Soal-Jawab
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Kepada ikhwan dan akhwat pengunjung Blog Abu Hudzaifah yg saya cintai…
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas Blog ini, saya khususkan halaman ini bagi yg ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’-nya, baik keluhan, pertanyaan, atau sekedar curhat… Semoga dengan itu semua saya jadi lebih semangat untuk menyampaikan ilmu saya kepada antum semua.
Jadi, saya tunggu partisipasi antum… Jazakumullahu khairan katsieran,
Wassalaam,
assalamu’alaikum ustadz
Bagaimana jawaban saya ustadz mengenai komentar spt ini dari salah satu ormas islam, kita tidak usah membesar-besarkan masalah ikhtilaf seperti qunut atau tidak qunut dsb, tetapi yg diperlukan saat ini adalah tindakan nyata, spt membantu kaum muslimin yg sedang kesulitan di palestina, suriah dst… karena menurut mereka orang salafi nato (no action talk only). mohon tanggapannya, syukron
Itu ndak benar… justru salafi banyak mbantu suriah dan palestina. Bantuan terbesar berasal dari Saudi Arabia yg notabene salafi. di Indonesia juga punya tim peduli muslim yg dikirim bolak-balik ke palestina dan suriah… yg notabene dikelola oleh ikhwah salafiyyin.
Ustadz, bagaimana pendapat anda tentang situs ini ” tukpencarialhaq.wordpress.com”, setelah saya membaca artikel disitu kok masalahnya jadi rancu bagi saya
ustadz, jika di sela sela kuku kita ada kotoran sedikit saja.. apakah itu membuat wudhu tidak sah karena air terhalangi sampai ke kuku?, tapi hampir setiap waktu saya dapati di kuku saya ada sesuatu meskipun sekecil sebutir pasir..jadinya saya selalu membersihkan kuku saya dulu sebelum wudhu.. dan tidak jarang saat selesai wudhu atau mandi wajib saya juga mendapati kuku saya ada kotorannya, padahal saya yakin sebelum wudhu dan mandi kuku saya sudah bersih…itu semua bagaimana hukumnya?
ustadz, apakah was-was setan dan fitnah syubhat termasuk ujian bagi hamba? lalu apa yang perlu dilakukan hamba tersebut?
Iya, jelas itu termasuk ujian. yg perlu dilakukan adalah membekali diri dengan ilmu dan ketakwaan untuk melawan kedua fitnah tsb. modalnya adalah ilmu yg diiringi dengan tekad sungguh-sungguh.
Sekedar bertanya ustadz, tentang sebagian masalah yg sering menjadi polemik diantara sesama penuntut ilmu bermanhaj salaf akhir-akhit ini yakni tentang masalah iman dan kufur.
Masalah pertama:
Sebagian ikhwah penuntut ilmu dan juga asatidzah berpendapat bahwa seseorang yang terjatuh dalam kufur akbar seperti sujud kepada selain Allah atau menyeru meminta-minta kepada wali yg telah mati maka otomatis sudah tidak bisa lagi dikatakan muslim alias langsung bisa divonis kafir. Hal ini karena masalah tauhid dan larangan beribadah kepada selain Allah termasuk masail dhahirah atau ma’lumun minddiien bid-dharurah bahkan lebih jelas dari kewajiban shalat sekalipun. Sebagian lagi nampaknya lebih berhati-hati dalam vonis kafir secara ta’yin beralasan dengan ucapan Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah yg tidak mengkafirkan orang yang menyembah qubur Ahmnad Badawy karena kejahilan dan tidak adanya orang yang memberikan penjelasan kepada mereka. Namun dibantah lagi bahwa kedudukan iqomatul hujjah hanya untuk mengajak orang yg terjatuh dalam perbuatan kesyirikan tersebut kembali kepada Islam bukan syarat sebelum menjatuhkan vonis kafir harus terlebih dahulu iqomatul hujjah. Adapun kufur akbar yang diberi udzur hanya dalam masalah yang samar seperti masalah asma’ was shifat, qur’an kalamullah, ketinggian Allah dst
Masalah kedua:
Masalah udzur bil-jahl sebagian ikhwah penuntut ilmu dan juga asatidz membatasi udzur bil-jahl hanya dalam dua keadaan. Baru masuk Islam dan tinggal di daerah terpencil. Sedangkan sebagian lagi mengatakan tidak hanya dua tapi termasuk juga hidup di daerah dimana ilmu dan ulama sedikit dan kebodohan mendominasi.
Masalah ketiga:
Masalah berhukum dengan selain hukum Allah dengan Merubah hukum Allah/membuat UU buatan (qowanin wadh’iyyah).
Sebagian ikhwah dan asatidz membedakan antara berhukum dengan selain hukum Allah dengan sengaja merubah atau membuat UU buatan. Berhukum dengan selain hukum Allah dirinci adakalanya bisa kufur asghar bisa kufur akbar . Adapun sengaja memubah atau membuat UU buatan maka tidak perlu perincian dan statusnya kufur akbar (kafur ainy). Sementara sebagian lagi berpendapat bahwa merubah/membuat UU buatan ini pun tetap perlu perincian sebagaimana masalah berhukum dengan selain hukum Allah.
Demikian sebagian masalah yang saya utarakan ustadz, semoga ustadz ada waktu untuk menjelaskan masalah di atas. Sebagai informasi tambahan bahwa polemik tersebut terjadi di antara intern sesama ikhwah atau ustadz salafy yang acap kali mengundang polemik. wallahu a’lam bishshawwab.
Saya juga nunggu jawaban ust Sufyan nih..
Cuman ini ada dpt jawaban smntra dr webnya ust jafar salih..
http://www.tauhidfirst.net/lajnah-daimah-tentang-iqamatul-hujjah/
Ya saya sudah baca-baca blog Ust. Ja’far Shalih tersebut dan nampaknya beliu termasuk yg berpendapat tidak ada udzur dalam perkara dzahirah.
Polemik lain dikalangan penuntut ilmu ttg masalah ini juga akhi..
“Hukum seseorang yg meminta didoakan kepada orang yg sudah mati”. Ternyata ada dikalangan penuntut ilmu ( baca : ustadznya ) berpendapat BUKAN mutlak SYIRIK, ada perincian didalamnya. Walaupun pendapat penuntut ilmu yg lainnya berkata itu sudah masuk kategori syirik akbar walaupun hanya SEKEDAR meminta didoakan saja ke org mati, lebih2 meminta rizki dll. Mohon ustadz Sufyan memberikan pencerahannya.
Afwan Ustadz, kalau antum punya akun fb mungkin dalapat melihat ‘hiwar’ yg terjadi antara Ust. Jafar Shalih dengan Ust. Musmulyadi Luqman. Ini sebagai contoh saja perselisihan yg terjadi dalam masalah takfir terhadap pelaku kesyirikan.
https://www.facebook.com/jafarsalihsiregar/posts/10205337155332433
Yang istimewa di Surakarta..
Hadirilah Kajian Libur Nasional Dan Safari Dakwah..
Bersama : Ustadz Dr.Syafiq Riza Hasan Basalamah,M.A (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember, )
Sabtu – Ahad : 1 & 2 Muharram 1436 H / 25 & 26 Oktober 2014
1. Sabtu,25 0ktober 2014, – 09.00-11.30. WIB Tempat : Masjid Sabillillah.Pucang sawit,Jebres. – Tema : “ Membangun Ukhuwah Islamiyyah ” Cp: 0857.2843.8856
2. Sabtu, 25 Oktober 2014 Jam 16.00 – 18.00 WIB Tempat : Masjid BaiturRahmah-Perumnas Mojosongo- Tema : 4 Hal Yang membinasakan” Cp: 08222.60100.38
3. Sabtu, 25 Oktober 2014, – Jam 20.00-21.00 Khusus putra. Tempat : Masjid “Ibaadullah ( PT.Danar Hadi.Pabelan ) Tema : “ Renungan Awal Tahun ” Fasilitas : Masjid Full Ac.disediakan Snack gratis..
4. Ahad, 26 Oktober 2014, 09.00 – 11.30 Tempat “ Masjid Kotta Barat Jl.Dr.Moewardi No.24 – Tema: “Penyebab Rusaknya Amal ”
Penyelenggara : Yayasan Al-Imam Asy-Syafi’i Surakarta
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu
Ustadz, izinkan saya bertanya tentang hukum memakan daging kuda. Di beberapa daerah ada kebiasaan masyarakat menyantap daging kuda. Saya pernah dengar ada yang bilang hukumnya haram. Tetapi saya agak ragu apakah hukumnya halal atau haram?
Bagaimana tanggapan ustadz mengenai hal tersebut. Mohon pencerahannya.
Ustadz, pernah di rumah saya kekurangan air, lalu saat saya istinja’ saya yakin dubur saya sudah bersih… tapi saat selesai istinja’ saya duduk-duduk lalu tercium bau, akhirnya saya ulangi lagi istinja’nya. Jadi apakah kursi yang saya duduki tadi menjadi harus dibersihkan karena terkena najis padahal sudah saya cium dan tidak ada baunya.
Sekedar bertanya ustadz, apakah DR. Syarif Hatim Al-Auny (Univ. Ummul Qura’ Makkah) termasuk yang bisa diambil sebagai rujukan Tadz? Soalnya beberapa pernyataan beliau sering dianggap kontroversial oleh sebagian ikhwah. Misalnya dalam video di bawah ini, ttg pernyataannya yang mengatakan bahwa kitab Adurar Assaniyah menjadi rujukan bagi kelompok takfiry, kritikan terhadap dakwah salafiyah agar melakukan perbaikan dan tuduhan bahwa dakwah Syaikh M. Abdul Wahhab ada beberapa kekeliruannya.
http://www.youtube.com/watch?v=FPG0inv45-8&feature=youtu.be
Ana tidak menyarankan sama sekali, karena dia tergolong mubtadi’ dlm ilmu musthalah hadits, yg mendakwakan adanya perbedaan mendasar antara manhaj salaf dgn manhaj khalaf dlm ilmu musthalah, yg konsekuensinya kita ga’ perlu pakai kaidah2 musthalah hadits yg dirumuskan oleh para ulama sejak ratusan tahun lalu!!! Dan juga karena alasan yg antum sebutkan. Bantahan bhw kitab ad durarus saniyyah mjd rujukan bg takfiri mudah sekali… mrk juga merujuk ke Al Qur’an, Sahihain, Sunan yg empat… mencatut perkataan para ulama Ahlussunnah, dll… trus apa berarti semua rujukan tadi harus kita tahdzir, atau kita anggap mengajarkan takfir serampangan ‘ala takfiriyyin???
Lagi pula, banyak statemen dlm Ad Durar As Saniyyah yg membantah pemahaman ‘sakit’ tsb, yg tidak dinukil -dengan sengaja atau tidak sengaja- oleh orang-orang spt Al-Auny yg punya tujuan ttt dengan pernyataan kontroversialnya tsb.
Demikian pula kritikannya thd dakwah islahiyyah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, menjadi indikasi ttg siapa sebenarnya Al-Auny tsb… Beware of him!!
Anyway, ada baiknya antum baca rudud masyayikh ahlussunnah thd Al Mubtadi’ Al Auny ini, atau ini ada link yg cukup bermanfaat bg siapa saja yg ingin berdiskusi ttg dakwah syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Assalamu’alaikum ustadz, pertanyaan ana pada artikel “Hukum Menyebarkan Foto Korban Tewas dan Terluka dari Kaum Muslimin” kenapa tidak tampil ya? ana dua kali posting pertanyaan, yang pertama mungkin terlalu banyak karakternya tapi yg kedua sudah ana kurangi. Barakallahu fiikum
karena nyasar ke spam
Ustadz , Apa hukum nonton kartun ? apakah termasuk suksesi terhadap org2 pembuat gambar bermakhluk? mohon nasihat bagi orang2 yg masih suka kartun , terutama ikhwah2 yg sudah mengaji.
jawaban ana bukan dalam rangka berfatwa, tp sekedar mendiskusikan masalah yg antum lontarkan… tentunya, tujuan org menonton film kartun macam-macam, dan yg ditonton pun juga macam-macam, serta yg menonton juga macam-macam. kalau yg ditonton kartun donal bebek, mickey mouse, tom and jerry dan kartun2 fiktif produk yahudi (walt disney) dan Amerika lainnya, maka madharatnya lebih besar dari manfaatnya, apalagi jika yg nonton adlh anak-anak yg akan dengan mudah menyerap budaya kafir yg diajarkan lewat adegan2 ciuman, pacaran, dan mengumbar aurat tsb… minimal ia akan mendengarkan musik, dan musik itu haram.
tp kalau yg ditonton adalah kartun ahkaamul qur’an yg menggunakan bahasa arab fasih, dan berisi ajaran2 islami bagi anak-anak, tentu tidak sama hukumnya, walaupun sebagian ulama tetap menolak penggunaan drama (tamtsil) dalam menjelaskan masalah2 keagamaan, spt Syaikhuna Al ‘Allaamah Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hafidhahullah.
Namun, dalam kondisi tertentu, bila pilihannya adalah HARUS menonton kartun A atau kartun B, maka pilihlah yg paling besar manfaatnya dan paling kecil mafsadatnya…
Wallaahu a’lam.
bagaimana agar tdk ketagihan nonton TV tadz ?
copot aja tv-nya dan jangan dipasang… ini cara singkat tapi berat.
atau: ingatlah setiap kali antum nonton tv bhw mata dan telinga antum akan ditanya ttg amalnya masing-masing, nah jangan lupa siapkan jawabannya… tentunya antum tidak akan dibiarkan oleh Allah kalau sekedar menjawab: “Untuk nonton tv !!”.
Assalamu’alaikum saya ingin bertanya semoga bisa dijawab
1. Berikut ini adalah dua aturan untuk menjadi reseller/dropshipper dari dua produsen berbeda. Untuk produsen A saya hanya perlu mendaftarkan biodata diri saya secara lengkap. Sedangkan untuk produsen B memiliki syarat lain dan tidak semudah perusahaan A. Berikut saya lampirkan.
Kedua cara yang dilakukan dua produsen berbeda diatas apakah melanggar aturan syari’at ?
————————————————————————————-
Peraturan umum reseller(dropshipper) produsen A
a. NAMA PENGIRIM YANG TERTULIS DI BARANG ADALAH NAMA ANDA YANG DIDAFTARKAN KEPADA KAMI (jadi barang dikirim oleh produsen reseller tidak memilikinya)
b. BARANG READY STOCK DAN SELALU UPDATE
c. UNTUK KEPASTIAN KETERSEDIAAN SILAKAN HUBUNGI KAMI MELALUI ******
d. BEBAS ONGKOS KIRIM KE SELURUH INDONESIA DAN ANDA TIDAK BERHAK MEMINTA BIAYA KIRIM KEPADA KONSUMEN
e. KAMI TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS KESALAHAN ALAMAT YANG ANDA BERIKAN YANG MENYEBABKAN BARANG TIDAK SAMPAI
f. KAMI BERHAK MENGELUARKAN ANDA DARI DAFTAR RESELLER KAMI SECAR SEPIHAK
g. KEUNTUNGAN RESELLER ADALAH SEBESAR Rp.6.000,- per BARANG A dan Rp.1.000,- per BARANG B. MISAL BARANG A SEHARGA Rp. 20.000,- MAKA ANDA HANYA PERLU MENTRANSFER KE REKENING KAMI SEBESAR Rp.14.000,-.
h. BARANG AKAN KAMI USAHAKAN UNTUK DIKIRIM DI HARI DIMANA ANDA MELAKUKAN KONFIRMASI TRANSFER.
i. PERATURAN DAPAT BERUBAH SEWAKTU-WAKTU TANPA PEMBERITAHUAN.
Untuk perusahaan B
Persyaratan untuk menjadi Reseller Dropship:
1. Setuju & mematuhi peraturan reseller
2. (PILIH SALAH SATU SYARAT KHUSUS)
A. Pendaftaran 100.000
B. Sudah Order Minimal 3pcs via Website
3. HARGA RESELLER: DISKON 12.7% dari Order Total (Harga + Ongkir)
Peraturan reseller:
1. Tidak menjual dibawah harga resmi (Boleh diatas harga resmi)
2. Melaporkan jika ada seller yg menjual dibawah harga resmi, supaya di stop brg ke reseller tersebut
3. Menjaga nama produsen dari segi kualitas pelayanan & after sales
Authorized Reseller:
Syarat:
1. Pembelian Awal 30pcs
2. Minimal Total Pembelian 30pcs/bulan (Dihitung setiap tanggal 1)
3. Memiliki toko
4. Mengirimkan Data (Fotocopy KTP, Nama Toko, Alamat Toko)
Keuntungan Authorized Reseller:
1. Akan di Referensikan ke konsumen & dicantumkan di halaman
2. Diskon selanjutnya 15% tanpa minimum order
————————————————————————————-
2. Jika terjadi kerusakan barang siapa yang harus menanggung ?
Syukran semoga dijawab, semoga saya bisa memulai perniagaan dengan cara yang halal/mubah.
Afwan, belum cukup ilmu utk menjawab. Tanyakan kepada yg lebih berilmu dari ana.
dan apa status hadist ini ? dan istimbath hukumnya berkaitan dgn kasus saya tadz?
عن ذر بن عبد الله عن ابن مسعود قال : جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ، فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه
Dari Dzar bin Abdullah, dia berkata, “Ada seseorang yang menemui Ibnu Mas’ud lalu orang tersebut mengatakan, ‘Sesungguhnya, aku memiliki tetangga yang membungakan utang, namun dia sering mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Ibnu Mas’ud mengatakan, ‘Untukmu enaknya (makanannya) sedangkan dosa adalah tanggungannya.’” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14675)
عن سلمان الفارسي قال: إذا كان لك صديق عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه.
Dari Salman Al-Farisi, beliau mengatakan, “Jika Anda memiliki kawan, tetangga, atau kerabat yang profesinya haram, lalu dia memberi hadiah kepada Anda atau mengajak Anda makan di rumahnya, terimalah! Sesungguhnya, rasa enaknya adalah hak Anda, sedangkan dosanya adalah tanggung jawabnya.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, no. 14677)
Assalamu’alaykum.
Ustadz , saya mau nanya… dan mungkin ini juga pertanyaan ikhwah lain yg senasib…
Saya baru resign dari job (& sekarang g ada penghasilan ) lalu ortu penghasilannya dari riba. otomatis saya dibiayai oleh ortu dlm hidup.
1. bagaimana status harta yg saya terima dari ortu tsb?
2. apakah sedekah dan amalan2 mustahab saya menjadi tidak diterima krn harta haram?
3.bolehkah memulai usaha(bisnis) dari harta ortu tsb?(sbg modal)
mohon pencerahannya ustadz…
Jazakallahukhairan.
Atsar ibnu Mas’ud di atas sanadnya terputus. Ada atsar senada dr ibnu Umar namun pada sanadnya terdapat perawi yg majhul. Sedangkan atsar Salman Al Farisi juga terputus sanadnya. Tapi ala kulli haal, Rasulullah pernah dihadiahi daging kambing oleh wanita Yahudi, dan beliau memakannya. Padahal kaum yahudi terkenal sbg pemakan riba sbgmn dlm Al Qur’an. ini berarti uang/harta yg diberikan kpd kita sbg hadiah/nafkah/sedekah, adalah halal bagi kita, walaupun si pemberi mendapatkannya dgn cara yg tidak halal. Kecuali bila harta yg diberikan tadi zatnya/manfaatnya memang haram. Atau bila kita tahu bahwa barang tsb adalah bukan miliknya. Maka kita tidak boleh menerimanya.
Jadi, menggunakan uang dari orang tua adalah boleh-boleh saja, namun jangan sampai hati kita cenderung dengan profesi ortu yg haram td. Nah, inilah yg sulit… bagaimana mengatur hati kita agar membenci pekerjaan ortu yg pelakunya ditantang perang oleh Allah dan RasulNya. wallaahu a’lam. Sebisa mungkin, jadikan itu sebagai pinjaman (utang) jangan sbg pemberian cuma-cuma, agar hati antum tetap terpelihara. Ini lebih baik daripada menerimanya sbg hibah/hadiah… wallaahu a’lam.
antum nulis : ‘Atau bila kita tahu bahwa barang tsb adalah bukan miliknya’
Kalau barang curian berarti tidak boleh tadz ? lalu apa bedanya dgn barang yg dibeli dari hasil riba dari sisi hukum dan aplikasinya tadz? kan sama2 dgn cara yg haram…
Apa berarti saya boleh membeli barang dari teman (buku misalnya) yg dimana saya tau bahwa teman saya itu berpenghasilan riba dan membeli barang(buku) tsb dari penghasilannya tsb ? lalu bagaimana hukum saya membeli barang dari teman yg saya tau bahwa dia merampas/mencurinya/korupsi.?
mohon penjelasannay tadz mengenai klasifikasi hukum suatu barang menjadi haram. Jazakallahukhairan.
bagaimana dgn ini ustadz…
hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dengan sanadnya dari Kulaib dari bapaknya dari seorang lelaki Anshar yang berkata:
خرجنا مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – في جنازة فرأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وهو على القبر يوصي الحافر: أوسع من قبل رجليه، أوسع من قبل رأسه. فلما رجع استقبله داعي امرأة، فجاء وجيء بطعام، فوضع يده، ثم وضع القوم فأكلوا، فنظر آباؤنا رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يلوك لقمة في فمه، ثم قال: أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها. فأرسلت المرأة فقالت: يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة، فلم أجد، فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إليَّ بها بثمنها، فلم يوجد، فأرسلت إلى امرأته، فأرسلت إليَّ بها. فقال: أطعميه الأسارى
“Kami berangkat bersama Rasulullah pada satu jenazah. Lalu aku melihat Rasulullah dalam keadaan di kuburan memerintahkan penggali kuburan: ‘Perluas dari sebelah kedua kakinya! Perluas dari sisi kepalanya!’ Ketika kembali disambut utusan seorang wanita. Lalu beliau datang dan dihidangkan makanan, lalu beliau meletakkan tangannya, kemudian orang-orang meletakkan tangannya dan memakannya. Lalu orang-orang tua kami melihat Rasulullah mencicipi suapan ke mulutnya dan berkata: ‘Aku dapati daging kambingnya diambil tanpa izin pemiliknya.’ Lalu datanglah sang wanita dan berkata: ‘Wahai rasulullah sungguh aku mengutus orang ke Baqi` untuk membelikan untukku seekor kambing, lalu ia tidak mendapatkannya. Lalu aku mengutusnya ke tetanggaku yang telah membeli kambing agar memberikan kambing tersebut dengan nilai pembayarannya. Lalu tidak mendapatkannya lalu aku mengutusnya menemui istrinya dan ia pun menyerahkannya kepadaku.’ Lalu beliau berkata: ‘Beri makanan ini buat makan para tawanan perang.’ (HR ibnu Mandah dalam kitab al-Ma’rifah dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihhah, 2/393 no. 754 dan al-Irwa’ 3/196)
Gak bisa dikiaskan spt itu, barang hasil curian didapat dgn cara yg batil, shg tidak berpindah kepemilikiannya dari orang yg dicuri kpd si pencuri. kalau antum tahu bhw barang yg akan antum beli tsb adalah hasil curian, maka tidak boleh dibeli karena si pencuri tidak menjual barang yg mjd miliknya, dan syarat sahnya jual beli ialah bhw yg menjual memang memiliki brg tsb scr sah.
sedangkan barang yg dibeli dari uang hasil korupsi, barang tsb berpindah tangan dgn cara yg halal, yaitu jual beli. walaupun uang utk membeli barang tsb didapat dgn cara tidak halal, akan tetapi tidak berarti keharaman itu merembet ke cara pemakaian uang tsb. kalau demikian halnya, maka Rasulullah dan para sahabatnya tidak akan bermuamalah dgn kaum yahudi/musyrikin/kuffar sama sekali, karena mereka tidak mengindahkan aturan syariat dlm mencari uang… apalagi yahudi yg terkenal pemakan riba dan berpenghasilan kotor. Namun faktanya, justru Rasulullah di akhir hayatnya membeli 30 sha’ gandum dari pedagang yahudi dengan jaminan baju besi, dan wafat dlm keadaan menggadaikan baju besi tsb kpd si yahudi.
Hadits diatas menceritakan ttg seorang istri yg menjual barang milik suaminya tanpa seizinnya, sehingga jual belinya tidak sah secara syar’i, dan konsekuensinya kepemilikan barang tidak berpindah tangan. Lain halnya dgn orang yg menjual barang yg sdh jadi miliknya. jadi tidak ada pertentangan antara hadits diatas dengan masalah yg kita bahas. faham akhi?
Alhamdulillahi Katsira wa Jakallahukhair. Jelas Ustadz , jadi agak tenang saya.
Alhamdulillahi Katsira wa Jazakallahukhair. Jelas Ustadz , jadi agak tenang…
Ustadz, mau bertanya tentang fenomena yg terjadi akhir-akhir ini, dimana sebagian kaum muslimin terkhusus penuntut ilmu dilanda rasa khawatir dan kecemasan akan keberlangsungan dakwah Islam di negri ini. Mereka khawatir tentang akan munculnya penguasa dan orang-orang buruk yang berada di belakangnya. Apakah perasaan was-was seperti ini menandakan iman yang masih lemah atau bagaimana solusinya?
kecemasan itu wajar saja menurut ana, namun tidak boleh mjdkan kita putus asa… kita tetap berusaha menjaga kekondusifan yg ada selama ini semampu kita, dan selanjutnya kita serahkan kepada Allah. Apa pun yg terjadi nantinya harus kita sikapi sesuai petunjuk Al Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman para salaf.
kalaupun nanti muncul penguasa yg buruk, ya kita sikapi dengan sikap yg benar, dan itu tergantung sejauh mana pemahaman kita thd manhaj yg benar dlm hal ini… kalau masih awam dlm hal ini ya tanyakan kpd yg lebih alim.
Afwan, jawaban ana sifatnya mujmal/global, karena ana tidak bisa memprediksi apa yg akan terjadi nanti.
نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“
bagaimana derajat keshahihan hadits ini ustadz?
itu hadits “batil” bin “palsu” binti “tidak ada asal-usulnya”. Sudah dicari oleh para ulama tapi ga’ ketemu sanadnya sama sekali.
Assalamu’alaykum, ustadz
Apakah shalat ‘iedul fithri dan ‘iedul adha itu di wajibkan bagi laki laki dan perempuan?
Sebagian ulama menganggapnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah.
2.Saya menemukan tulisan tentang shalat isyraq tsb di bawah ini, apakah haditsnya shahih.
Shalat Isyraq
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian dia duduk – dalam riwayat lain: dia menetap di mesjid[1] – untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah, yang sempurna “[2].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan duduk menetap di tempat shalat, setelah shalat shubuh berjamaah, untuk berzikir kepada Allah sampai matahari terbit, kemudian melakukan shalat dua rakaat.
Faidah-faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
* Shalat dua rakaat ini diistilahkan oleh para ulama dengan shalat isyraq (terbitnya matahari), yang waktunya di awal waktu shalat dhuha* Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… sampai matahari terbit“, artinya: sampai matahari terbit dan agak naik setinggi satu tombak,yaitu sekitar 12-15 menit setelah matahari terbit, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ketika matahari terbit, terbenam dan ketika lurus di tengah-tengah langit.
* Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai melakukan shalat shubuh, beliau duduk (berzikir) di tempat beliau shalat sampai matahari terbit dan meninggi”
* Keutamaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang berzikir kepada Allah di mesjid tempat dia shalat sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang tidak termasuk zikir, kecuali kalau wudhunya batal, maka dia boleh keluar mesjid untuk berwudhu dan segera kembali ke mesjid
* Maksud “berzikir kepada Allah” dalam hadits ini adalah umum, termasuk membaca al-Qur’an, membaca zikir di waktu pagi, maupun zikir-zikir lain yang disyariatkan.
* Pengulangan kata “sempurna” dalam hadits ini adalah sebagai penguat dan penegas, dan bukan berarti mendapat tiga kali pahala haji dan umrah
* Makna “mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah” adalah hanya dalam pahala dan balasan, dan bukan berarti orang yang telah melakukannya tidak wajib lagi untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah jika dia mampu.
[1] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741), dinyatakan baik isnadnya oleh al-Mundziri.
[2] HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403).
Jazakumullah khairan katsiran
Wassalamua’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh
Hadits ini memang diperselisihkan keabsahannya -maksud ana ialah fadhilah shalat isyraq tsb, bukan fadhilah berdzikirnya, karena berdzikirnya didukung oleh hadits shahih-, shg bagi yg menerimanya maka ya mengamalkan, namun bg yg menolaknya ya tidak mengamalkan… tp bisa menggantinya dgn shalat dhuha yg jelas memiliki dalil shahih. wallaahu a’lam.
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu
Ustadz,
Apakah tatacara shalat Jum’at di rumah bagi yang sakit sama dengan yang di masjid, yaitu khutbah, duduk antara 2 khutbah, dsb. Kalau di rumah ada istri, apakah boleh istri jadi makmum. Dan bagaimana kalau hanya sendirian. Mohon jawaban/penjelasa. Kalau bisa disertai dalilnya.
Jazakumullah khairan katsiran. Wa ‘alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuhu
Shalat jum’at tidak bisa dilakukan di rumah, karena ada syarat2 ttt yg harus dipenuhi, spt jumlah jamaah, tempat pelaksaan, kondisi jamaah yg bukan musafir namun warga setempat, lalu adanya 2 khutbah, dll. Jadi kalau antum tidak bisa hadir shalat jum’at karena udzur sakit/ketiduran/yg lainnya; maka antum menggantinya dgn shalat dhuhur 4 rokaat bila dlm keadaan mukim (tidak safar), namun bila antum musafir, maka cukup shalat 2 rokaat (qashar), bahkan bila antum hadir jum’atan saat musafir, maka niatkan sbg shalat dhuhur yg diqashar, sehingga antum mendapat pahala sunnah mengqashar shalat dlm safar, sekaligus bisa menjamaknya dgn shalat asar bila antum mau… namun bila antum tetap meniatkan sbg shalat jum’at pdhl antum musafir, maka setelah itu tidak boleh dijamak dgn asar. karena yg boleh dijamak dgn asar adalah shalat dhuhur, bukan shalat jum’at.
semoga bisa difahami….
Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu
afwan ust. saya pernah mendengar kalau niat ibadah itu untuk satu ibadah bukan untuk dua ibadah, seperti kita bayar utang puasa di hari senin apakah kita mendapat pahala puasa senin
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Ana akan jawab sesuai contoh soal yg disebutkan, yg intinya ialah antum harus niatkan sbg membayar utang, sebab itulah yg wajib -bahkan rukun- bg antum. Adapun apakah kita mendapat pahala puasa senin? Ya ana tidak punya dalil utk menafikan hal tsb maupun menetapkannya…
namun dlm kasus lain, satu ibadah bisa berniat dua ibadah atau bahkan lebih. Contohnya sedekah yg diberikan kpd kerabat yg miskin, mk ia selain dinilai sbg sedekah juga dinilai sbg silaturahmi. Dan bila kerabat tsb juga merupakan tetangga kita, maka kita mendapat pahala ketiga yaitu berbuat baik kpd tetangga. Akan tetapi hendaklah kita pandai-pandai menghadirkan niat dlm ibadah2 spt ini.
Contoh lain: Shalat Dhuha yg diniatkan sbg shalat sunnah sekaligus menyedekahi 360 keping tulang yg ada di tubuh kita.
assalamu’alaikum saya ingin bertanya
MENGAPA PUASA MENUNGGU RUKYAT ?
mengapa menentukan tanggal 1 Romadhon ataupun 1 Syawal menunggui hasil rukyat, tetapi untuk menentukan waktu maghrib setiap saat tidak dengan rukyat ?, selama ini hanya ditentukan dengan hisab sepanjang masa yang tertera.di kalender ? Padahal ibadah puasa dan sholat itu kan sama-sama wajib hukumnya dan baru sah dilakukan setelah masuk waktu ? .
Terimakasih.
Sebenarnya waktu maghrib juga menggunakan rukyat, tp bukan hilal yg dilihat, namun matahari. Nah, berhubung kemunculan dan tenggelamnya matahari adalah sesuatu yg bersifat konstant dan bisa dihitung dengan akurat; maka digunakanlah hisab. Jadi, hisab sebetulnya bukan tolok ukur utama, ia hanya membantu saja dan tidak boleh bertentangan dengan tolok ukur utama dlm hal ini, yaitu rukyat.
Adapun dlm menentukan awal romadhon/akhir romadhon dan awal dzul hijjah; maka yg jadi sorotan adalah bulan, yg kadang berumur 29 hari dan kadang 30 hari… ia juga kadang bila dilihat bila langit cerah, dan kadang tidak bisa dilihat (walaupun sebenarnya sudah muncul) saat langit mendung.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengaitkan puasa dengan berapa derajat sudut hilal saat itu, akan tetapi dengan “DAPAT DILIHAT ATAU TIDAKNYA HILAL ITU SENDIRI”. Artinya, walau sudut hilal cukup besar menurut ilmu hisab, namun karena kondisi mendung di seluruh titik2 rukyat menjadikannya tidak dapat terlihat; maka secara syar’i kita disuruh menyempurnakan hitungan bulan sya’ban mjd 30 hari. nah, bila ternyata bulan romadhonnya berumur 29 hari, dan bulan sya’ban-nya juga 29 hari, maka kita akan berpuasa 28 hari, dan konsekuensinya kita harus menambah satu hari lagi setelah berhari raya iedul fithri, karena bulan hijriyah tidak mungkin berumur 28 hari. Jelas?
Assalamu’alaikum, semoga Allah senantiasa menjaga antum beserta keluarga ustadz. ana mau minta nasehat dan sarannya ustadz.
Ana laki2 berumur 30 tahun dan sudah menikah, sekarang berdomisi di solo. Baru mengenal hidayah sunnah beberapa tahun yg lalu, dan alhamdulillah aktif datang ke kajian ahlussunnah sekitar 1 tahun ini. Ana sebelumnya gak punya basic ilmu agama (baca Alqur’an pun belum benar). Tujuan ana di Solo sekarang ini adalah ingin memperdalam ilmu syar’i (ana asalnya pontianak). Ana mengenal manhaj salaf ini melalui proses yg panjang, dimulai pada saat masa awal kuliah (sekitar 2004-2005). Mulai dari belajar perbandingan agama secara otodidak, sampe aliran-paham-golongan didalam Islam. Kemudian sekitar tahun 2009-2010 ana mengenal dakwah salafiyah, melalui tontonan di youtube (rekaman kajian yg disampaikan Ust Abdul Hakim). Kemudian ana belajar secara otodidak melalui buku, media internet (artikel, rekaman kajian audio dan video). Baru sekitar thn 2013 ana berusaha mencari (via internet) dan mendatangi tempat kajian salafy di solo. Ana ingin terus memperdalam agama ini, sayang waktu yg sudah ana habiskan untuk mencari kebenaran, tetapi kurang optimal dalam mendapatkan ilmu (sampai sekarang kuliah S1 ana pun belum selesai, sejak 2003). Ana ingin belajar secara mendasar (seperti di pondok pesantren), ana bingung harus mulai belajar darimana dan dimana? beberapa teman menyarankan agar ana ngambil program i’dad du’at di Al-ukhuwah sukoharjo (selama 3 tahun + masa bakti 1 tahun), yg lain menganjurkan ana ngambil program bahasa arab di ma’had abu bakar solo (selama 2 tahun), dan masih ada juga pilihan lain seperti belajar di mahad al madinah (program 2 tahun). Bagaimana saran dan nasehat ustadz? sebaiknya dimulai darimana? saya ingin memanfaatkan waktu luang saya saat ini (saya bisa belajar tanpa terganggu dengan mencari nafkah, karena saya saat ini sudah mempunyai usaha kecil yg sudah ada yg mengelolanya). Mohon masukannya ustadz.. jazaakallahu khairan
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh… aamiin atas doanya. Semoga Allah memberi kita keistiqomahan dlm berpegang teguh dgn manhaj as salafis shalih ini. Untuk bisa menyarankan mana yg baik bagi antum, ana harus punya gambaran ttg program studi di masing-masing ma’had yg antum sebutkan tadi… padahal itulah yg ana belum miliki sampai saat ini, mengingat ana sendiri bukan berlatar belakang pesantren ataupun ma’had, namun belajar secara semi-otodidak. Hanya saja, memang kuncinya ada pada bahasa arab. Jadi, kalau bahasa arab sdh dikuasai dengan baik, maka antum bisa melanjutkan dengan menyimak kajian2 yg diberikan oleh masyayikh kibaar melalui situs2 resmi mereka.
Ana sarankan, antum kunjungi dulu ma’had2 tsb dan minta informasi selengkapnya; lalu antum istikhoroh dan insya Allah apa yg menjadi kemantapan antum nantinya adalah pilihan terbaik yg Allah pilihkan bagi Antum. that’s it broter. good luck. Baarakallaahu fiik.
Assalamu’alaikum.
Ustadz , telah dipahami bahwa para ulama memiliki perbedaan metodologi dlm tashih hadist. begitu juga ulama kontemporer. seperti Al Albani & Muqbil rahmatullah ‘alaihima. dan ini menimbulkan konsekwensi fiqih yg berbeda pula. ahlusy syaam & ahlulyaman pd zaman ini. dan yg saya temukan dlm penjelasan asatidz seperti masalah sutrah dlm shalat , sah tidaknya makmum tdk membaca fatihah
, menyikapi kesalahan individu dan lainnya. apa saja yg melatari perbedaan mereka berdua (Al Albani & Muqbil) dlm metodologi ilmu hadist ini?
mungkin antum dpt menjelaskannya (kalau bisa komperhensif) agar kami bisa lebih bijak dlm menyikapi ikhtilaf. dan agar kami dpt tercerahkan dgn ilmu mulia ini.
dan untuk saat ini person siapa saja yg antum jadikan rujukan dlm ilmu hadist? yg masih hidup…
dan sepertinya sudah saatnya antum membayar zakat ilmu yg antum miliki, 10 thn sudah lebih dari nishob kan?
Jazakallahukhairan.
Sebetulnya tidak ada perbedaan metodologi antara kedua ahli hadits kontemporer tsb. Mereka sama-sama menerapkan kaidah musthalah dan naqdul hadits sesuai pemahaman dan penelitian masing-masing. Yg membedakan adalah sejauh mana penelitian tsb dilakukan? Misalnya ketika seseorang mentakhrij suatu hadits, maka ia akan mengumpulkan sanad2 hadits tersebut semaksimal mungkin… nah tentunya keuletan dan kelihaian tiap muhaddits tidak sama dalam hal ini.
kemudian ketika mendapati bhw hadits tsb berkisar pada seorang rawi yg mukhtalaf fiih, alias ada sebagian nuqqaad yg menta’dil dan ada pula yg men-jarh; maka perlu kelihaian pula dalam menimbang-nimbang perkataan mereka dan menyimpulkan derajat si perawi dlm hadits yg diriwayatkan ini. Ini juga bisa jadi titik perbedaan. yg mempengaruhi hukum akhir dari hadits yg mereka takhrij.
Demikian pula ketika mengkritisi suatu sanad dan menyingkap illah2 yg ada padanya, kemampuan masing2 mukharrij tidak sama. Demikian juga saat mencari syawahid hadits dan menghukuminya.
Itulah barangkali sisi dinamika ilmu hadits yg takkan ada habisnya. Kecuali bila para ulama mutaqaddimiin telah menyepakati keabsahan suatu hadits, atau sebaliknya; maka kita harus mengesampingkan pendapat ulama mutaakhkhirin yg menyelisihinya. Namun jika hadits ybs memang diperdebatkan keabsahannya, maka itulah medan ijtihad dan tarjih, dan masing-masing mujtahid akan mendapatkan pahala. Kita juga hanya bisa menilai secara relatif, bukan secara mutlak ttg siapa yg benar dari para ulama yg berselisih tsb. wallaahu a’lam bishshowaab.
Assalammualaykum Warahmatullahi Wabarakatuh
Afwan Ustadz Mau tanya derajat hadist sbb:
sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut :
“Bukankah aku belum mengajarkan kepada kalian kalimat yang (pernah) diucapkan oleh Nabi Musa as. ketika menyebrangi lautan bersama Bani Isra’il?” Maka kami menjawab, “Begitulah wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Ucapkanlah “Allahahumma lakal hamdu wa ilaikal musytakaa wa antalmusta’an wala haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim”. (Ya Allah, hanya bagimu segala puji, hanya kepada-Mulah tempat mengadu. Engkau tempat meminta pertolongan, dan tiada daya upaya dan kekuatan melainkan hanya dengan pertolongan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung.”
Apakah palsu, tidak ada asalnya, dhaif dll ?
Jazzakallahu Khairan
Barakallahu Fik
Assalamu’alaykum ustdz, mohon info yg antum ketahui tentang website : anasalafy.com beserta syaikh2 (mesir) yg berafiliasi kedalamnya (syaikh ahmad farid, syaikh muhammad ismail muqoddam, syaikh sa’id abdul azhim), apakah bisa jadi referensi ilmu yg bagus? afwan, barakallahufikum…
(mohon dibalas via email)
ust ada pertanyaan begini: Kalau merujuk dalam kriteria yang diberikan oleh Rasulullah tentang sistem-sistem kekuasaan yang akan ada dalam masyarakat Islam, maka Kerajaan Saudi masuk ke golongan yang mana?
yakni hadits berikut ini:
روى الإمام أحمد عن النعمان بن بشير رضي الله عنه الله، قال: كنا جلوساً في المسجد فجاء أبو ثعلبة الخشني فقال: يا بشير بن سعد أتحفظ حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأمراء، فقال حذيفة: أنا أحفظ خطبته. فجلس أبو ثعلبة.
فقال حذيفة: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكًا عاضًا فيكون ما شاء الله أن يكون، ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها، ثم تكون ملكًا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، ثم سكت. قال حبيب: فلما قام عمر بن عبد العزيز، وكان يزيد بن النعمان بن بشير في صحابته، فكتبت إليه بهذا الحديث أذكره إياه. فقلت له: إني أرجو أن يكون أمير المؤمنين – يعني عمر – بعد الملك العاض والجبرية، فأدخل كتابي على عمر بن عبد العزيز فَسُرَّ به وأعجبه.
Dalam hadits tersebut dipaparkan, sistem pemerintahan yang akan ada di tengah umat Islam, setelah era kenabian beliau adalah:
1. Khilafah berdasarkan Manhaj Kenabian.
2. Mulkan ‘Adhud (kerajaan yang mengigit/zhalim terhadap rakyatnya).
3. Mulkan Jabriyyah (kerajaan yang menindas).
Ga’ tahu ana. Yg jelas hadits itu tidak membatasi bahwa sistem pemerintahan yg ada cuma tiga. Karena pemerintah yg zhalim itu jumlahnya puluhan atau bahkan ratusan sejak berakhirnya era Khulafa’ur Rasyidin. Ada juga di antara para khulafa’ tadi yg adil dan bertakwa spt Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Mu’awiyah bin Yazid bin Abi Sufyan, Umar bin Abdul Aziz, dll. Intinya, sosok penguasa akan mengikuti model rakyatnya. Ketika rakyatnya adalah rakyat terbaik, Allah menganugerahkan pemimpin Terbaik kpd mereka (rakyatnya para sahabat, pemimpinnya Rasulullah), ketika kualitas mereka sedikit menurun, maka yg memimpin juga sedikit menurun, demikian seterusnya.
Menurut pengamatan ana pribadi, kualitas para pemimpin dalam sejarah Kerajaan Arab Saudi juga naik turun, sesuai dengan kondisi zaman dan rakyatnya. Awalnya para pemimpin mereka memang masya Allah, kemudian semakin menurun. Namun untuk hari ini, bila dinilai secara obyektif, maka secara umum pemerintah kerajaan Arab Saudi adalah yg paling besar kontribusinya terhadap islam dan kaum muslimin, dan negara mereka pun paling banyak menerapkan aturan Islam, terutama masalah akidah dan ibadah. Adapun dari sisi mu’amalah memang banyak kekurangan. wallaahu a’lam.
assalamu’alaikum ustadz, bagaimanakah sebenarnya perbandingan antara muhaddits dengan fuqoha? Ada kisah yg kami dapatkan sebagai berikut, mohon tanggapannya:
Suatu ketika al-A’masy (w. 148 H) duduk bersama Imam Abu Hanifah (w. 150 H). datanglah seorang laki-laki bertanya sesuatu hukum kepada al-A’masy. Al-‘Amasy berkata; wahai nu’man! (Imam Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu! Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Al-A’masy kaget dan bertanya, dari mana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah?
Imam Abu Hanifah menjawab, dari hadits yang engkau bacakan kepada kami.
Al-A’masy (w. 148 h) menimpali:
ﻧﻌﻢ ﻧﺤﻦ ﺻﻴﺎﺩﻟﺔ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﺃﻃﺒﺎﺀ
Iya benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya
Istilah Muhaddits dan fuqaha’ di masa salaf tidak sama dengan di masa-masa berikutnya, apalagi di masa sekarang ini. Yg namanya muhaddits sejati di zaman mereka rata-rata juga ahli fiqih, karena di masa itu kitab-kitab fiqih belum banyak dijumpai, mungkin hanya satu-dua saja. Dan fiqih adalah pemahaman yg diambil dari dalil-dalil dalam Al Qur’an dan Hadits. Nah, kalaulah Al Qur’an itu sudah dihafal oleh para ulama karena jumlahnya yg relatif sedikit dan untuk menghafalnya tidak perlu capek-capek merantau ke berbagai penjuru dunia; maka lain halnya dengan hadits di masa itu. Untuk mencari hadits seseorang harus merantau kesana-kemari dan memiliki hafalan yg baik. Oleh karenanya, secara logika seorang ahli hadits mestinya lebih faham agama (faqieh) daripada yg sekedar belajar fiqh tanpa menggeluti dunia hadits, karena yg seperti itu fiqhnya biasanya hanya berdasarkan Al Qur’an dan Qiyas, atau kalaupun berdasarkan hadits maka haditsnya tidak shahih karena ybs tidak ahli dalam memilah mana yg shahih dan mana yg bukan, sedangkan penyusunan kitab yg hanya memuat hadits shahih baru terjadi di era Imam Bukhari yg baru lahir 40 tahun lebih stlh Abu Hanifah wafat. Jadi, bisa dipastikan bahwa pihak yg tidak menghafal banyak hadits akan kesulitan dalam mencari pijakan dlm beragama, sehingga akan lebih banyak menggunakan ra’yu, sebagaimana madrasah Imam Abu Hanifah dikenal dengan julukan Madrasah Ahlir Ra’yu. Jadi, apa yg dikatakan Al A’masy adalah semata-mata karena ketawadhu’an beliau -kalaupun kisah itu benar-. Contohnya Muhaddits yg faqieh cukup banyak, spt Imam Bukhari, At Tirmidzi, Abu Dawud, Al Baihaqi, Malik, Ahmad, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Sa’id ibnul Musayyab, Urwah bin Zubeir, Az Zuhri, Ibnul Mubarak, (tiga dari Imam yg 4 semuanya tergolong muhaddits, dan madzhab mereka lebih kuat dari sisi dalil daripada madzhab Abi Hanifah). Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan (من طلب الحديث قويت حجته) Siapa yg mencari hadits maka hujjahnya akan kuat. Dan beliau pernah berdebat dengan murid Imam Abu Hanifah yg bernama Muhammad bin Hasan Asy Syaibani, ttg siapakan yg lebih alim: Abu Hanifah (gurunya Muhammad bin Hasan) ataukah Imam Malik (gurunya imam Syafi’i). dan perdebatan itu diakhiri dengan rujuknya Muhammad bin Hasan kepada pendapat imam Syafi’i bahwa Imam Malik lebih alim, karena beliau lebih tahu dalam masalah hadits, sedangkan hadits adalah syarah bagi Al Qur’an. Lalu beliau juga lebih faham dengan ijma’ ulama, karena beliau sering berdalil dengan pendapat ahli Madinah di zamannya yg mayoritasnya menimba ilmu dari para sahabat nabi. Lalu ketika ditinjau dari sisi qiyas pun, maka orang yg lebih banyak mengetahui ttg hadits dan ijma’ otomatis lebih tepat qiyasnya, daripada yg tidak banyak mengetahui kedua hal tadi.
Wallaahu a’lam.
Adapun hari ini, maka kualitas keilmuan umat islam telah jauh menurun, sehingga kita mengenalnya dengan istilah zaman spesialisasi. Orang yg bergelut dibidang hadits rata-rata lemah di bidang tafsir, fiqih, usul fiqih, dan bahasa. Demikian pula yg lainnya… karena masing-masing ilmu cenderung digeluti secara terpisah, dan jarang sekali kita menemukan ulama ensiklopedi yg mumpuni dalam banyak hal…
Wallaahu a’lam.
jazaakallahu khairan ust
PANDANGAN SYEKH ALBANI TERHADAP MURIDNYA, SYAIKH ALI AL-HALABI
Kepada para pembaca sekalian, berikut ini adalah sekelumit pujian dari Syaikh al-Albânî, imam ahlus sunnah di zaman ini, yang memuji muridnya, Syaikh ‘Alî dan mengakui kadar keilmuan beliau. Dan bandingkanlah dengan ucapan penghujat yang ghulû lagi jâhil, yang dibakar rasa ashobiyah dan taqlîdul a’mâ, yang arogan lagi sombong, yang tidak mengetahui keutamaan ahlul fadhl… Syaikh Muhammad Hassân pernah berkata ketika membela Syaikh al-Albânî dari tuduhan para penghujat…
ولا ينكر فضل أهل الفضل إلا جاحظ ولا يعرف فضل أهل الفضل إلا أهل الفضل
“Tidak ada yang mengingkari keutamaan orang-orang yang memiliki keutamaan melainkan ia adalah orang yang tidak tahu diri, dan tidak ada orang yang mengetahui keutamaan ahlul fadhl (orang yang memiliki keutamaan) melainkan ia adalah orang yang juga memiliki keutamaan (ahlul fadhl).”
Saya katakan, Syaikh ‘Alî adalah seorang yang memiliki keutamaan (ahlul fadhl), dan mereka yang mencela dan merendahkan keutamaan ahlul fadhl, maka mereka adalah orang yang jahil, sombong lagi arogan. Dan saya katakan, si dokter dari Tuban ini adalah orang yang tidak mengetahui keutamaan ahlul fadhl, dan dia adalah orang yang tidak tahu diri… lihatlah bagaimana orang-orang yang memiliki keutamaan memuji ahlul fadhl, seperti Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Albânî yang memuji Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Halabî…
Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh Nâshirussunnah Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî rahimahullâhu berkata di dalam buku fenomenal beliau Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (II/720) ketika menjelaskan kedustaan Hassân ‘Abdul Mannân :
«… وبسط القول في بيان عوار كلامه في تضعيفه إياها كلها يحتاج إلى تأليف كتاب خاص، وذلك مما لا يتسع له وقتي؛ فعسى أن يقوم بذلك بعض إخواننا الأقوياء في هذا العلم ؛ كالأخ علي الحلبي».
“Pemaparan pendapat lebih jauh untuk menjelaskan lemahnya ucapannya (Ibnu ‘Abdil Mannân) di dalam pendhaifan (hadits) semuanya memerlukan penulisan buku tersendiri yang khusus, namun tidak ada kelapangan waktu padaku. Semoga saja ada sebagian dari saudara-saudara kami yang kuat di dalam ilmu ini (yaitu ilmu hadits) seperti saudara ‘Alî al-Halabî, mau untuk melakukannya (yaitu menulis buku membantah Ibnu ‘Abdil Mannân)…”
Bandingkanlah pujian Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh Nâshirussunnah Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî rahimahullâhu ini dengan ucapan seorang dokter yang sok alim lagi arogan dan sombong, yang mencela dan mendiskreditkan keilmuan Syaikh ‘Alî di dalam ilmu hadits… Mungkin si dokter yang zhalim ini merasa dirinya setingkat dengan Al-‘Allâmah al-Muhaddits al-Faqîh Nâshirussunnah Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî rahimahullâhu.
Al-Muhaddits al-Faqîh Nâshirussunnah Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî rahimahullâhu berkata di dalam Hukmu Târik ash-Sholâh (hal. 22, cet. 1 Dârul Jalalain, Riyadh, 1412) :
فهذا بحث علمي لطيف في تخريج و شرح حديث نبوي شريف أصله من أحاديث المجلد السابع من كتابي : (سلسلة الأحاديث الصحيحة ) و رأيت إفراده بالنشر لأهميته و كبير فائدته و ذلك بعد أن رآه بعض إخواننا فاقترح علي نشره مفردا من باب الاستعجال بالخير فوافق ذلك ما عندي فدفعت صورة منه إلى صاحبنا و تلميذنا الشاب علي بن حسن الحلبي ليقوم بتهيئته للنشر و إعداده للطبع مع كتابة مقدمة علمية له تقرب فوائده للقراء الأفاضل
“Ini adalah pembahasan ilmiah di dalam men-takhrîj dan menjelaskan hadits nabi yang mulia ini, yang pada asalnya adalah kumpulan hadits dari bukuku Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah jilid ketujuh, saya memandang perlunya mempublikasikan secara tersendiri disebabkan karena urgensinya dan besarnya faidahnya. Yang demikian ini adalah setelah sebagian saudara kami memandang dan menyarankan kepada saya untuk mempublikasikannya secara tersendiri, sebagai bagian untuk bersegera di dalam kebaikan. Maka dirikupun menyetujuinya dan kuberikan kopi pembahasan ini kepada sahabat dan murid kami yang masih muda, ‘Alî bin Hasan al-Halabî, supaya beliau mengatur pemublikasiannya dan mempersiapkan pencetakannya, disertai dengan penulisan pendahuluan ilmiah agar para pembaca budiman dapat mengambil faidahnya.”
Saya berkata : Demikianlah pujian ahlul fadhl kepada ahlul fadhl…
Beliau rahimahullâhu berkata di dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (VI/401) :
فقد بلغني عن بعض إخواننا المشتغلين بهذا العلم الشريف أنه عثر على قطعة منه غير مطبوعة ، فلعل الحديث فيها ، فإن وجد فغالب الظن أنه من طريق عطاف هذا . ثم صدق ظني هذا ، فقد أفادني هاتفيا الأخ علي الحلبي – جزاه الله خيرا – أن الحديث أورده الحافظ ابن حجر في ” أطراف المسند ” ( 1 / 48 / 84- تحقيق الأخ سمير )
“Telah sampai padaku dari sebagian saudara-saudara kami yang menghabiskan waktunya dengan ilmu yang mulia ini, bahwa dia telah menemukan bagian (naskah) yang belum dicetak, mungkin hadits (tersebut) ada di dalamnya. Jika memang ada, maka kuat dugaan saya hadits tersebut dari jalur ‘Athâf. Ternyata kemudian dugaanku ini memang benar, dan saudara ‘Alî al-Halabî –Jazzâhullâhu khoyrô- telah memberikanku faidah via telpon bahwa hadits ini dipaparkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Athrâf al-Musnad (I/48/84 – dengan tahqîq (verifikasi) saudara Samîr)
Saya berkata : Lihatlah bagaimana tawâdhu’-nya Syaikh al-Albânî yang mau menerima faidah dari murid dan saudaranya, Syaikh ‘Alî al-Halabî…
Beliau rahimahullâhu berkata di dalam ar-Radd al-Mufhim (hal. 79, catatan kaki) :
…وقد ذكر صاحبنا الفاضل علي الحلبي في رسالته النافعة : ” تنوير العينين ” ( ص 17 – 27 ) أقوال أربعة عشر منهم وكل من وقف عليها يتبين أن بعضهم يقلد بعضا وأنهم يخوضون فيما لا علم لهم به، والله المستعان”
“Rekan kami yang mulia, ‘Alî al-Halabî telah menyebutkan di dalam risalahnya yang bermanfaat, Tanwîr al-‘Aynayn (hal. 17-27) empat belas pendapat dari mereka dan setiap orang yang menelaahnya akan jelas padanya bahwa sebagian mereka itu bersikap taqlid dengan lainnya dan mereka masuk ke dalam suatu hal yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya, Wallohul Musta’an.”
Syaikh rahimahullâhu juga berkata di dalam ar-Radd al-Mufhim (hal. 89) :
“ومن ذلك أن المومى إليه انتقد صاحبنا علي الحلبي لأنه استشهد في تقوية حديث عائشة بقول الحافظ في “التلخيص”…[ثمّ قال ناصِراً قولَ الشيخِ عليّ ومُجيباً لمن انتقَدَه]: وهذا انتقادٌ باطلٌ يدلُّ على جهلٍ بالِغٍ بهذا العلم الشريف وأصوله…”
“Oleh karena itu, orang yang dijadikan rujuan ini, telah dikritisi oleh rekan kami, ‘Alî al-Halabî, pasalnya beliau memperkuat dengan syawâhid penguatan hadits ‘Â`isyah dengan ucapan al-Hâfizh di dalam at-Talkhîsh…” Kemudian Syaikh Nâshir membawakan perkaaan Syaikh ‘Alî dan menjawab orang yang mengkritik beliau : “Kritik ini adalah batil, menunjukkan kejahilan yang nyata terhadap ilmu dan mulia ini dan pokok-pokoknya…”
Saya berkata : Demikianlah sikap al-Muhaddits al-Albânî terhadap muridnya Syaikh ‘Alî, dan pembelaan beliau terhadapnya…
Syaikh rahimahullâhu berkata di dalam Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah (XIII/290) ketika membantah ulama yang menshahihkan suatu hadits yang dha’if :
بخلاف صاحبنا الشيخ علي الحلبي ؛ فقد علق عليه في طبعته بقوله (489) : “رواه ابن عدي في “الكامل ” (7/ 2561) ، وفي سنده هيثم بن جماز : منكر الحديث ، وكذبه بعضهم “، جزاه الله خيراً
“Berlainan dengan rekan kami asy-Syaikh ‘Alî al-Halabî, maka beliau telah mengomentari hal ini di dalam cetakannya dengan perkataan (hal. 489), “diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adî dalam al-Kâmil (VII/2561), di dalam sanadnya adalah Haytsâm bin Jamâz, seorang yang munkar al-hadîts¸dan sebagian ulama mendustakannya.” Semoga Alloh membalasnya (Syaikh ‘Alî) dengan kebaikan.”
Syaikh rahimahullâhu berkata di dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (VI/137) :
…فإن سليمان بن بلال ثقة حجة متفق على الاحتجاج بحديثه عند الشيخين وغيرهما ، و لم يرم بتدليس ، فكيف يصح إعلال حديثه بمثل ( عبد الله ) هذا الضعيف؟! ولقد أحسن الرد عليه الأخ علي الحلبي فيما علقه عليه ، جزاه الله خيرا
“Sesungguhnya Sulaimân bin Bilâl adalah seorang yang tsiqqoh (kredibel) dan hujjah, telah disepakati bahwa haditsnya dapat digunakan sebagai hujjah menurut Syaikhayn dan selainnya. Tidak ada yang menuduhnya dengan tadlîs, lantas bagaimana bisa dibenarkan penilaian cacat hadits beliau sebagaimana dilakukan oleh orang semisal ‘Abdullah (al-Harari) yang lemah? Sungguh bagus bantahan saudara ‘Ali al-Halabî padanya dan komentar beliau kepadanya. Semoga Alloh membalas beliau dengan kebaikan.”
Syaikh rahimahullâhu berkata di dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (X/23) ketika membantah Hasan as-Saqqof al-Jahmî :
وقد كفاني مؤنة الرد عليه والكشف عن زوره وبهتانه، وجهله وضلاله: الأخ الفاضل علي الحلبي في كتابه القيم “الأنوار الكاشفة لـ “تناقضات ” الخسَّاف الزائفة وكشف ما فيها من الزيغ والتحريف والمجازفة”
“Telah cukup bagiku bantahan yang mantap kepadanya (as-Saqqof) dan penyingkapan atas kebohongan, kedustaan dan kesesatannya, yang dilakukan oleh saudara yang mulia, ‘Alî al-Halabî di dalam bukunya yang bermutu, “al-Anwârul Kâsyifah li Tanâqudhây al-Khassâf az-Zâ`ifah wa Kasyfu mâ fîhâ min az-Zaygh wat Tahrîf wal Mujâzafah.
Syaikh rahimahullâhu berkata di dalam Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah (XIII/290) ketika membantah Syaikh Ismâ’îl al-Anshârî ‘afâllohu ‘anhu :
…وليس غرضي في هذه المقدمة الرد عليه في هاتين الفِرْيَتَيْن، فقد كفاني في ذلك الأخ الفاضل علي حسن عبد الحميد الحلبي في رسالته القيمة في التعقيب على رسالة الأنصاري المذكورة، وبيان ما فيها من الأخطاء الكثيرة، وهي مطبوعة، فليرجع إليها من شاء الوقوف على الحقيقة، فإنه سيرى مع ذلك الفرق الشاسع بين رد الأنصاري وتهجمه عَلَيّ، ورد صاحبنا عليه، وتأدبه معه تأدباً لا يستحقه الأنصاري لبغيه واعتداءاته المتكررة
“Saya tidak bermaksud di dalam muqoddimah ini membantah dirinya (Syaikh Ismâ’îl al-Anshârî) tentang dua hal tuduhannya yang keliru. Karena sudah cukup bagiku tentang hal ini apa yang ditulis oleh saudara yang mulia, ‘Alî Hasan ‘Abdul Hamîd al-Halabî di dalam risalahnya yang kokoh, yang membantah risalah al-Anshârî dan menjelaskan di dalam risalahnya tersebut kesalahan-kesalahan (al-Anshârî) yang sangat banyak. Risalah (Syaikh ‘Alî) ini sudah tercetak, silakan merujuk padanya bagi yang berkehendak untuk menelaah hakikatnya lebih jauh. Bagi orang yang menelaahnya niscaya ia akan mendapati adanya perbedaan yang nyata antara bantahan al-Anshârî dan hujatannya kepadaku, dengan bantahan rekan kami (Syaikh ‘Alî) terhadapnya yang penuh dengan adab yang tidak sepatutnya al-Anshârî terus melakukan kebencian dan permusuhannya.”
Syaikh rahimahullâhu berkata di dalam Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah (III/628) yang menunjukkan kerendahhatian beliau yang tidak segan untuk mengambil faidah dari muridnya, Syaikh ‘Alî al-Halabî :
…هذا ما كنت كتبته منذ نحو عشر سنين أو أكثر، وقبل طبع كتاب ” الثقات ” لابن حبان رحمه الله، فلما مرت تجربة هذا الحديث تحت يد الأخ علي الحلبي لتصحيح أخطائها المطبعية كتب بجانبه مذكرا – جزاه الله خيرا
“Inilah yang telah aku tulis semenjak sepuluh tahun lalu atau lebih, sebelum dicetaknya buku ats-Tsiqôt karya Ibnu Hibbân rahimahullâhu. Ketika aku mendapati penelitian hadits ini dari tangan saudara ‘Ali al-Halabî yang membetulkan kesalahan-kesalahan cetak dan memberikan catatan pada sisi (buku), semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan…”
Syaikh rahimahullâhu berkata di dalam Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah (XII/181) :
فقد أحسن أخونا أبو الحارث الحلبي صنعاً في حذفه الأحاديث الضعيفة من مختصره الذي سماه ” المنتقى النفيس من تلبيس إبليس
“Sungguh baik apa yang dilakukan oleh saudara kami Abûl Hârits al-Halabî di dalam menghilangkan hadits-hadits yang lemah di dalam ringkasannya yang berjudul al-Muntaqô an-Nafîs min Talbîs Iblîs.”
Syaikh rahimahullâhu berkata di dalam Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah (XII/540) ketika mengomentari hadits-hadits untuk mengkritisi Syaikh Hammûd at-Tuwaijirî rahimahullâhu di dalam bukunya ash-Shârim al-Masyhûr :
وبعد كتابة ما تقدم أفادني الأخ علي الحلبي – جزاه الله خيراً – أن الحديث رواه البحار في ” مسنده ” ، فرجعت إليه ، فوجدت فيه متابعاً قوياً للحماني
“Setelah menulis (buku) yang telah lalu, saudara ‘Alî al-Halabi –jazzâhullahu khayra- memberikanku faidah bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bahhâr di dalam Musnad-nya, dan setelah aku merujuknya kudapati di dalamnya terdapat penyerta yang kuat karya al-Hamânî…”
Syaikh Abû ‘Abdillâh ‘Azamî al-Jawâbirah menceritakan pujian Syaikh al-Albânî rahimahullâhu terhadap Syaikh ‘Alî, ketika beliau rahimahullâhu memberikan nasehat kepada Abû Ruhayim :
إن كانت عقيدتك مثل عقيدة المشايخ الثلاثة الذين تدافع عنهم، وهم ابن باز، وابن عثيمين، والألباني، فعقيدةُ الأخ علي هي مثل عقيدتهم، وإن كانت عقيدتك خلاف عقيدة الأخ علي، فأنا على استعداد للجلوس معك
“Jika ‘aqidahmu (wahai Abu Ruhayyim) seperti aqidah para imam yang tiga yang tengah engkau bela, yaitu Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimîn dan al-Albânî. Maka aqidah saudara ‘Alî itu seperti aqidah mereka. Apabila aqidahmu menyelisihi aqidah saudara ‘Alî, maka aku siap untuk duduk (berdiskusi) denganmu.” (Tanya Jawab tertanggal 20 Rabi’ul Awwal 1422, yang disaksikan oleh Lâfî Syatharât dan Kâmil al-Qosysyâsy).
Syaikh ‘Azamî al-Jawâbirah di dalam “Mâdzâ yanqimûna min al-Imâm al-Albânî” (hal. 14), mengatakan :
ولقد سألت أستاذنا الشيخ ناصراً ما رأيك في مخالفة أبي رحيم للشيخ علي الحلبي؟، … فقال شيخنا رحمه الله بالحرف الواحد والله على ما أقولُ شهيد الأخُ عليّ يعدل ألف واحدٍ مثل أبي رحيم
“Saya telah bertanya kepada ustadz kami, Syaikh Nâshir, apa pandangan Anda mengenai perselisihan Abû Ruhayyim terhadap Syaikh ‘Alî al-Halabî?. Guru kami rahimahullâhu menjawab dengan ucapan yang tegas : Demi Alloh yang menjadi saksi atas perkataanku, saudara ‘Alî itu sepadan dengan seribu satu orang semisal Abû Ruhayyim.”
Sungguh, pujian dan sanjungan Imam dan Muhaddits zaman ini, Nâshirus Sunnah al-Albânî kepada Syaikh ‘Alî al-Halabî sangat banyak dan bertebaran di buku-buku dan ceramah Syaikh. Tidak heran jika kita mendengarkan di kaset-kaset syaikh, beliau mengatakan :
“Di mana Abûl Hârits?”, “Mari kita dengarkan Abûl Hârits!”, “Kemarilah wahai Abûl Hârits!”, “Bagaimana menurutmu wahai Abûl Hârits?”, “Sepertinya Abûl Hârits ingin memberikan komentar!”, “bukankah demikian wahai Abûl Hârits?”… dll
Oleh karena itulah, Syaikh ‘Athiyah Sâlim berkata di dalam bukunya Shafahât al-Baidhâ` min Hayâti al-Imam al-Albânî (hal. 52) menceritakan bahwa ‘Ubâdah, cucu Syaikh al-Albânî, pernah bertanya kepada kakeknya sebulan sebelum wafatnya Syaikh, siapakah orang yang paling berilmu tentang ilmu hadits saat ini, maka syaikh menjawab : Alî Hasan al-Halabî dan Abû Ishâq al-Huwainî.
Bahkan al-‘Allâmah Hammâd al-Anshôrî mengatakan “Saya menduga/berfirasat bahwa ‘Alî Hasan ‘Abdul Hamîd akan menjadi khalîfah (pengganti) Syaikh Nâshiruddîn al-Albânî.” (al-Majmû’ fî Tarjamati al-‘Allâmah Hammâd al-Anshârî rahimahullâhu karya ‘Abdul Awwal bin Hammâd al-Anshârî, lihat : http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=1864)
Faqîhuz Zamân, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, ketika musim haji 1420 pernah memberikan tanya jawab, ketika itu beliau ditemani oleh Syaikh Rabî’ bin Hâdî dan Syaikh ‘Alî al-Halabî. Di salah satu kesempatan tanya jawab, Syaikh ‘Utsaimîn berkata :
سلو ذلك البحر
“Tanyakan pada samudera (ilmu) itu” sembari menunjuk kepada Syaikh ‘Alî al-Halabî.
Ketika mendengar ini, Syaikh ‘Alî langsung menjawab :
تأوّلت ذلك على المداعبة ، فأنا لستُ كذلك ، فلستُ بالبحر ، ولا بالنّهر ، ولا غير ذلك ، نستغفر الله ، ونسأله حسن الخاتمة ، اللهم لا تؤاخذني بما يقولون ، واغفر لي ما لا يعلمون ، واجعلني خيراً مما يظّنون
“Saya menganggap ucapan syaikh hanya untuk menyenangkanku saja. Karena saya tidak demikian, saya bukanlah samudera (ilmu), bukan sungai (ilmu) dan bukan pula selainnya. Kami memohon ampunan Alloh dan meminta husnul khâtimah. Ya Alloh janganlah Engkau menyiksaku oleh sebab ucapan mereka, ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui, dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.”
Subhânalloh. Betapa mulia dan tawâdhu’nya Syaikh ‘Alî. Oleh karena itu tidak heran jika banyak yang hasad dan dengki dengan beliau.
Al-‘Allâmah, ahli hadits negeri Yaman, Muqbil bin Hâdî al-Wâdi’î, di dalam buku Tuhfatul Mujîb ‘alâ As`ilatil Hâdhir wal Ghorîb (hal 160), ketika ditanya tentang ulama yang beliau nasehatkan untuk merujuk padanya, membaca buku-bukunya dan mendengarkan kaset-kasetnya, maka syaikh menjawab :
قد تكلمنا على هذا غير مرة، ولكننا نعيد مرةً أخرى، فمنهم الشيخ ناصر الدين الألباني -حفظه الله-، وطلبته الأفاضل مثل الأخ علي بن حسن بن عبدالحميد
“Kami telah membicarakan masalah ini berulang-ulang kali, akan tetapi akan kami ulangi sekali lagi. Di antara mereka (yang diambil ilmunya) adalah Syaikh Nâshiruddîn al-Albânî dan murid-murid beliau yang mulia, seperti saudara ‘Alî bin Hasan bin ‘Abdul Hamîd.”
Syaikh Amjad Salhub menceritakan, bahwa ketika umroh, beliau dan beberapa rekan menemui Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd. Diantara yang beliau tanyakan kepada Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbâd adalah tentang ulama di negeri Syam yang dinasehatkan Syaikh al-‘Abbâd untuk menimba ilmu darinya. Maka Syaikh al-‘Abbâd menjawab :
عليكم بالشيخ علي حسن
“Hendaklah kamu (mengambil ilmu) kepada Syaikh ‘Alî Hasan!”
Nasehat ini pula yang termuat di dalam muqoddimah Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah cetakan II, yang menasehatkan penuntut ilmu untuk mengambil ilmu di negeri Syâm kepada masyaikh Markaz Imam Albânî.
Al-‘Allâmah Sa’d al-Hushayyin di dalam buku beliau ad-Da’wah wad Du’â` Syar’un minallahi li Jamî’ ‘Ibâdihi berkata :
وأكثرُ مِنْ هؤلاء: مَنْ بلغ درجة العالِم والمحدِّث دون عونٍ من الدَارسة الجامعيّة في هذا العصر وخيرُ مَثَلٍ لهذه الفئة المباركة: علي بن حسن بن عبد الحميد (الحلبي)
“Mayoritas mereka, ada yang mencapai tingkatan ‘alim dan muhaddits tanpa melalui pendidikan formal perguruan tinggi di zaman ini. Contoh terbaik dalam golongan yang penuh berkah ini adalah, ‘Alî Hasan bin ‘Abdul Hamîd al-Halabî.”
Dan masih banyak lagi untaian sanjungan dan pujian dari para ulama ahlus sunnah, yang sekiranya kami kumpulkan semuanya, niscaya dapat menjadi sebuah buku tersendiri…
Kepada sang dokter yang arogan, saya katakan :
اعلم قدرك فسلم
“Ketahuilah kapasitasmu maka engkau akan selamat”
ما أنت الحكم الترضى حكومته ولا الأصيل ولا ذي الرأي جدل
Engkau bukanlah hakim yang dianggap keputusannya
Dan bukan pula orang yang ahli dalam berdebat…!!!
حسبك الحديث! فيطمأنّ من عنده القلوب
Hentikan ocehanmu!!! Agar tentram orang-orang yang memiliki hati…!!!
أَصَمَّكَ سُوْءُ فَهْمِكَ عَنْ خِطَابِيْ وَأَعْمَاكَ الضَّلاَلُ عَنْ اهْتِدَاءِ
Jeleknya pemahamanmu membuatmu tuli dari seruanku
Dan kesesatan membuat dirimu buta dari arahanku
[SUMBER : http://abusalma.wordpress.com/2009/02/18/pujian-syaikh-al-albani-terhadap-muridnya-syaikh-ali-al-halabi/