahas hukum berpartisipasi dalam pemilu.
Akhirnya, pada tanggal 12 Maret 2011 Anshar As Sunnah Al Muhammadiyah Pusat secara resmi mengumumkan pandangan mereka dalam situs resminya, elsunna.com. Salah satu poin dari keputusan menyebutkan,”Kami tidak melihat adanya larangan syar’i untuk berpartisipasi dalam perpolitikan, baik di parlemen, syura, serta parlemen lokal, karena hal itu merupakan wasilah dakwah kepada masyarakat umum.”
Demikian juga, mereka menyarankan agar para dai tidak mencalonkan diri, hingga menyebabkan aktivitas dakwah terganggu. Disamping itu, himbauan ditujukan kepada umat Islam agar dalam pemilu penentuan presiden, mereka memilih calon yang paling memiliki perhatian kepada urusan umat Islam.
Keputusan ini hasil dari musyawarah Ahli Syura jama’ah ini, diantaranya adalah Dr. Abdullah Syakir, Syeikh Muhammad Husein Ya’kub, Syeikh Muhammad Hasan, Dr. Jamal Al Murakibi, Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Abu Bakr Al Hanbali, Syeikh Wahid Abdussalam Bali, serta Syeikh Jamal Abdurrahman.
Dianut Tokoh Salafi Yordan, Bahrain & Kuwait
Sebenarnya, pendapat bolehnya mengikuti pemilu bukan hanya pandangan sejumlah tokoh Salafi Mesir pasca revolusi saja. Sebelumnya beberapa tokoh Salafi di luar Mesir juga telah meninjau ulang pendapat yang mereka anut mengenai pemilu. Dua tokoh Salafi Yordan yang saat ini masih dijadikan rujukan sebagian komunitas Salafi Indonenesia, yakni Syeikh Ali Al Halabi dan Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman telah menyatakan bahwa berpartisipasi dalam pemilu merupakan hal yang dibolehkan, sebagaimana dilansir Al Jazeera (26/10).
“Sesungguhnya Salafiyin tidak mendukung pencalonan untuk Pemilu, namun mereka memandang bahwa memilih siapa yang lebih utama dan lebih baik serta paling banyak positifnya dan paling minim negatifnya untuk maslahat umum adalah hal yang diperbolehkan.” Kata Syeikh Ali Hasan kepada Al Jazeera.
Masih menurut Syeikh Al Halabi, “Syeikh Al Albani juga memiliki pendapat membolehkan berpertisipasi dalam Pemilu, di saat itu beberapa muridnya menyeselisihi dengan dengan menggunakan adab. Hari ini, sebagai dampak dari perkembangan pemikiran dan memandang sebagai maslahat umum, kami kembali kepada pendapat Syeikh Al Albani, tentang bolehnya mengikuti pemilu parlemen.” Ungkap Al Halabi
Demikian pula Syeikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan, “Pemerintah telah meminta kepada kalian untuk mengikuti Pemilu, dan hal itu bukanlah keharaman. Janganlah kalian melakukan pemboikotan. Pemboikotan bukanlah ibadah. Adalah orang yang salah jika ia berfikir melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan pemboikotan”
Namun, perubahan pendapat beberapa tokoh Salafi Mesir dan Yordan masih terhitung “lambat” dibanding saudara-saudara mereka di Kuwait dan Bahrain. Di Kuwait, At Tajammu’ As Islami As Salafi telah bergabung dengan parlemen. Sebelumnya, tahun 1981 komunitas Salafi yang saat itu diwakili Ihya’ At Turats memboikot pemilu, namun setelah itu mereka bergabung dalam parlemen.
Walau dalam situs resminya ( alislami.org), Khalid Sulthan, salah satu anggota parlemen dari At Tajammu` menyatakan bahwa organisasi itu bukan sayap politik Ihya At Turats. Namun, menurutnya, kedua-duanya adalah Salafi yang tidak bertentangan satu sama lain.
Sedangkan di Bahrain, komunitas Salafi juga sudah bergabung dengan parlemen. Di bawah komando Syeikh Adil Al Mua’wwidah, pada 6 Mei 2002, didirikanlah Al Ashalah Al Islamiyah, organisasi politik yang pada pemilu tahun 2010 lalu memperolah 4 kursi.
Sikap Salafi Al Jazair & Mereka yang Tidak Setuju
Berbeda dengan Mesir, Kuwait, Bahrain dan Yordania, seorang tokoh Salafi yang berpengaruh di Aljazair mengeluarkan fatwa setebal 48 halaman tentang demokrasi.
“Sepanjang pemimpin negara adalah seorang Muslim, kalian harus mematuhi dan mendengarkannya. Orang yang menentangnya hanya mencari peluang untuk menggantikan posisinya, dan hal itu tidak dibenarkan,” demikian antara lain bunyi fatwa Syeikh Abdul Malik Ramdani yang kini tinggal di Arab Saudi.
Saat melakukan unjuk rasa, kata Syeikh Ramdani, pria dan wanita bercampur baur dan kondisi seperti itu dilarang menurut aturan Islam.
Syeikh Ramdani yang kabarnya memiliki ratusan ribu pengikut, hijrah ke Arab Saudi setelah mendapat ancaman dari kelompok lain. Negerinya Aljazair diguncang gelombang protes sejak bulan Januari, akibat melonjaknya harga-harga bahan pangan.
“Unjuk rasa adalah sebuah alat yang diciptakan sistem demokrasi yang bertentangan dengan Islam,” katanya, sebagaimana dikutip Gulf News dari Reuters (16/3)
Dalam menghadapi pemimpin Muslim yang tidak disukai, umat sebaiknya berdoa dan bersabar serta tidak melakukan pemberontakan, ujarnya.
Di Mesir pun, tidak seluruh tokoh ulama Salafi berseragam opini dalam menyetujui aksi demonstrasi dan menasehati penguasa secara terang-terangan seperti yang dilakukan oleh para tokoh, baik dari Kairo maupun Iskandariyah.
Di antara mereka adalah Syeikh Musthafa Al Adawi, Syeikh Mahmud Al Mishri, serta Syeikh Muhammad Husein Ya’kub. Mahmud Al Mishri sendiri sempat menyeru para demonstran untuk meninggalkan lapangan Tahrir.
Sedangkan tokoh yang belum menunjukkan sikap pro atau kontra adalah Syeikh Abu Ishaq Al Huwayyini. Di samping tidak muncul lagi di televisi, telefonnya juga tidak aktif. Sehingga, sampai saat ini belum dikatahui sikapnya mengenai revolusi Mesir, sebagaimana disebutkan taseel.com (21/3)
Walhasil, peristiwa “revolusi Mesir” di samping menjelaskan “peta” komunitas Salafi dalam merespon revolusi, juga menjelaskan adanya perubahan pendapat dalam masalah hubungan rakyat dan penguasa. Kini terlihat, para tokoh Salafi ada yang memandang bahwa demontrasi dan mengkritik pemerintah terang-terangan dibolehkan, tentunya dengan syarat-syaratnya.
Lalu bagaimanakah dengan kaum Salafi di Indonesia? Apakah akan memperbolehkan demonstrasi, revolusi, dan pemilu juga?
(muslimdaily/hidayatullah)
ustadz , ada beberapa pertanyaan
1. Tidakkah lebih baik jika saudara2 kita dipalestin mengungsi kesuatu tempat untuk mempersiapkan kekuatan ? Dari pada tetap bertahan disana , mereka terus disiksa dan dibunuh. bocah2 tahfidz Merupakan aset berharga.
2. Apa rincian status menggambar makhluk bernyawa ? Bagaimana dengan serial kartun dan komik2 yg digandrungi bocah2 seperti naruto , onepiece dll. Apakah statusnya sama haram ? Berarti bocah2 menyukai sesuatu yg haram dong?
Mending 2 kambing tanpa walimahan, dan diberikan mentah-mentah saja karena lebih banyak yg mendapat manfaat dan lebih sesuai dengan sunnah. Walaupun menurut Imam Malik, laki-laki/perempuan cukup satu ekor, dan beliau berdalil dengan sebuah hadits yg bunyinya: (عق النبي عن الحسن والحسين كبشا كبشا) “Nabi mengakikahi Hasan dan Husein masing-masing seekor kambing”.
Assalamu’alaikum… Ustadz… ana mohon pencerahan kembali, ana menyimpan uang di bank untuk keamanan dan kemudahan karena dengan ATM ana bisa menarik tunai kapan saja. Yang ana tanyakan dibuku tabungan cukup jelas mana uang ana dan mana bunga, sebaiknya bunga ini dibiarkan saja tidak usah diambil atau bisa digunakan untuk kepentingan umum… kemudian ditempat ana baru saja ada bank syariah, apakah ana pindahkan tabungan ana ke bank tersebut. mohon pencerahan yang sesuai sunnah sebaiknya bagaimana…! Syukron
Bunga bank jangan dibiarkan, tapi ambil dan pergunakan untuk kepentingan umum (selain yg bersangkutan dengan mesjid), spt pembangunan jalan, selokan, wc umum… dsm. Sedangkan menurut komunitas ulama-ulama India, bunga bank boleh disedekahkan kepada fakir miskin, namun tanpa mengharap pahala.
kalau sudah ada bank syari’ah, ya mending antum pindahkan saja.
Assalamu’alaikum ustad abu yg semoga selalu dijaga Allah Ta’ala.
Perkenalkan ustad, nama saya Farman. Saya dulu seorang syi’ah rafidhah yang begitu ghuluwnya dalam aqidah sesat mereka hingga saya berani menganggap bahwasanya Allah menitis dalam tubuh Ali bin Abi Thalib, selain itu jg saya dulu tak segan-segan mengkafirkan dan melaknat para sahabat Rasulullah, ummahatul mukminin istri2 Rasulullah bahkan saya menganggap Abu Bakar dan Umar -semoga Allah meridhoi mereka- adalah thogut sunni. Na’udzubillah ya ustad. Alhamdulillah skrg saya sudah tobat dari aqidah busuk itu lewat jasa seorang teman yg mengenalkan saya pd ustad Farid Okbah yg kemudian teman saya rajin mengajak saya ke majelis ilmunya ustad Farid dan rekan2nya di yayasan yg beliau pimpin.
Ustad Abu, minta nasehatmu, saya skrg merasa sangat bersalah dan sangat sangat berdosa karena telah berani mengkafirkan para sahabat dan istri2 Rasulullah (bahkan menganggap Abu Bakar dan Umar adalah thogut), bagaimana cara tobatnya ya ustad? Saya benar2 ingin tobat dari dosa2 besar yg saya lakukan di masa lalu saat masih menjadi syi’ah. Apakah saya harus mengulang 2 kalimat syahadat lg? Saya ingin jujur ke ustad, hingga hari ini saya menulis di kolom soal-jawab ini, saya sangat dicekam perasaan berdosa bahkan pernah suatu saat saya menangis hingga ingin bunuh diri namun alhamdulillah pikiran sehat masih menguasai. 1 lg ustad, negara2 mana saja (selain Indonesia) yg sudah mengeluarkan fatwa resmi bahwa syi’ah itu sesat?
Lewat pertanyaan saya ini, saya jg ingin menghimbau pd saudara2ku yg masih berkecimpung didalam dunia rafidhah atau setidaknya bersimpati pd syi’ah. Wahai kawan, tinggalkanlah jalan sesat itu. Sungguh, saya sudah mengalami, menjadi seorang syi’ah adalah kesalahan terbesar dalam hidup saya yg sudah beranjak 35 tahun ini. Sebuah aliran yg sudah jauh keluar dari jalan Islam yg lurus yg telah digariskan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya Shallallahu alaihi wasallam. Janganlah mau ditipu oleh penjahat2 kelamin syi’ah yg sering berkedok cinta ahlul bait yg pd akhirnya menghalalkan mut’ah dengan dalih mut’ah itu dicintai oleh imam2 ahlul bait pdhl mereka bermut’ah hanya untuk memuaskan nafsunya saja. Sungguh, saya sudah melihat sendiri praktek mut’ah mereka, sangat jauh dari tuntunan Islam dan tak ubahnya spt praktek tukar-tukar pasangan seks saja. Allahul Musta’an.
Demikian ustad, saya sangat memohon nasehatmu. Semoga ustad Abu selalu diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala untuk selalu membantah kesesatan aqidah syi’ah, dan semoga ustad Abu selalu istiqomah dijalan manhaj salaf yg lurus. Amin.
Alhamdulillah, senang sekali mendengar ada orang syi’ah yg mendapat hidayah… semoga ALlah memantapkan antum dan kita semua dalam menetapi akidah yg benar ini hingga mati. Adapun perasaan bersalah itu adalah sesuatu yg normal dan menunjukkan bahwa iman antum masih hidup. Seorang mukmin memang selalu dihantui oleh dosa-dosanya ibarat melihat gunung yang akan menjatuhi dirinya, sedangkan orang munafik menganggap dosa-dosanya (yg sangat besar itu) ibarat lalat yang berlalu di depan mukanya. Akan tetapi, jangan sampai dosa-dosa kita menjadikan kita putus asa dari rahmat Allah, karena putus asa dari rahmat ALlah itu lebih besar dosanya dari dosa kita sendiri. Kalau antum sudah benar-benar bertaubat, yakni benar-benar menyesali perbuatan antum dahulu, lalu meninggalkan semua kesesatan tersebut, lalu berjanji untuk tidak mengulangi lagi; maka insya Allah taubat antum telah diterima… Yakinlah bahwa Allah mencintai taubat antum, bahkan lebih dari kecintaan seseorang kepada hewan tunggangannya yg kabur membawa seluruh bekalnya, yang kemudian bertemu lagi dengannya.
Antum tidak perlu mengulang-ulang kalimat syahadat, nanti malah dihinggapi sikap was-was… kalau sudah bersyahadat di awal taubat, maka cukuplah. Kecuali kalau mengulang syahadat ketika diperintahkan untuk itu, seperti saat adzan/mendengar adzan, setelah berwudhu’, dan semisalnya.
Adapun negara-negara yg memfatwakan kesesatan syi’ah ana tidak punya referensi khusus tentangnya. Lagi pula, ukuran sesat tidaknya suatu ajaran bukanlah dari ada tidaknya fatwa negara tertentu ttg ajaran tersebut, namun dari sejauh mana kesesuaian ajaran tsb dengan Al Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih.
Alhamdulillah
Assalamu’alaykum Ustadz,
Bagaimana ta’liq ustadz utk perkataan di bawah ini:
Setiap kali saya melihat sebuah hadis yang dinilai mawdhu’ [palsu] oleh ulama mutaakhirin dan kontemporari, berbagai soalan segera timbul di pikiran saya, “Apa yang menyebabkan hadis ini dinilai seperti itu?” Jika alasannya adalah seorang perawi pendusta [kadzzab] yang terdapat di dalam sanad, maka “apakah setiap hadis yang diriwayatkan seorang pendusta maka otomatik mawdhu’? Apa bukti yang menunjukkan bahawa pendusta ini tengah berdusta?” (http://umarmnoor.blogspot.com/2011/03/hati-hati-dalam-menilai-hadis-palsu.html)
Wa’alaikumussalaam…
Adapun ‘apa yg menyebabkan suatu hadits dinilai maudhu’?’ maka ada banyak sisi, salah satunya dari sisi sanad, yaitu bila terdapat perawi yg dinilai kadzdzab, muttaham bil kadzib, atau matruk; maka derajat haditsnya bisa dianggap maudhu’… terutama bila perawi model itu meriwayatkan dari perawi model yg sama (kadzdzab dari kadzdzab, atau dari muttaham bil kadzib, atau dari matruk. Atau matruk dari matruk, dan seterusnya).
Mungkin anda bertanya: “Apakah seorang kadzdzab harus selalu berdusta?”, jawabannya: TIDAK. Sebagaimana seorang tsiqah juga tidak harus selalu jujur. TAPI, kita diperintahkan untuk beramal berdasarkan ghalabatuzh zhann (dugaan kuat). Artinya, seorang yg pernah sengaja berdusta atas nama Rasulullah (kadzdzab) walaupun hanya sekali, otomatis seluruh riwayatnya tertolak, karena kita tidak bisa aman dari kedustaan lain yg direkayasanya… apalagi bila hadits tsb hanya diriwayatkan dari jalur si kadzdzab tadi, maka demi memelihara keotentikan hadits Nabi dari hadits-hadits palsu, maka hadits orang tsb harus ditolak. Sebab menyandarkan suatu perkataan kepada Nabi memiliki konsekuensi berat, karena berarti menganggap perkataan tsb adalah wahyu yg haq, dan bagian dari syari’at Islam. Bahkan orang yg mengingkarinya setelah tahu hal itu merupakan sabda nabi, dihukumi sebagai kafir. nah, mengingat betapa urgen-nya kedudukan suatu hadits yg dinisbatkan kepada Nabi, maka para ulama demikian selektif dlm menghukumi hadits2 yg ada agar tidak tercampur antara yg maqbul (dpt diterima) dgn yang mardud (tertolak).
Namun, bila si pendusta meriwayatkan sebuah hadits dengan lafazh A, lalu kita mendapati hadits dengan lafazh yg sama yang diriwayatkan dari jalur lain dengan sanad yg bisa diterima, maka redaksi hadits tsb tetap kita terima, walaupun sanadnya yg melalui jalur si pendusta tetap dianggap maudhu’. Jadi, hukum maudhu’ tsb kadang berlaku untuk sanad saja, matan saja, atau kedua-duanya.
Selain sanad, para ulama juga bisa mengetahui kepalsuan suatu hadits dari beberapa sisi:
1. Bila hadits tsb bertentangan dengan nas-nas qoth’i secara diametral dan tidak bisa dikompromikan.
2. Bila hadits tsb tidak ada asal-usulnya.
3. Bila hadits tsb bertentangan dengan akal sehat (bukan sekedar tidak masuk akal, tapi bertentangan dengan akal).
4. Bila bunyinya sangat berlebihan, seperti menjanjikan pahala yg sangat besar untuk amalan yg sangat-sangat remeh.
dll
Bila ingin tahu lebih lanjut, silakan baca Kitab Al Manaarul Munif Fis Shahiihi wadh Dha’ief, tulisan Al Hafizh Ibnul Qayyim Al Jauziyyah.
Jazaakalloohu khoiron ustadz,
Mo tanya lagi masih berkaitan udhhiyyah:
1) Dalam satu keluarga ayah sudah udhhiyyah kambing, bolehkah anaknya yang mampu juga udhhiyyah (tapi si anak belum berkeluarga). Apakah bertentangan dengan hadits nabi menyembelih kambing untuk dirinya dan keluarganya.
2) Seorang anak udhhiyyah kambing bolehkah diniatkan untuk satu keluarga (termasuk ayahnya yang masih kafir)
Mohon pencerahannya!
1. Khoirul Hadyi Hadyu Muhammadin Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebaik-baik tuntunan, adalah tuntunan Rasulullah.
2. Itu niat yg tidak benar, sebab orang kafir tidak akan mendapat pahala sama sekali….. Cukup niatkan untuk keluarga yg muslim saja. Tapi kalau mau menghadiahkan sebagian dagingnya untuk si Ayah ya silakan, itu bagus.
barokalloh fiik ustadz untuk jawabannya
semoga Alloh Ta’ala memberikan kemudahan bagi ustadz di madinah sana
saya juga ingin ke timur tengah untuk memperdalam Islam dan membacakan hafalan Quran ke Ulama
afwan ustadz, mohon masukan cara belajar bahasa arab yang efektif, mengingat saya sudah 24 tahun dan baru belajar
jazakalloh khoir, barokalloh fiik
Assalamu’alaikum… Ustadz. Ana mohon pencerahan, Insya Allah Ana dan Isteri tahun depan mau menunaikan Ibadah Haji, mohon do’a nya. Yang ana tanyakan adalah tetangga ana pesan dan titip barang untuk ditinggal disana seperti foto dan benda lainnya, pesan kirim salam kpd Rasulullah SAW. memberi amplop/uang supaya dibawa kesana. tradisi seperti ini sungguh merepotkan. Bagaimana ana harus bersikap supaya tetangga juga tidak tersinggung. Mohon pencerahan. Syukron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah. Semoga Allah mempermudah ibadah haji kalian. Itu tradisi konyol (titp benda/uang untuk ditinggal di sana) dan mubadzir, kita tidak boleh melakukannya karena berarti tolong menolong dlm hal yg terlarang. Apalagi kalau didasari i’tikad/keyakinan tertentu, maka ini menjadi khurafat dan bid’ah yg lebih besar lagi dosanya. Titip salam kepada Rasulullah juga tidak ada dasarnya, bahkan ini bertentangan dengan perintah beliau yg menganjurkan agar setiap muslim bershalawat dan salam langsung tanpa perantara, sebab Beliau mengatakan bhw Allah telah menugaskan malaikat-malaikat yang berkeliling untuk menyampaikan salam umatnya kepada beliau.
Kalau antum memang direpotkan oleh tradisi spt itu, maka antum harus berani mengambil sikap… katakan dengan terus terang bahwa hal itu adalah tindakan yang:
1. Mubadzir, dan pelakunya berarti menjadi saudaranya setan.
2. Tidak ada manfaatnya, dan melakukan hal-hal spt ini bertentangan dengan sifat seorang mukmin (lihat: Al Mukminun: 3).
3. Merepotkan sesama muslim, dan ini sesuatu yang terlarang dalam agama.
4. Bisa jadi termasuk bid’ah dan khurafat, yg ini lebih haram lagi di mata syari’at, dan sama sekali tidak boleh dituruti. Walaupun tetangga sendiri.
Beri pengertian spt itu dengan baik dan tegas, jangan terlalu ‘pekewuh’ nanti antum sendiri yg repot… masalah kronis orang jawa adalah ‘pekewuhan’, takut orang lain tersinggung, dst… kalau sudah masuk kepada daerah batil ya tetap harus kita tolak dan hindari, walaupun tetangga akan tersinggung. Itu salah dia, bukan salah kita. Kita kan tidak memaki2 dia, tapi hanya menolak permintaan dia yg tidak ada manfaatnya, tidak ada dalilnya, dan bahkan hanya merepotkan kita… masa’ dia pantas tersinggung karena itu? Ya bener aja donk… Mafhum ya akhi?
assalamualaikum
ustd mau tanyawasiat org yg sudah meninggal agar di di kurbankan sampai 7 kali apa wasiatnya harus di laksanakan…?trus kalau org yg sdh wafat apa boleh kita mengurbankannya dan apa hukumnya ?
jazakallahu khairan
Wa’alaikumussalaam…
Kurban adalah ibadah yg pelaksanaannya harus mengikuti tuntunan Rasulullah. Beliau tidak pernah mengajarkan hal-hal spt itu. kalau mau berwasiat ya berwasiatlah yg sesuai tuntunan, spt mewakafkan sesuatu, bersedekah, dan semisalnya. Adapun menyuruh ahli waris agar berkurban sampai tujuh kali adalah sesuatu yg ana khawatirkan sebagai bid’ah. Karenanya, dari pada begitu, mending belikan aja tujuh ekor kambing lalu antum sembelih atas nama orang yg bersangkutan, dan bagikan dagingnya ke fakir miskin. Lakukan hal tsb di antra tanggal 1 sampai 10 Dzulhijjah (silakan pilih). Kalau antum memilih pd tanggal 10, maka niatkan sebagai sedekah, jangan sebagai kurban.
Mengapa ana anjurkan agar melakukannya di antara tanggal 1-10? karena sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah waktu beramal yg paling dicintai oleh Allah. Tidak ada amalan yg mendapat pahala dan lebih dicintai Allah melebihi amalan hari-hari tsb.
Tapi harap diingat, bahwa jika wasiat tsb nilainya melebihi sepertiga dari total harta warisan, maka selebihnya tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan izin seluruh ahli waris.
Misal: Si A mati meninggalkan uang 15 juta dan berwasiat agar disembelihkan 7 ekor kambing sebagai sedekah atas nama dirinya. Nah, jika ternyata harga 7 ekor kambing adalah sekitar 7 juta, berarti wasiat ini telah melebihi sepertiga harta warisan yg ditinggalkannya. Sehingga yg boleh dilaksanakan hanya sepertiganya (lima juta), kecuali bila ahli waris merelakan hal tsb.
Assalamu`alaikum
Ustadz,ana seorang mahasiswa S-1 Fakultas Ekonomi di sebuah PTS Jakarta,nah yang mau tanyakan adalah apabila ana mau membayar uang kuliah atau perkara yang berhubungan dengan admistrasi harus menyetor sejumlah uang ke rekening sebuah bank konvensional baik melalui teller,Internet Banking,atau ATM dan slip pembayaran,softcopy bukti pembayaran dari Internet Banking, atau struck ATM dijadikan sebagai lampiran dalam daftar ulang atau daftar laboratorium yang sesuai peraturan kampus,nah yang ana tanyakan adalah bolehkah ana menyetor uang ke rekening PTS di bank konvensional tersebut? Mohon penjelasana ustadz.
Wa’alaikumussalaam. kalau sekedar bayar uang kuliah via bank, maka tidak mengapa karena tidak ada unsur riba di sana. Demikian pula sekedar menyimpan uang tanpa mengambil bunga-nya, dalam kondisi darurat hal itu juga dibolehkan. Namun kalau bisa menggunakan jasa bank syari’ah maka lebih baik, walaupun bank syariah juga belum bebas riba 100%.
assalaamu ‘alaikum
ustadz, ana mau tanya jika qurban kambing usia sekitar 9 bulan, tapi badannya lebih gemuk darti kambing lain usia setahun. Apakah sah qurban yang demikian?
Jazaakalloohu khoiron
Syarat umur kambing untuk udhiyyah (kurban) ialah genap setahun bila jenisnya selain domba, adapun domba maka minimal 6 bulan.
Assalamu’alaykum ustadz,
Begini ustadz saya sekarang mulai menabung yang kelak digunakan untuk beberapa keinginan dimana insyaAllah semua kengingin itu berlandaskan niat yang baik, yaitu:
1. Saya berkeinginan untuk naik haji tapi akan terlaksana jika ternyata orangtua (ibu) & istri juga berkeiginan ikut naik haji.
2. Berdagang/wiraswasta untuk jangka panjang dikarenakan pekerjakan saya adalah kontrak bukan permanen.
3. Renovasi rumah dikarenakan jika tidak direnovasi rumah saya diperkirakan akan runtuh termakan rayap.
Dari ketiga keinginan tersebut mana yang saya dahulukan secara syar’i dan mendapat ridho Allah subhanahu wa Ta’ala.
Jaazakallahu khairan atas respon jawabannya.
Ustadz, ini rada nyambung dengan pembahasan akhi Eddi Pribadi. Terkait dengan itrah ahlul bait Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yg dimaksud dalam hadits, apakah yg dimaksud adalah menghormati hak2 ahlul bait ataukah mengikuti mereka dalam segala hal termasuk agama? Sebab ana pernah mendapat syubhat dari seorg pengikut habaib, bahwa mengikuti ahlul bait (baca : habib) itu wajib sebab merekalah org2 yg sanad guru2nya jelas, jadi agama mereka dipastikan aman.
Yang dimaksud adalah menghormati hak-hak mereka dan menunaikannya sebagaimana yg dijelaskan oleh Abul Abbas Al Qurthubi dlm kitab Al Mufhim, adapun dalam hal agama, maka mereka tak ubahnya seperti para sahabat lainnya… bisa benar dan bisa keliru (ga’ ada jaminan mereka selalu benar). yg benar kita ikuti, yg keliru tidak diikuti. Adapun membawa pengertian hadits kpd mengikuti haba-ib, maka tolong tanyakan kepada mereka siapakah haba-ib yg dimaksud, sebab banyak sekali yg mengklaim dirinya sebagai habib sejak dahulu sampai hari ini… bahkan ada habib yg jadi tokoh PKI (DN Aidit)… ada yg ga’ sholat, suka main perempuan, suka mabok2an (tetangga ana sendiri), dll… Masalah sanad guru2 yg jelas, sama sekali bukan jaminan bhw apa yg diajarkan aman. Bahkan dari dulu banyak hadits yg memiliki sanad yg jelas tapi tetap dinyatakan palsu/batil oleh para ulama… ukuran satu-satunya dalam menilai kebenaran adalah dalil, bukan kehabiban maupun yg lain. Kalau habib-nya benar-benar bermanhaj ahlussunnah wal jama’ah, maka kita akan mencintai mereka dua kali lipat, pertama karena keistiqamahan mereka, dan kedua karena kedekatan nasab mereka dengan Rasulullah.
Ustadz… DN Aidit seorang Ba’alawi?
kalau boleh tau info dari mana ustadz?
coba cek di sini: http://id.wikipedia.org/wiki/D._N._Aidit
memang tidak di singgung-singgung bahwa dia adalah Ba’alawi, tapi marga Aidit (العيديد) adalah marga Ba’alawi. Nama aslinya ‘Achmad’ dan nama Bapaknya ‘Abdullah’, semuanya nama-nama Arab. Tapi lucunya, kalau ada di kalangan mereka yg ga’ beres, buru-buru mereka menafikan nasab orang tersebut dan menganggapnya bukan keturunan Ba’alawi… contohnya dlm artikel berikut: http://algembira.blog.com/2007/05/06/aidid-yang-dicintai-tukang-kebun/
Dan sebaliknya, banyak pahlawan nasional dan tokoh agama di Indonesia yg ‘diklaim’ sbg ba’alawi… contohnya “Pangeran Diponegoro”, “Sunan Kudus”, dan walisongo secara umum… lihat di sini: http://id.wikipedia.org/wiki/Shohibul_Faroji
Padahal muka tuh orang lebih mirip indo dari pada Arab… aneh bin ajaib.
Assalamu`alaikum
Ustadz ana minta tolong bagaimana cara kita bisa memilih buku syar`i,karena kadangkala ana menemukan buku karya seorang syaikh ahlussunnah tapi ternyat kata2 teman2 itu banyak kesalahan akan pemahamannya? Mohon penjelasan dan bantuan ustadz
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Perlu antum ketahui bahwa se’alim apa pun seseorang, pasti dia punya kesalahan dlm pemahaman. Apalagi bila buku terjemahan, maka selain kesalahan asli dari penulisnya, mungkin juga terdapat kesalahan dari penerjemah yg kurang ahli sehingga lebih sulit lagi untuk dihindari. Yang paling baik ialah jangan mencukupkan diri dengan baca buku, sebab kalau ada kekeliruan tidak ada yg mengingatkan. Akan tetapi jika di samping baca buku antum juga menghadiri kajian-kajian ilmiah dan menanyakan hal-hal yg kurang jelas, insya Allah kesalah pahaman bisa diminimalisasi.
Mengingat banyaknya penerbit dan penerjemah yg tidak ana kenal, maka ana tidak bisa merekomendasikan buku terjemahan tertentu sebelum membaca buku tsb, dan ini tidak bisa ana lakukan karena sekarang ana masih di Madinah.
assalamualaikum
saya ahmad dari malang
afwan, apakah ustadz mengetahui komunitas bahasa arab?
bukan dalam dunia maya, tetapi komunitas asli
saya ingin belajar bahasa arab dengan terjun langsung dalam kehidupan sehari-harinya
barokalloh fiik
Wa’alaikumussalaam… semoga Allah memberi taufiq kepada antum untuk belajar bahasa Arab dengan baik dan benar. Sayang, sekarang sudah sangat sulit mencari komunitas Arab yg masih berbahasa Arab, kebanyakan sudah luntur bahasanya, alias tinggal tampang doang yg arab. Tapi kata sahabat ana, di Purwokerto masih banyak yg berbahasa Arab. Coba antum selidiki lebih lanjut.
assalamualaikum ustadz …
ana mau tanya, apa makna itrah atau ahlul bayt dalam hadits2 tsaqalain ..?
ana baca statement seperti ini dalam sebuah milis,
ana copas kan
“Banyak muslim yg tdk tahu bila hadis berpegang pd Kitab Allah dan Sunnah adalah hadis mursal dan diriwayatkan dengan jalan sanad Abu Hurairah ra terdapat dalam Al Mustadrak Al Hakim jilid I hal 93, Sunan Al Kubra Baihaqi juz 10, Sunan Daruquthni IV hal 245, Jami’ As Saghir As Suyuthi(no 3923), Al Khatib dalam Al Faqih Al Mutafaqqih jilid I hal 94, At Tamhid XXIV hal 331 Ibnu Abdil Barr, dan Al Ihkam VI hal 243 Ibnu Hazm. Sementara hadis berpegang pada Kitab Allah dan ahli Bait Rasul diriwayatkan oleh banyak imam hadis seperti Imam Muslim.
Dan diantara perawi lain yang meriwayatkan dengan redaksi seperti itu ialah Al-Darimy dalam Sunan-nya (II : 431 – 432) dengan isnad shahih seperti (terangnya) matahari. Sedang riwayat Imam Turmudzi terdapat kata-kata, wa ‘itraty ahli baity (dan keturunanku [yaitu] ahli baitku [keluarga rumahku]).” Dalam Sunan Turmidzi (V: 663 no. 3788). ”
benarkah statement tersebut ..? terima kasih atas jawabannya.
Hadits tsb memang benar, dan meskipun hadits Abu Hurairah yg mengajak agar berpegang teguh kpd Al Qur’an dan Sunnah itu mursal, namun maknanya PASTI dan YAKIN Shahih, sebab ajakan Nabi agar berpegang teguh dengan Al Qur’an konsekuensinya ialah berpegang teguh dengan seluruh ayat Al Qur’an, yg salah satunya mengatakan (وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا) “Apapun yang dibawa oleh Rasulullah kepada kalian maka ambillah (ikutilah), dan apapun yang beliau larang maka jauhilah”, dan ini juga meliputi Sunnah beliau. Demikian pula ayat yg mengatakan (فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب عظيم) “Mereka yang menyelisihi perintahnya (Nabi) semestinya takut bila kelak tertimpa fitnah atau siksa yang besar”. dan perintah Nabi juga mencakup sunnah beliau.
Intinya, jangan hanya mengambil satu atau dua hadits lalu melupakan hadits-hadits lainnya… itu biasanya dilakukan oleh ahli bid’ah (syi’ah dan semisalnya) yg sukanya memilih-milih dalam beragama, kalau sesuai dengan hawa nafsunya (spt hadits-hadits ttg ahli bait), maka mereka ikuti… namun kalau tidak sesuai (hadits-hadits ttg keutamaan sahabat, Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll) maka mereka tolak… padahal semuanya ada dlm shahihain. Ini kan aneh? Kalau memang mereka mempercayai keshahihan hadits-hadits dlm shahih muslim, maka mereka harus mengambil semuanya, bukan pilah-pilih.
Kemudian, hadits shahih muslim tsb terkenal dengan istilah hadits tsaqalain (dua hal yg agung/berharga). Dalam hadits tsb beliau mengingatkan umatnya agar selalu berpegang teguh thd Kitabullah yg berisi petunjuk… lalu beliau mengingatkan umatnya akan ahli bait beliau (3x). Menurut Al Qurthubi, istilah tsaqal (sesuatu yg berat) itu dipakai untuk mengungkapkan hal-hal yg berat dan sulit dipenuhi haknya, seperti Kitabullah dan ahli bait beliau… keduanya memang harus diperhatikan hak-haknya, dan ini sulit dipenuhi. makanya beliau mewanti-wanti umatnya agar memperhatikan kedua hal tadi. Lalu dalam penghujung hadits tsb, si perawi (hushain bin Sabrah) bertanya kepada Zaid bin Arqam (yg meriwayatkan hadits tsb dari Nabi): ‘Apakah istri-istri beliau termasuk ahli bait-nya?”, “istri-istri beliau termasuk ahli baitnya, namun ahli bait beliau adalah orang-orang yang tidak boleh menerima zakat sepeninggal beliau”, jawab Zaid. “Siapa mereka?” tanya Hushain. “Mereka adalah keturunan Ali, keturunan Aqiel (bin Abi Thalib), keturunan Ja’far (bin Abi Thalib) dan keturunan ‘Abbas (bin Abdil Mutthalib)”, jawab Zaid.
Kalau pun syi’ah berdalih dengan hadits ini, maka ahli bait yg dimaksud tidak hanya yg mereka klaim sbg imam-imam mereka saja… namun seluruh ahli bait beliau.
Assalamu’alaikum warrohmatulloh,
Ustadz -hafizhohulloh-, mohon nasehatnya untuk ana.
Ana cerita dulu sedikit ya ustadz. Ana punya nenek, udh sepuh, klo ana ga salah umurnya udh 80 tahun tp ghiroh untuk belajar agama Islam sangat tinggi. Maklum ustadz, dulu beliau penganut Islam kejawen, beliau punya semboyan sholat boleh, ga sholat jg gpp yg penting berbuat baik pada sesama manusia dan beliau doyan main2 sesajen terutama ketika awal2 bulan puasa dan bulan suro, ktnya waktu itu arwah leluhur pd ngunjungin kita. Na’udzubillah min dzalik.
Namun seiring perjalanan waktu, alhamdulillah beliau bisa meninggalkan ajaran syirik itu dan kembali pada Islam yg sesungguhnya. Kurang lebih 6 bulan yg lalu, beliau ana kenalkan pd manhaj salaf, ana ajari dzikir2 syar’i yg diajarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam lewat hadits2 shahih (sebelumnya dzikir2 beliau bersumber dari ajaran2 guru2 ngaji yg dzikirnya ga jelas dari sunnah atau bukan) dan ana ajari tatacara sholat yg sesuai sunnah (dari buku syaikh Albani) walaupun beliau sudah sulit untuk mengikuti karena sudah sepuh namun alhamdulillah kemauan beliau ternyata besar.
Tp ada yg mengganggu nih ustadz. Beliau ini masih hobi baca surat Yasin tiap malem jum’at dan selepas sholat subuh. Pdhl sudah ana kasihtau jgn mengkhususkan baca Yasin tiap malam jum’at dan ba’da Subuh tp bacalah surat2 Al Qur’an semuanya dan setiap hari, tp beliau berdalih bahwa memang surat yg beliau kuasai hanya surat Al Fatihah dan Yasin. Ana sudah coba ajari beliau ilmu tajwid dari yg ana kuasai namun tampaknya dalam hal ini beliau sulit sekali untuk menguasai karena beliau agak lemah dalam membaca tulisan. Oleh karena itu beliau pernah berkata, “eyang bukannya ga mau belajar ngaji tp umur segini mata udh ga awas lg, makanya eyang cuma baca Yasin aja yg udh eyang kuasai.”
Adik ana pernah memberi solusi untuk memanggil guru ngaji di sekitaran tempat tinggal nenek ana, tp ana tolak karena ustadz2 yg tinggal di lingkungan itu termasuk tipe2 ustadz tahlilan dan yasinan, nanti pasti nenek ana akan diajari surat yasin dan surat yasin lg, dan diajari yg ngga2. Ana pingin mengarahkan nenek ana pd ibadah yg benar2 jauh dari bid’ah karena beliau sudah sepuh, oleh krn itu ana ga pingin beliau diajari oleh ustadz yg ga jelas. Yg ingin ana tanyakan, benarkah sikap ana ini ya ustadz? Karena jikalau ada waktu pun niscaya ana ingin ana sendirilah yg mengajari nenek sebagai bentuk bakti seorg cucu. Sayangnya karena kesibukan kantor dan jarak tempat tinggal yg relatif jauh, maka kadang hanya sabtu/minggu ana sempat main kerumah beliau. Dan apa benar ada rukhshoh untuk org yg sudah sepuh bahwa jika ia memang menguasai surat Yasin saja, maka biarkanlah ia membaca surat Yasin? Karena Allah Ta’ala tidak membebani seseorg melebihi kemampuannya. Dan apa saran ustadz untuk guru ngaji nenek ana? Apa ana harus cari guru ngaji yg bermanhaj salaf?
Waduh, antum ini jangan saklek-saklek gitu kalau sama orang tua. Orang seumur gitu ya susah lah kalau harus diajari surat-surat lain dari nol dan dilarang baca yasin… kalau dia hanya hafal yasin ya sudah, yg penting antum sampaikan agar jangan meyakini bahwa baca yasin malem jum’at adalah sunnah Nabi… silakan baca yasin dan baca surat lainnya juga, spt al ikhlas, al falaq, an naas, al fatihah… dan jangan hanya malem jum’at saja, tapi malem2 lainnya juga. Dengan begitu insya Allah tidak akan menjadi bid’ah. Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’aha…
Na’am ustadz, jazakalloh khoir atas nasehat antum. Alhamdulillah dan patut disyukuri jg sih beliau mau belajar sunnah pelan2 dan meninggalkan yg tidak disyari’atkan.
Ustadz,
Mohon penjelasan lagi dari link dibawah ini:
http://al-fikrah.net/index.php?name=Forums&file=viewtopic&p=674525#674525
Apa benar itu tulisan dari Raja Abdul Azis Bin Abdurrahman Al Sa’ud?, berkaitan dengan perjanjian beliau terhadap Inggris bahwa beliau rela memberikan Palestina kepada Yahudi.
Mohon penjelasannya
Jazakallah
Sebelum menghukumi benar/tidaknya, kita harus tahu dulu dari mana sumbernya?
Ana pribadi sih sangat meragukan hal tsb, sebab Arab Saudi pernah terlibat perang sengit dgn Israel di era 70-an. Sampai sekarang pun rudal2nya mengarah ke Israel kalau sewaktu-waktu ada perang tinggal di tembakkan. Bahkan Raja Faishal bin Abdul Aziz (putera kedua Raja Abdul Aziz) terkenal sangat memusuhi Israel, dan dalam salah satu pidatonya di Univ. Islam Madinah beliau menyatakan sbb:
إخواني: أرجو أن تعذروني إذا ارتج علي، فإني حينما أتذكر حرمنا الشريف ومقدساتنا تنتهك وتستباح وتمثل فيها المفاسد والمعاصي والانحلال الخلقي، فإنني أدعو الله إذا لم يكتب لنا الجهاد لتخليص هذه المقدسات أن لا يبقيني لحظة واحدة على قيد الحياة
Saudaraku sekalian, maafkan saya bila pidatoku kurang lancar, sebab tiap kali kuingat tanah suci kita (baitul maqdis) dilanggar dan dirampas kehormatannya… dan menjadi ajang berbagai kerusakan, maksiat, dan perilaku bejat… (tiap kali mengingat hal tsb) aku berdoa kepada Allah jika memang kita tidak bisa berjihad membebaskannya, maka jangan membiarkanku hidup walau sesaat.
Bahkan ketika diwawancarai oleh salah seorang wartawan asing ttg apa keinginan pertamanya? Beliau menjawab agar Yahudi tidak punya eksistensi di muka bumi…
Jadi, kalau memang surat itu ‘benar’, maka sejarah telah membuktikan sebaliknya… Faham?
Ustadz,
Apa benar Imam Ash-Shon’ani Al-Yamani (penulis kitab Subulus Salam) menarik kembali pujiannya kepada Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab dalam Kitab “ Irsyadu Dzail albab ila haqiqati aqwal Ibn Abdil Wahhab “
Mohon penjelasannya
Jazakallah
Ada sebagian ulama yg membenarkan hal tsb, yang paling awal membenarkannya adalah Asy Syaukani (w 1250 H) dlm kitabnya: Ad Durrun Nadhied, lalu diikuti oleh Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ad Dienul Khaalish, lalu diikuti oleh sebagian ulama kontemporer, dan semuanya taklid kepada pembenaran Asy Syaukani bhw As Shon’ani telah rujuk dari pujiannya thd Muh bin Abdul Wahhab dlm kitab (إرشاد ذوي الألباب إلى حقيقة أقوال ابن عبد الوهاب). Namun ada pula ulama yg membantah habis-habisan dan menganggapnya sebagai kedustaan yg direkayasa oleh salah seorang anak cucu As Shan’ani. Ulama tsb bernama Syaikh Sulaiman bin Sahman yg menulis kitab khusus ttg hal ini. Beliau memastikan bhw As Shan’ani tidak rujuk dari pujiannya dgn beberapa alasan:
1-Beliau telah memuji Syaikh Muh bin Abdul Wahhab dlm salah satu bait dari qasidah (kumpulan syair) beliau yg berjudul Al Qashidah Ad Daaliyah, dan qasidah ini diakui sebagai karya As Shan’ani, yg beliau tulis th 1163 H, sedangkan As Shan’ani sendiri wafat th 1182 H. Beliau kemudian menulis kitab (تطهير الاعتقاد عن درن الإلحاد) yg berkaitan dgn tauhid uluhiyyah, dan mengingkari praktek2 syirik dan penyembahan kubur yg marak terjadi di zamannya. Bahkan beliau menganggap para penyembah kubur sebagai orang kafir asli, dan pendapat beliau ini ‘lebih keras’ dari pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri yg tidak mengkafirkan orang yg thawaf di kuburan Al Badawi karena mereka jahil. Nah, kitab ini ditulis oleh As Shan’ani tahun 1164 H, dan diakui pula sebagai karya As Shan’ani. Sedangkan ucapan yg diklaim sebagai rujuknya As Shan’ani hanyalah sebuah bait dalam sebuah kitab yg masih diperselisihkan kebenaran nisbatnya kepada As Shon’ani. Jadi, ini tidak cukup kuat untuk menggugurkan keyakinan dan pujian beliau thd kebenaran dakwah Syaikh Muh bin Abdul Wahhab.
2.Kitab Irsyad Dzawil Albab tsb baru dikenal setelah As Shan’ani wafat, sedangkan pujian beliau tdh Syaikh Muh bin Abdul Wahhab telah terkenal saat beliau masih hidup dan dinukil oleh Syaikh Muh bin Abdul Wahhab sendiri dlm kitab yg berjudl Mufidul Mustafid. Padahal antara wafatnya As Shan’ani dengan wafatnya Syaikh Muh bin Abdul Wahhab terpaut sekitar 24 tahun… kalaulah As Shan’ani memang benar-benar telah rujuk, maka mengapa hal itu baru tersiar dan terkenal stlh wafat beliau?
3.Kalau pun benar As Shan’ani telah rujuk, maka hal itu tidak memudharatkan dakwah Syaikh Muh bin Abdul Wahhab sedikitpun. Pujian dan hujatan seseorang bukanlah dalil qoth’i dalam menilai kebenaran/kekeliruan suatu ajaran. Yg menjadi ukuran adalah kesesuaian ajaran tsb dengan Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ menurut pemahaman as Salafus shalih. Kalau sesuai ya itulah kebenaran (walaupun orang sedunia menghujatnya), namun kalau tidak sesuai ya itulah kesesatan, walaupun orang sedunia memujinya.
Ass.saya mau tanya gimana cara menyikapi orang kafir yang selalu ingin merampas hak saya tolong dijawab bagi yang ingin memberi solusi . saya sedang stress berat saya pernah mendengar kata bahwa “KESENANGAN ORANG KAFIR HANYALAH SEMENTARA” tetapi sepertinya ia selalu saja mendapatkan apa yang ia mau bahkan milik saya sekalipun tolong berikan solusinya saya sangat membutuhkan aspirasi anda semua terimakasi ASS.
apa status hadits dan penafsirannya yg kira-kira makna nya: ‘tidak akan diterima amal seseorang yg berasal dari pemikirannya sendiri meskipun itu benar (sesuai AlQuran dan Sunnah)
inilah yg dilakukan islam jamaah utk mengunci otak para korbannya. Jadi tidak boleh percaya omongan ulama(yg kita anggap terpercaya) sblm lihat dalilnya.
syukron.
Assalamu’alaykum Ustadz,
Ana ingin bertanya ttg fiqh thalaq.
misal, si suami dalam keadaan marah dan kesal berkata:”klo begitu, kita urus saja perceraian kita”. Si istri yg ragu-ragu dg perkataan si suami, kemudian berkata:”Apakah abang menceraikan saya?”. Si suami menjawab:”tidak”.
Pertanyaannya:
1. Sah kah thalaq utk kasus di atas?
2. Apakah syarat sah nya thalaq, salah satunya adanya keyakinan atau kefahaman pada si istri bahwa dia dithalaq?
Jazakallahu khoyron.
أستاذنا، يتعلق بمسألة مسبوق ائتم بمثله هناك القاعدة تقول: لا قياس في العبادة. وقال الشيخ عبد العزيز الريس في إحدي محاضراته أن هذه القاعدة ليست علي الإطلاق. السؤال: بالتفصيل متي العمل بهذه القاعدة؟ وهل هناك خلاف حتي بني بعض الفقهاء أحكامه في المسائل العبودية علي مجرد القياس؟
أفيدنا مشكورين مأجورين
Assalamu’alaykum
Ustadz ana ingin bertanya
Adakah ayat atau hadits yang secara jelas menceritakan tentang sebab peperangan Rasulullah dengan kalangan kafir? Kebanyakan ayat2 dan hadits2 yang ana baca itu sifatnya muthlaq berisi perintah memerangi orang2 kafir tanpa ada penjelasan yang gamblang tentang sebab2 peperangan tersebut. Apakah disebabkan oleh kekafiran mereka semata [sebagaimana yang diyakini oleh kalangan Hujumiy] ataukah karena mereka mau menyerang kita/menganiaya orang muslim, dll [sebagaimana yang diyakini kalangan Difa’i]?
Nah, kalangan Difa’i [org2 yang percaya bahwa dalam Islam cuma ada jihad difa’i saja] membawa semua ayat2 dan hadits2 tentang peperangan kita dengan kuffar kepada pemahaman sebagai “upaya pertahanan” bukan kita yang semata2 memulai perang disebabkan kekafiran mereka sebab memang ada beberapa ayat yg secara jelas menjelaskan sebab peperangan kita dengan Kuffar yakni mereka [kuffar] yang cari gara2 duluan dengan kita [kaum muslimin]. Sementara -masih menurut klaim kalangan difa’i- di lain sisi tidak ada ayat dan hadits yang secara jelas menjelaskan bahwa peperangan kita dengan kuffar adalah karena kekafiran mereka semata yang ada hanyalah ayat2 dan hadits2 yang memerintahkan untuk menyerang kuffar secara muthlaq tanpa dijelaskan sebab peperangan tersebut maka oleh mereka -kalangan difa’i- hal2 yang belum jelas ini dibawa kepada hal2 yang sudah jelas [yakni sebab peperangan hanya karena sebagai upaya pertahanan sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa ayat] sehingga mereka berkesimpulan dalam Islam hanya ada Jihad Difa’i tidak ada yang namanya Jihad Hujumi/Thalabi.
Adapun ayat2 seperti Al-Baqarah: 193 dan Al-Anfal: 39-40 maka kata “fitnah” disitu ditafsirkan oleh kalangan Difa’i bukan sebagai “syirik” atau “kekafiran” semata tapi “gangguan orang kuffar terhadap kaum muslimin”. Dan mereka juga berkata seandainya kata “fitnah” itu diartikan sebagai “syirik” atau “kekafiran” semata maka tentu Rasulullah tidak akan melarang pasukannya untuk membunuh wanita dan anak2 kafir yang tidak ikut berperang yang dengannya kesyirikan atau kekafiran otomatis masih tersisa dimuka bumi maka tujuan “hatta laa takuna fitnah” tidak tercapai dengan cara seperti ini sebab kesyirikan masih ada di muka bumi dengan tersisanya anak2, perempuan dan bahkan -yg lebih menakjubkan lagi- para pendeta yang tidak ikut berperang dibiarkan hidup tapi kalau kata “fitnah” itu diartikan sebagai “gangguan orang2 kafir terhadap muslimin” maka makna kedua ayat tersebut dengan mudah bisa dipahami.
Dan menurut mereka Ulama yang berpendapat secara gamblang bahwasannya dalam Islam hanya ada Jihad Difa’i saja adalah Ibnu Shalah dalam fatawanya.
Ana mohon jawaban antum tadz. Benarkah yang dijelaskan oleh kalangan Difa’i diatas? Dan seandainya tidak benar apakah ini adalah masalah Khilafiyah yang pantas ditolerir sebab kalangan Difa’i pun memiliki argumentasi yang cukup kuat?
Sekian, Terima kasih…
Ana rasa kedua belah pihak keliru karena masing-masing mengikuti sebagian dalil dan melupakan dalil lainnya. Adapun alasan disyari’atkannya jihad ialah demi menegakkan kalimatullah sebagaimana yg disebutkan dalam hadits shahih, dan demi menghilangkan fitnah. Baikpun fitnah ditafsirkan dengan kemusyrikan maupun gangguan, tidak menjadi masalah selama aturan mainnya diikuti.
Para ulama berbeda pendapat mengenai sebab yang menghalalkan darah orang kafir. Menurut Imam Syafi’i, mereka halal darahnya semata-mata karena kekafiran mereka. Sedangkan menurut jumhur ulama -dan inilah yang didukung oleh dalil-dalil-: orang kafir menjadi halal darahnya karena salah satu dari dua sebab:
1. Memerangi kaum muslimin.
2. Tidak mau tunduk kepada aturan Islam.
Karenanya, saat Nabi melihat mayat seorang wanita di pihak musuh, beliau mengingkari hal tsb dan mengatakan (ما كانت هذه لتقاتل) “Perempuan ini tidak ikut memerangi”. Artinya, dia tidak semestinya dibunuh (walaupun kafir) karena wanita pada dasarnya tidak ikut berperang, namun lelakilah yang berperang. Oleh sebab itu, kaum wanita, anak-anak, tua renta, dan pendeta yg tinggal di biaranya tidak boleh diganggu, sebab mereka semuanya bukan ahlul qital (bukan kalangan yang memerangi kaum muslimin). Kecuali bila terbukti andil mereka dlm perang, baik lewat pemikiran, provokasi, bantuan material, maupun spiritual; maka barulah mereka boleh dibunuh.
Demikian pula kafir Ahli Kitab yang tidak menolak untuk tunduk kepada hukum Islam, mereka juga tidak boleh diperangi selagi mereka tidak melanggar aturan sebagai kafir dzimmi. namun bila mereka menolak untuk tunduk setelah mendapat tawaran dari kaum muslimin, maka mereka boleh diperangi karena alasan yg kedua tadi.
Ala kulli haal, jihad adalah wasilah (sarana) untuk menegakkan Islam dan meninggikan kalimatullah. Yg namanya sarana tentu tidak selamanya mengakibatkan hasil yang sama. Tergantung siapa yg menggunakan, bagaimana penggunaannya, kapan, dan dimana? Ketika ia digunakan oleh orang-orang yg tidak becus menggunakannya, atau digunakan dengan cara yg keliru, atau digunakan di tempat dan waktu yg tdk tepat; maka tidak akan membuahkan hasil yg diinginkan, bahkan menimbulkan berbagai kerusakan.
Karenanya, semua ayat yg berbicara tentang ahkam jihad tidak ada yang mansukh menurut pendapat para muhaqqiqin. Namun masing-masing ayat diamalkan dan berlaku sesuai dengan kondisinya. ketika kaum muslimin lemah, maka kita mengamalkan ayat-ayat yang menyuruh kita bersabar menghadapi gangguan musuh, seperti yg dialami oleh Rasulullah dan sahabatnya tatkala di Mekkah. namun ketika kita sudah memiliki wilayah sendiri dan bisa mempertahankan diri, maka kita mengamalkan tahapan berikutnya, yaitu menyerang balik terhadap musuh yang dahulu pernah menyerang. Dan bila kita memiliki kekuatan lebih besar lagi, maka barulah ‘ayat pedang’ kita amalkan. Adapun sekarang, maka belum waktunya mengamalkan ayat pedang… bahkan jihad syar’i itu sendiri masih diperselisihkan ada atau tidak sekarang. Mereka yg menafikan adanya jihad syar’i hari ini juga punya alasan kuat, mengingat syarat2 jihad banyak yg belum terpenuhi.
قال شيخ الإسلام : (( وإذا كان أصل القتال المشروع هو الجهاد ومقصوده هو أن يكون الدين كله لله وأن تكون كلمة الله هي العليا فمن منع هذا قوتل باتفاق المسلمين وأما من لم يكن من أهل الممانعة والمقاتلة كالنساء والصبيان والراهب والشيخ الكبير والأعمى والزمن ونحوهم فلا يقتل عند جمهور العلماء إلا أن يقاتل بقوله أو فعله وإن كان بعضهم يرى إباحة قتل الجميع لمجرد الكفر إلا النساء والصبيان لكونهم مالاً للمسلمين، والأول هو الصواب؛ لأن القتال هو لمن يقاتلنا إذا أردنا إظهار دين الله )).
Syaikhul Islam mengatakan: “Kalaulah dalil yang mendasari peperangan syar’i adalah jihad, dan jihad itu maksudnya demi meninggikan kalimatullah; maka siapa yang menghalangi tegak dan tingginya kalimatullah boleh diperangi. Inilah yang disepakati oleh kaum muslimin. Adapun mereka (orang kafir) yang tidak menjadi penghalang dan bukan pasukan perang seperti kaum wanita, anak-anak, para rahib, tua renta, orang buta, orang cacat, dan semisalnya; maka menurut jumhur ulama tidak boleh diperangi, kecuali jika ikut berperang dengan lisan maupun perbuatannya. sebagian ulama ada yg berpendapat bahwa semuanya boleh dibunuh semata-mata karena kekafirannya, kecuali kaum wanita dan anak-anak karena mereka merupakan harta kaum muslimin (bisa diperbudak). namun pendapat pertama-lah yang benar (yakni pendapat jumhur), sebab peperangan disyari’atkan terhadap orang yang memerangi kita saat hendak menegakkan agama Allah” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah 28/354).
وقال ابن القيم : (( ولأن القتل إنما وجب في مقابلة الحراب لا في مقابلة الكفر ولذلك لا يقتل النساء ولا الصبيان ولا الزمني والعميان ولا الرهبان الذين لا يقاتلون، بل نقاتل من حاربنا)).
Ibnul Qayyim mengatakan: “Berhubung pembunuhan dibolehkan dalam rangka menghadapi serangan (peperangan), bukan dalam rangka menghadapi kekafiran; maka kaum wanita, anak-anak, orang cacat, orang buta, dan para pendeta yang tidak ikut menyerang (berperang) tidak boleh dibunuh. Yang dibunuh hanyalah yang memerangi kita. (Ahkam Ahlidz dzimmah 1/110).
Assalamualaikum,
Pak Ustadz, ana ada pertanyaan seputar sholat jamaah,
Ana baca di soal jawab ini tentang membaca Al Fatihah dalam sholat dengan cara komat-kamit (menggerakan bibir dan lidah – selanjutnya KK). Apakah saat imam membaca surat Al Fatihah dengan keras, kita (makmum) mengikuti ucapan imam perkata dengan KK, atau perkalimat, atau mendengarkan imam hingga selesai kemudian KK sendiri, atau cukup diam saja mendengarkan Imam dan itu sudah memenuhi syarat sah sholat membaca Al Fatihah.?
Kemudian, apakah bila kemudian imam membaca surat setelah Al Fatihah, kita dengarkan atau bila kita hafal boleh mengikuti dengan KK?
Terakhir Ustadz, setelah imam membaca ‘walaa dhdholiin…’, makmum menjawab ‘Aamiinn’ dengan keras atau pelan saja? Atau tidak perlu disuarakan?
Jazakallahu khoir Pak..
Masalah membaca al fatihah bagi makmum dalam shalat jahriyah, adalah masalah khilaf. Jumhur ulama dari kalangan salaf maupun khalaf mengatakan bahwa bacaan imam sudah mewakili bacaan makmum, kecuali bila si makmum tidak mendengar bacaan tsb. Namun ada sebagian ulama salaf (spt Abu Hurairah) yg tetap menyuruh makmum agar membaca al fatihah walaupun imamnya sudah membaca. Ala kulli haal, bagi yg meyakini wajibnya membaca al fatihah atas makmum dlm shalat jahriyah, maka ia bisa membaca sebelum imam membaca, atau setelahnya, atau bila imamnya membaca dgn tartil, ia bisa mengikuti ayat-perayat dgn komat kamit. Intinya ia membaca al fatihah. Namun bagi yg mencukupkan diri dengan bacaan imam, ya tidak perlu membaca lagi. Kecuali dlm shalat sirriyyah atau saat ia tidak bisa menyimak bacaan imam karena suaranya terlalu pelan misalnya.
Adapun selain al fatihah, maka kewajiban makmum ialah mendengarkan/menyimak bacaan imam. Bukan ikut-ikutan membaca, walaupun ia hafal surat tsb. Sebab Allah berfirman (وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا لعلكم ترحمون) “Bila Al Qur’an dibaca, maka simaklah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat”. Dlm hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah pernah melarang para sahabat yg ikut membaca di belakang beliau. Kata beliau: Jangan lakukan hal itu, kecuali bila kalian membaca Al Fatihah.
Setelah membaca waladh dhaalliin, makmum disunnahkan membaca Amin dengan keras (artinya suara antum bisa didengar orang lain, tanpa berteriak).
Wallaahu a’lam.
Assalamu’alaykum
Ustadz, ana ingin bertanya
Ana termasuk orang yang memegang pendapat Ulama tentang salah satu dhabith tasyabbuh yakni jika adat yang tadinya merupakan ciri khas orang kafir lalu tersebar di kalangan muslimin sehingga adat itu tidak menjadi ciri khas orang kafir lagi maka dalam hal ini jika si muslim melakukan hal tsb dia tidak dianggap tasyabbuh. Ana yakin, antum tentu tahu dhabith ini berserta contoh2nya tadz…
Nah, yang ana tanyakan, dhabith itu -menurut kalangan yang memakai dhabit ini- dikhususkan untuk masalah adat saja. Bagaimana dengan masalah Ibadah tadz? Jika suatu bagian dari agama -bukan adat- yang tadinya ciri khas orang kafir lalu jika hal itu tersebar di kalangan kaum muslimin maka apakah jika ada kaum muslimin yang melakukannya tidak teranggap tasyabbuh lagi? Seandainya tetap dianggap tasyabbuh walau sudah tersebar maka apa alasannya? Bukankah “pokok masalahnya” adalah sama yakni sama2 sudah tersebar sehingga tidak jadi ciri khas orang kafir lagi -adat maupun ibadah-? Lalu kenapa dua hal ini -adat dan ibadah- dibedakan?
Tapi tadz, kalo dhabith diatas tidak dibatasi hanya dalam masalah adat saja maka akan jadi apa agama Islam ini nantinya? Namun kalo jawabannya cuma sekedar “mau jadi apa agama ini nantinya”, apakah ini jawaban yang ilmiah? tentu tidak, makanya ana tanya ke antum. Mungkin antum tahu jawaban beserta argumentasinya…
Intinya ana bingung tadz. Mudah2an pertanyaan ana jelas….
Kalau dalam masalah ibadah jelas tidak bisa diukur dengan ‘sudah tersebar di kalangan muslimin’ ataukah belum. Sebab kalaupun kaum muslimin di seluruh dunia melakukannya, toh yg namanya ibadah itu harus pakai dalil yg sharih dan shahih baru boleh disahkan. Contohnya hal-hal yg berkaitan dengan hari raya… banyak kaum muslimin di dunia yg merayakan tahun baru, valentine’s day, hari ibu, hari ini, hari itu, dsb… ini semua jelas-jelas tasyabbuh bil kuffar, sebab menganggap suatu hari sbg hari raya termasuk ibadah yg harus pakai dalil. Dan Islam hanya mengenal tujuh hari raya saja, yaitu: Iedul Fithri, Iedul Adha, Hari Arafah, Hari2 tasyriq, dan Hari Jum’at. Selain ke tujuh hari tadi, maka tidak boleh dijadikan hari raya (dirayakan tiap tahun/secara periodik), apapun alasannya.
Jawaban: Mau jadi apa agama ini nantinya? juga bisa menjadi alasan penguat akan haramnya tasyabbuh bil kuffar dlm hal ibadah, walaupun ibadah tsb dilakukan oleh kaum muslimin juga, yaitu selama tidak ada dalil yg memerintahkannya. Jadi, bila ini terjadi, maka ibadah tsb dihukumi bid’ah dan tasyabbuh sekaligus.
Perlu dicermati juga, bahwa apa-apa yg telah dinyatakan sebagai tindakan tasyabbuh oleh Allah dan Rasul-Nya, maka selamanya harus dihindari, meskipun hal itu telah ditinggalkan oleh mayoritas orang kafir dan diamalkan oleh banyak kaum muslimin. Contohnya perintah mencukur kumis dan memanjangkan jenggot dengan alasan menyelisihi orang-orang yahudi… atau larangan mengkhususkan hari Sabtu untuk puasa tanpa puasa sehari sebelumnya/sehari setelahnya. Adapun hal-hal yg terjadi kemudian dan tidak ada nas khusus yg menghukuminya, maka inilah yg menjadi medan ijtihad para ulama… spt model2 pakaian, dsb. Understood?
Assalamu`alaikum ustadz ana mau tanya tentang peristiwa mengapa antara sesama ahlussunah di Indonsia saling berpecah belah(seperti saling tahdzir) pasca Jihad di Ambon?
Wa’alaikumussalaam warahmatullah.
Mungkin karena perbedaan persepsi, atau karena masalah pribadi di antara para tokoh yg lalu mengimbas ke anak buahnya… atau karena bisikan setan dan hawa nafsu. Banyak faktor sih, yang penting bagaimana kita memposisikan diri dengan benar. Kalau memang pihak A keliru secara syar’i, ya kita bilang keliru… dengan cara yg baik dan benar, bukan dengan bahasa yg kasar. Ana rasa banyaknya perpecahan ini karena sifat egoisme dan mendahulukan suuzhan kepada sesama muslim tanpa klarifikasi. wallahul musta’an..
USTADZ apakah benar SYARAT sakinah u nikah lagi
1.Suami imam teladan khrismatik,dicintai & dikagumi keluarga,
2.Keluarganya sukses,
3.Fisik prima,
4.Rizki brlimpah,tdk ganggu harta istri pertama,
5.Taat hukum negara via Pngadiln agama u surat nikah,”bgmn adil klau istri 1 ada surat ttpi yg 2 tdk?”,
6.Nasehat Ulama,
7.Ridho ortu,
8,Izin mertua,
9.Izin istri,
10,izin Anak-anak,
11.Mmpersaudarakn istri2,
12.’Istiharah.
!
Ga’ bener tuh, karena sebagian syarat itu konsekuensinya justru membikin suami tidak bisa menikah lagi. Seperti izin istri, ridho mertua, keluarganya sukses… dll. Setahu ana, syaratnya adalah bisa berlaku adil dalam menggilir istri-istrinya, tentunya setelah syarat-syarat nikah lainnya terpenuhi, spt adanya kemampuan menafkahi secara lahir maupun batin.
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
Pak Ustadz ini adalah dalil mereka bid’ah hasanah. Apakah hadis di atas shahih ? Riwayat Siapa ? Kalau begitu memang bid’ah hasanah itu ada ya ?
Jazakallah Khoiron.
Yang harus menyebutkan sumbernya adalah yg berdalil dengan riwayat tsb, jadi antum tanyakan ke mereka: Bagaimana redaksi arabnya, dan kitab mana yg memuatnya? Jangan tanya ke ana.
Perkataan Ibnu Umar tentang shalat dhuha bisa ustdz baca di zadul maad karya Ibnul Qayyim pada topik bahasan shalat dhuha.
أرجو التوضيح وزيادة البيان في هذا
قال مجاهد: دخلت أنا وعروة بن الزبير المسجد، فإذا ابن عمر جالس عند حجرة عائشة، وإذا الناس في المسجد يصلون صلاة الضحى، فسألناه عن صلاتهم، فقال: بدعة، وقال مرة: ونعمت البدعة. (رواه ابن أبي شيبة بإسناد صحيح كما قاله الحافظ في الفتح 3/43).
وروى عبد الرزاق في المصنف (رقم 4868) عن سالم عن أبيه عبد الله بن عمر قال: لقد قتل عثمان وما أحد يسبحها (يعني الضحى) وما أحدث الناس شيئا أحب إلي منها. وإسناده صحيح.
وقال الشعبي: سمعت ابن عمر يقول: ما ابتدع المسلمون أفضل صلاة من الضحى، وسئل أنس بن مالك عن صلاة الضحى، فقال: الصلوات خمسٌ.
أقول وبالله التوفيق: هذه الروايات عن ابن عمر يحمل على البدعة اللغوية وليست البدعة الشرعية، وذلك لثبوت فعلها عن النبي كما في حديث أم هانئ وهو متفق عليه، وثبت أيضا من قوله صلى الله عليه وسلم كما في حديث أبي هريرة في الصحيحين، وحديث أبي الدرداء في مسلم، وحديث أبي ذر في مسلم أيضا، وهذه الأحاديث الثلاثة تفيد الأمر بالمحافظة عليها، ومعلوم أن الأمر بالشيء أقوى من فعله، فأفعال النبي ليست لها صيغة بحيث يفهم منها الاستحباب أو الإباحة أو الوجوب، بخلاف الأمر الذي يقتضي إما وجوبا أو استحباباً. وعلى هذا، فقول ابن عمر في كونها بدعة مع قوله: ونعمت البدعة، يريد بذلك بدعة لغوية نسبية، لأن هذه الصلاة قبل مقتل عثمان لم تكن يفعلها كثير من الناس، لكنها بعد مقتله صار يفعلها المسلمون، فهي بدعة بالنسبة لمن لم يعلم أمر النبي وفعله لها، وهي ليست بدعة في الحقيقة الشرعية. وهذا مثل قول عمر بن الخطاب في جمع الناس في صلاة التراويح، فهو بدعة لغوية نسبية إذ قد فعلها النبي عدة مرات ثم لم يفعلها خشية أن تفرض على أمته، فاستمر الأمر على هذا فترة من الزمن حتى عهد عمر حيث جمعهم على أبي بن كعب، فصارت بدعة بالنسبة لمن لم يعرف حقيقة الأمر.
وإذا سلمنا جدلا أنه يريد بذلك البدعة الشرعية فقد خالفه غيره من الصحابة كأبي هريرة وأبي الدرداء وأبي ذر وأم هانيئ وعائشة حيث يرون استحبابها، والمثبت مقدم على النافي كما هو معلوم، وايضا أن قول الصحابي إذا خالفه غيره من الصحابة، لم يكن حجة.. وقد خالف ابن عمر في حكمه بالبدع جماعة من الصحابة فالقول قولهم لا قوله، والله أعلم (وهذا إذا سلمنا جدلا أنه يريد بذلك البدعة الشرعية) مع كونه لا ينطبق على تعريف البدعة اصلا…
وهناك وجه ثالث للجواب على قوله، بأن يقال أن ابن عمر رضي الله عنهما لم يعلم أن النبي صلى الله عليه وسلم قد صلاها أو أمر بها، ويؤيد هذا الاحتمال ما رواه البخاري في صحيحه عن مورق العجلي، قال: قلت لابن عمر: أتصلي الضحى؟ قال: لا، قلت: فعمر؟ قال: لا ، قلت: فأبو بكر؟ قال: لا. قلت: فالنبي صلى الله عليه وسلم؟ قال: لا إخاله. انتهى. فهذا يدل على عدم الجزم بل هو مجرد الظن منه، ولذا كان يراها بدعة…. هذا والله أعلم. هل بقي لديك إشكال يا شيخنا؟
Tadz,
Jadi maksudnya apa Ibnu Umar menyebut shalat dhuha sebagai “bid’ah” karena sekedar shalat dhuha? bukan seperti yang disebutkan oleh akh Ridho, yaitu bid’ah karena dikerjakan secara berjama’ah?
Agaknya Ibnu Umar mengatakan demikian karena tidak mengetahui adanya hadits-hadits yg menyebutkan bhw Rasulullah melakukan shalat dhuha atau memerintahkannya, akan tetapi beliau tidak berani menafikan masyru’iyyah shalat dhuha tsb secara pasti. Oleh karenanya, ketika ditanya apakah Umar melakukannya, beliau jawab: “Tidak”. Apakah Abu Bakar melakukannya? Beliau jawab: “Tidak”. Lalu saat ditanya apakah Rasulullah melakukannya? Kata beliau: “Saya rasa tidak”.
Nah, berangkat dari sini, maka bisa dimaklumi bila beliau menganggapnya sebagai ‘sebaik-baik bid’ah’, saat melihat banyaknya orang yg melakukannya setelah terbunuhnya Utsman. Ala kulli haal, bid’ah yg beliau maksudkan bukanlah bid’ah dlm pengertian syar’i, namun bid’ah secara bahasa yg sifatnya nisbi… artinya bagi beliau yg tidak mengetahui perintah utk shalat dhuha, itu ibarat sesuatu yg baru… namun pada hakikatnya shalat dhuha bukanlah bid’ah sama sekali, sebab Nabi pernah mengerjakannya sbgm dlm hadits Ummu Hani’ binti Abi Thalib dlm Shahihain, yakni ketika Fathu Makkah, beliau shalat 8 roka’at di waktu dhuha. Beliau juga memerintahkannya kepada sejumlah sahabat dgn perintah yg mengesankan agar shalat dhuha dilakukan rutin, spt dlm hadits Abu Hurairah dan Abu Darda’. lalu dalam hadits Aisyah disebutkan bhw walaupun beliau (Aisyah) tidak pernah melihat Rasulullah shalat dhuha, akan tetapi Aisyah tetap shalat dhuha, alasannya karena Rasulullah terkadang sengaja meninggalkans sesuatu yang sebenarnya ingin beliau lakukan, karena khawatir diwajibkan atas umatnya.
Maksud ibnu Umar bukanlah shalat dhuha berjama’ah, namun beliau melihat banyak orang yg melakukan shalat dhuha di waktu itu… ini tidak berarti mereka melakukannya secara berjama’ah. Jadi yg beliau anggap bid’ah paling baik adalah pelaksanaan shalat dhuha itu sendiri.
Assalamu’alaykum Ustadz-hafidzakallahu-
Ana ingin bertanya tentang hal2 mengenai wanita:
1. Bolehkah wanita menjadi anggota dewan syuro?
2. Di surga, manakah lebih cantik, wanita dunia atau bidadari surga?
Jazakallohu khoyron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakatuh.
Jawab:
1. Tidak boleh, sebab konsekuensinya dia akan banyak melakukan pelanggaran syar’i, spt ikhtilat, banyak keluar rumah, dsb, apalagi Nabi telah menyatakan bhw suatu kaum yg menyerahkan keputusannya di tangan wanita (mengangkatnya sebagai pemimpin) pasti tdk akan beruntung. Nah, dlm praktik demokrasi yg ada, hal ini tidak mustahil terjadi, terutama bila jumlah wanita cukup banyak.
2. Wallahu a’lam… ana cuma berpikir bagaimana selamat dari Neraka, itu dulu… selanjutnya mau kemana tidak terlalu ana pikirkan.
Baru2 ini ana mendapatkan berita bahwa Raja Arab Saudi membolehkan wanita ikut menjadi anggota dewan syuro Arab Saudi.
Benarkah hal ini mendapat persetujuan dari para ulama senior di sana?
Mohon informasinya.
Ana yakin itu tidak mungkin disetujui oleh ulama-ulama senior di sana (ulama sesungguhnya, bukan yg dicap ‘ulama’ oleh media massa), jangan percaya dengan pemberitaan media massa, sebab mereka selalu berusaha menyudutkan para ulama.
Ustadz ana mau tanya, + penjelasan ya, kl antum punya link yang udah ada pembahasannya boleh langsung linknya
1. Saat kita sholat munfarid/sholat fardhu yg bacaannya tidak dikeraskan, cara bacanya bagaimana? cukup di hati atau menggerakkan bibir juga? atau dibaca lirih?
2. hukum main kartu dan monopoli tanpa ada judi bagaimana?
3. jenis-jenis najis + contoh-contohnya
jazaakallaahu ahsanul jaza’ yaa ustadz
1. Yg namanya membaca itu harus diikuti gerakan bibir dan lidah, walaupun tanpa mengeluarkan suara. Adapun membaca ‘dalam hati’ tanpa gerakan bibir sama sekali, adalah kekeliruan fatal yg sering dilakukan oleh banyak orang awam… sebab kalau tanpa gerakan bibir/lidah, berarti tidak dianggap membaca. Ini yg pertama. Adapun terkait bagaimana cara membacanya, ya baca saja dengan komat-kamit atau dengan suara lirih yg hanya terdengar oleh antum tanpa mendesis sehingga tidak mengganggu konsentrasi jamaah di sekitar antum.
2. Sebelum menjawab pertanyaan, ana ingin menasehati terlebih dahulu… ingatlah firman Allah tentang sifat-sifat kaum mukminin yg beruntung, yaitu dalam surah al Mukminun ayat 3 (والذين هم عن اللغو معرضون), artinya, kaum mukminin yg beruntung ialah mereka yang meninggalkan segala perkataan dan perbuatan yg tidak mengandung kebaikan…. renungkanlah baik-baik makna ini sebelum antum memutuskan untuk main kartu, monopoli, dsb.
Kedua: Permainan adalah masalah muamalah yg hukum aslinya dibolehkan SELAMA tidak mengandung hal-hal terlarang, yaitu:
1-Tidak ada unsur taruhan.
2-Tidak berlebihan sehingga membuang-buang waktu.
3-Tidak melalaikan pelakunya dari kewajiban (baik ibadah wajib atau pekerjaan wajib).
4-Tidak menggunakan gambar manusia/makhluk bernyawa yg menampakkan wajah, jadi kalau ada wajahnya harap dihapus/dipotong dulu.
5-Tidak disertai dengan kata-kata/perbuatan munkar, dan tidak boleh menyulut kebencian bagi yg kalah bermain.
kalau semua kriteria ini bisa dipenuhi, maka main kartu hukumnya boleh. kalau tidak, maka tidak boleh.
CATATAN:
A. Khusus permainan monopoli, ular tangga, dan semisalnya yg menggunakan dadu, maka hukumnya haram. Sebab Nabi mengatakan: “Siapa yg bermain dadu sekan mencelupkan tangannya ke dalam darah dan daging babi” (HR. Muslim). An Nawawi mengatakan: “Artinya mencelupkan tangannya saat memakan daging tsb, jadi ia haram seperti haramnya daging babi”. Permainan dadu ini tetap haram walaupun tanpa imbalan (hadiah/kompensasi), adapun dengan imbalan maka lebih haram lagi.
B. Sebagian ulama kontemporer mengatakan bahwa permainan dadu yg diharamkan lewat hadits Nabi tadi, bertumpu pada ‘mengadu nasib’ atau ‘untung-untungan’. Berangkat dari sini, maka semua permainan yg sifatnya untung-untungan bisa dikiaskan kepada main dadu, apalagi yg jelas-jelas pakai dadu. Contoh permainan yg sifatnya ‘adu nasib’ tanpa pakai dadu adalah: DOMINO, dan KARTU.
C. Para ulama sepakat akan HARAMNYA permainan catur YG DILAKUKAN DENGAN IMBALAN (seperti lomba catur, taruhan, dan semisalnya). Adapun tanpa imbalan, maka hukumnya berkisar ANTARA MAKRUH HINGGA HARAM. Yg MENGHARAMKAN adalah jumhur ulama (Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal), sedangkan Imam Syafi’i menganggapnya Makruh.
3. Najis dari sisi berat-ringannya, terbagi menjadi: Najasah mukhaffafah (najis ringan) seperti kencing bayi laki yg belum makan apa2 selain ASI, cara membersihkannya cukup diciprati dan dibasahi dengan air tanpa harus dikucek. Kemudian najasah mughalladhah (najis berat) seperti air liur anjing, babi, dan keturunan dari keduanya/salah satunya (bila menjilat bejana maka dicuci tujuh kali, salah satunya pakai tanah). ada pula najis2 yg sedang (mutawassithah), yakni selain kedua najis pertama, spt kencing manusia dewasa/bayi perempuan/bayi yg sudah makan, kotoran manusia, kotoran hewan yg haram dagingnya, darah haid & nifas, madhi (cairan putih yg keluar saat syahwat mulai bergelora namun sebelum keluarnya mani, dan ketika keluar tidak membikin syahwat tsb hilang), demikian pula wadi (cairan putih kental yg keluar setelah kencing, biasanya karena musim dingin, atau karena ada peradangan), demikian pula bangkai selain ikan dan belalang, dan nanah. Cara membersihkannya ialah dengan menghilangkan dzatnya dengan dicuci. Akan tetapi khusus darah, nanah, dan cairan yg keluar dari luka/bisul, jika hanya sedikit maka dimaafkan, alias tidak harus dibersihkan.
Ustadz, bukankah catur terdapat dalil khusus yg mengharamkannya?
Ana mau nambah pertanyaan, di dalam permainan monopoli/ular tangga terdapat dadu. Apakah hal ini termasuk dalam larangan bermain dadu?
Mohon pencerahannya.
dalil khusus ttg catur yang berupa hadits Nabi semuanya dha’if, yg ada hanyalah atsar dari sebagian sahabat bahwa ia melarang permainan catur. hal ini dinyatakan oleh sejumlah ulama spt: Ibnul Qayyim dlm Al Manarul Munif, Ibnu Badr Al Mausili dlm Al Mughni, As Sakhawi dlm ‘Umdatul Muhtajj dan Al Maqashidul Hasanah, dll.
Assalaamu’alaikum
Ustadz, di tempat ana banyak orang mencari ikan dengan diberi racun terlebih dahulu ke sungai. bagaimana hukumnya memakan ikan dari cara diracun itu? Apakah hal itu termasuk kaidah “laa dhororo wa laa dhiror”
Jazaakalloohu khair
Wa’alaikumussalaam warahmatullah…
Pertanyaan ini mengandung dua masalah,
Pertama: Hukum menangkap ikan di sungai dengan cara meracuni sungai.
Kedua: Hukum memakan ikan hasil tangkapan tsb.
Untuk yg pertama, ana menganggapnya sebagai perbuatan haram, sebab dengan membubuhkan racun di sungai, air sungai jadi beracun/tercemar… bagaimana jika ada orang yg minum air tsb, kan bahaya? Lagi pula itu akan membunuh bibit-bibit ikan bersama induknya, shg populasi ikan sungai akan segera punah… ini jelas salah satu bentu perusakan lingkungan, sedangkan Allah berfirman: (والله لا يحب الفساد… إن الله لا يحب المفسدين) artiny: “Allah tidak menyukai kerusakan” dlm ayat lainnya: “Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan”.
Perbuatan ini akan semakin haram bila racun tsb bisa mencelakakan manusia (mematikan). Kalau sampai ada korban jiwa gara-gara penggunaan racun tsb, berarti pelakunya dianggap melakukan pembunuhan secara keliru.
Adapun jawaban atas pertanyaan kedua, maka tergantung ada tidaknya pengaruh negatif racun dlm tubuh ikan tsb. Kalau racunnya masih berbahaya maka ikannya tidak boleh dimakan. Tapi kalau tidak, ya boleh dimakan.
Kedua hal di atas (hukum menangkap ikan dan hukum memakannya) bisa dinilai berdasarkan kaidah laa dhororo walaa dhiraar. Namun yg lebih tepat ialah menilai sesuatu berdasarkan dalil qoth’i, yaitu ayat Al Qur’an, hadits Nabi, atau ijma’. Wallaahu a’lam.
afwn ustd…
utk wudhu , kan kita ga boleh baca lafadz Allah di kamar mandi/wc ? kta temen ane cara nya untuk memulai wudhu bawa ciduk berisi air keluar lalu membasuh tangan dan melafadzkan bismillah , setelah itu masuk ke dlm kamar mandi lagi dan melanjutkan wudhu ke mulut , wajah dst. benarkah cara ini…..?
Dari pada begitu, mendingan antum baca bismillah sebelum masuk kamar mandi dengan niat wudhu’. Lagi pula hadits yg mengharuskan bacaan basmalah sblm wudhu’ masih diperselisihkan keshahihannya. Atau antum membaca dengan gerakan bibir tanpa menyuarakan, alias komat kamit. Itu sudah dianggap membaca secara syar’i.
ustadz, ana mau bertanya/minta tanggapan pada antum tentang video ini; http://www.youtube.com/watch?v=GZ6cCRPLWyI&feature=related
yang berisi pendapat Syekh Musthafa Al-Adawi ttg Usamah bin Ladin. Yang unik adalah beliau berpendapat bahwa kalau benar Usamah terbunuh maka dia SYAHID sehingga tidak prlu dishalatkan meski secara gaib dan kalau dia masih hidup mengapa pula kita menshalati orang yg masih hidup? meskipun point dari potongan video ini sepertinya mengkritik yg melakukan shalat gaib terhadap Usamah, namun apakah dapat kita katakan bahwa Usamah itu mati Syahid??
Ana sudah lihat video itu sebelumnya. Sayangnya, banyak orang yg berbicara ttg Bin Laden menggunakan simpatinya. Atau berbicara dengan bahasa yg memiliki dua makna sekaligus: “Mengritik” tapi sekaligus “memuji”. Ini banyak dilakukan oleh orang-orang Haraki (terlepas dari apakah Syekh Musthafa itu haraki atau bukan). Demikian pula pernyataan ust. ABB yg terkenal ketika ditanya ttg trio Bom Bali, dia bilang “mereka itu mujahid tapi salah jalan”.
Banyak dari mereka yang ‘takut’ dianggap pro Amerika jika menyudutkan Bin Laden, atau merasa senang dengan kematiannya… barangkali inilah yg mendorong sebagian da’i-da’i televisi sehingga berkomentar spt itu (memuji sekaligus mengritik).
Namun yg benar ialah menilai seseorang bukan dengan simpati, tapi dengan kaca mata syari’at. Yg namanya jihad itu khan pakai aturan main? Tidak semua perlawanan terhadap orang kafir bisa dinamakan jihad… ada yg jihad, ada yg bukan, bahkan ada yg dinamakan kezhaliman dan pengrusakan. Contohnya yg dilakukan Al Qaeda di Arab Saudi dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya, itu sama sekali bukan jihad syar’i, bahkan kezhaliman yg sangat besar yg mengatasnamakan jihad.
Menurut ana, usamah tidak layak dijuluki sebagai ‘syahid’, karena itu berarti mentazkiyah perbuatan dia selama ini yg telah mendatangkan banyak malapetaka terhadap kaum muslimin, Di Afghanistan dan Irak khususnya, dan di seluruh dunia umumnya.
Tidak semua yg dibunuh oleh musuh / terbunuh di medan perang (walaupun perangnya adalah jihad syar’i) berarti mati syahid. Ingatlah kisah seorang pasukan yg ikut berangkat bersama Rasulullah untuk berjihad, yg tiba-tiba terbunuh akibat ‘panah nyasar’. Ketika para sahabat mengatakan -berangkat dari khusnuzhan dan simpati mereka- : “Alangkah beruntungnya dia mendapatkan mati syahid”. Maka Rasulullah menyanggah: “Demi Dzat yg jiwaku berada di tangan-Nya, mantel yg dicurinya dari harta ghanimah Khaibar sebelum dibagi, kelak akan membakar dirinya!” (Muttafaq ‘alaih). Bahkan Imam Bukhari dalam Shahihnya mengatakan: (باب: لا يقال فلان شهيد) beliau lantas menukil hadits Abu Hurairah bhw Nabi bersabda; “Allah lebih tahu siapa yg berjihad di jalan-Nya, dan Allah lebih tahu siapa yg terluka di Jalan-Nya”. Lalu Imam Bukhari meriwayatkan hadits panjang ttg seorang mujahid yg berjihad di pasukan kaum muslimin dengan keberanian luar biasa, sehingga demikian banyak menewaskan musuh. Para sahabat pun memuji keberanian dan sepak terjangnya… namun Nabi mengatakan: “Dia masuk Neraka !”, maka tergeraklah seseorang untuk menguntitnya, dan ternyata ia mendapati si ‘mujahid pemberani’ tadi dalam keadaan terluka parah, lalu menusuk dirinya sendiri dengan pedang (bunuh diri).
Kalau kita bener-bener mengikuti manhaj salaf, maka tidak boleh sembarangan menyematkan gelar ‘syahid’ kepada orang tertentu kecuali kalau punya dalil qoth’i ttgnya. Adapun sekedar melihatnya terbunuh di medan perang, maka tidak boleh kita cap sebagai syahid, walaupun kita tetap memperlakukan jenazahnya sebagai orang yg mati syahid, alias tidak dishalatkan, tidak dikafani, dan tidak dimandikan. Jadi, beda antara memperlakukan seseorang sebagai syahid, dengan menghukuminya sebagai syahid.
Atau bisa jadi yg dimaksud syaikh Musthafa ialah bhw Usamah bin Laden dicap syahid secara dhahirnya saja (hukum duniawi), adapun di akhirat nanti dia syahid atau bukan wallaahu a’lam. kalau ini yg dimaksud maka kita bisa memaklumi… Jadi dia dianggap syahid dalam pengertian berhak mendapat perlakuan spt orang yg mati syahid dengan tidak dishalatkan, tidak dikafani, dan tidak dimandikan. Barangkali itu maksudnya. Wallahu a’lam.
….
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
Ustad. sebelum syubhat ane mendidih , ane pgn tanya…
1. Taukah ustad tentang organisasi islam HASMI dari yayasan Al Huda , domisili bogor ? ’cause I feel something wrong inside..
2. Ada apa sebenarnya dgn Radio Fajri dan Rodja ? Seperti ada sekat pembeda diantara mereka..
3. Benarkah tdk boleh wudhu dlm kamar mandi ? Lalu bagaimana kalau darurat ?
4. It’s about Antonio Syafi’i (bang anton). Konstribusi apa aj yg ia lakukan untuk ekonomi syariah ? Kata Ustad Arifin Badri perbankan syariah di indo masih NOL BESAR !
sekian dulu.
Syukron , Akhi
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh..
Sayang sekali, ana tidak punya jawaban sedikit pun thd pertanyaan-pertanyaan antum kecuali yg no 3, karena ana berdomisili di Madinah sejak 8 tahun lalu, paling hanya pulang beberapa bulan terus balik lagi… itu pun tidak tiap tahun.
Wudhu di kamar mandi boleh-boleh saja selama kita bisa menghindarkan badan/pakaian dari najis. karena biasanya kamar mandi -terutama wc umum- di Indonesia yg pakai kan ada orang kafir segala yg tidak tahu mana najis mana suci, sehingga banyak najis sisa kencing/kotoran di lantainya. Nah, ketika antum wudhu hati-hatilah agar tidak kecipratan air yg ada di lantai, karena biasanya air tsb najis.
assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.
Ustad. sebelum syubhat ane mendidih , ane pgn tanya…
1. Taukah ustad tentang organisasi islam HASMI dari yayasan Al Huda , domisili bogor ? ’cause I feel something wrong inside..
2. Ada apa sebenarnya dgn Radio Fajri dan Rodja ? Seperti ada sekat pembeda diantara mereka..
3. Benarkah tdk boleh wudhu dlm kamar mandi ? Lalu bagaimana kalau darurat ?
4. It’s about Antonio Syafi’i (bang anton). Konstribusi apa aj yg ia lakukan untuk ekonomi syariah ? Kata Ustad Arifin Badri perbankan syariah di indo masih NOL BESAR !
sekian dulu.
Syukron , Akhi
Afwan, ane pikir ustadz lagi di Indonesia, maklum ustadz sering ke Madinah dll.
Maksud ane Keislaman tentang Orangtua Rasulullah SAW menurut antum bgm? siapa tahu beda lagi.
mengenai “Prediksi Antum” menyatakan “ana adalah SYIAH” adalah salah besar. Hanya ane tidak suka dgn ajaran Salafy Wahaby yang HAMPIR SETIAP MUSLIM/GERAKAN/HARAKAH/PARPOL/JAMAAH YANG DILUAR PEMAHAMAN WAHABY dianggap SESAT ATAU BAHKAN KAFIR.
ketika mereka bicara Qura’an , hadis, dll terkesan ilmunya BANYAK. namun ketika mencela umat Islam lain, maka terlihatlah KEKERDILAN 9SECUIL ILMU) mereka.
paham ustadz….. afwan n wassalamu’alaikum.
dan Buat akh Aryan, syukran komentarnya, antum betul waktu comment ane ga tahu ustadz lagi di luar negeri. salam!
NT bisa buktikan ucapan NT yg ana cetak tebal di atas?
Sebutkan satu saja dari ulama salafy wahhaby (yg bener2 ulama, bukan oknum) yg melakukan hal tsb kepada yg tidak berhak mendapatkannya. Satu saja, dan sebutkan dari kitab mana NT menukil hal tsb…
Oh iya, kalau NT bukan syi’ah, tolong tanggapi dong bagaimana menurut NT ajaran syi’ah yg mengatakan bhw imam terakhir mereka akan membunuh suku Quraisy dengan cara biadab tsb… itu yg bilang tokoh syi’ah sendiri lho (Al Majlisi)…
Bagaimana menurut NT pengkafiran mereka thd seluruh sahabat Nabi kecuali segelintir dari mereka…
Bagaimana menurut NT tuduhan mereka thd Siti Aisyah (Ibumu dan ibunda kaum muslimin) bhw beliau adalah pezina…
Kalau NT masih membela orang-orang spt itu, ya NT adalah bagian dari mereka dan akan mendampingi mereka di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi: (المرء مع من أحب) “Seseorang akan bersama orang yang dicintainya” HR. Bukhari & Muslim. Kalau NT cinta kpd Khomeini, Khamenei, dan tokoh2 syi’ah lainnya, ya NT akan bersama mereka di akhirat… Yg jelas, mereka tidak akan bersama para sahabat Nabi, sebab mereka sangat-sangat membenci para sahabat… jadi simpulkan sendiri, kira2 di mana NT akan mendampingi mereka?
Segeralah taubat sebelum terlambat.
Tolong sebutkan satu saja ulama salafy wahhaby yg mu’tabar, yg mengkafirkan orang-orang/golongan/harakah/jama’ah yg antum maksud. Siapa yg mengkafirkan, dan siapa yg dikafirkan (sebutkan nama masing-masing)?
O iya, kalau NT memang bener-bener bukan syi’ah, tolong tanggapi bagaimana menurut NT ttg imam mahdinya syi’ah yg ‘haus darah’ tsb… sebagaimana yg disebutkan oleh ulama-ulama syi’ah dalam kitab2 rujukan syi’ah… TOLONG JANGAN LARI DARI PERTANYAAN INI.
Bagaimana pula dgn akidah syi’ah yg menganggap bhw Abu Bakar, Umar, Utsman, istri2 Nabi (selain Khadijah), dan mayoritas sahabat Nabi adalah murtad dan kafir???
Bagaimana pula dgn tuduhan mereka thd ummul mukminin (ibumu dan ibunda kaum muslimin) bhw beliau adalah pezina yg kelak akan dikenai hukuman hadd zina oleh si Mahdi??? (hal ini juga disebutkan oleh Al Majlisi dlm kitab yg sama: Biharul Anwar).
Kalau NT masih cinta ama syi’ah dan tokoh2nya, ya NT akan dikumpulkan bersama mereka di akhirat nanti, sebagaimana sabda Nabi: (المرء مع من أحب) “Seseorang akan bersama orang yg dicintainya (di akhirat)” HR. Bukhari dan Muslim. Yg jelas, khomeini, khamenei, dan tokoh-tokoh syi’ah di seluruh dunia sangat memusuhi para sahabat yg telah dijamin Surga oleh Rasulullah (selain Ali bin Abi Thalib), sehingga mereka (tokoh2 syi’ah tadi) tidak mungkin bersama para sahabat di Surga… nah NT bagaimana (kalau tetap seperti itu)? Ya simpulkan aja sendiri…
ehm.. ehm.. ustadz..
sepertinya udah pernah dibahas nih. ana sangat sarankan dalam menjawab komentar2 yg masuk untuk lebih FORMAL. tidak perlu untuk ikut2an mencaps-lock tulisan antum. Karena nanti terkesan oleh pembaca sebagai jawaban yg kasar. jawab saja secara ilmiyah stadz, toh pembaca disini juga udah pinter2. tau mana yang berilmu, mana yg nggak.. kalau komentarnya provokatif, ya jangan di-approve ust..
Shadaqta ya Mahdi, komentar dan tanggapan yg dimaksud udah ana singkirkan karena memang tidak akan dijawab oleh ybs.
Ustadz, bisa beri komentar tentang artikel ini: XXXXXX . Artikel ini cukup meresahkan ana meskipun ana insyaAlloh tidak akan terpancing. Syukron Ustadz. Barokallohu fiik.
Berikut ini adalah tanggapan thd hal-hal terpentig (menurut ana) yg perlu ditanggapi:
Maksud syaikh Utsaimin rahimahullah adalah beliau sampai saat itu belum mengetahui adanya dalil yg mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk paling afdhol SECARA MUTLAK DALAM SEMUA HAL. perhatikan: ‘DALAM SEMUA HAL’. Ini tidak berarti bahwa beliau bukan manusia paling afdhol, dan beliau juga tidak menafikan kalau Nabi adalah manusia paling afdhol secara mutlak dalam semua hal, mungkin saja beliau memang seperti itu, hanya saja syaikh belum mengetahui dalilnya.
Pendapat Syaikh tadi cukup berdasar, karena dalam Shahihain disebutkan (berikut adalah lafazhnya Imam Bukhari):
صحيح البخاري- طوق النجاة (6/ 59)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْيَهُودِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ لُطِمَ وَجْهُهُ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِكَ مِنْ الْأَنْصَارِ لَطَمَ فِي وَجْهِي قَالَ ادْعُوهُ فَدَعَوْهُ قَالَ لِمَ لَطَمْتَ وَجْهَهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي مَرَرْتُ بِالْيَهُودِ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ وَالَّذِي اصْطَفَى مُوسَى عَلَى الْبَشَرِ فَقُلْتُ وَعَلَى مُحَمَّدٍ وَأَخَذَتْنِي غَضْبَةٌ فَلَطَمْتُهُ قَالَ لَا تُخَيِّرُونِي مِنْ بَيْنِ الْأَنْبِيَاءِ فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُفِيقُ فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ الْعَرْشِ فَلَا أَدْرِي أَفَاقَ قَبْلِي أَمْ جُزِيَ بِصَعْقَةِ الطُّورِ
Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallaahu ‘anhu, katanya: Ada seorang Yahudi datang kepada Nabi karena mendapat tamparan di wajahnya. Ia berkata: “Hai Muhammad, salah seorang Anshar sahabatmu telah menampar wajahku”. Kata Nabi: “Panggil orang itu”. Nabi lantas bertanya: “Mengapa kau tampar wajahnya?”. Jawabnya: “Ya Rasulallah, aku tadi lewat di depan orang-orang Yahudi, maka kudengar ia mengatakan: “Demi yang memilih Musa di atas sekalian manusia”. Maka sahutku: “Juga di atas Muhammad?!” Aku pun naik pitam sehingga kutampar dia. Kata Nabi: “Jangan kalian unggulkan aku di antara para Nabi… Pada hari kiamat nanti, manusia semuanya akan pingsan/mati, dan akulah yang pertama kali siuman/dihidupkan. Namun kudapati Musa tengah memegang salah satu tiang Arsy. Aku tidak tahu apakah dia telah siuman/dihidupkan sebelumku, atau ini sebagai balasan karena dia pernah pingsan di bukit Thur?”
Nah, bukankah ini menunjukkan bahwa dalam kasus ini, nabiyullah Musa ‘alaihissalaam lebih dulu bangkit dari nabi, dan ini suatu kelebihan yg oleh Nabi sendiri diakui…
Demikian pula gelar Musa sebagai Kaliimullah, orang yg diajak bicara oleh Allah secara langsung tanpa perantara Jibril di dunia… ini juga suatu kelebihan yg tidak dialami oleh Rasulullah.
Ini menunjukkan adanya kelebihan tertentu yg dimiliki oleh Nabi-Nabi selain Rasulullah, yg tidak ada pada Rasulullah… Jadi, beliau adalah Nabi yg paling afdhal, namun bukan SECARA MUTLAK DALAM SETIAP HAL, wallahu a’lam.
Adapun apa yg mereka lakukan thd peninggalan Syaikh Utsaimin, maka meskipun saya pribadi tidak setuju dengan hal itu, tetap saja itu tidak bisa dinisbatkan kepada kaum wahhabi seluruhnya. Wahhabi itu tidak ma’shum, ada di antara mereka yg keliru, ada yg tersesat, ada yg pelaku dosa besar, dst sebagaimana kaum muslimin yg lain… kalau salah satu melakukan kesalahan, maka yg lain tidak boleh ikut disalahkan, kecuali bila mereka semuanya tahu dan tidak mengingkari hal tsb, alias menyetujuinya. INI KALAU MEMANG HAL ITU SUATU KESALAHAN.
Bukti kesalahan Saudi yg diingkari oleh ulama-ulama saudi sendiri adalah yg disebut dengan Al Yaumul Wathani/Al ‘iedul Wathani (atau Hari Nasional). Hal ini dinyatakan oleh Al Lajnah Ad Daa-imah sebagai BID’AH sejak zaman Syaikh bin Baz. (Lihat: Fatawa Lajnah Da-imah 3/88-89).
Masalah peninggalan Rasulullah yg dihancurkan oleh wahhaby, pertama harus dipastikan dulu:
1. Benarkah benda/lokasi itu memang peninggalan Rasulullah. Mana bukti-bukti konkretnya?
2. Mana dalil yg mengharuskan kita memelihara tempat/benda tsb walaupun dengan mengorbankan kepentingan umum kaum muslimin, spt demi perluasan/pembangunan fasilitas masjid?
3. Apakah dengan tetap memelihara apa yg diklaim sbg peninggalan Nabi tsb tidak membuka pintu kultus individu/hal-hal yg diharamkan dlm syari’at? Ini harus dipastikan, sebab kaum wahhaby juga punya dalil kuat dlm hal ini, yaitu sebuah atsar yg diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Ma’mar dari Al A’masy dari Al Ma’rur bin Suwaid, katanya:
مصنف عبد الرزاق (2/ 118)
كنت مع عمر بين مكة والمدينة فصلى بنا الفجر فقرأ ألم تر كيف فعل ربك و لئيلاف قريش ثم رأى أقواما ينزلون فيصلون في مسجد فسأل عنهم فقالوا مسجد صلى فيه النبي صلى الله عليه و سلم فقال إنما هلك من كان قبلكم أنهم أتخذوا آثار أنبيائهم بيعا من مر بشيء من المساجد فحضرت الصلاة فليصل وإلا فليمض
Aku pernah bersama Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu di antara Mekkah dan Madinah. Beliau mengimami shalat Subuh dan membaca surat al Fiil dan surat Quraisy. Kemudian beliau melihat sekumpulan orang yang mendatangi suatu tempat dan shalat di sebuah mesjid. Beliau bertanya tentang perbuatan mereka. katanya, itu adalah mesjid tempat Nabi pernah shalat di sana. Maka kata Umar (perhatikan baik-baik): “Yang membikin celaka orang-orang sebelum kalian tidak lain ialah karena mereka menjadikan bekas-bekas Nabi mereka sebagai tempat ibadah. Siapa yg melalui suatu mesjid dan kebetulan pas waktu shalat maka hendaklah ia shalat, namun kalau tidak pas waktu shalat maka lewati saja.
Hadits ini shahih dan para perawinya adalah perawi Asy Syaikhain (Bukhari & Muslim).
Wajhul Istidlal minal atsar: Kalaulah ‘sekedar’ sengaja shalat di tempat yg pernah dipakai shalat Rasulullah saja dianggap hal yg membinasakan oleh Umar, maka bagaimana dengan apa yg kita saksikan hari ini bhw sebagian besar kaum muslimin ngalap berkah dengan cara-cara yg ngawur (saya melihat sendiri di Mesjid Nabawi/Masjidil Haram)… dengan mengusap-usap tembok mesjid yg sama sekali bukan peninggalan Rasulullah karena baru dibikin th 90-an.
Lagi pula, Nabi berpesan agar kita mengikuti sunnah-nya (ajarannya) Khulafa’ur Rasyidin, dan Umar adalah salah satunya. Jadi bagaimana menurut antum?
Adapun peninggalan selain beliau, kalau memang ybs memiliki potensial untuk dikultuskan, maka merawat peninggalannya juga tidak boleh, namun jika ybs tidak memiliki potensial untuk dikultuskan sama sekali, maka tidak ada masalah…
Dalil-dalil lain yg semakna:
فتح الباري – ابن حجر (7/ 448)
وجدت عند بن سعد بإسناد صحيح عن نافع أن عمر بلغه أن قوما يأتون الشجرة فيصلون عندها فتوعدهم ثم أمر بقطعها فقطعت
Ibnu Hajar dlm Fathul Baari (7/448) mengatakan: “Kutemukan dalam riwayat Ibnu Sa’ad dengan sanad yg shahih dari Nafi’, bahwa Umar pernah mendengar adanya sejumlah orang yang mendatangi pohon tsb (yakni tempat Nabi diba’iat), lalu shalat di sana. Umar pun mengancam mereka dan menyuruh agar pohon tsb ditebang, maka ditebanglah pohon tsb”. Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dlm Mushannafnya (no 7627).
lalu dlm shahih Bukhari disebutkan:
صحيح البخاري- طوق النجاة (5/ 124)
عَنْ طَارِقِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ انْطَلَقْتُ حَاجًّا فَمَرَرْتُ بِقَوْمٍ يُصَلُّونَ قُلْتُ مَا هَذَا الْمَسْجِدُ قَالُوا هَذِهِ الشَّجَرَةُ حَيْثُ بَايَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْعَةَ الرِّضْوَانِ فَأَتَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ سَعِيدٌ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ كَانَ فِيمَنْ بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ قَالَ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ نَسِينَاهَا فَلَمْ نَقْدِرْ عَلَيْهَا فَقَالَ سَعِيدٌ إِنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْلَمُوهَا وَعَلِمْتُمُوهَا أَنْتُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ
Dari Thariq bin Abdurrahman, katanya: Dalam perjalanan haji-ku, aku pernah melewati sejumlah orang yang sedang shalat (di suatu mesjid). Maka tanyaku: “Mesjid apa ini?”. Kata mereka: “Ini lokasi pohon tempat Nabi melakukan ba’atur Ridhwan”. Maka kuceritakan hal ini kepada Sa’id bin Musayyab, dan katanya: “Ayah bercerita kepadaku, dan beliau termasuk salah seorang yang membai’at Rasulullah di bawah pohon tersebut. Kata Ayah: “Ketika kami berangkat pada tahun berikutnya, kami lupa akan lokasi pohon tersebut dan tidak bisa menemukannya kembali”. Sa’id bin Musayyab lalu berkata: “Para sahabat Nabi tidak mengetahui lokasinya, tapi kalian bisa mengetahuinya… berarti kalian lebih tahu (dari para sahabat)”.
صحيح البخاري- طوق النجاة (4/ 50)
عَنْ نَافِعٍ قَالَ قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا رَجَعْنَا مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ فَمَا اجْتَمَعَ مِنَّا اثْنَانِ عَلَى الشَّجَرَةِ الَّتِي بَايَعْنَا تَحْتَهَا كَانَتْ رَحْمَةً مِنْ اللَّهِ
Dari Nafi’, katanya: Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Setahun berikutnya, kami kembali (melalui tempat bai’at tsb), namun tidak ada dua orang pun yg sepakat di antara kami dlm menentukan lokasi pohon tempat kami membai’at Rasulullah. ITU MERUPAKAN RAHMAT DARI ALLAH… (HR. Bukhari no 2958).
Catatan: Bai’aturridhwan terjadi pada tahun ke-6, yaitu ketika Nabi dengan 1400 orang sahabatnya berangkat dari Madinah dlm keadaan ihram untuk umrah. Namun sesampainya di Hudaibiyah (hanya beberapa Km dari Mekkah), beliau dihalangi masuk oleh Musyrikin Quraisy, sehingga beliau pun mengutus Utsman bin Affan sebagai duta agar menjelaskan bahwa maksud beliau hanyalah ingin umrah, bukan ingin perang. Namun tersiarlah kabar bahwa Utsman dibunuh oleh mereka, sehingga Nabi membai’at para sahabatnya untuk siap mati menuntut darah Utsman… tak lama setelahnya, datanglah utusan2 Quraisy yg kemudian melakukan perjanjian Hudaibiyyah, dan salah satu poinnya ialah bhw tahun ini kaum muslimin harus menggagalkan umrah mereka dan menggantinya tahun depan.
Jadi, persis setahun kemudian (th 7 H) terjadilah Umrah Al Qadhiyyah (umrah pengganti), di mana para sahabat kembali lagi ke Mekkah, namun tatkala melalui daerah Hudaibiyyah mereka tidak menemukan pohon tsb… padahal jumlah mereka 1400 orang ! Pun demikian, dalam riwayat lainnya, Ibnu Umar (sahabat yg terkenal paling antusias mengikuti jejak Rasulullah) mengatakan, bahwa tidak ditemukannya pohon tsb merupakan rahmat Allah atas mereka (para sahabat). Ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dlm Shahihnya.
Ksp: Kalau para sahabat saja tidak ada yg demikian getol memelihara tempat-tempat bersejarah, bahkan menganggap lupanya mereka thd hal tsb sebagai rahmat, lantas mengapa kita meributkan apa yg dilakukan pemerintah Saudi 1400 th kemudian thd apa yg ‘diklaim’ sbg bekas rumah Rasulullah? Apakah kita lebih pandai, lebih berhak, dan lebih wajib mencintai peninggalan-peninggalan Nabi dari pada para sahabat? Apakah kita lebih bisa menyikapi peninggalan tsb dgn sikap yg benar dari pada para sahabat? kalau Umar saja menegur orang-orang yg shalat –ingat! hanya shalat, bukan ngalap berkah– di tempat yg diklaim sbg lokasi pohon bai’aturridhwan, lantas bagaimana kiranya jika beliau melihat cara kaum muslimin yg ngalap berkah hari ini?
Bagaimana akhi, masih ada yg diresahkan?
Ustadz, saya jumpai di Taisir Allah Syarh Umdah al Ahkam pada kitabush Shalah bab Kaifiyyatus Shalah ‘alan Nabi, ketika membahas hadits no 117 di bawah tulisan ‘faidah’ ada kalimat sebagai berikut:
من المتفق عليه، أن أن النبي محمدا صلي الله عليه وسلم أفضل الخلق
apakah nukilan ijma ini valid?
siapakah ulama sebelum Syaikh Abdullah al Bassam yang menukil adanya ijma dalam hal ini?
أفيدونا مشكورين مأجورين
مراد الشيخ رحمه الله أنه أفضل البشر، إذ لفظ “الخلق” يطلق ويراد به البشر، ولا خلاف في هذا إذ هو أعلم الناس وأتقاهم وأخشاهم لله عز وجل وقد اصطفاه ورفع ذكره وأعطاه الشفاعة العظمى وغير ذلك من الفضائل والمعجزات التي لا يشاركه فيها أحد من العالمين، وكل ذلك يقتضي أفضيلته من غيره. وليس الشيخ رحمه الله أول من قال به، فقد سبقه شيخ الإسلام ابن تيمية في المستدرك على مجموع الفتاوى 1/116
وأفضل الخلق النبيون، ثم الصديقون، ثم الشهداء، ثم الصالحون.
وأفضل كل صنف أتقاهم كما قال – صلى الله عليه وسلم – : «لا فضل لعربي على عجمي ولا لعجمي على عربي إلا بالتقوى» هذا في الأصناف العامة.
وأفضل الخلق في الطبقات: القرن الذي بعث فيهم رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم.
وأما في الأشخاص فأفضلهم النبي – صلى الله عليه وسلم – ثم إبراهيم عليه السلام.
وقال ابن القيم في جلاء الأفهام: الثاني أن الصلاة من الله تعالى من اجل المراتب واعلاها ومحمد افضل الخلق فلا بد أن تكون الصلاة الحاصلة له افضل من كل صلاة تحصل لكل مخلوق فلا يكون غيره مساويا له فيها