Soal-Jawab
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Kepada ikhwan dan akhwat pengunjung Blog Abu Hudzaifah yg saya cintai…
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas Blog ini, saya khususkan halaman ini bagi yg ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’-nya, baik keluhan, pertanyaan, atau sekedar curhat… Semoga dengan itu semua saya jadi lebih semangat untuk menyampaikan ilmu saya kepada antum semua.
Jadi, saya tunggu partisipasi antum… Jazakumullahu khairan katsieran,
Wassalaam,
Assalamu’alaykum..
ustadz, benarkah kisah Syaikh asSa’di dgn sayyid Alwi disini http://alimahkrus.multiply.com/journal/item/22 Kemudian apakah benar mngambil berkah dgn cara sprti itu?
Jazakallahukhairan..
Wa’alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh.
Kebenaran kisah tsb sangat diragukan, karena yg menceritakan adalah ahlul bid’ah yg tidak bisa kita percaya, apalagi kisah tersebut mendukung bid’ah mereka. Dalam ilmu hadits, jika seorang perawi ahli bid’ah meriwayatkan hadits yg mendukung bid’ahnya, maka riwayatnya tidak bisa kita terima sampai terbukti kebenarannya lewat riwayat perawi lain yg bukan ahli bid’ah.
Memang air hujan mengandung berkah, dan ka’bah juga diberkati, tapi mengambil berkah dengan cara seperti itu –sejauh yang ana ketahui– tidak pernah diajarkan oleh Nabi maupun para sahabatnya. Dan kalau lah hal itu merupakan amal shalih yg dianjurkan, mana mungkin Nabi tidak memerintahkannya, padahal ketika thawaf Nabi tidak mengusap-usap tembok ka’bah seluruhnya karena mencari berkah, namun hanya hajar aswad dan rukun yamani. lalu menempelkan dada dan pipinya di multazam, bukan di bagian ka’bah lainnya. Nah, siapa yg lebih ‘demen’ kepada berkah dan amal shalih: Alwi Al Maliki ataukah Nabi dan para sahabatnya?
Hmm, kalau cara berdalil spt itu kita ikuti, ana khawatir mereka akan menyuruh orang-orang spy mengambil tanah dari sekitar masjidil haram dan masjidil aqsha karena dlm surat Al Isra’ Allah mengatakan:
سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى التي باركنا حولها
Maha suci Allah yg telah memperjalankan hamba-Nya di malam hari dari masjidil haram ke masjidil aqsha yang Kami berkahi di sekelilingnya.
Atau bahkan mengambil tanah dari seluruh wilayah bumi, karena bumi kan juga diberkati oleh Allah? coba simak ayat berikut:
وجعل فيها رواسي من فوقها وبارك فيها وقدر فيها أقواتها… الآية (سورة فصلت: 9
Dia (Allah) menciptakan gunung-gunung di atas bumi, dan memberkati bumi tersebut serta menentukan kadar makanan yg disimpannya…al ayat.
Apakah ini berarti kita disuruh berguling-guling di atas tanah untuk mencari berkah?
Mereka (NU) sdh kehabisan dalil untuk membela kebatilan mereka, shg berdalil dengan membikin dongeng-dongeng menggelikan spt itu… dibilang wahabi insyaf, wahabi tobat, dsb… Mana buktinya kalau Syaikh Sa’di insyaf? Mestinya mereka menukil statemen beliau dari kitab Syaikh Sa’di yg banyak beredar, bukan dari dongeng yg tidak bisa dilacak kebenarannya tersebut…
afwan ust, ada 1 lagi, bkn berarti ana senang baca syubhat, tp artikel berikut sudah sangat sering ana temui d dunia maya. http://www.aswaja-nu.com/2010/01/dialog-ulama-wahhabi-vs-anak-bau-kencur.html yg ana mau tanyakan hanya yg ketiga poin yg ditnyakan, bkn ttg ustadz ybs..
Jika antum perhatikan lebih cermat, pertanyaan pertama yg dilontarkan oleh “si Bau kencur” tadi tidak masuk dalam kriteria bid’ah yang disebutkan oleh Ustadz Agus H.B. Karena beliau mengatakan: “seperti membaca sholawat yang disusun oleh kalangan ulama shufi,…”. Pertanyaannya: Apakah Sayyidina Ali, Ibnu Mas’ud, dan Imam Syafi’i termasuk ulama shufi? Jelas tidak! Itupun kalau kita terima bahwa mereka memang terbukti membikin redaksi shalawat khusus yg tidak diajarkan oleh Nabi, lha bisakah “Si Bau Kencur” membuktikan hal tersebut dengan menukil riwayat yg shahih di sini??
Adapun pertanyaan kedua ttg doa imam Ahmad, jawabannya adalah: Itu bukan bid’ah. Lagi pula contoh bid’ah yg disebutkan oleh ustadz Agus –kalau benar beliau mengatakan hal itu– tidak tepat. Sebab dalam berdoa kita diberi kelonggaran untuk memanjatkan doa-doa yg kita inginkan, dalil dalam masalah ini sangat banyak, salah satunya adalah hadits berikut:
عن عبد الله بن مسعود قال كنا إذا جلسنا مع رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فى الصلاة قلنا السلام على الله قبل عباده السلام على فلان وفلان فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- « لا تقولوا السلام على الله فإن الله هو السلام ولكن إذا جلس أحدكم فليقل التحيات لله والصلوات والطيبات السلام عليك أيها النبى ورحمة الله وبركاته السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين فإنكم إذا قلتم ذلك أصاب كل عبد صالح فى السماء والأرض – أو بين السماء والأرض – أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله ثم ليتخير أحدكم من الدعاء أعجبه إليه فيدعو به
سنن أبى داود [1 /365]
Dari Ibnu Mas’ud katanya: Dahulu, jika kami dalam posisi duduk (tasyahhud) ketika shalat bersama Rasulullah, kami mengatakan: Assalaamu ‘alallaah, assalaamu ‘ala fulan wa fulan… maka Rasulullah menegur: Jangan kalian katakan Assalaamu ‘alallaahu, karena Allah itulah assalaam. Namun jika kalian duduk (tasyahhud) maka katakan: Attahiyyaatu lillaah wasshalawaatu watthayyibaat, Assalaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu ‘alaina wa ‘ala ibaadillahisshalihien… –bila kalian mengatakan demikian, maka salam itu akan mengenai setiap hamba shalih yg ada di langit dan di bumi– asyhadu allailaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah. setelah itu, kalian bebas memilih doa apa yg kalian sukai. (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan An Nasai yg dishahihkan oleh Al Albani).
Hadits ini jelas memberi kelonggaran kepada kita untuk berdoa dengan doa apa saja yg kita inginkan. Demikian pula hadits ibnu Abbas berikut:
وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
Adapun ketika sujud, maka sungguh-sungguhlah dalam berdoa (di dalamnya), karena doa kalian sangat layak dikabulkan (HR. Muslim no 275). Beliau menyuruh kita bersungguh-sungguh dalam berdoa ketika sujud tanpa mengajarkan doa tertentu, yang berarti hal itu terpulang kepada masing-masing pendoa. intinya, doa yang tidak diajarkan oleh nabi, selama tidak mengandung mukhalafah syar’iyyah, dan dilakukan sesuai sunnah dan secara proporsional; maka tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah. Apalagi jika ada contohnya dari sebagian salaf, seperti imam Ahmad. Jadi, yg perlu dikoreksi adalah pencontohan bid’ah dengan doa yg tidak diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Adapun pertanyaan ketiga, maka pertama-tama kita katakan: “Tolong sebutkan dengan jelas, dari mana kalian menukil hal tsb?”. Karena sejauh yg ana dapatkan, Ibnu taimiyyah hanya berdzikir dengan suara yg terdengar oleh dirinya, dan ia melakukannya sendirian. Adapun mengulang-ulang bacaan al-fatihah telah dijelaskan oleh murid beliau yg menyaksikan hal tersebut, yaitu dalam rangka menggabungkan dua fadhilah sekaligus, antara fadhilah dzikir dan membaca al-qur’an, karena para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang didahulukan: wirid ataukah membaca al-qur’an? Nah, dengan membaca al-fatihah berulang-ulang (yg juga merupakan wirid selepas shalat), beliau telah melakukan dua hal sekaligus. Ini menurut pemahaman murid beliau yg menyaksikan rutinitas beliau tersebut setiap pagi. Adapun mengangkat pandangan ke langit, maka hal itu sama sekali tidak dilarang dan tidak pula diperintahkan (sejauh yg ana ketahui), lantas mengapa harus dikaitkan dengan bid’ah? Padahal boleh jadi itu merupakan reflek beliau saja tanpa diiringi keyakinan tertentu bahwa hal itu dianjurkan…
Kalaupun kita terima bahwa hal itu memang bid’ah yg tidak dicontohkan oleh Rasulullah, itu tidak berarti bahwa Ibnu Taimiyyah merupakan ahli bid’ah, karena definisi ahli bid’ah adalah orang yang mengajarkan bid’ah kepada orang lain (penyeru bid’ah), bukan orang yg melakukan sesuatu yg dianggapnya baik, tapi ternyata bid’ah. yang kedua ini namanya mujtahid yg keliru, atau jahil, bukan mubtadi’, wallahu a’lam.
Assalamu’alaykum Ustadz,
Ana berniat puasa sunnah malam tadi, tapi qodarullah paginya ana terbangun saat adzan subuh sedang dikumandangkan. Ana bergegas sekedar minum segelas air.
Tapi kemudian ana menjadi ragu apakah puasa ana tersebut sah dan bisa dilanjutkan karena ana sebelum mengambil minum adzan sedang berkumandang. Bagaimana dengan puasa ana, apakah bisa diteruskan ?
Syukron katsiron atas jawaban ustadz.
Wassalamu’alaykum
Wa’alaikumussalaam…
Sebagian besar mesjid di Indonesia mendasarkan adzan subuhnya pada kalender (jadwal waktu shalat abadi) yg disusun oleh Depag atau lembaga lainnya. dan melalui sejumlah pengamatan di lapangan, terbukti bahwa waktu subuh yg mereka tetapkan lebih cepat dari munculnya fajar shadiq (waktu subuh sebenarnya). Bahkan rata-rata lebih cepat sekitar 20 menit (dari jadwal Depag). karenanya, kalau mesjid tsb adzannya berdasarkan kalender, maka antum masih boleh makan minum selama 15 menit lah kira-kira. Jadi teruskan aja puasanya, ga papa.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabaarokatuh
Ana ingin menanyakan beberapa hal terkait UDHHIYAH
1.Bolehkah menyembelih UDHHIYAH sendiri tanpa dikirim ke panitia masjid sebagaimana umumnya, karena ada beberapa panitia majid yang menjual daging sembelihan. (dan terkadang mendapat sorotan dari masyarakat setempat)
2.Ketika menyembelih sapi dari urunan 7 orang, bolehkah kita baca do’a dikhususkan satu persatu, misalnya Allahumma taqabbal min Ali, Allahumma taqabbal min Hasani dst sebanyak 7 orang
3.Ana pernah baca artikel yang melarang panitia UDHHIYAH, makan-makan dengan daging sembelihan di masjid, seperti umumnya di masyarakat. Yang ana tanyakan jika panitia semuanya juga menyembelih UDHHIYAH, apakah mereka tetap dilarang makan-makan bersama dari hasil daging sembelihan di masjid?
Jazaakallohu khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh
Jawaban atas soal 1: Boleh, bahkan itulah yg dianjurkan, karena Nabi menyembelih sendiri hewan kurbannya..
jawaban atas soal 2: Laa adri (ana tidak tahu).
jawaban atas soal 3: Larangan tsb berangkat dari hadits Ali dlm shahihain bahwa Nabi menyuruhnya agar mengurus penyembelihan kurban beliau, dan melarangnya untuk memberikan bagian dari hewan kurban tsb kepada jagal.
Menurut Syaikh Utsaimin, kalau seseorang mengatakan kepada si Jagal: SEmbelihlah kurban ini –dan ongkosnya untuk tiap ekor adalah 50 ribu misalnya–, tapi ia mengatakan: “Kamu kuberi uang 25 ribu dan 25 ribu sisanya berupa daging/kulit/yg lainnya”. maka ini tidak boleh, karena ia berarti menjual udhiyyah yg tidak boleh dijual. Kalau Panitia Udhiyyah di sini bertindak sebagai jagal, yg memungut bayaran atas penyembelihan, pengulitan, dan pembagian daging; maka panitia tidak boleh diberi bagian dari hewan kurban (baik daging/yg lainnya) sebagai upah mereka. upah mereka harus dibayar penuh berupa uang, baru kemudian kalau mereka mau diberi tambahan daging kurban sebagai hadiah ya silakan. Namun jika panitia juga menyembelih udhiyyah maka khusus daging kurban mereka boleh dimakan, yakni secara terpisah dari daging kurban selain mereka. wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabaarokatuh
Ustadz, apabila sholat di belakang imam sedangkan imam tersebut ketika sholat posisinya selalu mencondongkan/memiringkan ke kanan dari arah kiblat apakah sholatnya sah? kemudian apakah segala sesuatu yang diharamkan itu juga dapat dihukumi najis? Jazaakallohu khoiron
wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Insya Allah tetap sah, karena Nabi pernah bersabda ketika menentukan arah kiblat warga madinah: “Maa bainal masyriqi wal maghribi qiblatun”, Antara timur dan barat adalah arah kiblat (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan: hasan shahih, dan dishahihkan oleh al-Albani). berikut ini adalah penjelasan Imam Ahmad ttg hadits tsb:
هذا في كل البلدان قال وتفسيره أن هذا المشرق وأشار بيساره وهذا المغرب وأشار بيمينه قال وهذه القبلة فيما بينهما وأشار تلقاء وجهه قال وهكذا في كل البلدان إلا بمكة عند البيت ألا ترى أنه إذا استقبل الركن وزال عنه شيئا وإن قل فقد ترك القبلة قال وليس كذلك قبلة البلدان. قيل لأبي عبد الله فإن صلى رجل فيما بين المشرق والمغرب ترى صلاته جائزة قال نعم صلاته جائزة إلا أنه ينبغي له أن يتحرى الوسط.
التمهيد لما في الموطأ من المعاني والأسانيد [17 /60]
“Ini berlaku untuk setiap negeri. penafsirannya adalah: jika ini arah barat, dan itu arah timur (sembari menunjuk dgn tangan kanannya) maka yang di antara keduanya ini adalah kiblat. Demikian pula untuk wilayah-wilayah lainnya, kecuali di Mekkah; maka ia harus mengarah ke baitullah. karena bila dia hanya mengarah ke salah satu sudut ka’bah dan melenceng dari tengah-tengah ka’bah, berarti dia tidak menghadap ka’bah. sedangkan qiblat untuk negeri-negeri selain Mekkah tidaklah demikian”. Beliau ditanya: “kalau seseorang shalat menghadap antara arah timur dan barat, apakah shalatnya sah?” “iya, shalatnya sah tapi sebaiknya dia mencari arah yang tengah-tengah” jawab beliau.
Catatan: menurut Imam Syaukani, hadits ini berlaku untuk orang-orang yang berada di Madinah dan wilayah-wilayah lain yang berada di utara Mekkah, atau bagi warga Yaman dan wilayah lain di selatan Mekkah. Sedangkan bagi mereka yang tinggal di wilayah barat atau timur dari Mekkah, maka arah kiblatnya adalah antara utara dan selatan. demikian pula orang yang tinggal di wilayah timur laut, tenggara, barat daya, dan barat laut dari kota Mekkah, masing-masing memiliki keleluasaan yang sama.
Kesimpulannya, selama kemiringan arah shalat kita tidak sampai 90 derajat dari posisi kota Mekkah, maka shalat tetap sah.
Adapun pertanyaan kedua, maka jawabannya adalah: Tidak semua yang diharamkan berarti najis. Contohnya keledai jinak, dia haram dimakan tapi tidak najis untuk ditunggangi. demikian pula racun, dia haram dimakan/diminum tapi tidak najis. Tapi kalau sudah najis biasanya haram dimakan, seperti bangkai, darah, kotoran manusia dan hewan yang haram dimakan, dsb. wallahu a’lam.
Bismillah.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah taufiq bagi kita.
Ustadz, mau bertanya tentang tanggung jawab anak laki-laki ( perempuan ) terhadap orangtua setelah menikah. Adakah bedanya antara anak laki-laki dan perempuan?
Apakah tanggung jawab (kewajiban) anak laki2 terhadap orang tuanya berlaku terus walaupun sudah menikah sampai orang tua meninggal?
Apakah dalam hal tanggung jawab terhadap orangtua sama dengan tanggung jawab terhadap istri dan anak ataukah lebih penting?
Mencakup apa sajakah tanggung jawab seorang anak terhadap orangtua, hal pokok sajakah atau mencakup hal sekunder ( misal rumah, menghajikan )?
Seandainya terjadi keadaan orangtua dan keluarga (anak + istri) sama-sama kekurangan makan dan uang yang ada pas-pasan mana yang harus diprioritaskan?
Semoga Ustadz berkenan menjawab pertanyaan ana.
Syukron wa jazakalloh khoiron.
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Abu Salman Al-Cireboni.
Assalaamu’alaikum
Tentang wanita yang ditinggal mati suaminya, masa iddahnya empat bulan sepuluh hari, dan dilarang untuk bepergian dan keluar rumah. Apakah larangan ini mutlak? artinya tidak boleh keluar rumah untuk hal apapun juga?
Karena ada ibu yang ditinggal mati suaminya, sementara dia harus menafkahi anak-anaknya, dan termasuk dia harus mengantar anak-anaknya sekolah. Bagaimana solusi terbaiknya ustadz? Jazaakallooh khoiron
Wa’alaikumussalaam. menurut para ulama, wanita yang sedang ‘iddah tidak boleh keluar rumah di siang hari kecuali karena suatu kebutuhan, spt periksa ke rumah sakit (demikian pula mengantar anak sekolah jika memang tidak ada yg bisa mengantarkan selain dia, dan sekolah tidak bisa ditinggal sementara, seperti ketika ujian misalnya), atau karena kondisi darurat spt jika rumahnya dikhawatirkan roboh, atau ada kebakaran, dsb. Jadi, kalau keluarnya di siang hari tidak disyaratkan harus ada alasan darurat, namun karena suatu kebutuhan saja… sedangkan bila keluarnya di malam hari, maka harus karena alasan darurat (mendesak).
Menurut ana, kalau si ibu bisa minta tolong kepada saudaranya untuk mengantar anak-anak, maka itu lebih baik. atau minta izin kepada kepala sekolah untuk cuti sementara. tapi jika keadaan memaksanya untuk mencari nafkah karena tidak ada yang menafkahi, maka apa boleh buat, dengan syarat tidak boleh keluar memakai perhiasan/wewangian apa pun bentuknya. wallaahu a’lam.
ustadz,…ada seorang bapak yang alhamdulillah telah mengaji…beberapa hari ini beliau diranda kebingungan…anaknya perempuan sdh lama bekerja di taiwan..sekarang anaknya mau menikah dengan pria taiwan yang beragama nasrani…bapak ini bingung beliau tidak mau menikahkan anaknya..karna pria tersebut beda agama..tapi kalo tidak di nikahkan anaknya nekat menikah tanpa wali….bagaimana bapak ini harus bersikap ya ustadz?? (atas jawabannya saya ucapka jazakallhu khoir…afwaan ustadz jawabannya sangat di tunggu)…
Wah, kesian juga tuh bapak. Tapi bagaimanapun juga, Allah telah mengharamkan wanita muslimah untuk dinikahi oleh lelaki non muslim. Jadi si Bapak tetap tidak boleh menikahkan anaknya dalam kondisi apa pun. Begini saja, suruh si anak pulang ke Indonesia dengan iming-iming dia akan dinikahkan di Indonesia… nah setelah pulang, tahanlah si gadis di rumah, jangan boleh menikah, dan jelaskan kepada calon suaminya bahwa hal itu tidak boleh dalam agama islam. Suruh dia menikahi wanita non muslim aja… kalo cara ini ga berhasil, ya sudah, tawakkal saja kpd Allah… karena ini memang resiko yg harus ditanggung akibat melanggar larangan Allah. Yaitu dilarangnya seorang wanita muslimah untuk safar tanpa mahrom, apalagi bertahun-tahun di negara Kafir… saya khawatir jika menikah dgn lelaki kafir, bisa-bisa istrinya murtad nanti… jadi, berusahalah untuk mengelabui si anak agar mau pulang semaksimal mungkin, walaupun dengan membuat janji palsu… daripada dia nekat menikah lalu murtad nantinya… wallaahu a’lam.
jazakallohu khoir ustadz atas jawabannya….barokalllohu fiik
ustadz saya ingin menanyakan beberapa hal:
1. dalam penciptaan langit, bumi dan tumbuhan-tumbuhan di dalamnya, apakah ada keterangan mengenai diciptakannya tanah Mekah dalam keadaan tandus
2. apakah ada keterangan Mengapa di bumi Mekah yang tandus ada banyak sumber minyak bumi.
3. Apakah benar teori sains bahwa bumi berputar pada porosnya dan bumi mengelilingi matahari jika ditinjau dari sudut pandang islam dan keterangan-keterangan para ulama
Pertanyaan no 1: ana tidak pernah dengar ttg itu. tapi kalau kita menilik hadits berikut:
لا تقوم الساعة حتى يكثر المال ويفيض حتى يخرج الرجل بزكاة ماله فلا يجد أحدا يقبلها منه وحتى تعود أرض العرب مروجا وأنهارا
Kiamat tidak akan datang sebelum harta melimpah ruah, sampai seseorang keluar membawa zakatnya tapi tidak mendapati seorang pun yg mau menerima, dan (kiamat tidak akan bangkit) sampai bumi Arab kembali penuh dengan tanaman, kebun-kebun, dan sungai-sungai (HR. Muslim).
Kata-kata (حتى تعود) bisa diartikan dengan: “Sampai kembali” atau “sampai menjadi”. Kalau kita artikan: “Sampai bumi Arab kembali dipenuhi kebun-kebun, padang rumput, dan sungai-sungai”, berarti dulunya bumi Arab memang subur. Tapi kalau kita artikan: “Sampai bumi Arab menjadi… dst”, berarti tidak demikian. Wallahu a’lam.
Pertanyaan kedua ana tidak tahu.
Pertanyaan ketiga: Teori sains tidak boleh didahulukan dari nash-nash Al Qur’an dan hadits shahih. Al Qur’an mengatakan bhw matahari yg berjalan, kita imani saja… selesai.
Faham ustadz, syukron wa wabarokAllah fiik.
ust..ada yang bertanya kepada saya..sahabat istri saya..sekarang rencana bercerai dengan suaminya…tapi saya belum tahu sdh di talak atau belum..beliau menanyakan kalo bercerai hak asuh anaknya kepada ibunya atau bapaknya menurut pandangan islam ????
Selama anak tsb belum bisa menentukan pilihan ingin ikut siapa, maka yg paling berhak mengasuhnya adalah ibunya dengan syarat:
1-Ibu tsb belum menikah lagi.
2-Ibu tsb memang layak secara fisik maupun mental untuk mengasuh anaknya, artinya dia bukan wanita yang fasik, atau cacat fisik/mental sehingga tidak bisa memberi perhatian cukup kpd anaknya. Apalagi kalo ibunya non-muslim.
Jika si ibu menikah lagi, maka hak asuh beralih ke ayahnya. demikian pula jika si anak mulai dewasa dan dia memilih tinggal bersama bapaknya, maka bapaknya yg lebih berhak.
Bismillah.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah taufiq bagi kita.
Ustadz, mau bertanya tentang tanggung jawab anak laki-laki ( perempuan ) terhadap orangtua setelah menikah. Adakah bedanya antara anak laki-laki dan perempuan?
Apakah tanggung jawab (kewajiban) anak laki2 terhadap orang tuanya berlaku terus walaupun sudah menikah sampai orang tua meninggal?
Apakah dalam hal tanggung jawab terhadap orangtua sama dengan tanggung jawab terhadap istri dan anak ataukah lebih penting?
Mencakup apa sajakah tanggung jawab seorang anak terhadap orangtua, hal pokok sajakah atau mencakup hal sekunder ( misal rumah, menghajikan )?
Seandainya terjadi keadaan orangtua dan keluarga (anak + istri) sama-sama kekurangan makan dan uang yang ada pas-pasan mana yang harus diprioritaskan?
Semoga Ustadz berkenan menjawab pertanyaan ana.
Syukron wa jazakalloh khoiron.
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Abu Salman Al-Cireboni.
assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh ustad,smoga Allah slu menjaga antum..
ustad ana mau tanya ana sedang tugas jauh dg kluarga dsaat ana sedang tugas mertua ana meninggal smoga Allah mengampuni dosa2 beliau yang menjadi permasalahan dan menjadi kebiasan bila ada salah satu kluarga (yg dindonesia) meninggal maka diadakan tahlilan dan yasinan dan solat qhoib,ditempat kami tugas mengenai sholat qhoib ini yg menjadi pertannyaan ana apakah ini diperbolehkan atau ada dalil Rosulullah melaksanakan? disaat mertua meninggal ana tidak menginfokan kepada atasan hanya teman2 dekat karena ana takut menjadi fitnah kok kluarganya meninggal tidak didoakan(yasin dan tahlil)? mohon penjelasannya ustad ..jazakallah khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh. Aamien, semoga Allah menjaga antum juga. Mengenai shalat ghaib, pendapat yang benar ialah bahwa shalat ghaib dianjurkan atas seorang muslim yang mati di negara kafir, yang menurut asumsi kuat tidak ada yang menyolatkannya. Hal ini berdasarkan apa yang dilakukan Nabi terhadap Raja Najasyi yg muslim, namun wafat di tengah-tengah kaumnya yg kafir, sehingga tidak ada yg menyolatkan beliau di negerinya. Sebab itulah Rasulullah dan para sahabat menyolatkannya secara ghaib. Pun demikian, banyak pula sahabat Nabi yg wafat jauh dari kota Madinah, dan Nabi tidak menyolatkan mereka, karena sudah ada yg menyolatkan. Makanya, Ibnu Taimiyyah, ibnul Qayyim, Al Khatthabi, Abu Dawud, dll berpendapat bhw shalat ghaib hanya dianjurkan bagi mayit yg belum dishalatkan di tempat dia meninggal. Kesimpulannya, antum tidak usah shalat ghaib untuk orang tua, tapi cukup mendoakan saja, atau bersedekah atas namanya, atau berbakti dengan cara-cara lainnya.
klo thdp kaum muslimin yg trtimpa bencana d suatu daerah, apa sholat ghaib berlaku ust? misal sprti kmrn, ada tsunami di mentawai atw gunung merapi yg meletus, kan ada banyak kaum muslimin yg blm disholatkan. Jadi ketika sholat ghqib, dhomirnya diganti mjd “hum”.. Apa ini masyru’ stadz?
Ala kulli haal, masalah ini memang menjadi khilaf. Menurut Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm, shalat ghaib berlaku secara mutlak, baik bagi yang telah dishalatkan maupun yang belum. sedangkan bagi Imam Malik dan Abu Hanifah, shalat ghaib khusus berlaku bagi Nabi ‘shallallaahu ‘alaihi wasallam. Adapun menurut Imam Ahmad, shalat ghaib berlaku bagi yang belum dishalatkan saja. Inilah pendapat yg dirajihkan oleh Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyyah, Al Khattabi, Abu Dawud, dll… dan jika kita lihat dari ‘illah-nya, maka bisa saja dikiaskan kepada orang-orang yang mati karena bencana dan tidak ditemukan jenazahnya, karena mereka sama-sama belum dishalatkan.
Kalau memang antum ingin menyolatkan mereka ya silakan aja… diganti ‘hum’ lebih tepat secara bahasa. Wallaahu a’lam.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabaarokatuh
Ustadz, bagaimana hukumnya pinjam uang riba Bank dari seorang teman, padahal teman tsb tidak mau uang ribanya dipinjam dengan alasan dia tidak mengharapkan / menginginkan uang riba Bank tsb, karena dia hanya berniat mengambil dan memanfaatkan uang pokok tabungannya saja, sementara orang yang meminjam tadi dalam keadaan terpaksa karena tidak punya uang, kemudian suatu ketika orang yang pinjam uang riba Bank tsb berniat untuk mengembalikan pinjaman yang dulu, namun temannya yang punya uang riba tsb tidak diketahui lagi keberadaannya lalu orang ini berniat menginfakkan uangnya tadi kepada orang tak mampu. Pertanyaannya : Apakah perbuatan orang yang pinjam uang riba Bank tsb dibolehkah ? apabila dibolehkan, bagaimana hukumnya melunasi hutang pinjaman dengan cara menginfakkan kepada orang tidak mampu dengan alasan pemilik uang tsb tidak jelas keberadaannya ? Jazaakallohu khoiron
Alaikumussalaaam warahmatullah wabarakaatuh. Allah berfirman yg artinya: “Hai orang-orang beriman, takutlah kalian kepada Allah dan TINGGALKANLAH sisa riba (yang belum kalian ambil), jika kalian benar-benar bertakwa” (al-Baqarah: 278). Ayat ini merupakan perintah wajibnya meninggalkan uang riba dan tidak boleh mengutak-atiknya sama sekali, termasuk meminjamkannya kepada orang lain. Karenanya, tindakan orang yg meminjam uang riba kepada seseorang adalah tindakan keliru, sebab ia meminjam sesuatu yang bukan milik orang tsb, karena uang riba adalah uang haram, yg otomatis secara syar’i tidak berhak dimiliki. Yang meminjamkan juga tidak boleh menerimanya karena itu bukan uangnya. Namun bila bunga Bank yg notabene riba tadi tidak diambill, maka bunga tsb akan dimanfaatkan oleh Bank ybs dan ini berarti ikut menyuburkan praktik riba di masyarakat yang tidak akan membawa berkah. Karenanya, sebaiknya bunga Bank diambil saja untuk pembangunan jalan, atau pembangunan wc umum, atau untuk sarana-sarana umum yg tidak dimakan. Jangan diberikan ke fakir miskin. Wallahu a’lam.
assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..smoga Allah slu menjaga Ustad afwan ustad ana mau tanya mengenai solat Qhoib,kapan sholat ini dikerjakan,apakah apabila ada salah satu kluarga (Orang tua)yang meninggal bolehkah anak melakukan solata Qhoib karena mengingat jasa almarhumah dalam membesarkan anak2nya,dan anak tesebut sedang bekerja diluar negeri tidak bisa pulang..? jazakullah khoiron
Bismillahirrahmanirrahiim.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Afwan ustadz seorang teman dikantor titip pertanyaan. Ana harap ustadz berkenan menjawab pertanyaan tersebut.
Berikut pertanyaannya :
Ada orang mau pinjam duit untuk keperluan usaha. Bukannya ybs tidak mampu tapi kelihatannya karena tidak mempunya cash money.
Kalau saya kasih pinjam uang akan mengganggu usaha saya karena perputaran uang keluar masuk juga tinggi. Rencananya saya akan gunakan asset emas untuk memenuhi hajatnya.
Ada beberapa kemungkinan:
1. Meminjamkan emas batangan atau dinar yang saya miliki, lalu saya minta diganti emas dengan ukuran yang sama, tanpa kelebihan apa2.
2. Saya menggadaikan emas batangan atau dinar yang saya miliki ke Pegadaian Syariah. Uang gadai dipinjamkan ke ybs. Saya minta dia untuk membayar semua biaya yang timbul selama emas itu digadaikan dan membayar uang pinjaman ke pegadaian untuk menebus emas/dinarnya. Saya tidak mengambil keuntungan apa2.
3. Menyewakan emas batangan (bukan dinar) yang saya miliki, nanti terserah ybs memanfaatkannya apakah akan dijual atau digadai lalu uang nya digunakan untuk memenuhi hajat ybs. Pada saatnya emas tersebut harus dikembalikan lagi ke saya ditambah biaya sewa untuk jangka waktu tertentu.
Untuk item 1 dan 2 tidak mengambil keuntungan apa2, kecuali ybs memberikan (tanpa diminta) ketika mengembalikan pinjaman. Tapi untuk item no 3 ada niat untuk mengambil keuntungan karena mereka lakukan untuk usaha dan kemungkinan besar ada keuntungan dari hasil usaha tersebut.
Mau pakai system profit sharing, saya tidak mau karena agak ribet.
Yang akan saya tanyakan hukumnya bagaimana ? Halal kah ? Ribakah?
* akhir pertanyaan *
Mohon bantuan ustadz untuk menjawabnya, sepertinya teman ana membutuhkan jawaban segera dan beliau khawatir yang dia lakukan tidak boleh menurut syari’at Islam.
Syukron wa jazakallah khoiron.
Wassalamu’alaikum warohmatllohi wabarokaatuh
Abu Salman Al-Cireboni
Alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Untuk cara pertama dan kedua tidak ada masalah secara syari’ah. Tapi untuk cara ketiga tidak boleh, sebab emas menurut fuqoha adalah naqd yang fungsinya sebagai pengukur nilai barang. Dalam hal ini sewa menyewa tidak berlaku untuk emas batangan, sebab emas batangan tidak memiliki manfaat yg bisa disewakan, beda dengan emas dlm bentuk perhiasan. Sedangkan pengertian sewa menyewa itu sendiri adalah menjual manfaat suatu barang yang halal secara syar’i, sedangkan dzatnya tidak dijual. lantas, apa manfaat emas batangan yang bisa dijual? tidak ada khan? Paling-paling emas itu akan dijual oleh si penyewa nantinya, dan ini tidak boleh secara syar’i, sebab barang sewaan bukanlah milik si penyewa, dan seseorang tidak boleh menjual barang yang bukan miliknya. Faham?
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,
Ustaz, ana ada beberapa pertanyaan :
1. Bagaimana hukum sholat bagi orang yang melaksanakan perjalanan ke suatu tempat namun dia menetap lama, misal saya berasal dari kota “A” kemudian safar ke kota “B” dengan tujuan menjenguk orang tua, kemudian saya menetap lama kira-kira dua minggu, apakah selama di tempat “B” tersebut saya harus melaksanakan sholat dengan cara qoshor atau boleh dilaksanakan seperti hari-hari biasa secara sempurna ? bila dilaksanakan dengan cara qoshor apakah ada batasan waktunya ?
2. Bagaimana tata cara sholat berjamaah pada saat berdua saja, kemudian tiba-tiba pada rakaat kedua datang makmum lainnya, apakah makmum yang disamping imam (makmum pertama) tadi langsung mundur merapatkan dengan makmum yang baru datang ataukah tetap disamping imam saja ?
Jazaakumullohu khiron.
Masalah batas waktu mengqosor shalat banyak sekali khilafnya, ada yg membatasi hingga 15 hari, ada yg sampai 19 hari, ada yg sampai 6 bulan, dll. Mereka berdalil dengan apa yg dilakukan Nabi di Tabuk, ketika beliau menetap di sana selama 19 hari dan tetap mengqosor shalat. Ibnu Umar konon pernah ikut mengepung musuh di Azerbaijan dan terhalang salju selama 6 bulan. dan selama itu beliau tetap mengqosor shalatnya. Dari sini, Ibnul Qayyim merajihkan bahwa dalam kondisi jihad dan semisalnya, ketika seseorang tidak berniat untuk domisili di tempat tujuan, maka dia tetap mengqosor shalatnya (kalau shalat sendirian, atau bersama rombongan musafir. Tapi kalo shalat berjama’ah dgn mukimin, maka ya tidak diqosor).
Tapi ada pula yg membatasi dengan 4 hari. dan ini menurut ibnul Qayyim tidak ada dalilnya yg kuat. Artinya, kalau seseorang telah berniat untuk menetap di daerah tujuan selama 4 hari lebih, maka sejak hari pertama dia tidak mengqosor shalatnya. Tapi kalau seseorang tdk tahu akan tinggal berapa lama, maka walau pun tiap hari dia mengatakan: “Besok saya mau pulang”, tapi kalo ternyata dia tetap belum pulang hingga beberapa tahun, mereka sepakat bahwa dia masih boleh mengqosor shalatnya. Wallahu a’lam.
adapun tatacara shalat bagi makmum kedua, maka makmum yg di kanan antum hendaknya mundur ke belakang untuk membikin shaf baru, atau antum (jika jadi imam) maju ke depan. Sesuaikan saja dengan kondisi tempatnya. wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,
Ustadz, bagaimana cara duduk akhir pada sholat yang dua rakaat? ana masih belum paham, karena ana pernah membaca kitab al-masaail ustadz abdul hakim, di dalam kitab tersebut dijelaskan yang shohih adalah duduk tawaruk, sedangkan ana juga pernah membaca di majalah assunnah dalil yang kuat adalah duduk iftirosy… Mohon penjelasannya. Jazakumullohu Khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh. Ya akhi, itu memang khilaf sejak dahulu. Ustadz Abdul Hakim berpendapat sesuai pendapat madzhab Syafi’i, dan dalil beliau adalah hadits Abu Sa’id As Sa’idy yg terdapat dlm Sunan Nasai dgn sanad shahih, yg maknanya bhw Rasulullah dalam dua rokaat yang menjadi akhir shalat, beliau duduk secara tawarruk. SEdangkan yg di majalah As Sunnah adalah pendapat madzhab Hambali, dalil mereka juga hadits Abu Sa’id As Sa’idi dlm Shahihain, hanya saja di lafazhnya tidak ada keterangan bila shalatnya hanya dua rokaat. Yg ada adalah bhw Nabi beriftirasy pada tasyahhud awal dan bertawarruk pada tasyahhud akhir.
Dari keumuman hadits kedua, memang dhahirnya kalau shalatnya dua rokaat maka duduknya iftirasy, tapi riwayat Nasa’i lebih spesifik dlm hal ini, dan dhahirnya lebih menguatkan madzhab Syafi’i yg dirajihkan oleh Ust. Abdul Hakim… so, it’s up to U… ana sendiri lebih cenderung ke madzhab Syafi’i dlm hal ini. Wal ‘ilmu ‘indallaahi.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,
Ustadz, bagaimana cara duduk akhir pada sholat yang dua rakaat? ana masih belum paham, karena ana pernah membaca kitab al-masaail ustadz abdul hakim, di dalam kitab tersebut dijelaskan yang shohih adalah duduk tawaruk, sedangkan ana juga pernah membaca di majalah assunnah dalil yang kuat adalah duduk iftirosy… Mohon penjelasannya. Jazakumullohu Khoiron
Ust, ini ada kiriman dari kawan non muslim. bgmn menanggapinya???
AYAT-AYAT AL-QURAN DAN HADITS yang nyaris kontra diksi.
1. Qs.Maryam (19:20. Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!” Bukankah ayat ini membuktikan nabi Isa bukanlah seorang manusia biasa.Comment: Tapi jangan lupa bahwa Nabi Isa dan ibunya juga makan dan minum. Dan siapa pun yang makan dan minum di dunia pasti akan kencing dan buang air.Lihat QS. 5:75. Dia lahir tanpa mani dari lelaki. Tidak ada seorang yg lahir dalam dunia ini, tanpa mani lelaki selain Adam dan Hawa. Bedanya Adam dan Hawa dengan nabi Isa adalah Adam dan Hawa meskipun tanpa mani, tetapi asalnya dari tanah. Sedangkan nabi Isa bukan berasal dari tanah. Nabi Isa berasal dari KALIMATUHU (Kalam Allah) yg aslinya adalah Allah itu sendiri. Ini jelas kebatilan yg berangkat dari kebodohan penulis thd makna Al Qur’an. Yg dimaksud kalimatuhu ialah ucapan Allah yg bunyinya: “Kun” (jadilah). jadi, Nabi Isa diciptakan melalui ucapan tsb.
Qs.An-Nisaa (4:171 “yang diciptakan dengan kalimatNya yang disampaikan Nya kepada Maryam, dan dengan tiupan dari Roh-Nya”. Qs.Ali-Imran (3:39 “Yahya, yang membenarkan kalimat yang datang dari Allah” dalam bentuk Roh Allah ini terjemahan yg ngawur dan asal comot !! Qs. At-Tahrim (66:12 “Kami tiupkan kedalam rahimnya sebagian dari Roh ciptaan Kami”. Jelas sekali bukan seluruh Roh Allah yang masuk dedalam rahim Siti Maryam tapi hanya sebagian saja. tanggapan: Roh Allah itu terjemahan anda, dan anda salah faham lagi. Istilah Ruh dlm alqur’an itu banyak maksudnya, kadang dipakai sebagai sinonim untuk malaikat Jibril, contohnya dlm surat Al Qadar. Dan terkadang dengan arti ruh/nyawa itu sendiri. yang menentukan adalah konteks ayat, bukan orang kafir spt si penulis yg ajam alias ga’ ngerti bahasa arab !! Karena harus ada yang duduk di arasyNya. Membaca ayat2 Alquran tersebut diatas ini jelas menyatakan nabi Isa bukanlah manusia biasa seperti yg sering dikatakan saudara2 kita yg belum menyelidiki Taurat, Injil dan Alquran. Bukan manusia biasa hanya dari sisi penciptaannya dan bhw ia menerima wahyu spt layaknya Nabi Muhammad. tapi dari sisi biologis tetap manusia, karena butuh makan dan minum dan akhirnya mati juga!!
Tapi sesungguhnya Nabi Isa itu, adalah jelmaan dari KALIMATUHU / KALAM ALLAH (kalimatulloh) dan ROH ALLAH (Rohulloh).
Yang dimaksud Kalimatuhu adalah kata-kata “Kun” yg Allah ucapkan ketika menciptakan sesuatu, termasuk Nabi Isa AS. Sedangkan Ruh Allah bukan berarti Ruh dari Dzat Allah, tapi ruh milik Allah. Ini bisa dimengerti oleh setiap orang yg berakal sehat. Apakah kalau saya katakan: “Rumah Saya” berarti rumah tsb bagian dari diri saya? ataukah rumah tsb milik saya? Sama juga halnya dengan Ruh Allah, Unta Allah, Rumah Allah, dll.
2. Qs. Zukhruf (43:61 “Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari Kiamat”. Ini juga terjemahan yg ngawur. Maksud ayat ini menurut ahli tafsir (bukan orang kafir spt si penulis !!) adalah bhw turunnya Isa adalah pertanda akan dekatnya hari kiamat. sebab salah satu tanda hari kiamat adalah turunnya Nabi Isa di akhir zaman untuk membunuh dajjal, menghancurkan salib, membasmi babi dan menjelaskan kpd org2 Nasrani akan hakikat diri beliau.
Pada hal yang mengetahui akan hari kiamat itu hanya Allah sendiri, tidak ada yang lain lagi. Qs. Luqman (31:34 “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisiNya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat”. Bukankah kedua ayat ini membuktikan nabi Isa itu adalah sama dengan Allah? Jelas tidak dong. Itu keyakinan anda orang Nasrani, yg karenanya anda dikafirkan oleh Al Qur’an. lihat aja QS. 5:72-73. Dan Al Qur’an tidak mungkin kontradiksi, sebab Allah sendiri yg menafikan adanya kontradiksi dlm Al Qur’an, lihat QS. 4:82.
3. Qs. An-Nahl (16:124 “Tuhanmu benar2 akan memberi putusan diantara mereka dihari kiamat”. Qs.Al-Furqaan (25:26 “hari itu adalah kepunyaan Tuhan yg maha pemurah”. Qs.Al-Mu’min (40:16 “Hari kiamat itu adalah kepunyaan Allah yang Maha Esa dan Maha Mengalahkan”. Nampaknya hanya Allah sajalah yg akan memberi keputusan pada hari kiamat. Tetapi kenapa pada Hadits Shahih Muslim 127 “Demi Allah yang jiwaku ditanganNya sesungguhnya telah dekat masanya Isa anak Maryam akan turun ditengah kamu Dia akan menjadi hakim yang adil”. Ayat hadits ini menyatakan nabi Isa adalah Hakim yg Adil yg akan memberikan keputusan dihari kiamat. Qs. At-Tiin (95:8 “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
Jawab: Kalau presiden memerintahkan pembangunan sebuah sekolah, maka kita bisa saja mengatakan bahwa sekolah itu dibangun oleh presiden, meskipun bukan beliau sendiri yg membangun secara langsung, tapi para tukang bangunan. Demikian pula masalah menghakimi dlm ayat-ayat di atas. Pada dasarnya, turunnya Nabi Isa dan segala tindak-tanduk beliau adalah atas perintah dan persetujuan dari Allah. Beliau sama sekali tidak keluar dari jalur yang ditetapkan Allah, dan beliau menghakimi sesuai dengan syariat dan ketentuan Allah. Karenanya, dari sisi instruktor Allah lah yang menghakimi, namun dari sisi eksekutor maka Nabi Isa lah yg menghakimi. Jadi, tidak ada kontradiksi. Ini seperti ayat yg mengatakan bhw Allah lah yg mewafatkan orang mati dan orang tidur (Az Zumar: 42), tapi di ayat lain Allah mengatakan bahwa malaikat maut lah yg mematikan kita (As Sajdah: 11). Artinya, Allah mewafatkan melalui perintah dan ketetapannya, sedangkan yg mencabut ruh adalah malaikat maut.
4. Qs.Ali-Imran (3:45 “Al-Masih Isa Putera Maryam seorang terkemuka didunia dan diakhirat”. Bukankah hanya Allah SWT yang terkemuka didunia dan diakhirat? Wah, cara berdalil yg terlalu konyol untuk dijawab…
5. Hadits Shahih Bukhari 503 “Janganlah kamu memuliakan saya berlebihan sebagaiman memuliakan Isa anak Maryam, saya ini hanyalah hamba Allah.”
6. Dapatkah kita mengikuti teladan nabi Muhamad s.a.w yang diucapkan beliau sebelum beliau menghembuskan nafasnya yg terakhir? Ucapan beliau yg terakhir sebelum beliau mengembuskan nafasnya yg terakhir adalah: Hadits Shahih Bukhari 1573. “Wahai Tuhan! Ampunilah saya! Kasihanilah saya dan HUBUNGKANLAH saya dengan Teman yang Maha Tinggi”. Siapakah teman Nabi Muhamad s.a.w yang maha tinggi itu? Dia adalah Isa Almasih. Hadits Shahih Bukhari 1501. “Saya lebih dekat dengan Isa anak Maryam didunia dan diakhirat”. Pernakah ucapan terakhir nabi Muhamad s.a.w ini disebar luaskan? Bukankah kita harus mengikuti teladan junjungan kita yaitu Nabi Muhamad s.a.w? Marilah kita renungkan dan pikirkan agar kita mau mencontohi kehidupan utusan Allah yaitu Muhammad s.a.w
tanggapan: itu berangkat dari pemahaman Anda yg tidak mengerti hadits nabi dan hanya mengikuti selera hawa nafsu anda… lafazh asli hadits tsb adalah: wa alhiqni birrafieqil a’la, yang menurut mayoritas ulama maksudnya adalah ikutkan aku dengan para Nabi yg tinggal di surga yg paling tinggi, demikian pula para shiddiqien, syuhada’ dan shalihin (lihat: QS 4:69). Bukan “teman yg maha tinggi” terus diartikan sbg Nabi Isa dan diplintar plintir kesana kemari kaya gitu…
Untuk Saudara Arif M, pesan saya ialah: Jangan membuka pintu untuk syubhat-syubhat orang kafir spt ini kecuali jika anda telah menguasai masalah agama dgn baik. Anda hanya akan menuai keraguan dengan menerima syubhat-syubhat mereka, karena toh terlalu banyak ayat Al Qur’an maupun hadits Nabi yg menolak pemahaman sesat tsb. Mereka sengaja pilih-pilih yg bisa diplintir dan ditafsirkan seenaknya… Jadi, drpd buang waktu, mending anda baca tulisan2 para ustadz yg terpercaya daripada baca e-mail teman anda yg menyesatkan tsb.
Jazakumullah ust…
Assalamu’alaikum warohmatullohi waarokaatuh
Ustadz, apakah setiap selesai mengerjakan sholat wajib (rowatib) harus pindah tempat (bergeser) dari tempat semula ketika mau melaksanakan sholat sunnah. Apakah ada dalilnya? dan bagaimana melaksanakan sholat masih dari tempat semula, apakah sholatnya sah. karena ana pernah melihat ihkwan melakukan hal tersebut. Jazaakumullohu khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Ahlan bik ya Aba Mu’adz…
Jawabnya, tidak harus geser tempat. Karena dlm Shahih Bukhari (kitab sifatus shalat, bab: muktsul imam fi mushallaahu ba’das salaam) disebutkan:
ويذكر عن أبي هريرة رفعه: لا يتطوع الإمام في مكانه، ولم يصح
artinya: Konon diriwayat dari Abu Hurairah secara marfu’, bhw imam hendaknya tidak shalat sunnah di tempat yang sama. Namun itu tidak shahih.
Jadi, haditsnya dianggap tidak shahih oleh Imam Bukhari. Karenanya, silakan aja shalat sunnah tanpa geser tempat. Shalatnya tetap sah 100%. Hanya saja, mereka yang menganjurkan untuk geser tempat beralasan agar semakin banyak tempat yang menjadi saksi atas amal shalih kita. sebab Allah berfirman dlm surat Yasin: 13 yg artinya; Sesungguhnya Kamilah yg menghidupkan orang mati dan mencatat amal dan bekas-bekas perbuatan mereka… wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum warohmatullohi waarokaatuh
Ustadz, apakah setiap selesai mengerjakan sholat wajib (rowatib) harus pindah tempat (bergeser) dari tempat semula ketika mau melaksanakan sholat sunnah. Apakah ada dalilnya? dan bagaimana melaksanakan sholat masih dari tempat semula, apakah sholatnya sah. karena ana pernah melihat ihkwan melakukan hal tersebut. Jazaakumullohu khoiron
ralat pertanyaan no. 2
bukan “hasan al bashri & said bin jubair”
tapi “said bin jubair” saja
3. umar ,utsman dan ‘ali radhiyallaahu ‘anhum adalah seorang Ulama. Mereka, menjadi tempat bertanya dan diskusi bagi khalifah untuk mengambil keputusan.
Apakah ini bisa dijadikan anggapan bahwa baiknya-buruknya pemimpin, dipengaruhi cerminan Ulama-nya?
Itu tidak mutlak demikian. SEbab di zaman Hajjaj bin Yusuf jg banyak terdapat ulama-ulama hebat sekelas Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Asy Sya’bi, Said bin Jubeir, dll… tapi kalo tipe pemimpinnya model Hajjaj, ya percuma aja. Demikian pula sejumlah pemimpin lainnya. Namun yg lebih tepat ialah bahwa pemimpin sangat dipengaruhi oleh orang di sekitarnya (para wazir, penasehat, ajudan dsb). Karenanya, setiap pemimpin yg dikelilingi oleh orang-orang baik pasti menjadi pemimpin yg baik, seperti Khulafa’ur Rasyidin, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Umar bin Abdul Aziz, dan semisalnya… namun jika yang disekitarnya adalah orang-orang jahat, entah itu ulama atau siapa saja; maka dia pun akan menjadi jahat, seperti Al Ma’mun, Al Mu’tashim dan Al Watsiq yg akrab dgn orang-orang Mu’tazilah. Padahal Imam Ahmad yg dijuluki Imam Ahlussunnah wal Jama’ah hidup sezaman dengan ketiga khalifah tadi. Karenanya, banyak masyayikh di Saudi yg sering mendoakan agar para pemimpin kaum muslimin diberi orang-orang dekat yg baik, yg mengajak mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kejahatan. Wallahu a’lam.
assalamu’alaikum ustadz…
1. saya ingin bertanya apa benar hadits ini
وَيْلٌ ِلأُمَّتِيْ مِنْ عُلَمَاءِ السُّوْءِ يَِتَّخِذُوْنَ هَذَا الْعِلْمَ تِجَارَةً يَبِيْعُوْنَهَا مِنْ أُمَرَاءِ زَمَانِهِمْ رِبْحاً ِللأَنْفُسِهِمْ لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَهُمْ
Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama sû’; mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu. (HR al-Hakim).
ini adalah dalil yang diambil oleh mereka yang menuduh ada ulama yang dekat dengan penguasa, sehingga segala fatwanya adalah untuk kepentingan penguasa..
2. pada penjelasan sebelumnya, ustadz telah menerangkan bahwa imam Ahmad tidaklah menentang penguasa dengan terang-terangan..
bagaimana dengan Hasan al Basri, dan Sa’id bin Jubeir?
apakah beliau menentang kezhaliman penguasa secara terang-terangan (dalam artian mengambil madzhab lawas ulama salaf, bahwa boleh memberontak kepada penguasa yang zhalim)?
mohon di jelaskan ustadz…
Wa’alaikumussalaam. Hadits tsb didha’ifkan oleh As Suyuti, Al Munawi, dan Syaikh Al Albani sebab ada salah satu perawinya yg bernama Ibrahim bin Thahman yg masih diperselisihkan ke-tsiqahannya, dan perawi lain yg bernama Hajjaj bin Hajjaj yang dianggap majhul (tidak diketahui jatidirinya).
Pun demikian, ulama’ su’ memang ada, tapi bukan berarti setiap ulama yg dekat dengan penguasa adalah ulama’ su’. Boleh jadi mereka dekat menurut penilaian kita saja, atau dekat dalam rangka memberi nasehat, atau untuk amar ma’ruf nahi mungkar. Sebab amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa haruslah dilakukan empat mata, bukan di depan umum, sebagaimana yg diperintahkan oleh Rasulullah dlm hadits:
من كانت عنده نصيحة لذي سلطان فليأخذ بيده فليخلوا به فإن قبلها قبلها وإن ردها كان قد أدى الذي عليه
Barang siapa punya nasehat untuk penguasa, hendaklah ia gandeng tangannya lalu menyampaikannya empat mata. Jika si penguasa memang menerima maka ia akan menerimanya, namun jika si penguasa menolaknya maka ia telah menunaikan kewajibannya (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dlm Assunnah no 1098, dan dishahihkan oleh Al Albani).
Ini merupakan perintah agar menyampaikan nasehat kepada penguasa secara berduaan tanpa ada pihak ketiga. Karenanya, ada sebagian ulama seperti Raja’ bin Haiwah (salah seorang tabi’in) yg sangat berjasa thd Islam krn kedekatannya dengan Sulaiman bin Abdul Malik (khalifah ke-7 Dinasti Bani Umayyah), sehingga bisa membujuknya agar menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya, padahal menurut tradisi ‘keluarga’ yg menggantikan adalah Yazid bin Abdul Malik, saudaranya… Demikian pula kedekatan Imam Ibnu Syihab Az Zuhri dengan Hisyam bin Abdul Malik, Khalifah ke-10 Dinasti Bani Umayyah. Dan kedekatan Sufyan bin Uyainah dengan tangan kanan Khalifah Harun Ar Rasyid yg bernama Ja’far bin Barmak, bahkan Sufyan sering diberi santunan olehnya sehingga mendoakan Ja’far bin Barmak dengan mengatakan:
اللهم إن جعفرا قد كفاني مؤنة الدنيا فاكفه مؤنة الآخرة
Ya Allah, Ja’far telah mencukupi urusan duniaku, maka cukupilah urusan akhiratnya.
Jadi, selama kedekatan seseorang dengan penguasa bukan dalam rangka membenarkan kezhalimannya, maka hal tsb tidaklah tercela. Yang tercela ialah bila ia runtang-runtung dgn penguasa, keluar masuk istana negara, melihat berbagai kezhaliman dan kebatilan yg dilakukan oleh si penguasa namun diam saja, atau bahkan membenarkan itu semua. Hal ini menurut Ibnu Umar termasuk kemunafikan, dan inilah yg dinamakan ulama’ su’. Wallaahu a’lam.
Hasan Al Bashri meskipun menentang kezhaliman Hajjaj bin Yusuf, akan tetapi beliau tidak termasuk yg ikut serta dalam gerakan pemberontakan yg dipimpin oleh Ibnul Asy’ats… yg akhirnya kalah dan mengakibatkan tewasnya sekitar 130 ribu orang pengikutnya di tangan Hajjaj, dan yg terakhir di antaranya adalah Sa’id bin Jubeir. Lagi pula, ini adalah ijtihad Sa’id bin Jubeir pribadi yg mengikuti madzhab lawas sebagian salaf, yg membolehkan khuruj atas penguasa zhalim. Adapun Imam Ahmad hidup jauh setelah zaman tsb, krn Hasan Al Basri dan Sa’id bin Jubeir wafat sebelum th 90 H, sedangkan Imam Ahmad wafat th 241 H. Artinya, semua bentuk angkat senjata/penentangan thd penguasa zhalim yg dilakukan para salaf terjadi sebelum zaman Imam Ahmad, dan ternyata tidak satupun dari penentangan tsb yg membawa kebaikan. Sebab itulah akhirnya para salaf sepakat untuk meninggalkan cara tsb.
Assalamu’alaikum,Ustadz.Semoga antum masih mau menjawab pertanyaan ana.Ana do’akan semoga ilmu yang antum berikan menjadi barakah.Amin.Begini,do’a berbuka puasa diucapkan sebelum atau sesudah minum/makan {minum/makan pun ana masih bingung}?Tolong beri penjelasan serta dalilnya.Kemudian,apabila seorang wanita masih memilki hutang puasa,mana yang didahulukan antara puasa Syawal dengan membayar hutang?Ia beranggapan bahwa,ia tidak ingin kehilangan pahala berpuasa di bulan Syawal {takut bulan Syawal telah selesai}.Syukran Jazilan atas jawabannya.
wa’alaikumussalaam. Jika ditinjau dari lafazh haditsnya: “lisshaaimi ‘inda fithrihi da’watun maa turadd” (Ada doa yang tidak akan tertolak bagi orang yang berpuasa saat berbuka) HR. Ibnu Majah. lalu digabungkan dengan riwayat Tirmidzi yg berbunyi: “Tsalaatsatun laa turaddu da’watuhu… washshaaimu hatta yufthir” (Tiga golongan yang tidak akan ditolak doanya… -salah satunya adalah- orang yg berpuasa hingga berbuka”. Hadits ini dihasankan oleh Imam Tirmidzi.
Maka bisa disimpulkan bahwa yg dimaksud ‘saat’ berbuka ialah ketika bersiap-siap hendak berbuka dan sebelum menyantap hidangan. Demikian pula yg disebutkan oleh Syaikh Al Allaamah Muhammad Mukhtar Asy Syinqiethy. Beliau juga mengqiyaskannya dgn doa di akhir shalat (duburas shalaah), yg dilakukan pas sebelum salam. Demikian pula doa di akhir hari arafat yg semakin mustajab menjelang tenggelam matahari. Dari sini, para ulama menyimpulkan bahwa jika seorang hamba telah menunaikan hak ALlah dengan mengerjakan suatu kewajiban, maka Allah akan memuliakannya dengan menyegerakan terkabulnya doa si hamba menjelang selesainya ibadah yg dilakukan.
Adapun pertanyaan kedua, jawabannya ialah bahwa Rasulullah mengatakan: Man Shaama Ramadhana tsumma atba’ahu sittan min syawwal, kaana kashiyaamid dahri. (barangsiapa puasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan 6 hari di bulan syawwal, seakan ia berpuasa sepanjang masa). Hadits ini menunjukkan bhw pahala puasa syawwal terkait dgn puasa ramadhan. kalo dia belum puasa ramadhan secara utuh (alias masih punya utang), maka ia tidak akan dibilang puasa sepanjang masa. Di samping itu, puasa syawwal hukumnya sunnah, sedangkan puasa ramadhan adalah wajib. Dan setiap yg wajib adalah lebih besar dan lebih dicintai oleh Allah (sekecil apapun bentuknya) dibanding amalan sunnah (sebesar apapun). Dalam hadits qudsi disebutkan: “Wamaa taqarraba ilayya ‘abdi bisyai-in ahabbu ilayya mimma iftaradhtuhu ‘alaih” (muttafaq ‘alaih). “Tidak ada suatu amalan yg lebih mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku, selain apa-apa yg Kuwajibkan atasnya”. Jadi, tetap saja puasa ramadhan harus didahulukan walaupun akibatnya kita tidak bisa puasa syawwal 6 hari. Insya Allah jika niat kita tulus untuk mengejar fadhilah tsb, Allah tetap memberikan pahalanya meski kita tidak sempat melakukannya. Apalagi jika hal tsb kita tinggalkan karena suatu udzur syar’i, spt haid, safar, sakit, dsb. Wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Ana mau tanya, apakah adal dalil tentang pelaksanaan sholat tasbih? karena di kampung ana ada ustadz yang mengamalkannya dan katanya minimal harus dilaksanakan sekali seumur hidup… Jazaakallohu khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Masalah shalat tasbih memang menjadi khilaf di kalangan para salaf. Ada sebagian dari mereka yang menganggapnya sunnah walau sekali seumur hidup, seperti Ibnul Mubarak. Dalil mereka ialah hadits dlm Sunan Abu Dawud (no 1299), Tirmidzi (no 481) dan Ibnu Majah (no 1386). Namun menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak ada satu orang pun dari Imam yg empat yang menganjurkan shalat tasbih ini. Bahkan imam Ahmad dan sejumlah tokoh sahabat memakruhkannya dan mendha’ifkan hadits tsb. Dan menurut Ibnu Taimiyyah, yang rajih ialah bhw hadits tsb adalah hadits dusta meski sebagian ulama meyakini kebenarannya. Adapun Ibnul Mubarak yg menyunahkannya melakukannya dengan cara lain yang berbeda dengan yg disebut dalam hadits tsb, dan cara yg beliau lakukan masih bisa dikompromikan dengan sunnah.
Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Rofi’, bhw Nabi menyuruh Abbas pamannya agar melakukan shalat berikut:
Shalat 4 roka’at, tiap rokaat dimulai dgn membaca Al Fatihah dan sebuah surat. Setelah itu diikuti dengan bacaan Subhanallah walhamdulillah walaailaaha illallaah wallaahu akbar (15 x), lalu ruku’, dan membacanya 10 x, lalu berdiri (i’tidal) dan membacanya 10 x, lalu sujud dan membacanya 10 x, lalu duduk dan membacanya 10 x, lalu sujud kedua kalinya dan membacanya 10 x, lalu duduk kedua kalinya dan membacanya 10 x. Yang demikian itu adalah 75x dlm tiap rokaat, dan 300x dalam 4 rokaat. Dan hadits tsb menyebutkan bhw siapa yg melakukannya akan mendapat ampunan walau dosanya sebanyak bukit pasir… dst. Dlm hadits tsb juga dianjurkan agar melakukannya setiap hari, atau setiap pekan, atau setiap tahun, atau sekali seumur hidup.
Itu hadits yg dinisbatkan kepada Nabi dan dianggap dusta oleh Ibnu Taimiyyah. Sedangkan tata cara yg dilakukan oleh Ibnul Mubarak adalah berbeda. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Tirmdizi dlm Sunan-nya (no 481), salah satu perbedaannya ialah Ibnul Mubarak tidak menyebutkan adanya duduk setelah sujud yg kedua dgn membaca tasbih tahmid tahlil dan takbir 10 x tadi. Nah, inilah yg menjadikan shalat tasbih (dgn tatacara yg disandarkan kepada Nabi tsb) dianggap dusta, sebab bagi yg mengamati sunnah beliau niscaya akan mendapati bahwa beliau tidak pernah mengajarkan untuk duduk yang lama (untuk membaca doa 10 x tsb) setelah sujud yg kedua, lalu baru berdiri ke rokaat berikutnya. (lihat: Minhajus Sunnah 7/315, Fatawa Al Kubra 5/344, dan Majmu’ Fatawa 11/579).
Pun demikian, berhubung masalah ini telah menjadi khilaf sejak zaman salaf, maka bagi yg melakukannya tidak boleh kita bid’ahkan. Namun kita hanya menjelaskan bhw yg rajih dlm masalah ini adalah begini dan begitu. Wallaahu a’lam.
Bismillah.ustad ana mau tanya,adzan termasuk ibadah apa bukan?bukankah adzan merupakan seruan untuk solat.sekarang ini banyak dakwah melalui radio,dan diradio sering dikumandangkan adzan untuk solat tetapi hanya berupa rekaman.apakah seruan sholat (rekaman adzan) termasuk bid’ah apa bukan?bukankah hal ini berbeda dengan tatacara yang rosululloh shallahu ‘alaihi wassalam ajarkan?syukron
Wallaahu a’lam. Adzan jelas termasuk ibadah. Tapi saya tidak tahu apakah mengumandangkan adzan lewat kaset di radio termasuk bid’ah atau bukan.
Assalamu’alaikum… Ustadz. mohon pencerahan… setelah selesai shalat jum’at bacaan/dzikir/wiridnya bagaimana Ustadz… mengingat orang orang pada baca Al-Fatihah,Al-Ikhlas,Falaq dan Anas 7 x apakah hal itu ada sunnahnya. Mohon pencerahan. Syukron
Wa’alaikumussalaam. Wirid setelah shalat jum’at setahu ana sama saja dengan wirid selepas shalat pada umumnya. Yaitu Istighfar tiga kali, lalu laailaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah… dst, kemudian doa Allahumma antassalaam … dst, lalu baca tasbih, tahmid dan takbir masing2 33x, lalu ditutup dengan: laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah… dst. kemudian baca ayat Kursi, lalu baca surat Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas masing2 sekali. Adapun khusus selepas shalat Fajar dan Maghrib bacanya @ 3x, ditambah dzikir2 lain yg bisa antum dapatkan dlm buku-buku doa dan dzikir, spt Hisnul Muslim contohnya.
Adapun bacaan Al Fatihah dll sebanyak 7 kali setahu ana tidak ada dalilnya. Ana khawatir itu menjadi bid’ah.
Assalamu’alaikum,Ustadz.Ana ingin study banding dengan jawaban ustadz kepada ana tentang hukum seseorang menjadi saudara sepersusuan,tadinya ustadz menjawab seperti ini : “Hubungan persusuan terjadi bila dua orang/lebih pernah disusui oleh wanita yang sama, dengan syarat: persusuan tsb terjadi sebelum bayi (org tsb) disapih dan sebelum genap berumur dua tahun, kemudian masing-masing bayi disusui minimal lima kali (yang tahu ya yg menyusui). Artinya, jika bayi yg berumur setahun telah disapih (tidak bergantung lagi kpd susu) maka bila ia disusui oleh wanita lain tidak akan berpengaruh apa-apa secara hukum. Demikian pula jika dia hanya disusui sekali atau dua kali atau kurang dari lima kali.”
Akan tetapi, coba ustadz perhatikan tulisan dibawah ini! Penyusuan yang menyebabkan mahrom adalah yang memenuhi tiga syarat:
Pertama: Berasal dari manusia. Jika ada dua anak yang menyusu pada seekor binatang, maka keduanya tidak menjadi bersaudara karena penyusuan tersebut.
Kedua: Lima kali susuan atau lebih secara terpisah. Adapun yang kurang dari lima kali susuan tidak menyebabkan mahrom.
Ketiga: Masih pada masa menyusu, berdasarkan sabda Nabi a. Jika telah melewati masa menyusu maka tidak berpengaruh dan tidak menyebabkan mahrom.
Ada yang berpendapat, bahwa masa menyusu itu adalah dalam dua tahun (pertama), adapun setelah itu tidak termasuk masa menyusu. Ada juga yang mengatakan bahwa masa menyusu adalah sebelum disapih. Ini yang lebih mendekati kebenaran. Sebab, jika bayi telah disapih, maka ia tidak lagi makan susu, tapi memakan makanan lainnya, sehingga saat itu, penyusuan tidak lagi berpengaruh.
Dalil syarat pertama adalah firman Allah Ta’ala,
“Ibu-ibumu yang menyusui kamu.” (An-Nisa’: 23).
Dalil syarat kedua: Hadits Aisyah Radhiallaahu anha yang diriwayatkan Muslim, “Dulu yang ditetapkan Al-Qur’an adalah sepuluh kali susuan menyebab-kan haram (dinikahi), kemudian dihapus menjadi lima kali susuan. Dan ketika Nabi Shalallaahu alaihi wasalam wafat, ketetapannya masih seperti itu.”*1)
Dalil syarat ketiga: Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,
“Penyusuan itu sah karena rasa lapar.”*2) dan sabda beliau, “Tidak dianggap penyusuan kecuali yang membentuk tulang, dan itu sebelum disapih.”*3) Foot Note: *1) HR. Muslim dalam ktiab Ar-Radha’ (1452).
*2) HR. Muslim dalam ktiab Ar-Radha’ (1455).
*3) Dikeluarkan oleh At-Turmudzi dalam kitab Ar-Radha’ (1152) dengan lafazh, “Tidak diharamkan karena susuan kecuali yang berkembangnya lambung akibat dari tetek, dan itu sebelum disapih”. Abu Isa mengatakan, “Ini hadits hasan shahih.”
Dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani. Pertanyaan ana, apakah ada persamaan yang dapat ditarik?Jika tidak, lalu manakah yang benar?
Pada dasarnya jawaban ana sama dengan Fatwa Syaikh Utsaimin, hanya saja beliau menambahkan syarat pertama bahwa yg menyusui adalah manusia. Ana tidak menyebutkan syarat tsb karena menurut ana hal itu telah dimaklumi. Adapun syarat yg lain-lain sama saja.
Assalamu’alaikum ustadz, Taqobalallahuminna waminkum
Benarkah pendapat yang menyatakan bahwa “Pemimpin, cerminan dari Rakyatnya.”
maksudnya,
“kalau ingin pemimpin seperti abu bakar, jadilah seperti umar, utsman dan ‘ali…, jangan bermimpi memiliki pemimpin seperti abu bakar, jika kelakuan kita seperti abu jahal dan abu lahab.”
lantas, ada pendapat yang menambahkannya…
pemimpin, juga cerminan dari ulamanya, bagaimana ustadz?
mohon penjelasannya.
Wa’alaikumussalaam. Taqobbal ya kariem…
Pendapat pertama bhw pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya memang ada benarnya. Yang mendukung pendapat ini di antaranya firman Allah yang berbunyi:
وكذلك نولي بعض الظالمين بعضا بما كانوا يكسبون
Demikianlah Kami kuasakan orang-orang yang zhalim tsb atas sebagian dari mereka, tersebab apa yang mereka perbuat (Al An’am: 129).
Ini menunjukkan bahwa sebab berkuasanya orang zhalim atas suatu wilayah ialah karena penduduknya juga berbuat kezhaliman.
Demikian pula firman-Nya:
فاستخف قومه فاطاعوه إنهم كانوا قوما فاسقين
Dia (Fir’aun) lalu mempermainkan akal (memperbodoh) kaumnya sehingga mereka mengikutiny. Sesungguhnya dahulu mereka itu adalah orang-orang fasik (Az Zukhruf: 54). Ini juga menunjukkan bahwa sebab Allah menguasakan orang model Fir’aun atas mereka ialah karena mereka orang-orang fasik.
Diriwayatkan bhw Hasan Al Basri pernah mendengar seseorang mendoakan kecelakaan atas Hajjaj bin Yusuf, maka Hasan berkata: “Jangan lakukan itu, sesungguhnya itu gara-gara kalian sendiri. Kami justru khawatir jika Hajjaj dicopot atau mati, Allah akan menguasakan kera dan babi atas kalian. Karena ada riwayat yang menyebutkan: “Perbuatan kalian adalah penguasa kalian. Sebagaimana kalian, demikian pula orang yang memerintah kalian”. (lihat: Kasyful Khofa’ oleh Al Ajluni 1/147).
Sebagian ulama menganggap bahwa perkataan ini merupakan kaidah pemerintahan yang telah terbukti melalui sejarah, meskipun ia bukan merupakan hadits nabi. Namun ada juga ulama yang menganggapnya tidak benar bila difahami secara mutlak, contohnya Syaikh Al Albani. Alasannya karena beliau mendapati dalam sejarah adanya pemimpin shalih yang berkuasa setelah pemimpin zhalim sedangkan rakyatnya tetap seperti itu.
Saya juga pernah membaca perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib (namun lupa di mana?) ketika dikritik oleh sebagian rakyatnya. Mereka mengatakan: “Mengapa dahulu di zaman Abu Bakar dan Umar kondisi negara begitu stabil dan aman, namun di zamanmu justru kacau? Maka jawab Ali: “Dahulu ketika Abu Bakar dan Umar berkuasa, rakyatnya adalah orang-orang seperti aku. Tapi ketika aku berkuasa, rakyatnya adalah orang-orang seperti kalian”.
Menurut saya pribadi, kaidah tsb lebih banyak benarnya daripada melesetnya. Sebab pemerintah adalah bagian dari rakyat juga. Kalo rakyatnya bobrok ya pemerintahnya juga bobrok.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa pemimpin adalah cerminan dari ulamanya, saya rasa tidak benar. Sebab di zaman Hajjaj bin Yusuf yang terkenal bengis dan fasik itu, banyak tersebar ulama-ulama top seperti Asy Sya’bi, Hasan al Basri, Sa’id bin Jubeir, Muhammad bin Sirin, dll. Demikian pula ketika Al Ma’mun, Al Mu’tashim dan Al Watsiq berkuasa. Mereka semua adalah penguasa yang jahat karena memaksakan bid’ahnya mu’tazilah kepada para ulama. Padahal di zaman mereka juga masih terdapat banyak ulama yg shalih seperti Imam Ahmad dll. Wallahu a’lam.
Thanks I finally came to a website where the webmaster knows what they’re talking about. Do you know how many results are in Google when I search.. too many! It’s so irritating having to go through page after page after page, wasting my day away with thousands of owners just copying eachother’s articles… bah. Anyway, thanks for the information anyway, much obliged.
Assalamu’alaikum… Ustadz. ana mohon pencerahan mengenai zakat fitrah, pembagian persentasenya bagaimana… ditempat ana hanya ada tiga f.miskin, garim dan amil. kalau zakat fitrah terkumpul 100 kg kemudian zakat harta 3 juta rupiah. bagaimana cara pembagiannya yang benar sesuai sunnah, Mohon pencerahan. Syukron
Alaikumussalaam. Perlu diketahui bahwa gharim bukan sekedar orang yang menanggung hutang untuk kepentingan pribadi, akan tetapi juga meliputi orang yang menanggung hutang untuk kepentingan bersama/sosial. Contohnya bila ada dua pihak bersengketa atas suatu harta dan dikhawatirkan terjadi permusuhan yang berkepanjangan, lalu ada pihak ketiga yang menengahi dengan memberikan hartanya kepada pihak penuntut agar menyudahi tuntutannya; maka pihak ketiga ini dinamakan gharim. Alias dia menanggung kerugian demi islah (mendamaikan) kedua belah pihak. Pihak ketiga ini berhak diberi zakat karena jasanya. Jadi meskipun dia orang kaya, dia berhak menerima zakat sebesar kerugian yg ditanggungnya.
Jika seseorang terlilit hutang yang tidak mampu dia bayar dan dia juga tidak punya harta, maka dia dianggap gharim sekaligus miskin. Nah, orang seperti ini tentu lebih berhak menerima zakat daripada yg sekedar miskin/gharim saja.
Jika antum memiliki kerabat yang berhak menerima zakat, maka disunnahkan untuk memberikan zakat kpd mereka, sebab hal ini selain dicatat sebagai zakat juga dicatat sebagai silaturahmi. Namun syaratnya kerabat tsb bukan orang tua (termasuk kakek-nenek) maupun keturunan antum (cucu, cicit, dst). Artinya bukan orang yang nafkahnya menjadi tanggungan antum.
Begitu kira-kira, semoga jelas.
Adapun amil zakat kedudukannya seperti pekerja bayaran. Ia berhak menerima zakat sesuai dengan berat pekerjaan yang dilakukannya. Kalau ia mengumpulkan zakat dengan pergi kesana kemari, lalu menjaga zakat yang dikumpulkannya, kemudian membagikannya kepada pihak-pihak yg berhak dengan mencurahkan banyak tenaga dan waktu, maka ia berhak mendapat zakat sebesar gaji yang pantas diterimanya kalau dia seorang buruh.
Adapun fakir miskin maka kadarnya sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika si miskin setiap hari membutuhkan uang 10 ribu sedangkan ia hanya bisa menghasilkan 5 ribu tiap harinya, maka ia berhak menerima zakat 5 ribu. demikian seterusnya.
Jika ini telah antum fahami, maka zakat fitrah yg 100 kg beras tadi bisa antum berikan sesuai dengan kebutuhan si miskin, atau sesuai dengan jerih payah si amil dan jasa si gharim.
Menurut Ibnu Abbas, kepada golongan manapun (dari kedelapan golongan penerima zakat dlm QS. At Taubah: 60) zakat diberikan, hukumnya sah. Artinya tidak harus dibagi rata kepada delapan golongan tsb, tapi boleh salah satunya atau sebagiannya. Bahkan hal ini telah menjadi ijma’nya para sahabat (lihat: Tafsir Al Qurthubi ttg ayat di atas).
Assalamu’alaikum,Ustadz.Ana mau tanya.Apa pendapat antum jika ana membuat sebuah buku dengan tema menuntut ilmu.Ana mengambil sumber dari buku2 dan risalah2 masasyaikh dan ustadz2 yang Insya Allah telah terjamin keabsahannya.Buku ini merupakan buku perdana yang ana buat.Bahkan,saat ini ana masih menjadi pelajar di bangku sekolah menengah pertama.Apakah salah apa yang ana perbuat?Syukran Jaziilan atas jawabannya.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah. Kalo anti sekedar menukil tanpa mengadakan analisa pribadi dalam masalah tersebut, mudah-mudahan tidak mengapa… yang penting ialah kehati-hatian dalam menulis buku,sebab bila telah dicetak dan tersebar, maka kekeliruan yang ada sulit untuk dikoreksi.
assalamu’alaikum ustadz, sekedar memberi tahu, teman saya tidak bisa memberikan apa yang ustadz minta (teks hadits dalam bahasa Arab)
ust. saya seorang perawat di Unit Gawat Darurat yg akan bertugas dimalam ied..apabila saya tdk sempat sholat ied karna mngkin karna ada pasien kecelakaan atau pasien yg harus diobservasi..apakah sy harus sholat sendiri atau gugur atau gimana ustadz?? jazakallohu khoir atas jawabannya
shalat ‘Ied hukumnya sunnah muakkadah menurut jumhur (mayoritas) ulama, kalau antum tidak bisa hadir shalat ‘ied karena udzur syar’i -spt yg antum sebutkan-, ya tidak mengapa dan tidak perlu meng-qadha’nya alias gugur. Ada juga sebagian ulama yg mewajibkannya (fardhu ‘ain), dan inilah yg dirajihkan oleh Ibn Taimiyyah, Syaikh Bin Baz dan Syaikh Ibn Utsaimin karena dalil-dalilnya lebih cenderung ke arah wajib. Dan menurut pendapat ini, setiap muslim yg baligh dan berakal sehat berarti tidak boleh meninggalkannya dengan sengaja tanpa udzur syar’i. Dan orang yang terluput darinya juga tidak perlu mengqadha’ karena hal tsb tidak ada dasarnya.
jazakallahu khoir atas jawabannya ust.
ust..saya seorang perawat yg bertugas dimalam ied dibagian Unit Gawat Darurat..apa yg saya lakukan apabila saya tdk sempat melakukan sholat ied karna mungkin ada korban kecelakaan atau ada pasien yg harus di observasi..apakah sy harus sendiri atau bagaimana?? jazakalloh khoir atas jawabannya ustadz..
Assalamu’alaykum ustadz
ana mau tanya apakah benar jika pemerintah sudah menetapkan hari jum’at adalah 1 syawal / lebaran lalu di hari kamisnya ada yang sholat ied apakah benar kita diperbolehkan untuk tidak berpuasa karena sudah ada yang sholat ied /lebaran ..
syukron
jazakallahu khoiron katsiron
Penetapan yang benar ialah yang dilakukan oleh pemerintah, karena pemerintah biasanya mengumumkan hal tsb setelah mendapat hasil ru’yah hilal. Dan penentuan Iedul Fitri adalah berdasarkan ru’yah hilal (jika memang terlihat pada tanggal 29 romadhon menjelang maghrib), atau jika tidak maka dengan menggenapkan bulan Romadhon menjadi 30 hari.
Assalamu’alaikum ustadz, saya ingin bertanya mengenai hukum berbisnis akuarium. Sekiranya jika pada akuarium itu mempunyai background/latar belakang gambar makluk hidup, apakah itu manusia, dedaunan, hewan, pemandangan alam dsb.. bagaimanakah hukumnya, begitu pun jika dalam akuarium itu ada ikan-ikan tiruan, pohon tiruan, maupun daun-daun tiruan buatan manusia, apakah diperbolehkan? dan juga sebenarnya adakah larangan jika kita memelihara ikan dalam suatu akuarium? (maklum saya hanya baru (ingin) merencanakan usaha akuarium)
syukron..
Wassalamu’alaikum
Wa’alaikumussalaam warahmatullah. Berbisnis akuarium pada dasarnya halal-halal saja, namun tidak usah pake latar belakang yang ada gambar manusia atau hewan, dan jangan pula memakai patung-patung manusia/hewan. Kalau terpaksa harus pakai juga, ya hapuslah wajah manusia/hewan yg ada pada background tsb, atau putuslah kepala patung manusia/hewan yg dipajang dlm akuarium. Intinya gambar manusia/hewan masih diperbolehkan selama tidak menampakkan wajah. Adapun gambar pepohonan dan daun-daun tiruan tidak ada masalah sama-sekali karena pohon bukanlah makhluk bernyawa.
Memelihara ikan dalam akuarium juga boleh-boleh saja selama kita memberinya makan dan ruang gerak yg cukup, intinya tidak menyiksa binatang peliharaan tsb. Demikian, wallahu a’lam.
nanti ustadz , saya tanyakan lagi, karena ini bukan dari saya.
afwan ustadz ada yang terlewat,
bukan pertanyaan tapi tambahan dalil yang menjadi argumen orang yang membolehkan mendoakan keburukan bagi penguasa:
“Sungguh, akan ada para pemimpin (penguasa) yang berbohong dan zalim. Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka ia bukan golonganku dan aku
bukan golongannya: ia tidak akan menemaniku di Telaga al-Kautsar. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, ia termasuk golonganku dan
aku termasuk golongannya: ia akan menemaniku menikmati Telaga at-Kautsar”
(HR Ahmad).
“Barangsiapa berjalan bersama seorang yang zalim untuk membantunya dan dia mengetahui bahwa orang itu zalim maka dia telah ke luar dari agama Islam.”
(HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
demikian ustadz, mohon dijelaskan
sebelum menjawab penafsiran kedua hadits ini, harus dipastikan dulu keshahihannya, jadi mohon antum sertakan teks haditsnya dlm bahasa Arab.
yang ada adalah dalil yang menyruh kita KAFIR (mengingkari, Baro’, dan menghindarkan diri) terhadap thagut.
mohon penjelasannya
satu lagi ustadz,
apakah benar perkataan seorang teman saya.
“Kita ini diperintahkan KAFIR (dalam hal mengingkari, berlepas diri dari thaghut) , namun kita tidak diperintahkan MENGKAFIRKAN thaghut.”
dia mengambil contoh
1. nabi ‘Isa disembah oleh orang nasrani, dalam hal ini beliau adalah thaghut dan kita harus bersikap kafir, dan tidak mengkafirkan nabi ‘isa ‘alaihissalam.
2.para malaikat2 yang disembah
3.hukum produk manusia diantaranya ‘Pancasila dan UUD 45′, demokrasi,parlemen, dan orang-orang yang ridho terhadap hukum2 tersebut.
kita harus KAFIR thdpnya, namun kita tidak boleh begitu saja MENGKAFIRKAN, karena tidak ada dalil yang menyuruh kita MENGKAFIRKAN,
Itu perkataan keliru yang berangkat dari salah faham tentang pengertian thaghut… disyaratkan bahwa orang yg disembah harus rela dirinya disembah, baru dinamakan thaghut. Sedangkan Nabi Isa dan para malaikat sangat-sangat tidak rela untuk dijadikan sesembahan di samping Allah, lantas bagaimana dia bisa dikatakan thaghut? Na’udzubillah… kalau orang ini sadar akan apa yg diucapkan maka saya justru khawatir iman-nya batal karena menyifati Nabi Isa sbg Thaghut.
Perintah untuk kafir thd thaghut = mengkafirkan thaghut. Tidak ada bedanya. Yang perlu diwaspadai ialah bila istilah thaghut tsb dilekatkan kpd orang-orang ttt secara mu’ayyan, spt mengatakan bahwa si Fulan adalah Thaghut, pdhal zhahirnya dia masih muslim… nah, ini berarti mengkafirkan si fulan tsb, karena thaghut itu harus dikafirkan. Adapun melekatkan istilah thaghut kpd suatu pihak yg sifatnya umum, spt mengatakan: “Siapa yg berhukum dgn selain hukum Allah maka dia adalah Thaghut”, tanpa menyebut nama pihak tsb secara khusus, maka tidak mengapa, bahkan ini sesuatu yang syar’i… seperti masalah takfir ‘aam dan takfir khaash (pengkafiran yg bersifat umum dan pengkafiran yg bersifat khusus).
Assalamu’alaikum ustadz,
semoga ustadz sehat selalu,
1.Apakah benar ada perkataan ulama,
“Salah satu tanda-tanda ahlul bid’ah adalah suka mendoakan yang jelek-jelek bagi penguasa muslim (walaupun jahil).”
jika benar, apakah ada dalil (Qur’an, Sunnah shahihah, dan Ijma shahabat) yang mendukung pernyataan ini?
2. terkait dengan pertanyaan no 1.
karena Dalam dalil sebagai berikut:
رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْكَ نَصِيرًا
Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang lalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”.[QS:4.75],
“Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa salam telah mengutus Mu’adz radhiyallaahu ‘anhu ke Yaman dan Beliau berkata kepadanya : “Takutlah kamu akan doa seorang yang terzalimi, karena doa tersebut tidak adah hijab (penghalang) diantara dia dengan Allah”. [H.R. Bukhari dan Muslim],
“Do’anya seorang yang dizalimi terkabul meskipun dia orang jahat dan kejahatannya menimpa dirinya sendiri.” (HR. Ahmad),
“Waspadalah terhadap do’a orang yang dizalimi. Sesungguhnya antara dia dengan Allah tidak ada tabir penyekat.”(HR. Mashabih Assunnah), dan
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[QS:4.148]
bagaimana penjelasan ustadz, ketika ada orang yang mendoakan keburukan bagi penguasa yang dzalim berdasarkan atas dalil yang di atas?
3. dalam penjelasan syaikhul Islam Muhammad bin abdil wahhab, tentang dedengkot thaghut,
poin no. 5 ustadz, yaitu:
Orang yang tidak berhukum dengan apa yg diturunkan Allah.
Apakah dari poin 5 tersebut, ada kebolehjadian bhw
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikut dakwahnya menganggap bahwa Daulah Utsmanniyah adalah Penguasa “Thaghut” (menurut fans ABB)?
mohon penjelasannya
Jawab:
1. Saya tidak ingat pasti ada/tidaknya perkataan tsb, tapi ala kulli haal kita diperintahkan untuk bersabar thdp kezhaliman penguasa muslim selama mrk belum keluar dari millah Islam. Dalil akan hal ini sangat banyak dan antum bisa baca Shahih Muslim pada Kitabul Imarah. Adapun bila seorang penguasa muslim telah melakukan kekufuran yg nyata, artinya perbuatan tsb telah disepakati (alias tidak diperselisihkan) sbg kufur akbar, dan ia melakukannya terang-terangan, lalu kita memiliki hujjah di hadapan Allah atas kekufuran tsb, dan semua penghalang-penghalang kekafiran telah disingkirkan, lalu syarat-syarat takfir telah terpenuhi, barulah kita boleh melepaskan baiat darinya dan menentangnya… memang jika kita menilik sejarah para salaf, kita dapati ada sebagian dari mereka yg dahulunya menganggap bolehnya memberontak kepada penguasa muslim yg zhalim meskipun belum dianggap kafir, spt Hajjaj bin Yusuf, Yazid bin Mu’awiyah, Abdul Malik bin Mirwan, dll… akan tetapi itu madzhab yg kemudian ditinggalkan oleh para salaf setelah terbukti tidak membawa kemaslahatan, namun justru membawa bencana. Oleh karenanya, setiap bentuk khuruj selalu mendatangkan bencana yg lebih besar dlm sejarah… Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Tahdzibut Tahdzib, di akhir biografi Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hayy (seorang ahli hadits yg menganut pemikiran khawarij namun tidak angkat senjata scr langsung).
Adapun mendoakan orang zhalim memang boleh-boleh saja, meskipun yg lebih mulia ialah memaafkannya, sebagaimana yg dilakukan Imam Ahmad thd Khalifah Al Mu’tashim dan Al Watsiq billah, yg keduanya telah menzhalimi beliau dan menyiksa beliau karena tidak mau menuruti kemauan mereka untuk mengatakan bhw Al Qur’an adalah makhluk. Tapi ini tidak berarti kita dibolehkan menyebut-nyebut keburukan para penguasa tadi di depan umum, dalam tabligh akbar, orasi massa, atau yg semisalnya… karena hal ini akan berdampak buruk bagi stabilitas negara karena akan menyulut amarah rakyat sehingga mereka tergerak untuk mengadakan pemberontakan… padahal mereka tidak memiliki kekuatan untuk menggulingkan penguasa zhalim yg didukung oleh militer yg kuat tsb, sehingga akhirnya justru kaum muslimin yg jadi korban… para da’i dan ustadz dicap sebagai ‘teroris’ atau ‘islam gari keras’, atau bahkan dijebloskan dlm penjara dan jadi buronan negara… atau bahkan ditumpahkan darahnya secara sia-sia, sedangkan penguasa yg zhalim tetap mantap dgn kekuasaannya… nah, kalau begini hasilnya siapa yg diuntungkan? Jelas musuh-musuh Islam bukan? Karenanya, menyikapi kezhaliman atau bahkan kekufuran seorang penguasa harus dengan akal sehat dan perhitungan untung-rugi… bukan dengan semangat doang tanpa memperhitungkan untung-rugi, lalu asal berontak dan angkat senjata, sehingga yg timbul malah bencana yg lebih besar…
Syaikh Muh bin Abdul Wahhab memunculkan dakwah beliau yang kemudian didukung secara politis oleh Muh bin Sa’ud di suatu daerah yang tidak dikuasai oleh Khilafah Turki Utsmaniyah, jadi beliau tidak dianggap memberontak kepada pemerintah yg sah apalagi menganggapnya sebagai Thaghut… itu hanya akal-akalan mereka saja yang mengait-kaitkan satu masalah dgn masalah lainnya. Dalam ilmu fikih dikenal istilah: “Laazimul qouli laisa qoulan”, yg artinya: “Konsekuensi dari suatu perkataan adalah bukan suatu perkataan”. Apalagi jika kita melihat secara langsung surat-menyurat beliau dgn salah seorang kepala daerah di Gurun Suriah yg berada di bawah naungan Turki Utsmani, di mana beliau menyebutkan ttg jati diri dakwahnya dgn mengatakan: “Dakwah yg kuserukan ini bila kau tanyakan hakikatnya kepada ulama yg ada di Yaman, Iraq, Syam, dll; pastilah mereka mengatakan bahwa ini adalah dakwah hak, akan tetapi Ibnu Abdil Wahhab bisa menyuarakannya di daerahnya, sedangkan kami tidak bisa menyuarakannya di daerah kami karena takut dengan penguasa”. Ini menunjukkan bahwa Syaikh Muh bin Abdul Wahhab menyikapi Turki Utsmani sebagai penguasa muslim yang sah dan bukan sebagai thaghut, sebab beliau memaklumi sikap para ulama di Yaman, Syam dan Iraq yang tidak bisa menyuarakan dakwah tauhid spt itu dan tidak menyalahkan mereka. Bahkan ketika pasukan Daulah Su’udiyah tiba di Mekkah dan berhasil menaklukkan penguasa setempat yg masih loyal kepada Turki Utsmani, Pihak Ibn Su’ud tidak mencopot penguasa tsb namun tetap menjadikannya penguasa Mekkah, yg penting ialah dia mau menerima dakwah tauhid… ini juga bukti lain bhw Syaikh Muh bin Abdul Wahhab dan pengikutnya memiliki sikap yg benar thd Khilafah Turki Utsmani, walaupun pemerintahan mereka sarat dengan bid’ah dan berbagai kerusakan di sana-sini… wallahu a’lam.
Assalamu’alaykum warohmatullohi wabarokatuh .
ustadz saya mohon penjelasannya apa itu yayasan ihya ut turats seperti artikel dibawah ini dan saya juga bingung mana yang benar dan mana yang salah mohon pencerahannya ustadz sebab sepertinya dakwah salaf akan berpecah belah juga maka dari itu saya ingin tahu mana yang haq .. syukron jazakallahu khoiron katsiron
*************************************************************************
afwan tolong kejelasannya kalo ustadz ga bisa jawab repply tidak kalo bisa berarti jawab
Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh.
Masalah yayasan ihya’ut turots sebaiknya jangan menjadi tolok ukur wala’ dan baro’ di antara sesama salafiyyin. Saya tidak setuju bila setiap orang yang menerima bantuan dari ihya’ut turots lantas disalahkan dan divonis sebagai ‘hizbi’ dst… demikian pula sebaliknya, tidak semua orang yang tidak mau menerima bantuan dari ihya’ut turots berarti ‘salafi’ sejati. Hati-hati, jangan sampai istilah ‘salafi’ atau ‘salafiyyin’ disalah gunakan dan difahami sebagai kelompok tertentu yg keanggotaannya terbatas pada si fulan dan si fulan, dan dengan rujukan ulama-ulama yg terbatas pada syaikh A atau B saja… bukan begitu, salafi adalah setiap orang yang mengikuti manhaj salaf, di mana pun dia berada, dan siapa pun gurunya… selama dia mengikuti manhaj salaf, maka dialah salafi sejati walaupun orang lain menilainya sebagai hizbi dll. Karenanya, sebaiknya antum belajar saja bagaimana akidah dan manhaj salafus shalih itu agar tidak bingung…
Alhamdulillah, setelah menimba ilmu di Madinah, saya pribadi tidak terlalu ambil pusing dgn perkataan orang ttg ihya’ut turots atau yayasan lainnya… saya bisa menilai dgn obyektif pihak-pihak yg saya ajak kerjasama dlm dakwah. Selama orang lain mau membantu TANPA MEMPENGARUHI ke arah yg tidak baik, maka bantuannya sah-sah saja kita terima… toh mereka juga muslimin spt kita… adapun apakah niat mrk di balik bantuan itu? maka itu hanya Allah yg tahu, dan kita tidak boleh mengatakan bahwa niat Si Fulan adalah begini dan begitu kecuali bila ada tanda-tanda ke arah sana.
Mereka yg menilai ihya’ut turots sbg pihak yg sesat, ya kita hargai saja penilaiannya selama mereka memang punya bukti ke arah sana… tapi tidak berarti kita harus mengikuti penilaian tsb, kan itu tidak lebih dari fatwa, dan fatwa itu sendiri tidak memiliki kekuatan hukum yg mengikat alias tidak harus diikuti… beda dengan keputusan qadhi yg sifatnya mengikat. Dalam hal ini, kita bisa bercermin kepada sikap para salaf terhadap sebagian ahli bid’ah. Contohnya seorang perawi hadits yg bernama Jabir bin Yazid Al Ju’fi. Banyak ulama yg menilainya sebagai penganut syi’ah rafidhah yg jahat dengan sejumlah keyakinan busuknya seperti Ar Raj’ah (artinya kembalinya Imam Ali ke dunia untuk menghidupkan kembali Abu Bakar, Umar, Utsman dan Aisyah, lalu menyiksa mereka !). Pun demikian, Imam Syu’bah bin Hajjaj, Imam Sufyan Ats Tsauri, dan Imam Waki’ ibnul Jarrah (gurunya Imam Syafi’i) berhusnudhan kepada Si Jabir Al Ju’fi ini dan meriwayatkan hadits-haditsnya… padahal mereka bertiga merupakan imam panutan Ahlussunnah wal Jama’ah, dan antum tahu sendiri bagaimana kesesatan syi’ah Rafidhah… tapi adakah di antara kita yang lantas berani mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri atau Syu’bah bin Hajjaj atau Waki’ adalah ” Syi’i ” karena sikap mereka tsb? Atau adakah ulama-ulama salaf yang sezaman dgn mereka lantas mentahdzir Sufyan Ats Tsauri, Syu’bah bin Hajjaj, atau Waki’ karena mereka memuji-muji Jabir Al Ju’fi…? sama sekali tidak ada. Artinya, penilaian seseorang thd kelompok tertentu tidak lain merupakan hasil ijtihad yg boleh diikuti dan boleh juga ditinggalkan. Jika sebagian pihak menganggap bahwa penilaian tsb adalah benar, maka silakan dia ikuti… namun bagi yang masih meragukan kebenarannya, maka jangan dipaksa untuk mengikuti… Gitu aja kok repot? Mudah-mudahan jelas.
Alhamdulillah pencerahan yang ustadz berikan ke saya itu sama dengan pemahaman saya juga, tapi kebanyakan dari orang-orang yang mengambil fatwa bahwa tidak boleh mengambil dana dari yaysan ihya’ut turots selalu saja mengajak pada perdebatan dengan orang yang biasa-biasa saja dalam hal itu, menurut saya itu bukan merupakan akhlak dari seorang yang berjalan diatas manhaj salaf karena manhaj salaf adalah manhaj pertengahan, menurut saya mereka itu mempunyai pemahaman yang keras, saya kasihan melihat orang-orang awam yang baru mengenal manhaj salaf jika tahu masalah ini malah membuat mereka bingung, mungkin orang yang lebih paham mengerti yang salah adalah manusianya bukan manhajnya tapi kasihan yang belum mengerti.
syukron ustadz jazakallahu khoiran katsiron.
afwan ustadz, menambah pertanyaan lagi,
Apakah benar Umar ibn Khaththab menerangkan bahwa taghut itu adalah syaithan,
ini ditafsirkan oleh orang haroki sebagai semua bentuk kejahatan yang biasa dilakukan oleh ahli Jahiliah,
seperti MENYEMBAH BERHALA DAN MEMINTA KEPUTUSAN HUKUM KEPADANYA (waalhu’alam mungkin yang dimaksud mereka adalah penguasa muslim saat ini) SERTA MEMBELANYA.
mohon penjelasannya.
Assalamu’alaikum ustadz,
1. meninjau kembali jawaban ustadz ttg menasehati penguasa dengan baik dengan berdalilkan Surat Thaha ayat (43-44)
bagaimanakah mengkompromikannya dengan ayat 88 dari surat yunus,yang artinya :
Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”[QS:10.88]
ini dijadikan dalih oleh mereka (yang bersimpati dengan ABB) untuk mendoakan keburukan dalam artian menentang kepada penguasa karena karena menolak seruan “Islam”.
2. Apakah benar pendapat yang menyatakan,
Thaghut berasal dari kata thagha (melampaui batas), artinya semua orang yang melampaui batas dari hukum-hukum Allah subhana wa ta’ala masuk dalam pengertian Thaghut.
lalu dengan pernyataan ini, orang-orang yang setipe dengan pemikiran ABB menyatakan bahwa penguasa muslim saat ini yang melakukan perbuatan kufur dengan menerapkan hukum selain Allah subhana wa Ta’ala, dapat dikatakan sebagai penguasa Thaghut.
mohon penjelasannya ustadz..
Alaikumussalaam… tidak ada kontradiksi antara kedua ayat tsb, ketika di hadapan penguasa kita diperintahkan untuk menyampaikan kebenaran dgn tegas namun caranya lembah lembut, alias tidak pakai caci maki atau julukan2 yg tidak enak di dengar. Adapun ayat 88 surat Yunus itu diucapkan Musa tidak dihadapan Fir’aun. Lagi pula, doa semacam itu diucapkan oleh Nabi Musa setelah mengetahui bahwa Fir’aun dan pengikutnya benar-benar tidak mempan didakwahi dan tidak memiliki kebaikan sedikitpun. Ini seperti doa Nabi Nuh agar kaumnya celaka… nah tentunya mereka melakukan hal itu dengan seizin Allah atau setelah Allah mewahyukan kpd mereka bhw pihak yang didakwahi tidak akan menerima dakwahnya… karenanya Allah mengabulkan doa mereka. Hal ini tidak bisa kita kiaskan dengan selain Nabi, sebab kita tidak tahu kesudahan seseorang yg kita anggap sebagai musuh, apakah dia akan mati seperti itu atau bertaubat nantinya… Bahkan ketika Nabi mendoakan beberapa orang Kafir Quraisy secara tertentu agar celaka, Allah menurunkan firman-Nya yg berbunyi:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (128)
“Kau tidak ada campur tangan sedikit pun dalam urusan mereka (org2 musyrik itu), apakah Allah hendak menerima taubat mereka atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka orang-orang yg zhalim (Aali Imran: 128).
Dlm shahih Bukhari Ibnu Umar menceritakan bhw ia pernah mendengar Rasulullah melaknat si Fulan dan si Fulan dlm doa qunut beliau pd shalat subuh, maka Allah menurunkan ayat tsb. Dlm riwayat Ahmad, orang yg dimaksud di antaranya adalah Al Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, dan Shafwan bin Umayyah. dan Akhirnya mereka masuk islam semua.
karenanya, nasehat tetap harus disampaikan dengan baik-baik, baik kepada orang biasa dan lebih-lebih kepada penguasa… Hindarilah memberi cap dan hukum yg konsekuensinya cukup berat, spt cap murtad dan kafir. Ustad ABB bukanlah panutan, dan beliau banyak mengeluarkan fatwa2 yg hanya berdasarkan emosi dan semangat membela islam, bukan berdasarkan ilmu… salah satunya ialah fatwa beliau yg menghukumi bhw siapa yg mengatakan Al Qoidah sbg teroris berarti batal syahadatnya… ini jelas ngawur dan sembrono… Dia membela Al Qoidah secara membabi-buta dan menutup mata dari semua kesesatan/kejahatan Al Qoidah. dan masih banyak lagi statemen2 ABB yg ‘ngawur’ spt itu… spt julukan mujahid thd mereka yg terlibat pengeboman, yg dia sendiri menganggapnya keliru… lalu pujiannya thd buku Kafir tanpa sadar yg sangat sarat dgn nuansa takfir (yg cukup mengerikan), pdhal penulisnya (Abdul Aziz bin Abdul Qodir, seorang dokter Mesir yg belajar agama secara sendiri tanpa guru… dan hanya mengambil dari kitab2) telah taubat dan menyalahkan Al Qoidah beserta tokoh-tokohnya habis-habisan… antum bisa lihat di situs: http://www.murajaat.com nama asli beliau adalah Sayyid Imam Abdul Aziz Asy Syarif… dia sejak th 2007 terlibat bantah-bantahan hebat dengan Aiman Adh Dhawahiri dan beberapa tokoh Al Qaidah. Intinya, org yg menjadi narasumber utama ABB telah taubat dan mengoreksi cara-cara yg dahulu ditempuhnya… lantas kenapa ABB masih ngotot pake cara2 provokasi kaya gitu?
Kata Thaghut memang berasal dari Thagha yg artinya melampaui batas, dan berlaku untuk siapa saja yg melampaui batasnya, baik itu sebagai sesembahan, orang panutan, atau orang yg ditaati… sedangkan dedengkot thaghut ada lima menurut Ibnul Qayyim (dan dinukil oleh Syaikh Muh bin Abdul Wahhab dlm Al Ushuluts Tsalatsah): Iblis, Siapa saja yg rela diibadahi, Orang yg mengajak orang lain untuk menyembah dirinya, ORang yg mengklaim tahu ilmu ghaib, dan orang yang tidak berhukum dgn apa yg diturunkan Allah.
Pernyataan mereka tsb identik dengan takfir (pengkafiran), dan ini hanya bisa dilakukan oleh ulama yg diakui ilmunya setelah memenuhi empat syarat berikut:
1-Mereka yg melakukan tindakan kufur tsb telah baligh semua.
2-Mereka melakukannya bukan karena kejahilan, alias sudah tahu hukumnya.
3-Mereka melakukannya secara suka rela, bukan karena paksaan.
4-Mereka tidak memiliki syubhat dalam tindakan kufur tsb, alias bukan karena takwil yg keliru.
Dan keempat syarat ini sulit dilakukan kecuali setelah ada iqomatul hujjah (menyampaikan hujjah kpd mereka hingga duduk masalahnya mereka fahami dgn baik), lalu memastikan tidak adanya penghalang-penghalang kekafiran spt adanya paksaan, kejahilan dan takwil.
Namun kalau istilah thaghut tsb tidak ditujukan kpd pihak tertentu, maka tidak mengapa… masalahnya ialah bila vonis thaghut dan kufur tsb dijatuhkan kpd orang atau pihak tertentu oleh mereka yg bukan ulama, spt ABB dan simpatisan beliau… wallahul musta’an.
ustadz, saya inin menanyakan ttg zakat fitri
Bolehkah Zakat Fitri dengan Uang?
kalau uangnya diberikan langsung kepada penerima zakat, maka tidak boleh, sebab zakat fitri disyari’atkan sbg syi’ar hari Raya. Rasulullah menyifatinya sebagai: “Thu’matan lil masakin wa thuhratan lisshaa-imin” (makanan bagi orang miskin dan pembersih bg yang berpuasa). Dalam hadits Shahih lainnya disebutkan bahwa Rasulullah mewajibkan zakat fitri berupa 1 sha’ tamr, atau 1 sha’ gandum, atau 1 sha’ aqith (susu kering). Beliau tidak menyebutkan dinar dan dirham padahal keduanya juga dibutuhkan oleh fakir miskin di masa itu, ini menunjukkan bahwa zakat fitri harus berupa sesuatu yg bisa dimakan. Namun bila zakat tersebut kita serahkan kepada Yayasan Sosial/Panitia Mesjid dlm bentuk uang untuk kemudian mereka berikan makanan dan mereka bagikan ke fakir-miskin, maka tidak apa-apa. Wallaahu a’lam.
Muhammadiyah mengamalkan sholat iftitah 2 rekaat setiap akan sholat tarwih, dan ini selalu dilakukan dengan jama’ah. Benarkah amalan ini? mereka juga mengganti do’a iftitah dengan “subhaana dzil mulki wal malakuuti wal jabaruuti wal izzati wal kibriyaa’ wal adzomah”
Saya tidak tahu apa dasarnya merutinkan shalat iftitah 2 rekaat sblm tarawih tsb… coba antum tanyakan kpd orang alim mereka. Adapun doa yg dibaca ketika iftitah tsb, setahu ana itu bukan doa iftitah, tp salah satu bacaan tasbih ketika ruku’ dan sujud. Adapun doa iftitah yg redaksinya ‘agak mirip’ ialah: Subhaanakallahumma wabihamdik, watabaarakasmuk, wata’aala jadduk, walaa ilaaha ghairuk.
Antum bisa lihat redaksi doa-doa iftitah lainnya di kitab Sifat Shalat Nabi tulisan Syaikh Al Albani.
assalamu’alaikum ustadz, saya meu menanyakan hal2 berikut:
1. Apakah Imam Ahmad menentang secara terang-terangngan kemungkaran penguasa?
merujuk kisah sbb:
“Adapun Imam Ahmad, beliau telah bersembunyi selama kekhilafahan Al Watsiq. Hal itu ia lakukan setelah ia menyatakan keyakinannya tentang Al Qur’an (yakni bahwa… Al Qur’an itu kalam Alloh dan bukan makhluq – pen.) secara terang-terangan, dan ia mendapatkan ujian yang sangat berat karenannya … maka iapun menyembunyikan diri selama sisa umur Al Watsiq, di mana beliau senantiasa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, kemudian ia baru kembali ke rumahnya setelah beberapa bulan, beliau bersembunyi di sana sampai Al Watsiq meninggal dunia … Ibrohim bin Hani berkata: Ahmad bin Hanbal bersembunyi di tempatku selama tiga hari … kemudian Ahmad mengatakan: Carikan tempat untukku supaya aku pindah ke tempat tersebut. Aku jawab: Aku tidak merasa aman atas dirimu wahai Abu ‘Abdillah. Ahmad berkata: Lakukanlah! Jika aku melakukannya aku berarti akan membinasakanmu. Akupun mencarikan tempat untuknya. Lalu tatkala ia keluar dari tempatku ia berkata kepadaku: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dahulu bersembunyi di dalam goa selama tiga hari kemudian berpindah. Tidak sepantasnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam itu diikuti ketika dalam keadaan lapang saja sementara ketika dalam keadaan susah tidak diikuti.”[Manaqibul Imam Ahmad, karangan Ibnul Jauzi, hal. 349 dikutib oleh Syaikh Abu Muhammad Ashim Al Maqdisy rahimahullah]
2. Bagaimana penjelasan ustadz atas pendapat (orang yang bersimpati dgn ustadz ABB) yang mengatakan:
memberontak dan penguasa yang tegak dengan jalan pemberontakan tersebut adalah tidak sah, kecuali memberontakan itu terjadi karena satu hal, yaitu terjadinya kufran bawahan, atau keadaan dimana penguasa telah melakukan perubahan terhadap sendi-sendi agama dan melakukan bid’ah yang besar, sebagaimana yang dijelaskan al imam nawawi di dalam syarh shahih muslim. Dan saat ini, Penguasa muslim (Indonesia) tersebut telah melakukan perubahan sendi-sendi agama dengan menyebarkan dan menerapkan Sekularisme-Pluralisme-Liberalisasi, dan Sistem kufur Demokrasi. Semua hal tersebut adalah perbuatan kufur (kufur amali) sehingga, Umat Islam tidak boleh menta’ati mereka dan wajib mengganti mereka.
mohon di jelaskan.
wa’alaikumussalaam. Tentang Imam Ahmad, maka sejauh yg ana tahu beliau adalah orang yg sangat menjaga kesatuan umat di bawah pemimpin saat itu. Semenjak Al Ma’mun yg pertama kali memaksakan faham mu’tazilah, lalu diikuti oleh Al Mu’tashim dan dilanjutkan oleh Al Watsiq, dan yang terakhir ini termasuk yg paling kejam terhadap para ulama ahlussunnah. Al Watsiq bahkan bangga ketika memenggal sahabat Imam Ahmad yg bernama Ahmad bin Nashr Al Marwazi, dan ia menganggapnya sebagai qurbah (amalan yg mendekatkan dirinya kpd Allah), Na’udzubillah… Pun demikian, ketika warga Baghdad dan para tokohnya minta izin kpd beliau untuk memberontak, beliau tetap saja mengatakan: “Ittaqullaaha fi dimaa-il muslimin” (Bertakwalah kepada Allah, jgn sampai darah kaum muslimin tumpah sia-sia). Padahal kekafiran orang yg meyakini bhw Al Qur’an adalah makhluk telah menjadi ijma’ para ulama. Bahkan salah seorang murid beliau yg bernama Al Khallal meriwayatkan bahwa Imam Ahmad telah mengkafirkan Al Ma’mun secara mua’yyan (meskipun Ibnu Taimiyyah mengingkari bhw beliau mengkafirkan Al Ma’mun).
Kekejaman para penguasa di zaman beliau terhadap para ulama juga telah melampaui batas. Bahkan hal itu terjadi sejak zaman Bani Umayyah lewat si Bengis Al Hajjaj bin Yusuf yg sangat haus darah…
Memang, dahulu ada sejumlah ulama salaf yg mengingkari kemungkaran penguasa dan memberontak kpd penguasa zhalim secara terang-terangan. Ada pula yang tidak mau berbai’at kpd penguasa yg dinilai tidak layak, spt Sa’id bin Musayyab yg tidak mau bai’at kpd Abdul Malik bin Marwan, atau spt Abdullah bin Zubeir, dan Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhum yg tidak mau bai’at kpd khalifah terpilih. Itu tidak berarti mereka adalah khawarij, krn yg namanya khawarij ialah bila seseorang telah memberikan bai’atnya secara langsung (atau diwakili oleh ahlul halli wal ‘aqdi), lalu mencabutnya kembali tanpa alasan yg syar’i. dan dlm kondisi ini, Abdullah bin Zubeir, Sa’id bin Musayyab, dan Husein bin Ali termasuk ahlul halli wal ‘aqdi krn mereka adalah ulama dan tokoh masyarakat yg diikuti banyak orang. sehingga ketidakmauan mereka untuk berbaiat sejak awal tidak bisa dikatakan sebagai ‘khuruj’ (keluar dari ketaatan), sebab yg namanya ‘keluar’ tidak akan terjadi sebelum ‘masuk’ terlebih dahulu, dan mereka memang belum ‘masuk’ dari awal.
Adapun khuruj yg benar-benar terjadi ialah di zaman Hajjaj bin Yusuf, ketika sejumlah fuqaha Irak membai’at Ibnul Asy’ats Al Kindi (mantan anak buah Hajjaj yg kemudian memberontak) lalu bersatu di bawah komandonya dengan sejumlah besar pasukan untuk menggulingkan Hajjaj dan sekaligus Abdul Malik bin Mirwan, yg saat itu adalah Amirul Mukminin yg telah dibai’at oleh kaum muslimin secara umum. Akhirnya terjadilah tragedi berdarah yg menyebabkan tewasnya ratusan ribu kaum muslimin stlh perang sengit antara dia dgn Hajjaj, dan berakhir dgn kemenangan pihak Hajjaj. Hajjaj lalu memburu semua pengikut Ibnul Asy’ats dan mengeksekusi 130 ribu orang dari mereka, dan yang terakhir di antaranya ialah Sa’id bin Jubeir. Karenanya, setelah menyebutkan tragedi yg memilukan ini, Ibnu Katsir mengatakan:
والعجب كل العجب من هؤلاء الذين بايعوه بالامارة وليس من قريش، وإنما هو كندي من اليمن، وقد اجتمع الصحابة يوم السقيفة على أن الامارة لا تكون إلا في قريش، واحتج عليهم الصديق بالحديث في ذلك، حتى إن الانصار سألوا أن يكون منهم أمير مع أمير المهاجرين فأبى الصديق عليهم ذلك، ثم مع هذا كله ضرب سعد بن عبادة الذي دعا إلى ذلك أولا ثم رجع عنه، كما قررنا ذلك فيما تقدم. فكيف يعمدون إلى خليفة قد بويع له بالامارة على المسلمين من سنين فيعزلونه وهو من صلبية قريش ويبايعون لرجل كندي بيعة لم يتفق عليها أهل الحل والعقد ؟ ولهذا لما كانت هذه زلة وفلتة نشأ بسببها شر كبير هلك فيه خلق كثير فإنا لله وإنا إليه راجعون.
artinya: “Yang sangat aneh ialah mereka yg membai’at Ibnul Asy’ats sebagai Amirul mukminin, padahal ia bukan dari suku Quraisy, namun dari Suku Kindah asal Yaman; sedangkan para sahabat telah ijma’ pada hari Saqifah (hari pelantikan Abu Bakr sbg Khalifah) bahwa jabatan Amirul mukminin (khalifah) harus dari suku Quraisy. Bahkan Abu Bakar Ash Shiddiq berdalil dlm hal ini dengan sebuah hadits, hingga ketika kaum Anshar mengusulkan agar mereka juga memiliki Amir bersama Amirnya kaum Muhajirin, Abu Bakar menolak usulan tersebut. Ia bahkan memukul Sa’ad bin Ubadah yg awalnya mengusulkan hal tersebut lalu rujuk kembali, sebagaimana yg telah kami paparkan sebelumnya. Lantas bagaimana mereka (para fuqaha Irak tsb) justru sengaja mencopot bai’atnya atas seorang khalifah yg telah diba’iat oleh kaum muslimin sejak bertahun-tahun dan ia seorang Quraisy tulen, lalu mereka memberikan bai’at kepada lelaki dari Suku Kindah asal Yaman yang belum disepakati oleh Ahlul Halli wal Aqdi ? Karena ketergelinciran dan kesalahan besar inilah, akhirnya timbul bencana besar yang menyebabkan kematian banyak orang, inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun (al Bidayah wan Nihayah 9/66).
Dari sini, dan dari berbagai pengalaman sejarah lainnya… para ulama mengatakan bahwa memberontak kpd penguasa zhalim merupakan madzhab lawas yg dianut oleh sebagian salaf, akan tetapi mereka lalu meninggalkannya karena hal tsb hanya mendatangkan bencana yg lebih besar, sebagaimana yg ditegaskan oleh Ibnu Hajar dlm Tahdzibut Tahdzib, di akhir biografi perawi yg bernama Hasan bin Shalih bin Hayy yg konon menganut akidah khawarij namun tidak memberontak secara langsung.
Nah, terkait dgn pertanyaan antum, maka perlu difahami bahwa kekufuran penguasa yg sudah terang-terangan sekalipun belum cukup untuk melegitimasi pemberontakan thdpnya, akan tetapi harus memperhitungkan maslahat dan mafsadat yg ditimbulkan dr pemberontakan tsb. Karenanya, ketika di Mekkah Rasulullah dan para sahabatnya tidak angkat senjata dan melawan penguasa Mekkah yg jelas-jelas kafir tsb, sebab hal itu tidak akan mendatangkan maslahat bagi mereka, mengingat kondisi mereka jauh lebih lemah dari musuhnya. Demikian pula dgn kondisi minoritas kaum muslimin di berbagai negara kafir di dunia, spt Eropa dan Amerika, apakah mentang-mentang penguasanya kafir lalu mereka boleh memberontak? kalau kita bolehkan berarti kita menjerumuskan mereka dlm kebinasaan dan ini jelas bukan pendapat yg benar.
demikian pula dgn penguasa-penguasa negeri yg mayoritas warganya muslim, namun ‘dianggap’ telah merubah sendi-sendi agama spt indonesia misalnya. Jelas bukanlah pendapat yg benar bila kita disuruh berontak kpd penguasa yg memiliki kekuatan militer sekuat itu, sedangkan kita tidak punya apa-apa… karena hasil akhirnya ialah binasanya para pemberontak tanpa ada perubahan berarti yg mereka timbulkan… belum berontak dgn terang-terangan aja kita sdh bisa merasakan akibat buruknya atas diri kita, berupa sikap represif pemerintah thd semua yg berbau Islam, spt cadar, jenggot, dan atribut islami lainnya… bisa antum bayangkan kalau sampai terjadi pemberontakan besar, apa akibatnya…
Jadi kesimpulannya, pemberontakan baru wajib dilakukan bila pemerintahnya telah benar-benar kafir secara terang-terangan, lalu kita punya bukti di hadapan Allah atas kekafiran mereka, dan pemberontakan tsb bisa mendatangkan maslahat lebih besar daripada kalau tidak memberontak. Bila salah satu dari syarat di atas tidak terpenuhi, maka pemberontakan tidak boleh dilakukan, dan kita wajib bersabar sambil terus melakukan islah lewat dakwah billati hiya ahsan, walaupun ini membutuhkan waktu yg lama dan hasilnya mungkin tidak kita rasakan… namun inilah jalan para Nabi dan Rasul.
Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa dgn Fir’aun. Adakah orang didunia ini yg lebih kafir dan kejam dari Fir’aun? Dia mengaku dirinya sebagai Rabbukumul A’la… lalu dia MENYEMBELIH bayi-bayi lelaki Bani Israel yg baru lahir (bayangkan !!!) dan memperbudak mereka yg masih hidup… Namun bagaimana perintah Allah kepada Musa untuk mendakwahinya? (bandingkan dgn sikap ABB dan pengikutnya kdp penguasa indo yg notabene jauh lebih ringan kekafirannya –kalau pun mereka benar-benar kafir– dibanding Fir’aun).
Allah mengatakan:
{اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (43) فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (44)} [طه: 43، 44]
pergilah kalian berdua (Musa dan Harun) kpd Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. Lalu katakan kepadanya perkataan yg lembut, semoga ia sadar dan takut kpd Allah (Toha: 43-44).
Coba bayangkan… Musa dan Harun adalah nabi2 alias orang paling alim dan paling dicintai Allah yg ada di bumi ketika itu, sedangkan Fir’aun adalah orang paling kejam dan paling kufur kepada Allah di bumi ketika itu. Pun demikian, justru Allah memerintahkan kedua orang yg paling dicintai-Nya agar mendatangi musuh nomor satu-Nya, dan menyampaikan perkataan yg lemah lembut kepadanya… bukan dengan mencapnya sebagai Thaghut, Kafir, Antek Amerika dan Zionis, dst… yg sering diucapkan oleh ABB dan pengikutinya tsb. Kenapa demikian? karena tujuan dakwah ialah menyadarkan orang yg keliru, bukan justru menjadikan dia semakin menjauh dari dakwah… kalau orang biasa saja tidak suka disalah-salahkan/dijelek-jelekkan walaupun sebenarnya dia memang salah & jelek, maka seorang penguasa jelas lebih tidak suka lagi diperlakukan demikian. Dan wajar bila akhirnya mereka yg berkuasa membalas sikap tsb dengan tindakan represif (menekan) orang-orang yg beratribut spt ABB dan pengikutnya… termasuk kita yg tidak sepemahaman dgn mereka juga kena getahnya.
Sebab itulah, kalau kita ingin meneladani para salaf, maka bersikaplah lemah lembut kpd penguasa, dakwahi mereka dgn baik-baik dan jangan tergesa-gesa untuk mengadakan perubahan drastis lewat kudeta dsb, sebab kondisi kita masih lemah, kaum muslimin belum mewujudkan kewajiban terbesar mereka thd Allah, yaitu Tauhid… lantas bagaimana Allah akan menolong mereka? Tetapilah jalan dakwah yg telah digariskan oleh Allah dan Rasulnya, dan jangan putus asa dgn kondisi umat yg tragis, karena kesudahan yg baik adalah menjadi milik mereka yg bertakwa. Wallahu a’lam
ustdz bolehkah memberikan zakat fitrah kepada kakak ipar yang sekarang dia ditinggal meninggal oleh suaminya dan punya anak 3..dia hanya pnya rumah peninggalan suaminya..
Boleh, asalkan kakak ipar antum selama ini nafkahnya tidak dalam tanggungan antum.
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarokatuh ..
afwan sebelumnya ustadz saya ingin bertanya masalah bid’ah yang dijelaskan oleh teman saya . bagaimana menurut pendapat ustadz ???
1. Sahabat Bilal r.a.melakukan sesuatu yang secara khusus
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alayhi wa aalihi wa sallam, namun masih masuk dalam keumuman hadist dan ayat di atas, yaitu membaca kumpulan ayat dari
surat yg berbeda-beda yang dibuatnya sendiri dan Rasulullah
shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallamberkata, Baik ( H.R.
Ahmad no. 544 ). Al Hafidz Al Haitsami berkata Rijalnya
terpercaya.
2.Seorang laki-laki menambahi doa sesudah ruku yang
tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi
wa sallam. Sesudah shalat, belaiu menanyakan orang
tersebut dan beliau tidak membid ’ahkan. Beliau justru
bersabda, Aku melihat lebih 30 malaikat berebut menuliskan
pahalanya (H.R.Bukhari no. 770 ).
3.Umar bin Khatab menambahi bacaan talbiyyah haji yang
tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi
wa sallam ( H.R.Bukhari 170 ).
4.Seorang baduwimendapatkan hadiah dari Rasulullah
shallallah ‘alayhiwa aalihi wa sallam karena membuat doa
yang tidak pernahdiajarkan olehRasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam ( bidah hasanah ) di dalam
shalat ( H.R. Ath Thabrani dalam Mu ’jam awssath no. 9447. Di sahihkan oleh Al Hafiidz Al haitsami dalam Majma Zawaid).
5.Ibnu Mas ’ud membuat redaksi shalawat sendiri ( H.R. ibnu Majah no.906 dan diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam
jalaa’ al afhaam no hal 36 dan 72 ).
6.Utsman bin Affan menambah adzan jum ’at menjadi 2
kali, suatu hal yang juga tidak pernah secara langsung
diajarkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi
wa sallam. Bagaimana pendapat anda dengan para
sahabat tadi, khususnya Umar bin khatab yang menambahi
talbuyyah haji dan sahabat Ibnu Mas ’ud yang membuat sendiri redaksi sholawat Nabi. Apakah amalan mereka bid’ah.
Jika anda menganggap bahwa semua bacaan yang
tidak dilakukan oleh Rasulullah Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallamsebagai bid ’ah, alangkah banyaknya
sahabat Nabi yang melakukan bid ’ah. Sayyidina Umar dan
Ibnu Umar bid’ah karena menambahitalbiyah hajji, Utsman bid ’ah karena menambahi adzan Jum ’at, Sahabat Anas,
Abdullah bin Mas’ud dan Imam Ali bid’ah karena membuat
redaksi shalawat sendiri ( Mu ’jam Awsath no.9448, Ibnu
Majah hadist 906, Jala ’ al Afhaam hal. 36 dan 72, Thabrani
dalam al Awsath 9089 ). Ribuan para sahabat yang ikut
perang Yamamah dengan pemahaman bid’ah kelompok
kedua juga menjadi sesat karena mereka meneriakkan ucapan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa aalihi wa sallam yaitu meneriakkan Yaa
Muhammadah ( Duhai Muhammad ) sebagai slogan peperangan ( Ibnu Katsir, Al Bidaayah wan Nihaayah Juz VI hal. 32 ). Padahal bukankah dalam konsep Ahlussunnah
Wal jama ’ah para sahabat adalah manusia yang bersih
dari bid ’ah ?Kita juga telah memasukkan Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, seorang
tabi ’in yang disepakati ketsiqohannya karena mengarang
doa sendiri ( lihat Al Faraj oleh Ibnu Abdi Dunya ), Imam
Ja’far Ash Shadiq ( guru Imam Malik dan Abu Hanifah dan
Tabiin terkemuka dari Ahlul Bayt )juga bid’ah karena
membuat redaksi doa sendiri ( lihat, Abwab al Faraj ),
Imam Asy Syafi ’i juga bid’ah karena membuat redaksi
bertawassul kepada Ahlul Bayt ( Tarikh Baghdad Juz 1hal.133 ). Pemahaman bid ’ah tentang bid’ah juga
memasukkan Abu Hanifah sebagai ahli bid’ah karena menyusun redaksitawassul ketika berziarah ke makam
Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam ( lihat Fath
Al Qadir dan Az Ziyaarah An nabawiyyah hal. 56 ), Imam Malik juga menjadi bid ’ah karena mengajar Khalifah Al Manshur untuk berdoa menghadap makam Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam danbertawassul kepada
Rasulullah shallalla ‘alayhi wa aalihi wa sallam ( Asy Syifa
dgn sanad sahih ), juga telah memasukkan Imam Ahmad yang memerintahkan seseorang membaca Al Qur ’an di sisi
kuburan ( Ibnu Al Qayyim, Ar Ruh hal. 33 ). Kita juga
memasukkan An Nawawi karena beliau menyusun Hizb
Nawawi, suatu hal yang tidak pernah secara khusus
diperintahkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi
wasallam. Ribuan sahabat, termasuk Khulafa Rashidin,
empat Imam Madzhab dan ribuan tabi ’in bid’ah karena pemahaman bid ’ah kelompok kedua ini. Dari sini,
sudah tentu, pemahaman kelompok ketigalah yang lebih sesuai dengan jiwa hadist tentang bid’ah dan juga lebih sesuai dengan praktek para salaf shalih.Hadist “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami ini sesuatu
yang bukan darinya, maka ia tertolak ” ( H.R. Abu Dawud ) justru menguatkan bolehnya berkreasi menyusun bacaan=bacaan doa, shalawat dan kalimat-kalimat baik
lainnya.
afwan ustadz ana cuma ingin mencari yang haq ana takut apa yg telah ana mengerti saat ini salah ..
syukron
jazakallahu khoiran katsiron
afwan sebelumnya ustadz saya ingin bertanya masalah bid’ah yang dijelaskan oleh teman saya . bagaimana menurut pendapat ustadz ???
1. Sahabat Bilal r.a.melakukan sesuatu yang secara khusus
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullahshallallahu ‘alayhi wa aalihi wa sallam, namun masih masuk dalam keumuman hadist dan ayat di atas, yaitu membaca kumpulan ayat dari
surat yg berbeda-beda yang dibuatnya sendiri dan Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallamberkata, Baik ( H.R. Ahmad no. 544 ). Al Hafidz Al Haitsami berkata Rijalnya terpercaya.
Jawab: Ini bukan bid’ah karena telah mendapat persetujuan Nabi, alias dianggap Sunnah. Sebab Sunnah terbagi menjadi tiga: qouliyah (ucapan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyyah (persetujuan).
2.Seorang laki-laki menambahi doa sesudah ruku yang
tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi
wa sallam. Sesudah shalat, belaiu menanyakan orang
tersebut dan beliau tidak membid ’ahkan. Beliau justru
bersabda, Aku melihat lebih 30 malaikat berebut menuliskan
pahalanya (H.R.Bukhari no. 770 ).
Jawab: sama dgn sebelumnya.
3.Umar bin Khatab menambahi bacaan talbiyyah haji yang
tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi
wa sallam ( H.R.Bukhari 170 ).
Jawab: Umar termasuk khulafa’ur Rasyidin yang perbuatan dan perkataannya menjadi teladan, dan ini atas perintah Nabi sendiri sebagaimana dlm hadits Irbadh bin Sariyah yg sangat terkenal itu… lihat Arba’in Nawawiyah no 28.
4.Seorang baduwimendapatkan hadiah dari Rasulullah
shallallah ‘alayhiwa aalihi wa sallam karena membuat doa
yang tidak pernahdiajarkan olehRasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam ( bidah hasanah ) di dalam
shalat ( H.R. Ath Thabrani dalam Mu ’jam awssath no. 9447. Di sahihkan oleh Al Hafiidz Al haitsami dalam Majma Zawaid).
Jawab: sama dengan poin 1 & 2.
5.Ibnu Mas ’ud membuat redaksi shalawat sendiri ( H.R. ibnu Majah no.906 dan diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam jalaa’ al afhaam no hal 36 dan 72 ).
Jawab: hadits ini dha’if karena salah seorang perawinya adalah Al Mas’udy yang mukhtalit, alias kacau hafalannya. Ibnul Qayyim meriwayatkan hadits tsb karena beliau sekedar mengumpulkan semua yang berkaitan dgn shalawat, tanpa mensyaratkan harus shahih/hasan. Kesimpulannya, hadits dha’if tidak bisa jadi pijakan.
6.Utsman bin Affan menambah adzan jum ’at menjadi 2
kali, suatu hal yang juga tidak pernah secara langsung
diajarkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi
wa sallam. Bagaimana pendapat anda dengan para
sahabat tadi, khususnya Umar bin khatab yang menambahi
talbuyyah haji dan sahabat Ibnu Mas ’ud yang membuat sendiri redaksi sholawat Nabi. Apakah amalan mereka bid’ah.
Jawab: sama dengan poin ketiga.
Jika anda menganggap bahwa semua bacaan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam sebagai bid ’ah, alangkah banyaknya sahabat Nabi yang melakukan bid ’ah. Sayyidina Umar dan Ibnu Umar bid’ah karena menambahitalbiyah hajji, Utsman bid ’ah karena menambahi adzan Jum ’at, Sahabat Anas, Abdullah bin Mas’ud dan Imam Ali bid’ah karena membuat redaksi shalawat sendiri ( Mu ’jam Awsath no.9448, Ibnu
Majah hadist 906, Jala ’ al Afhaam hal. 36 dan 72, Thabrani dalam al Awsath 9089 ).
Jawab: talbiyah haji Sayyidina Umar, shalawat Ibnu Mas’ud dan adzan jum’at kedua telah dijawab. Adapun Talbiyah Ibnu Umar maka yang seperti apa dan siapa yg meriwayatkan? Adapun redaksi shalawat Ali bin Abi Thalib dlm Al Awsath 9089, mk perawinya dari Ali adalah Salamah Al Kindi yg tidak dikenal oleh para ulama sebagai orang yg pernah mendengar langsung dari Ali (lihat: Jami’ut Tahshil no 274). Jadi, hadits ini dha’if krn sanadnya mursal (terputus) demikian menurut Imam Al ‘Ala’I dlm Jami’ut Tahshil. Lagi pula, kalaupun hadits ini dianggap shahih, maka ia merupakan sunnah-nya Ali yg notabene termasuk khulafa’ur Rasyidin.
Sedangkan redaksi shalawat Anas siapa yg meriwayatkan?
Ribuan para sahabat yang ikut perang Yamamah dengan pemahaman bid’ah kelompok
kedua juga menjadi sesat karena mereka meneriakkan ucapan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa aalihi wa sallam yaitu meneriakkan Yaa
Muhammadah ( Duhai Muhammad ) sebagai slogan peperangan ( Ibnu Katsir, Al Bidaayah wan Nihaayah Juz VI hal. 32 ). Padahal bukankah dalam konsep Ahlussunnah Wal jama ’ah para sahabat adalah manusia yang bersih dari bid ’ah ?
Jawab: Ibnu Katsir menyitir kisah tersebut dlm rangkaian cerita panjang ttg Perang Yamamah, yang mencampurkan ucapan Akhbariyyin (ahli sejarah) satu sama lain. Adapun syi’ar Muhammadaah tsb, yg meriwayatkan adalah Ibnu Jarir Ath Thabari dlm Kitab: “Tarikhul Umam wal Muluk” (3/293) dgn sanad sbb:
كتب إلي السري عن شعيب عن سيف عن الضحاك بن يربوع عن أبيه عن رجل من بني سحيم… فذكر القصة
Ini merupakan sanad yg gelap gulita, dan masalah2 akidah/tauhid tidak bisa dinukil dari kitab-kitab tarikh yg ‘meliput’ apa saja tanpa seleksi…, bahkan hukum-hukum syar’I pun tidak boleh dinukil dari kitab semacam itu. Kisah-kisah sejarah hanya diriwayatkan untuk dijadikan pelajaran dan ibrah, dan kita hanya membenarkan sejarah secara global saja, bukan setiap detailnya kita benarkan.
Dlm sanad cerita tsb terdapat Saif bin Umar yg terkenal sebagai perawi dari orang-orang majhul (tak dikenal), dan dikatakan ‘Matruk’ (haditsnya sangat lemah) oleh Abu Hatim. Bahkan Ibnu Hibban menuduhnya sebagai Zindiq.
Dhahhak bin Yarbu’ termasuk salah seorang tak dikenal yg menjadi narasumber Saif dlm ‘kisah’ ini. Demikian pula ayahnya yg bernama Yarbu’ dan perawi setelahnya yg juga ‘majhul’… masa’ sanad seperti ini mau dijadikan dalil dlm masalah penting spt ini??
Kita juga telah memasukkan Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, seorang tabi ’in yang disepakati ketsiqohannya karena mengarang doa sendiri ( lihat Al Faraj oleh Ibnu Abdi Dunya ), Imam Ja’far Ash Shadiq ( guru Imam Malik dan Abu Hanifah dan Tabiin terkemuka dari Ahlul Bayt ) juga bid’ah karena membuat redaksi doa sendiri (lihat, Abwab al Faraj ),
jawab: Siapa yang mengatakan bahwa merangkai doa sendiri merupakan bid’ah (kalaupun semua riwayat di atas benar adanya…)? Selama doa tsb tidak dibaca pd waktu dan tempat khusus dengan keyakinan ttt, dan lafazhnya tidak melampaui batas, maka tidak mengapa… Sebab Allah memerintahkan kita agar berdoa secara mutlak kpd-Nya… alias bebas dengan redaksi apa saja dlm bahasa apa pun, yg penting tetap memperhatikan adab-adab doa. Namun bila seseorang merekayasa doa setelah bersin, atau doa masuk mesjid, atau doa di pagi dan sore dan menjadikannya wirid; maka inilah yg bid’ah, sebab ia hendak menyaingi syari’at Rasulullah yg telah mengajarkan bacaan tertentu pd waktu dan tempat2 tadi. Faham?
Imam Asy Syafi ’i juga bid’ah karena membuat redaksi bertawassul kepada Ahlul Bayt (Tarikh Baghdad Juz 1hal.133 ).
Jawab: Tarikh Baghdad cetakan mana? Saya cek tidak ketemu tuh… coba sebutkan sanad ceritanya yg lengkap…
Pemahaman bid ’ah tentang bid’ah juga memasukkan Abu Hanifah sebagai ahli bid’ah karena menyusun redaksitawassul ketika berziarah ke makam Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam ( lihat Fath Al Qadir dan Az Ziyaarah An nabawiyyah hal. 56 ), Imam Malik juga menjadi bid ’ah karena mengajar Khalifah Al Manshur untuk berdoa menghadap makam Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi wa sallam danbertawassul kepada Rasulullah shallalla ‘alayhi wa aalihi wa sallam ( Asy Syifa dgn sanad sahih ), juga telah memasukkan Imam Ahmad yang memerintahkan seseorang membaca Al Qur ’an di sisi kuburan ( Ibnu Al Qayyim, Ar Ruh hal. 33 ).
Jawab: Tidak semua pelaku bid’ah sama dengan ahli bid’ah. Seorang imam panutan bisa saja terjerumus dlm suatu bid’ah karena menurut keyakinan Ahlussunnah dia tidak ma’shum. Akan tetapi tidak berarti dia menjadi ahli bid’ah, karena Ahli Bid’ah ialah mereka yang sengaja berbuat bid’ah dan mengajak orang lain kepadanya. Sedangkan orang yg berbuat bid’ah karena ikut2an, atau salah faham, atau karena ijtihad yg keliru, maka kita katakan: “Dia berbuat bid’ah”, dan tidak kita katakan: “Dia ahli bid’ah”, kecuali setelah kita jelaskan kebenaran kepadanya dan dia tetap menolak, barulah kita katakan dia sebagai ahli bid’ah.
Saya pribadi meragukan keabsahan riwayat-riwayat di atas, karena tidak semua yg diriwayatkan dlm kitab-kitab bisa dijadikan pegangan begitu saja… harus diverifikasi terlebih dahulu. Terutama kisah-kisah para Imam di atas.
Kita juga memasukkan An Nawawi karena beliau menyusun Hizb Nawawi, suatu hal yang tidak pernah secara khusus diperintahkan oleh Rasulullah shallallah ‘alayhi wa aalihi
wasallam. Ribuan sahabat, termasuk Khulafa Rashidin, empat Imam Madzhab dan ribuan tabi ’in bid’ah karena pemahaman bid ’ah kelompok kedua ini.
Jawab: ini adalah tuduhan tanpa bukti dan hasil pemahaman yg kacau tentang definisi bid’ah yg sesungguhnya. Karenanya, mereka selalu mencampuradukkan antara hasil ijtihad, mashalih mursalah, dan sunnah khulafa’ur rasyidin dengan bid’ah.
Dari sini, sudah tentu, pemahaman kelompok ketigalah yang lebih sesuai dengan jiwa hadist tentang bid’ah dan juga lebih sesuai dengan praktek para salaf shalih. Hadist “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak ” ( H.R. Abu Dawud ) justru menguatkan bolehnya berkreasi menyusun bacaan=bacaan doa, shalawat dan kalimat-kalimat baik lainnya.
Jawab: justru sebaliknya… hadits diatas menjadi bumerang atas mereka, karena tidak ada satu lafazh pun dari hadits tsb yg mengecualikan jenis bid’ah tertentu; padahal Rasulullah demikian sering mengucapkannya dlm khutbah beliau… masa’ beliau lupa? Atau mereka lebih faham ttg makna bid’ah dari beliau? Kalau lah beliau hanya mengucapkannya sekali atau dua kali… mk mungkin kita ‘bisa memaklumi’ kalau ada orang yg mengatakan: “Oo maksud Nabi bukan semua bid’ah itu sesat… tapi bid’ah yg begini dan begitu saja yg sesat…”. Tapi kenapa ya, kok berulang kali Nabi mengatakan hadits tsb tanpa mengecualikan atau merinci bid’ah apa yg beliau maksud… namun memukul rata dgn kata-kata “Kullu bid’atin Dholaalah”… coba renungkan dengan seksama…
Jika ada guru Biologi mengatakan: “Semua makhluk hidup perlu makanan”, dan ia menjadikannya sebagai mukaddimah setiap pelajarannya, mungkinkah ada murid yg ragu bahwa semua makhluk hidup memang perlu makanan… lantas mengatakan –setelah sang guru tiada-: “Oo, bukan begitu maksudnya… tapi ada beberapa makhluk hidup yg tidak perlu makanan”, yaitu: a, b, c, d, e… dst (sebanyak bid’ah yg dianggap hasanah di dunia ini ?!)
afwan ustadz ana cuma ingin mencari yang haq ana takut apa yg telah ana mengerti saat ini salah ..
syukron
jazakallahu khoiran katsiron
terus kalau tentang qunut witir qiyam ramadhan apakah benar hanya pada 15 hari terakhir di bulan ramadhan?
Sudah terjawab dlm jawaban lalu… itu memang khilaf di antara para salaf. Silakan pilih sendiri, ana tidak bisa menyalahkan pihak yg mana pun.