Soal-Jawab
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Kepada ikhwan dan akhwat pengunjung Blog Abu Hudzaifah yg saya cintai…
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas Blog ini, saya khususkan halaman ini bagi yg ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’-nya, baik keluhan, pertanyaan, atau sekedar curhat… Semoga dengan itu semua saya jadi lebih semangat untuk menyampaikan ilmu saya kepada antum semua.
Jadi, saya tunggu partisipasi antum… Jazakumullahu khairan katsieran,
Wassalaam,
assalamu’alaikum ustadz…
saya ingin menanyakan tentang syubhat yang disampaikan oleh banyak kalangan asatidz harokah di mimbar2 jum’at yang biasanya dikeluarkan berkaitan dengan menjelang pemilu:
“Jika mayoritas ummat islam hanya mendukung pemerintah/penguasa tanpa memilihnya maka yg akan terjdi adalah kaum kafir yg akan menguasai pemerintahan sebab kaum kafir suaranya bersatu, sedangkan ummat islam tdk memilih pemimpinnya, jika itu yg terjadi tinggal menunggu kehancuran ummat islam di idndonesia karena semua sendi bidang kekuasaan akan dikendalikan oleh kaum kafir.
Atau ummat islam memilih tapi yg terpilih adalah pemimpin islam yg tdk berkualitas, karena ummat islam yg berkualitas yg faham mengenai agama islam tdk memilih karena yg memilih adalah ummat islam yg masih blm faham tentang agamanya (karena masih teracuni faham sekularis dan lain2), itu pun kita tinggal menunggu juga kehancuran ummat ini.
Jadi untuk menegakkan ummat ini adalah melalui kekuasaan yg akan secara periodik/bertahaf akan mengembalikan seluruh hukum2 islam atau membuka pikiran ummat islam tentang agamanya karena tanpa dgn kekuasaan, ummat ini akan sulit bertarung dalam membuat Undang-Undang yg menguntungkan bagi ummat ini.
Jika mendukung maka kita harus memilih pemimpin kita yg berkualitas sesuai yg mungkin di kriteriakan oleh kelompok kalian/atau kelompok2 ummat islam yg lain agar ummat islam bisa bersatu dibawah panji2 islam.”
mohon pencerahannya ya ustadz…
jazzakallah..
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…
Subhaanallaah, alangkah indahnya apa yg diucapkan oleh Ibnul Qayyim ttg hal ini. Beliau mengatakan yg artinya: “Kebijaksanaan (hikmah) Allah tidak menghendaki dipimpimpinnya kita oleh orang seperti Al Hajjaj bin Yusuf, apalagi untuk dipimpin oleh orang-orang semacam Abu Bakar dan Umar”. [beliau mengatakan ini di zamannya, sekitar 7 abad yg lalu, ketika para ulama masih banyak yg hidup. Dan beliau menganggap bahwa kondisi masyarakat ketika itu masih belum layak untuk dipimpin oleh Amir sekelas Al Hajjaj bin Yusuf, yg terkenal demikian zhalim dan haus darah. Artinya, masyarakat Irak di zaman Al Hajjaj bin Yusuf kondisinya jauh lebih baik dari masyarakat di zaman Ibnul Qayyim].
Ya akhi… pemimpin kita adalah cerminan diri kita bukan? Bukankah Soekarno, Soeharto, Habibie, Megawati, Gus Dur dan SBY adalah orang-orang Indonesia juga? Apakah kita ingin mendapatkan pemimpin yg adil, shalih, zuhud, memperhatikan rakyat, dst… sedangkan rakyatnya saja masih bobrok dari sisi akidah dan moral? Mereka yg percaya dengan teori di atas sampai hari ini pun belum berhasil menegakkan umat lewat kekuasaan… dan tidak akan berhasil selamanya, karena jalan mereka bukanlah jalannya para nabi. Paling banter mereka hanya bisa meredam atau mengurangi kerusakan yg ada, tapi untuk menegakkan Islam, mustahil menurut ana. Itu cuma teori yg belum bisa mereka buktikan.
Assalamu’alaikum, Ustadz.Apa makna dan hakikat cinta karena Allah? Sekian, Jazakallahu khoiran jazaa’.
Hakikat cinta karena Allah adalah cinta yang tidak bertambah dengan sikap baik, dan tidak berkurang dengan sikap yg tidak baik. Artinya, bila anti mencintai seseorang karena Allah, maka cinta anti tidak akan bertambah jika ia bersikap baik kpd anti, dan tidak akan berkurang jika ia bersikap tidak baik kepada anti. Kalau cinta kita sdh sampai ke tingkat itu, barulah kita dinamakan mencintai karena Allah. Artinya, semua yg dicintai oleh Allah kita cintai, meskipun tidak sesuai dengan selera dan hawa nafsu kita. wallaahu a’lam
assalamu’alaykum..
ustadz, benarkah yg disebutkan dlm link ini http://www.islamedia.web.id/2011/02/bagaimana-hukum-menggulingkan.html bahwa banyak dari ulama salaf yg menyebutkan keburukan penguasa di depan khalayak ramai??
jazakallahukhayran atas jawaban antum^^..
Wa’alaikumussalaam…
Apa yg dilakukan oleh sejumlah ulama salaf tersebut adalah salah satu bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Mereka mengingkari kemunkaran yg dilakukan oleh sebagian penguasa, namun tidak merongrong kekuasaan mereka, ini bedanya. Dan mereka melakukannya di depan penguasa, bukan di belakangnya (spt yg dilakukan oleh harokiyyin dan takfiriyyin), kalau amar ma’ruf tadi disampaikan di depan penguasa dengan tujuan nasehat dan hisbah, maka ini dibolehkan walaupun dilakukan di depan khalayak ramai, kalau memang tidak ada kesempatan lain. Tetapi yg lebih baik ialah menasehatinya empat mata, baik dengan mengunjunginya atau menyuratinya dsb. Adapun pemberontakan kepada penguasa zhalim atau adil yg dilakukan oleh sebagian salaf, seperti mereka yg turut serta dalam perang Jamal dan Siffin, demikian pula Al Husein bin Ali ra, Abdullah bin Zubeir, Abdurrahman bin Asy’ats, Warga Madinah dlm tragedi Al Harrah, dan semisalnya; adalah madzhab lawas yg dahulu dianut oleh SEBAGIAN salaf, meskipun mayoritas tokoh-tokoh sahabat dan tabi’in lebih memilih untuk tidak terjun dalam fitnah. Itu berangkat dari ijtihad mereka dan mereka semua orang-orang yg shalih. Akan tetapi setelah terbukti bahwa hal tsb hanya membawa mafsadat yg jauuuh lebih besar dari kemaslahatan yg ditimbulkan, mereka kemudian sepakat untuk tidak memberontak kepada pemimpin yg zhalim selama belum kafir.
Di antara kerusakan yg timbul dlm fitnah2 tsb ialah: Terbunuhnya kaum muslimin, termasuk di antaranya tokoh2 sahabat, spt Thalhah, Zubeir, Ibnu Zubeir, Al Husein bin Ali, Ammar bin Yaasir… kemudian pembantaian tentara Syam di bawah komando Muslim bin Uqbah Al Murri thd warga madinah yg sangat tragis, hingga disebutkan dlm Al Bidayah wan Nihayah, bahwa jumlah gadis perawan dari Bani Hasyim saja yg terbunuh mencapai seribu… kemudian pemberontakan Abdurrahman Ibnul Asy’ats kpd Hajjaj yg sekaligus hendak melengserkan khalifah saat itu, yaitu Abdul Malik bin Marwan, yg akhirnya berujung kpd kekalahan mereka sehingga terjadi pembunuhan atas pengikutnya Ibnul Asy’ats yg konon jumlahnya mencapai 130 ribu orang, yg paling akhir di antaranya adalah Sa’id bin Jubeir. Kemudian penggulingan Bani Abbas thd Bani Umayyah, yg menelan korban jiwa sekitar 600 ribu orang… dst. Ini jelas mafsadat besar yg tidak sebanding dgn kemaslahatannya. Walaupun dilakukan oleh para ulama, sebab perbuatan ulama bukanlah hujjah dengan sendirinya, tapi justru ia membutuhkan hujjah yg mendukungnya. kalau Nabi sudah jelas-jelas melarang kita untuk berontak kecuali setelah melihat kekafiran yg nyata –dan para ulama menambahkan syarat lain yaitu: Adanya kemampuan untuk menggulingkan tanpa menimbulkan mafsadat yg lebih besar– maka inilah yg harus kita pegangi, bukan perbuatannya para ulama yg tak lain adalah ijtihad, yang bisa benar dan bisa pula salah. Al Izz bin Abdussalaam itu bukan ulama yg ma’shum. Beliau bahkan memiliki akidah yg parah karena meyakini bahwa seorang wali dapat mengetahui apa yg ada di lauhul mahfuzh (lihat: Qowa’idul Ahkam 1/118-119, karya beliau), dan pengikut ajaran tasawuf, bahkan suka mendengar lagu-lagu sufi dan mengikuti tarian mereka, hal ini dijelaskan oleh As Subki ketika menulis biografinya dlm kitab Thabaqaatusy Syaafi’iyyah. Demikian pula oleh Adz Dzahabi dlm Al ‘IBar (3/299). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan berbagai kekeliruan akidah yg ada pada Al Izz bin Abdussalaam dlm kitabnya Majmu’ Fatawa (4/144-164). Beliau bahkan menyifatinya dengan istilah Jahmiyyah Kullaabiyah (salah satu firqah sesat dlm akidah asma’ was sifat), selain beliau juga Asy’ari tulen tentunya. Jadi, ulama pun bisa terjerumus dalam bid’ah yg sesat, meskipun mereka belum tentu berdosa karena mungkin berangkat dari ijtihad. Pun demikian, kekeliruan ulama tidak halal untuk diikuti. Yang salah tetap salah.
Assalamu’alaikum ustadz….
apakah benar Jika hujan turun ketika waktu sholat maka gugurlah kewajiban menegakkan sholat berjamaah di masjid bagi laki-laki muslim walaupun hanya rintik-rintik?
Jika memang benar demikian, bagaimana dengan orang yang didaulat menjadi Imam Masjid, apakah juga gugur kewajibannya?
Wallaahu a’lam. Ana belum bisa menjawabnya sekarang… antum tanya ustadz yg lain saja dulu.
“Oleh karenanya, sebagian ulama berpendapat bahwa seorang ayah berhak menikahkan puterinya yg belum baligh secara paksa, selama calon suaminya adalah laki2 yg sesuai”.
Maaf ustadz, saya pernah baca di taisir allam syarh umdah al ahkam bahwa boleh menikahkan putri yang belum baligh tanpa izinnya adalah ijma ulama dan khilaf hanya untuk menikahkan gadis baligh tanpa ridhonya.
Pertanyaan, apakah nukilan ijma yang ada di taisir allah tersebut adalah nukilan yang tidak benar?
أفيدونا بارك الله في علمكم
Ahsanta ya Syaikh, awalnya ana menulis jawaban tsb dari memori ana tanpa merujuk ke kitab apa pun… dan ternyata memang ada yg menukil ijma’ dlm hal ini, yaitu yg dinukil oleh Al Muhallab bin Abi Shufrah (ahad syurrohil Bukhari), bahwa para ulama ijma’ ttg bolehnya seorang ayah menikahkan puterinya yg masih kecil meskipun belum bisa dijima’. Akan tetapi At Thahawi menyebutkan bahwa Ibnu Syubrumah tidak membolehkan hal tsb bila puterinya belum bisa dijima’, sedangkan Ibnu Hazm menyebutkan larangan tsb dari Ibnu Syubrumah secara mutlak, alias sampai ia baligh dan dimintai izin. Dan ia berpendapat bahwa pernikahan Nabi dgn Aisyah termasuk kekhususan beliau (lihat: Fathul Baari, 9/190, Bab Inkaahur Rajuli waladahus Sighaar).
Syaikhukum wa Syaikhu Masyaayikhina, Al ‘Allaamah Ibnu Utsaimin mengatakan dlm syarah shahih bukhari beliau sbb (ana nukilkan teks arabnya lgsg ya ustadz):
تقدم لنا أن الرجل يجوز أن يزوّج ابنته الصغيرة إذا كانت بكرا ، ومعلوم أن الصغيرة لا إذن لها ، لأنها لم تبلغ ، وهذا قول جمهور أهل العلم ، واستدلوا بالحديث الذي ذكره المؤلف –رحمه الله – ، وبعضهم حكى الإجماع على أن للأب أن يزوج ابنته الصغيرة بدون رضاها ، لأنه ليس لها إذن معتبر ، وهو أعلم بمصالحها ، ولكن نقل الإجماع ليس بصحيح ، فإنه قد حكى ابن حزم عن ابن شبرمة أنه لا يصح أن يزوج ابنته الصغيرة حتى تبلغ ، وتأذن ؛
وهذا عندي هو الأرجح ، والاستدلال بقصة عائشة فيه نظر ، ووجه النظر أن عائشة زُوِّجت بأفضل الخلق –صلى الله عليه وسلم- وأن عائشة ليست كغيرها من النساء ، إذ أنها بالتأكيد سوف ترضى وليس عندها معارضة ، ولهذا لمّا خُيرت –رضي الله عنها- حين قال لها النبي – صلى لله عليه وسلم – : (لا عليك أن تستأمري أبويك) ؛ فقالت : إني أريد الله ورسوله ، ولم ترد الدنيا ولا زينتها .
ثم إن القول بذلك في وقتنا الحاضر يؤدي إلى مفسدة كما أسلفنا سابقا ، لأن بعض الناس يبيع بناته بيعا ، فيقول للزوج : تعطيني كذا ، وتعطي أمها كذا! وتعطي أخاها كذا! ، وتعطي عمها كذا ! … إلى آخره .
وهي إذا كبرت فإذا هي قد زُوجت فماذا تصنع؟!!
وهذا القول الذي اختاره ابن شبرمة ولا سيما في وقتنا هذا ، هو القول الراجح عندي ، وأنه يُنتظر حتى تبلغ ثم تُستأذن .
فعائشة –رضي الله عنها – تزوجها الرسول –صلى الله عليه وسلم – وهي بنت ست سنين ، يعني قبل أن تبلغ سنّ التمييز ، وتوفي عنها بعد تسع سنين ، حيث توفي الرسول –صلى الله عليه وسلم – في السنة الحادية عشرة من الهجرة فهذه تسع سنوات .
إذاً توفي عنها ولها ثماني عشرة سنة ، ومع ذلك أدركت هذا العلم العظيم الذي ورثته الأمة من بعدها]اهـ.
Intinya, beliau masih mempersoalkan keabsahan ijma’ yg dinukil oleh Al Muhallab tsb, dan merajihkan pendapatnya Ibnu Syubrumah. Ala kulli haal, kalaamusy syaikh lahu wajhun qawiyy, wamaa daama hunaaka man yukhaalif (minal mutaqaddimin wal mutaakhkhirin, wahuwa ibnu utsaimin), falaisa fil mas-alati ijmaa’un idzan. Wal ‘ilmu ‘indallaah. Wa aftakhir biziyaarati amtsaalikum lihaadzal mauqi’ az zahieed, baarakallaahu fiikum wafii ‘ilmikum.
assalamualaikum ustadz
ana mau tanya apa dasar orang tasauf /aliran lain untukk mengadakan talilan?
karena saat di beritahu ke mereka tahlilan itu salah mereka marah…
Syukran Ustadz. Jazakallahu khoiron..
Wa’alaikumussalaam.
Mestinya antum tanya langsung kepada mereka apa dasarnya? Tapi biasanya mereka pakai dalil2 yg sifatnya umum, seperti perintah berdzikir secara umum, atau pakai dalil khusus tapi tidak ikut aturan main yg dipraktikkan oleh para sahabat, seperti hadits Ibnu Abbas dlm shahihain yg mengatakan bahwa jika Nabi selesai shalat fardhu, maka hal ini dapat diketahui lewat gemuruh jama’ah shalat yg bertakbir dan berdzikir. Akan tetapi masalahnya ialah, mereka melakukannya secara koor dengan dikomandoi imam, lalu dengan bacaan ttt hasil rekayasa sebagian orang, dan dengan waktu-waktu khusus, atau karena momen ttt, yg semuanya tidak ada dalilnya. Kalau mau ikuti Nabi ya dzikirnya sebatas bacaan setelah shalat yg beliau ajarkan, dan masing-masing membacanya sendiri-sendiri dengan agak mengangkat suara, bukan secara koor.
assalamualaikum ustadz,
ana mau tanya ustadz
1.saat sholat subuh yang menjadi imam adalah orang yang dalam sholatnya pakai kunut,bagai mana tindakan kita sebagai makmum…
2.pada waktu tahyat akhir kita harus menggerak-gerakkan telunjuk mohon penjelasannya tentang hal tersebut,kenapa harus di gerak-gerakkan
mohon penjelasaanya ustadz
Syukran Ustadz. Jazakallahu khoiron..
Wa’alaikumussalaam.
Membaca qunut dlm shalat subuh sebenarnya tidak tepat jika dikatakan sebagai bid’ah, sebab mereka juga punya dalil dlm hal ini, meskipun pendapat yg lebih kuat ialah bahwa Nabi tidak merutinkan hal tersebut kecuali dalam rangka qunut Nazilah, artinya qunut karena ada musibah besar yg menimpa kaum muslimin, dan dalam doa qunut tsb Nabi mengutuk musuh2 Islam. Jika qunutnya seperti ini, maka Nabi pernah melakukannya selama sebulan dan dalam SHALAT LIMA WAKTU, bukan hanya subuh. Ala kulli haal, kalau sekiranya dengan tidak ikut qunut antum tidak akan dituduh macam-macam oleh jama’ah mesjid, maka antum bebas untuk melakukan qunut atau tidak melakukannya. Namun jika khawatir menimbulkan fitnah, maka silakan qunut bersama imam, toh itu bukanlah bid’ah…
Adapun menggerakkan telunjuk saat tahiyyat akhir bukanlah suatu ‘keharusan’, itu hukumnya sunnah menurut sebagian ulama, karena ada hadits yg menyebutkan bahwa Nabi melakukan hal tsb, yaitu hadits Wa’il bin Hujur yg diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan dishahihkan oleh Al Albani, bahwa beliau melihat Nabi menggerak-gerakkan telunjuknya ketika berdoa dlm tasyahhud.
Menurut Syaikh Utsaimin Rahimahullah, lafazh2 tasyahhud yg dianggap doa ialah: “Assalaamu’alaika ayyuhan Nabiyyu”, “Assalaamu ‘alaina…”, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad..”, “Wa Baarik ‘ala Muhammad”, lalu dalam doa setelahnya. Jadi, setiap membaca kalimat2 tadi, gerakkanlah telunjuk antum.
Namun ada juga ulama yg berpendapat bahwa cukup mengisyaratkan dengan telunjuk tanpa menggerak-gerakkannya. Adapun pertanyaan antum; “Kenapa harus digerak-gerakkan?”, maka ada sebuah hadits riwayat Ahmad yg dihasankan oleh Syaikh Al ALbani, bahwa Ibnu Umar bila tahiyyat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya sembari menatapnya. Usai shalat beliau mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda, bahwa telunjuk (yg digerak2kan tsb) bagi syaithan lebih menyakitkan daripada besi (yakni senjata dari besi). Wallaahu a’lam
Assalamu’alaikum ustadz….
apakah benar Jika hujan turun ketika waktu sholat maka gugurlah kewajiban menegakkan sholat berjamaah di masjid bagi laki-laki muslim walaupun hanya rintik-rintik?
Jika memang benar demikian, bagaimana dengan orang yang didaulat menjadi Imam Masjid, apakah juga gugur kewajibannya?
Assalamu’alaikum ustadz,
Ini sebenernya pertanyaan istri saya. Dia pengen bertanya, apakah darah flek yg muncul sebagai pertanda mulainya haid itu dihukumi spt darah haid yaitu wajib mandi junub jika darahnya berhenti?
Dia skrg sedang hamil dan terkadang keluar flek tetapi warnanya coklat tidak spt warna darah segar, apakah dia diwajibkan mandi junub ketika ingin menunaikan sholat atau hanya sebatas mengganti pakaian yg terkena flek saja kemudian berwudhu?
Demikian ustadz. Terima kasih.
Wa’alaikumussalaam.
Wanita yg sedang hamil biasanya tidak haid, jadi darah yg keluar adalah dam faasid (darah krn terputusnya salah satu pembuluh darah) atau karena istihadhah (suatu penyakit yg menyebabkan wanita terus mengeluarkan darah namun sifatnya berbeda dengan darah haid/nifas). Tapi, ada kemungkinan kecil (mungkin 1%) bhw wanita hamil pun bisa haid. Jadi, kalau memang darah tsb keluar pada waktu2 haid dan sifat2nya spt darah haid (hitam, bau menyengat) ya hukumnya spt wanita haid.
Jika ia tidak dalam keadaan hamil dan ia memiliki kebiasaan haid yg teratur, maka bila flek tersebut keluarnya pada permulaan haid, ia dihukumi sebagai haid dan harus mandi junub setelah bersih. namun bila ia keluar bukan pada masa-masa haid, yakni pada masa suci, maka ia tidak dihukumi sebagai haid, alias tetap wajib shalat dan cukup berwudhu dan mengganti pakaiannya. Wallaahu a’lam.
Assalaamu’alaykum.
Ana ingin bertanya tapi sebelumnya ana ingin memberitahukan bahwa ana ini adalah tipe penganut islam yang ga terlalu mikirin apa hikmah dari serangkain aturan2 atau peristiwa2 yang ada dalam agama islam, pikiran ana simpel, pokoknya jika datang perintah laksanakan dan jika datang larangan dijauhi, that’s it.
Namun tiba2 saja ana penasaran -dan ini jarang2 terjadi-, apa hikmah dibalik pernikahan Rasulullah dengan Ibunda ‘Aisyah yang saat itu masih kecil? Itu yang pertama. Kemudian, pertanyaan kedua, apakah perbuatan Rasulullah yang menikahi Ibunda ‘Aisyah dalam usia yang masih kecil menjadi sunnah bagi umatnya untuk menikahi wanita yang masih kecil2 pula?
Terima kasih…
Wa’alaikumussalaam warahamtullah…
Ahsanta, memang seharusnya kita manut aja sama perintah agama. Baik tahu apa hikmahnya maupun tidak. Hanya saja, mengetahui hikmah tentu memiliki nilai tambah, karena memang ada beberapa ajaran agama yg hikmahnya jelas-jelas kita ketahui, baik melalui keterangan Allah dlm Al Qur’an, sabda Nabi, maupun penjelasan para ulama. Contohnya pengharaman judi, khamer, zina, riba, lagu-lagu dan musik, dll.
Adapun hikmah di balik pernikahan Rasulullah dengan ibunda Aisyah yg masih kecil (yakni 6 tahun), lalu berumah tangga dengannya saat umurnya 9 tahun; di antaranya ialah karena gadis kecil ingatannya jauh lebih kuat dari wanita dewasa. Apalagi Aisyah adalah wanita yg super cerdas, bahkan menurut Imam Dzahabi, beliau belum pernah mendapati seorang wanita pun dalam sejarah manusia sejak zaman Adam hingga zaman beliau (abad ke 8 H), yg ilmunya sepadan dengan Aisyah !! Mengapa: pertama karena kecerdasan alami ibunda Aisyah, dan kedua karena beliau telah menemani Rasulullah selama 10 tahun dan menjadi salah satu orang terdekat yg ‘merekam’ hampir semua gerak-gerik dan perkataan Rasulullah. Dan ternyata sepeninggal Rasulullah, selama 46 tahun kemudian beliau menjadi rujukan dan mufti kaum muslimin dalam berbagai permasalahan pelik, karena ibunda Aisyah mengetahui banyak hal yg tidak diketahui atau tidak dihafal oleh para sahabat dan istri2 Nabi lainnya.
Pertanyaan kedua, jawabannya adalah: Hal itu hukumnya boleh2 saja, selama calon suami si gadis kecil memang sesuai. Sebagaimana Rasulullah dengan Aisyah, demikian pula pernikahan Umar yg saat itu sebagai khalifah (umurnya di atas 50 thn) dengan Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, salah seorang puteri Ali dari Fatimah Azzahra, yg juga masih kecil. Akan tetapi jelas, bahwa calon suaminya adalah manusia pilihan, bukan sembarang orang. Oleh karenanya, sebagian ulama berpendapat bahwa seorang ayah berhak menikahkan puterinya yg belum baligh secara paksa, selama calon suaminya adalah laki2 yg sesuai. Adapun setelah si gadis itu baligh, maka ia tidak boleh dipaksa.
terimakasih atas penjelasannya…
kemudian ttg hijab ustadz…
definisi hijab itu apakah hanya sebatas pakaian (jilbab) atau juga kewajiban kaum wanita untuk menutup diri, tidak bergaul bebas dengan laki-laki, dan lebih banyak tinggal di rumah?
mohon penjelasannya
Hijab ada dua macam, hijab akbar: yaitu tinggalnya wanita di rumah dan tidak bergaul bebas dengan laki-laki, dan hijab asghar, yaitu hijab yg dikenakan wanita ketika berada di luar rumah. Kedua hijab tadi sama-sama diperintahkan, dan orang yg meninggalkan keduanya sama-sama disifati dengan ‘mutabarrijah’ alias wanita yg bertabarruj, coba antum renungi firman Allah dlm surat Al Ahzab: 33.
Assalamu’alikum. Ustadz mau menanyakan pertanyaan teman saya dan pertanyaan saya sendiri.
1. Apa hukumnya menyimpan gambar makhluk yang memiliki roh? lalu bagaimana dengan memajangnya?
2. Apakah isbal mempengaruhi sah/tidaknya shalat?
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Memajang gambar makhluk bernyawa adalah haram. Sedangkan hukum menyimpannya tergantung pada fungsi gambar tsb. Kalau ia disimpan sebagai dokumentasi penting, atau ada kaitannya dengan ilmu ttt, spt kedokteran, anatomi, dan semisalnya. Atau gambar tsb bukan sbg tujuan utama, spt orang yg mengoleksi majalah untuk dibaca beritanya, bukan untuk mengoleksi gambar-gambarnya; maka dalam semua kondisi tadi dibolehkan. Tapi kalau sekedar foto kenang-kenangan, maka menurut syaikh Utsaimin tidak boleh, karena itu bukan alasan syar’i. Terutama gambar-gambar yg memperlihatkan wajah, sebab yg dilarang dari gambar adalah bagian wajahnya. Artinya jika gambar tsb tidak menunjukkan wajah, atau bagian wajahnya dihapus/ditutupi, atau gambar tsb diperlakukan tidak terhormat, spt dijadikan sarung bantal, alas/permadani/keset yg diinjak-injak… maka gambar tsb boleh digunakan.
Isbal hukumnya haram, tapi tidak menjadikan shalat seseorang menjadi batal/tidak sah. Hadits yg menyebutkan bahwa Allah tidak menerima shalatnya orang dengan sarung yg isbal, adalah hadits dha’if yg tidak bisa dijadikan dalil. wallaahu a’lam.
lalu bagaimana hukum berfoto? dan bagaimana jika gambar yang disimpan tersebut dalam bentuk digital (mis. dalam SD atau dlm notebook)?
Syukron sebelumnya.
Wallaahu a’lam. sementara ana belum bisa menjawab.
yang dimaksud haram itu saat sholat, atau dalam sehari hari?
kemudian ditinjau dari artikel di atas bagaimana dengan orang yang tertidur ketika pelaksanaan ibadah sholat jum’at saat khotib sedang berkhutbah? apakah tidak perlu berwudhu?
Mohon penjelasannya ustadz…
jazzakallah khoir
kemudian ditinjau dari artikel di atas bagaimana dengan orang yang tertidur ketika pelaksanaan ibadah sholat jum’at saat khotib sedang berkhutbah? apakah tidak perlu berwudhu?
Assalamu’alaikum ustadz….
apakah benar bahwa Tidur itu tidak membatalkan wudhu…
saya membaca artikel isinya sbg berikut:
I . Orang yang sudah berwudhu lalu tidur, baik lama tidurnya maupun sebentar maka ‘batal’ wudhunya.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
1. telah menceritakan kepada kami [Hannad] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abu Al Ahwash] dari [‘Ashim bin Abu An Nujud] dari [Zirr bin Hubaisy] dari [Shafwan bin ‘Assal] ia berkata; ” Jika kami sedang bepergian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar kami tidak membukanya selama tiga hari tiga malam kecuali ketika kami junub. Dan tetap boleh untuk mengusapkan karena buang air besar, buang air kecil dan tidur.”(HR Tirmidzi)
Maksudnya: dalam hadits ini tidur disejajarkan dengan buang air besar atau air kecil sehingga membatalkan wudhu.
2. Mata itu penutup dubur, maka apabila kedua mata itu tertidur, terbukalah tutupnya (HR Darimy)
Maksudnya: jika seseorang tidur maka dapat saja kentut, jadi tidur itu membatalkan wudhu.
3. Penutup dubur itu ialah dua mata, karena itu barang siapa sudah tidur hendaklah ia berwudhu (HR Abu Dawud)
Maksudnya: jelas tidak dibeda-bedakan tidur sebentar atau lama, yang penting asal tidur berarti batal wudhunya.
Bantahan:
1.Hadits yang pertama diriwayatkan juga oleh Imam ahmad dan Nasa’i tetapi dalam semua jalannya terdapat seorang perawi yang bernama ‘Ashim bin Abu An Nujud. walaupun ada yang menganggapnya sah dan dapat diterima (contoh: Abu Isa berkata; “Hadits ini derajatnya hasan shahih) tetapi dalam jalan tersebut masih juga ada perbincangan (lihat Mizanul-I’tidal 2:5)
2. Hadits yang kedua diriwayatkan juga oleh imam ahmad, daraquthni dan baihaqi, tetapi dalam jalannya terdapat seorang perawi yang bernama Baqiyah dari Abi Bakar bin abi maryam. Dia ini dilemahkan oleh ahli hadits (Mizanul-I’tidal 3:345)
3. Hadits ketiga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, dan Daraquthny, tetapi dalam jalannya terdapat Baqiyah tersebut dari Al-wadhin bin atha’ dia ini lemah (Mizanul-I’tidal 3:269)
Karena hadits2 diatas masih diperbincangkan dan juga lemah maka dalil2 tersebut belum bisa dipakai untuk menetapkan hukum bahwa tidur lama atau sebentar membatalkan wudhu.
II. Tidur lama saja yang membatalkan wudhu.
Pendapat ini berdasarka hadits:
4. Dari Anas ia berkata adalah sahabat-sahabat rasulullah menunggu sholat isya’ yang akhir hingga tergantung kepala mereka (tidur) kemudian mereka sholat dan tidak berwudhu lagi. (HR Abu Dawud)
Bantahan:
Hadits tersebut sah, dan dapat dipakai. Tetapi bukan berarti kalau tidur sebentar tidak membatalkan wudhu maka tidur lama membatalkan wudhu. mafhum laqab seperti ini tidak bisa dipakai untuk menentukan hukum. perlu tambahan dalil yang menerangkan bahwa tidurlama itu membatalkan wudhu.
III. Tidak batal dalam posisi ruku’, sujud, berdiri, dan duduk, tetapi selain posisi itu berarti batal.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
5. Nabi telah bersabda ” Apabila seorang tidur dalam sujudnya niscaya Allah megahkan dia dengan malaikat (HR Baihaqi)
Maksudnya: dalam posisi ini tidur tidak batal.
Bantahan:
Imam Baihaqi sendiri telah melemahkan hadits tersebut dan tidak ada yang mengesahkannya.
IV. Selain dari tidur dalam keadaan ruku’ dan berdiri maka mambatalkan wudhu.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
6. Tidak ada wudhu atas orang-orang yang tidur sambil berdiri dan ruku’ (HR Ibnu Adi)
Bantahan:
Hadits ini tidak sah karena dalam sanadnya ada Mahdi bin Hilal (Mizanul-I’tidal 3:2061). jadi tidak bisa dipakai menentukan hukum
V. Tidur sambil berbaring saja yang membatalkan wudhu.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
7. Sesungguhnya wudhu itu tidak wajib kecuali atas orang yang tidur sambil berbaring (HR Tirmidzi)
Maksudnya: jika tidak berbaring maka tidak membatalkan wudhu.
Bantahan:
Yang semakna denganhadits diatas diriwayatkan oleh Abu Dawud, Daraquthni, Ahmad, dan Baihaqi, tetapi semua jalannya ada seorang bernama Yazied Abu Khalid ad-Dalany. Dia dilemahkan oleh ahli hadits (Mizanul-I’tidal 3:315). maka pendapat ini tidak bisa dipakai.
VI. Tidur disegala posisi tidak membatalkan wudhu.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
8. Dari anas bin malik ia berkata sahabat-sahabat rasulullah tidur kemudian mereka bangun lalu mereka shalat tetapi tidak berwudhu. (HR Muslim 1:150 Tirmidzi 1: 104)
9. Telah menceritakan kepada kami [Harun bin Sa’id Al Aili] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Wahb] Telah menceritakan kepada kami [Amru] dari [Abdu Rabbih bin Sa’id] dari [Makhramah bin Sulaiman] dari [Kuraib] Maula Ibnu Abbas, dari [Ibnu Abbas] bahwa ia berkata; “Saya pernah menginap di rumah Maimunah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara pada malam itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermalam di rumahnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu lalu berdiri dan shalat. Maka saya pun berdiri (shalat) di samping kirinya, lalu beliau memegangku dan meletakkanku di sebelah kanannya. Pada malam itu, beliau shalat sebanyak tiga belas raka’at. Sesudah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidur hingga beliau mendengkur. Memang, jika tidur beliau mendengkur. Kemudian seorang muadzin pun mendatangi beliau (untuk mengumandangkan adzan), hingga beliau keluar dan menunaikan shalat dengan tidak berwudlu lagi.” [Amru] berkata; Saya menceritakannya kepada [Bukair bin Al Asyaj], ia berkata, telah menceritakan kepadaku [Kuraib] dengan hadits itu. (HR Muslim)
10. Dari aisyah ia berkata “nabi pernah terlambat sholat isya sehingga umar berseru kepadanya “perempuan-perempuan dan anak-anak kecil telah tidur” lalu nabi keluar kemudian sholat padahal tidak ada seorangpun (dari antara mereka) yang berwudhu. (HR Bukhari-muslim)
Ada pihak yang mengatakan bahwa ini adalah kekhususan nabi dan para sahabat, tentunya pendapat ini sangatlah lemah. Tidak ada keterangan yang mendukungnya. Jadi Berdasarkan hadits-hadits tersebut maka tidur tidak membatalkan wudhu.
loh…mungkin bisa saja ketika kita tidur kita buang angin???
Jika kita yakin bahwa sebelum tidur kita berwudhu maka apakah sesuatu yang bernilai “yakin” bisa dikalahkan oleh sesuatu yang bernilai “kemungkinan”???.
Kesimpulan:
“Tidur tidak membatalkan wudhu”
kemudian ditinjau dari artikel di atas bagaimana dengan orang yang tertidur ketika pelaksanaan ibadah sholat jum’at saat khotib sedang berkhutbah? apakah tidak perlu berwudhu?
Tanggapan ana: Kesimpulan si penulis artikel-lah yg ‘lemah’, karena hadits ‘tidurnya’ para sahabat bukan tidur dalam arti berbaring di mesjid. Mereka tidur dalam keadaan duduk yg stabil karena menunggu kedatangan Rasulullah untuk mengimami shalat. Hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi yg memberi judul babnya sbb: Bab Dalil bahwa orang yg tidur sambil duduk tidak batal wudhu’. Lalu beliau menyebutkan beberapa hadits, di antaranya hadits di atas. beliau juga menyebutkan 8 qoul dlm masalah ini, dan merajihkan qoul madzhab syafi’i, yaitu bahwa tidur yg tidak membatalkan wudhu’ ialah tidur dlm keadaan duduk yg stabil (duduk bersila atau duduk dgn kedua betis dilipat di bawah paha, mirip iftirasy. Intinya lubang dubur benar2 tertindih sehingga angin tidak bisa keluar). Hal ini berlaku baik tidurnya sebentar maupun lama, selama posisinya duduk dan stabil. Mereka yg berpendapat demikian, menganggap tidur bukan sebagai pembatal wudhu secara langsung, akan tetapi sebagai pertanda keluarnya angin. Karenanya, bila seseorang tidur dlm posisi yg tidak stabil duduknya, ada dugaan kuat bahwa dia kentut tanpa terasa. Karenanya, dugaan kuat ini diposisikan sebagai keyakinan secara syar’i. Namun bila tidurnya dlm posisi duduk yg stabil, maka dugaan kuat terjadinya kentut tsb bisa dinafikan, sehingga hukum asal adanya thaharah masih berlaku. Dalil yg menguatkan pendapat ini cukup banyak -kata Imam Nawawi-, dan beliau telah merincinya dalam kitab Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab.
Adapun dalil yg digunakan oleh penulis, yaitu hadits no 9, maka itu adalah kekhususan Nabi, sebab dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau mengatakan: “Yanaamu ‘ainaaya walaa yanaamu qalbi” (kedua mataku tidur, namun hatiku tidak tidur). Dan ini merupakan kekhususan beliau. karenanya, dalam keadaan tidur pun beliau tetap menerima wahyu dengan baik. Demikian pula pendapat Imam Nawawi.
Sedangkan hadits ke-10 yg dijadikan dalil oleh si penulis, tidak menunjukkan secara jelas bahwa kaum wanita dan anak-anak yang dinyatakan tidur tadi adalah mereka yg hadir di mesjid. Boleh jadi mereka yg dimaksud adalah mereka yg berada di rumah. sebagaimana yg dijelaskan oleh Ibnu Daqieq Al Ied dalam Ihkaamul Ahkaam. Dan kaidah fiqih mengatakan: Idza waradal ihtimal, batholal istidlal; artinya: selama masih bersifat kemungkinan, maka tidak bisa dijadikan dalil.
Berangkat dari sini, maka jika seseorang tertidur ketika mendengar khutbah dlm keadaan duduk yg stabil, ia tidak perlu berwudhu’ kembali. Sedangkan bila duduknya tidak stabil (spt duduk dengan kedua betis yg ditegakkan) maka menurut pendapat yg rajih ia hendaknya berwudhu’ kembali. Kecuali bila ia belum dianggap tidur, alias baru mengantuk dan belum sampai tidur, maka wudhu’nya tidak batal, sebab orang yg sekedar mengantuk belum kehilangan kendali secara total, alias masih bisa merasakan apa yg terjadi di sekitarnya.
Wallaahu a’lam.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,
Ustadz, ana mau tanya…. ada seorang anak laki-laki yang masih memiliki kedua orang tua namun kedua orang tuanya tersebut sudah lama bercerai yang mana perceraian tersebut dikarenakan ibunya tadi tidak amanah dan tidak taat kepada suaminya (bapaknya)…. baik dalam hal menjaga kehormatan keluarga maupun hartanya…. karena ibunya tersebut suka pinjam uang kepada orang lain tanpa sepengetahuan suami hingga akhirnya hutang-hutangnya menumpuk dan tidak bisabisa terbayar….. sementara setiap orang yang menagih hutang kepada ibu tersebut selalu saja dibebankan kepada bapaknya ….. selain itu juga ibunya tersebut suka menghabiskan harta bapaknya dengan penggunaan yang tidak jelas… selain itu juga ibunya tadi juga suka menipu orang banyak…. selanjutnya ibunya tersebut sekarang ini sudah menikah dan memiliki suami lagi, namun suaminya yang baru tersebut tidak mau bertanggung jawab dalam hal memberi nafkah materi…. sehingga si ibu tadi akhirnya membebani anaknya dan mengharap agar anaknya tersebut memberi bantuan materi kepada ibunya …. sedangkan si anak tersebut juga sudah hidup berumah tangga….. namun setiap diberi bantuan oleh anaknya berupa uang …. ternyata uang tersebut oleh ibunya dipergunakan untuk hal-hal yang tidak jelas…. malah akhirnya ibu tersebut bermasalah dengan orang lain dan memiliki hutang yang banyak lagi….. Pertanyaannya, Apa yang seharusnya yang dilakukan oleh si anak tersebut…? apakah si anak tadi masih memiliki kewajiban mencukupi kebutuhan ibunya meskipun ibunya sekarang sudah bersuami lagi ? Mohon solusinya…. Jazaakallohu Khoiron…
Selama si Ibu telah bersuami, maka yg wajib menafkahi adalah suaminya, bukan anaknya. Apalagi jika si ibu tidak becus dalam menggunakan harta, maka orang spt itu secara syar’i harus dihajr, alias dilarang untuk membelanjakan uang secara langsung, tapi diserahkan kepada seorang yg amanah yg disebut dgn istilah ‘wali’. Orang inilah yg diberi harta untuk dibelanjakan demi kepentingan orang yg dihajer tsb. Yang wajib membayar hutang-hutangnya adalah orang yg berhutang itu sendiri, bukan orang lain. Jadi hutang tsb adalah hutang ibu antum, bukan hutang bapak antum dan bukan pula hutang antum.
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Dalam AL-BAQARAH AYAT 239: Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Apa yang dimaksud dengan sholat sambil berjalan atau berkendaraan?
Jazaakalloohu Khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakatuh..
Itu shalat khauf, yg dilakukan dalam kondisi perang. Shalat tsb memiliki tatacara yg berbeda, sesuai genting tidaknya kondisi yg dialami. Makin genting kondisinya, maka makin banyak rukhshoh yg diberikan, sehingga seseorang boleh shalat sambil berjalan, berlari, atau mengendarai sesuatu dan gerakan2nya dilakukan dengan isyarat dan niat. yg penting shalat tidak ditinggalkan ketika itu, dan shalatnya cukup satu rokaat sbgmn dhahir ayat 102 surat An Nisa’. Wallaahu a’lam.
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Ada teman yang dia pendapatan dari Bank (riba) kemudian jika kita main ke rumah dia dia memberikan makanan (tentu saja dari hasil kerja dia di bank). Apakah makanan ini statusnya haram atau tidak? Bolehkah kita memakannya? karena jika tidak dimakan tentu akan menyinggung perasaannya .
Mohon pencerahannya ustadz
Jazaakalloohu Khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Status makanan tsb tetap halal bagi antum, karena ia antum dapatkan melalui pemberian seseorang, dan pemberian itu hukumnya boleh diterima. Kecuali kalau kita tahu persis bahwa makanan tsb adalah makanan yg didapatkan secara haram. Misalnya: Kita melihat si A mencuri sebungkus nasi, lalu nasi tsb diberikan kpd kita, maka kita jangan menerimanya. Tapi kalau kita tidak tahu bahwa dzat makanan tsb memang didapat dgn cara yg haram, maka kita tidak diharamkan memakannya. Ini seperti kisah Barirah (budak wanitanya Aisyah) yg disedekahi suatu makanan oleh seseorang, kemudian dia MENGHADIAHKANNYA kepada Nabi, maka Nabi memakannya. Nabi mengatakan bahwa makanan itu bagi Barirah merupakan sedekah, tapi bagi beliau adalah hadiah, karena beliau mendapatkannya sebagai hadiah, dan beliau dihalalkan menerima hadiah.
Demikian pula, Nabi juga bermuamalah dengan orang-orang Yahudi di masanya, yg terkenal bahkan ditegaskan oleh Al Qur’an sebagai pemakan Riba dan penghasilan yg kotor. Pun demikian, selama cara muamalah yg dilakukan dengan Yahudi tsb adalah cara yg halal (jual beli, sewa-menyewa, dsb), maka kita tidak akan ditanya ttg dari mana mereka mendapatkan uang/barang yg diperdagangkan tsb. karenanya, Nabi tetap bermuamalah dgn mereka hingga wafatnya, yaitu dengan menggadaikan baju besi beliau untuk membeli 30 sha’ (gantang) gandum.
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh…
Afwan Ustadz, salam kenal. smoga Allah menjaga Ustadz dan meneguhkan Keimanan Ustadz.
begini ustadz. ana pengen tanya. insya Allah, ana ingin mencoba buka usaha Distro tapi dengan konsep ana tentang dakwah. di kaos ana nantinya, ana hanya mengambil dalil dari terjemahan ayat qur’an dan hadits. dan untuk design gambarnya ana pakai simbol2. mengingat gambar makhluk bernyawa dilarang. bgaimana hukumnya ustadz? apakah itu boleh? ana takut usaha ana Bid’ah ustadz. tolong sampaikan dalilnya ustadz.
Jazakullahu Khairan…
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…
Aamin, wa iyyaak. Jazakallaahu khairan atas doanya.
Distro itu apa ya? coba antum jelaskan dulu…
Kalau sekedar membikin tulisan dari terjemahan ayat dan hadits di kaos sebagai sarana dakwah, kelihatannya tidak masalah sih. Tapi coba tanya ustadz-ustadz lainnya… kalau antum minta dalilnya ya ana belum tahu apa dalilnya… karena hukum asal mu’amalah itu boleh, kecuali yg dilarang. Yang antum lakukan bukanlah ibadah, tapi sekedar usaha (mu’amalah) yang membawa misi dakwah… spt dakwah lewat pamflet, lewat brosur, buletin, majalah, radio, tv dll… ana rasa itu sekedar wasilah dakwah yg tidak ada hubungannya dengan ibadah. Selama antum tidak menganggap itu sebagai sesuatu yg dianjurkan/diperintahkan dalam agama, maka ia tidak akan bernilai ibadah, sehingga tidak bisa kemasukan bid’ah. wallaahu a’lam.
Jazakullahu Khairan atas jawabannya Ustadz…
Afwan ana lupa, Distro itu semacam T-Shirt/Kaos Clothingan Ustadz, yg biasa di pakai anak2 Muda. jadi mnurut Ustadz, itu termasuk mu’amalah dan bkn termasuk Ibadah dan Bid’ah. Alhamdulillah, ana lega Ustadz atas jawabannya. insya Allah, kedepannya ana konsultasi lagi sm ustadz dlm perkara lainnya.
Barokallhu fiki…
Ustadz Hudzaifah, distro itu usaha di bidang penjualan kaos dan baju-baju baik itu baju pria maupun wanita.
Afwan, hanya sekedar ngasihtau.
Assalamu’alaikum Ustadz,
mau tanya mengenai kitab sururiyah oleh muhammad surur bin zainal abidin
mohon penjelasannya dan apa tanggapan ulama salaf mengenai kitab ini…kemudian golongan apasaja yg memakai kitab tersebut…
ustadz minta alamat emailnya…boleh? agar bisa lebih mudah dalam bertanya dan jawabannya juga bisa langsung kami terima
Syukran Ustadz. Jazakallahu khoiron..
Wa’alaikumussalaam. Ana baru denger tentang kitab tersebut. Setahu ana, itu bukan nama kitab, tapi nama pemikiran. Yaitu sebuah pemikiran yg dinisbatkan kepada Muhammad bin Surur Zainal Abidin, yg sekarang bermukim di Inggris dan sering menyebarkan fitnah ttg ulama-ulama Saudi dan pemerintahnya… sebenarnya pemikirannya tak jauh beda dengan ikhwanul muslimin qutbiyyin, yakni pengikut sayyid qutub yg mengkafirkan semua negara di dunia, bahkan semua masyarakat dunia adalah kafir menurutnya, termasuk para muadzin yg tiap hari mengumandangkan syahadat berkali-kali. (ini ana baca langsung dari kitab sayyid qutub yg berjudul, fi dhilalil Qur’an, ketika menafsirkan salah satu ayat dlm surat Al An’am). jadi, sururiyah adalah metamorfosis dari ikhwanul Muslimin yg cenderung kepada takfir (mengkafirkan semua pemerintahan). Dan lagi-lagi, yang menjadi musuh bebuyutan mereka adalah Saudi Arabia dan ulama-ulamanya… persis dengan Al Qaedah, dan Harokah2 lainnya… selalu menjadikan Saudi sebagai musuh utama… karena kalau mereka sudah berhasil menjatuhkan kredibilitas ulama Saudi dan menganggap Saudi bukan sebagai negara Islam, maka yg lain-lain otomatis akan jatuh, karena sampai hari ini hanya Saudi yg masih resmi menerapkan Syariat Islam dengan segala kekurangannya…
Email ana: [email protected]
Assalamu’alaikum Ustadz,
syukran penjelasannya ustadz
saya juga mau tanya lagi untuk di wilayah indonesia majlis/kelompok/yayasan apa saja yang mendapat bantuan dari muhammad bin surur zainal abidin..?
Syukran Ustadz. Jazakallahu khoiron..
Wa’alaikumussalaam.
Wah, ana tidak tahu itu… Ana rasa kalau bantuan langsung dari Si Muhammad bin Surur ga ada sih, dia kan tinggal di Inggris? Lagi pula dia bukan milyarder yg terkenal suka bantu sana-sini…
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabaarokatuh
Masalah Makmum masbuq. Ketika terlambat maka bagi masbuq ketika mau menyempurnakan sholatnya, duduk terkahirnya iftirosy atau tawaruk, mana yang lebih rojih?
Syukran Ustadz. Jazakallahu khoiron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Masalah ini terpulang kepada jenis shalat itu sendiri. kalo shalat dua rokaat, ya duduknya menurut madzhab Hambali adalah iftirasy, sedangkan menurut madzhab syafi’i adalah tawarruk. tapi kalo shalat tiga rokaat dan empat rokaat, maka duduknya tawarruk. Ana pribadi lebih cenderung kepada madzhab syafi’i karena dalil mereka lebih spesifik dlm masalah ini. Wallaahu a’lam.
assalamu’alaikum ustadz…
apakah kejadian di tunisia dan mesir ini bisa berimbas hal serupa di Saudi Arabia… saya mengkhawatirkan dakwah salaf akan hancur…
semoga itu tidak terjadi..
Wa’alaikumussalaam…
Kerajaan Saudi tidak lebih baik dari Khulafa’ur Rasyidin, Daulah Bani Umayyah, dan Bani Abbasiyah… semuanya adalah kekuasaan yg memiliki batas waktu tertentu dan pasti berakhir. Akan tetapi dakwah salaf adalah dakwah haq yang selalu eksis selama kaum muslimin masih eksis. jadi antum tidak perlu khawatir. Dakwah ini bukan berdiri karena berdirinya Kerajaan Arab Saudi, tapi dakwah ini telah ada sejak Islam itu ada… dan akan tetap ada selama Islam itu ada.
Assalaamu’alaykum.
Hukum asal ibadah adalah terlarang sebagaimana yang telah ma’ruf. Oleh karena itu kita membid’ahkan Yasinan, Tahlilan, dll karena salah satu sebabnya adalah ini termasuk bid’ah idhafiyyah. Begitu juga dengan maulid Nabi yang kita katakan sebagai bid’ah Haqiqiyyah walaupun para penggemar maulid berdalil dengan dalil2 umum semisal kecintaan kepada Rasulullah, dll maka diadakanlah maulid.
Nah, Lalu bagaimana dengan kita yang dicap Wahabi yang terus2an menulis lafazh shalawat seperti “shallallahu’alaihiwasallam” setelah penulisan nama Rasulullah dalam karya tulis kita misalnya. Apakah ini bid’ah? Apakah pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat mengenai hal ini? Apakah ada dalil khusus dalam hal ini? Bukankah yang diperintahkan adalah mengucapkan shalawat -bukan menulis- ketika nama Rasulullah disebut -misalnya-? Bukankah Rasulullah ketika mengirim surat ke Heraklius beliau tidak mencantumkan lafazh shalawat di belakang nama beliau?
Mohon dijawab. Ana sangat membutuhkan jawaban atas hal ini. Perlu anda ketahui -kalo anda kebetulan belum tahu- bahwa kalangan Mukhalif ‘berargumentasi’ dengan hal ini untuk melegalkan bid’ah mereka. Mereka berkata -yg intinya- bahwa Wahabi pun melakukan bid’ah semisal penulisan lafazh shalawat setelah nama Rasulullah dalam karya tulis mereka.
Jika anda mampu tolong hilangkan syubhat ini dari ana sebab sebagaimana yang dikatakan oleh Ustadz -yang kucintai/hormati- Abu ‘Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi bahwa menghilangkan syubhat dari seorang muslim sama dengan menghilangkan beban dari dirinya maka semoga Allah mengurangi beban anda di Hari Kiamat kelak.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Menganggap penulisan shalawat setelah menulis nama Rasulullah sebagai bid’ah adalah sesuatu yg aneh bin ajaib. Hukum tulisan adalah seperti ucapan, bukankah kita juga memperlakukan tulisan para ulama kita sebagai perkataan mereka? Bukankah para mukhalif juga mengatakan: “Imam Nawawi mengatakan bla.. bla.. bla…” atau “Imam Syafi’i… atau Imam yg lainnya…” Padahal saya berani jamin 1000 % bahwa mereka ga pernah mendengar ucapan tersebut dari mulut Imam-imam tadi… atau bahkan para Imam tadi mungkin tidak pernah mengatakannya… namun itu semua dari tulisan mereka. Jadi, apa yg ditulis oleh seseorang merupakan perkataannya. Bukankah seseorang dikatakan berakidah sunni, salafi, mu’tazili, syi’i, dst juga dari apa yg dia tulis? Mengapa para ulama menghukumi akidah seseorang berdasarkan tulisannya, kalaulah tulisan tidak memiliki arti sebagai perkataan dan ungkapan dari isi hatinya? Jadi, orang yang menulis nama Rasulullah sama dengan mengucapkannya. Ini yang pertama.
Kedua, Mengapa Rasulullah tidak menuliskan shalawat ketika menulis namanya dalam surat yg dikirimkan kepada Heraklius? Maka jawabannya saya kembalikan kepada mereka: “Apakah Rasulullah juga bershalawat atas dirinya tiap kali menyebut dirinya?” Kalau jawabannya: TIDAK, maka apakah berarti kita harus menyikapi beliau sebagaimana beliau menyikapi dirinya? Padahal beliau mengatakan: Orang yg bakhil ialah yang mendengar namaku disebut namun tidak bershalawat kepadaku. Dan tulisan dalam hal ini hukumnya seperti perkataan.
Ketiga, ini tidak bisa disebut bid’ah karena yang namanya bid’ah harus memiliki dua kriteria:
pertama, adanya alasan untuk melakukannya di zaman Nabi. Dan kedua, tidak adanya penghalang untuk melakukan hal tsb.
Artinya, jika alasan untuk melakukannya memang belum dijumpai di zaman beliau, maka kita tidak bisa membid’ahkannya bila kemudian terjadi setelah munculnya alasan untuk itu. Contohnya: Pembukuan Al Qur’an, Hadits, perumusan Ilmu Nahwu, Sharaf, tajwid, dll. Semua ini memang tidak terjadi di zaman Nabi karena memang belum dibutuhkan. Atau karena adanya penghalang, seperti mengapa Al Qur’an tidak langsung dibukukan di zaman Rasulullah? Apakah alat tulis-menulis belum ada di zaman beliau? Jawabnya: Tidak, bukan karena itu, tapi karena ada suatu penghalang, yaitu Al Qur’an belum sempurna turunnya, dan masih sering terjadi naskh, atau adanya surat2 yang ayat-ayatnya belum seluruhnya turun, sehingga belum bisa dikumpulkan.
Nah, kembali ke asal syubhat: Kalau mereka mengatakan penulisan nama beliau sebagai bid’ah karena tidak terjadinya hal tsb di zaman Nabi, maka jawabannya ialah: Mereka harus mendatangkan dalil bahwa hal itu tetap tidak dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’ien setelah budaya tulis-menulis semakin meluas di kalangan mereka. BUKTIKAN BAHWA MEREKA SEMUA TIDAK MELAKUKANNYA, DAN HANYA MENCUKUPKAN SHALAWAT SECARA LISAN SAJA !!!
keempat, Imam Abu Thahir As Silafi (478-576 H) dalam kitab beliau yg berjudul: Al Wajiez fil Mujaazi wal Mujiez (hal 92-95) menyebutkan sebuah riwayat lengkap dengan sanadnya dari Abul Qasim, Hamzah bin Muhammad bin Ali Al Kinani Al Haafizh, katanya:
المجاز والمجيز (ص: 93):
كنت أكتب الحديث فأصلي فيه على النبي صلى الله عليه و سلم ولا أسلم فرأيت النبي صلى الله عليه و سلم في المنام فقال لي أما تتم الصلاة علي في كتابك فما كتبت بعد ذلك إلا صليت عليه وسلمت صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليما
Biasanya jika aku menulis hadits, aku hanya mencantumkan shalawat padanya tanpa menyertakan salam. Kemudian aku melihat Rasulullah dalam mimpiku, dan beliau mengatakan: Mengapa engkau tidak menyempurnakan shalawat atasku dalam kitabmu? Maka semenjak itu, aku tidak pernah menulis nama beliau kecuali menyertakan shalawat dan salam atasnya dan atas para sahabatnya.
Meskipun mimpi tidak bisa menjadi dalil dalam memutuskan suatu masalah, akan tetapi Imam Nawawi mengatakan dlm Muqaddimah Syarah Shahih Muslim-nya (hal 75), bahwa kita tidak boleh menetapkan suatu hukum berdasarkan mimpi. Akan tetapi bila seseorang melihat Nabi dalam mimpinya, lalu beliau memerintahkannya melakukan kebaikan, atau melarangnya dari perbuatan tercela, atau menganjurkan sesuatu yang sifatnya membawa kemaslahatan, maka tidak ada khilaf akan dianjurkannya beramal sesuai dengan mimpi tersebut. Sebab hal ini tidak termasuk menetapkan hukum dengan berdasar kepada mimpi semata, akan tetapi berdasarkan sesuatu yg memang ditetapkan dalam syari’at.
Jadi, memang dalam syari’at kita diperintahkan untuk bershalawat bila disebut nama Nabi, maka hadits yg tak lain adalah mimpi tsb semakin memperkuat anjuran tsb setiap kali kita menulis nama/gelar beliau. Wallaahu a’lam
Ustadz, bagaimana jika pertanyaannya dibalik. Mereka mengatakan kepada kita: “Buktikan bahwa para Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in menyertakan lafazh shalawat di belakang nama Rasulullah setelah budaya tulis menulis tersebar”. Apa jawabannya?
Kita kembalikan saja ke asal masalah: Tulisan itu perkataan apa bukan? Dan kalau mereka bilang: BUKAN, maka konsekuensinya panjang… dan mereka tidak akan konsekuen dgn jawaban mereka.
Ala kulli haal, kembali ke asal masalah: MENULISKAN SHALAWAT SETIAP MENULIS NAMA NABI, bukanlah bid’ahnya orang-orang wahhabi. Tapi itu sudah dibahas oleh para ulama ahli hadits sejak dulu. Salah satunya adalah Imam AL HAFIZH IBNUS SHALAH dalam kitabnya yg sangat terkenal, yaitu Muqaddimah Fi Ulumil Hadits.
Bahkan sebelum beliau, hal ini telah dibahas oleh Al Khatib Al Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya yg terkenal: AL JAMI’ FI AKHLAAQIR RAAWI WA AADAABIS SAAMI’ sbb:
رسم الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في الكتاب ينبغي إذا كتب اسم النبي صلى الله عليه وسلم أن يكتب معه الصلاة عليه
Ini adalah salah satu fasal dlm kitab tsb, yg artinya: “Menuliskan shalawat atas Nabi dalam kitab. Jika nama Nabi ditulis, maka seyogyanya ditulis pula lafazh shalawat bersamanya”. Kemudian beliau menyebutkan beberapa riwayat yg kebanyakan ttg mimpi dari sejumlah ulama hadits, di antaranya dari Sufyan bin Uyainah (Gurunya Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal), Umar bin Abi Sulaiman Al Warraq, dll yg intinya menganjurkan penulisan tsb.
Al Khatib Al Baghdadi lalu mengatakan:
رأيت بخط أبي عبد الله أحمد بن محمد بن حنبل في عدة أحاديث اسم النبي ، ولم يكتب الصلاة عليه ، وبلغني أنه كان يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم نطقا لا خطا ، وقد خالفه غيره من الأئمة المتقدمين في ذلك
Aku mendapati nama Nabi dlm beberapa hadits yg ditulis langsung oleh Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, namun ia tidak menuliskan shalawat setelahnya. Kemudian aku dikabari bahwa beliau (Imam Ahmad) konon mengucapkannya secara lisan dan tidak menulisnya. Akan tetapi para Imam yg lain sebelum beliau menyelisihi beliau dalam hal ini.
Nah, mafhum dari ucapan Al Khatib Al Baghdadi tadi, kebiasaan menulis shalawat setelah nama Rasulullah adalah KEBIASAAN PARA ULAMA DAN IMAM-IMAM AHLI HADITS SEJAK SEBELUM IMAM AHMAD, DAN KALAU IMAM AHMAD SAJA TERGOLONG TABA’UL ATBA’ (164-241 H), BERARTI KEBIASAAN TSB TELAH ADA SEJAK ZAMAN TABI’IT TABI’IN.
Bukti lainnya adalah apa yg diriwayatkan oleh Al Khatib Al Baghdadi setelah riwayat di atas, yaitu dari Imam Ali ibnul Madini (w. 234 H) dan Abbas Al Anbari (w. 240 H) yg mengatakan: ما تركنا الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في كل حديث سمعناه ، وربما عجلنا فنبيض الكتاب في كل حديث حتى نرجع إليه
Kami tidak pernah meninggalkan shalawat atas Nabi pada setiap hadits yg kami dengar. Kadang kala kami tergesa-gesa dalam menulis hadits tsb, sehingga kami mengosongkan setelah menuliskan nama Nabi di setiap hadits, agar nanti kami lengkapi dengan shalawat.
Ini jelas bukti nyata bahwa kebiasaan tsb sejak ada sejak zaman salaf, jadi tidak perlu bukti macam-macam… justru yang menafikan-lah yg harus mendatangkan bukti.
Assalamualaikum pak Ustadz,
di tempat saya bekerja banyak orang nasrani,dan mereka sering bertanya tentang islam dan karena keterbatasan ilmu saya maka saya perlu bimbingan ustadz agar apa yang mereka dapatkan tidak salah.
ada beberapa hal yang mereka tanyakan
1.cerita nabi isa alaihissalam menurut islam
2.makna dan pengertianhajji,kenapa kita umat islah harus berhajji?
Syukran Ustadz. Jazakallahu khoiron..
Wa’alaikumussalaam.
Cerita Nabi Isa dalam Islam banyak disinggung oleh Al Qur’an, bahkan lebih banyak dari pada cerita ttg Nabi Muhammad sendiri. Allah menceritakan ttg Nabi Isa alaihissalaam dalam beberapa surat, di antaranya (saya sebutkan no urut surat dan ayatnya): (2:87, 253) (3:42-62) (4:157-159, 171-172) (5: 110-117) (19: 16-36) dan (61:6). Inti dari ayat-ayat ini adalah bahwa Isa (yg dlm istilah mereka dikenal dgn nama Yesus/Jesus) adalah Nabi, Rasul dan sekaligus hamba Allah (manusia biasa). Ia juga makan, minum, dan beraktivitas seperti layaknya manusia. Ibunya yg bernama Maryam (atau Maria) adalah wanita shalihah yg tidak pernah berbuat nista, dan ia dapat mengandung tanpa suami sebagai mukjizat dari Allah. Kemudian begitu lahir, bayinya juga langsung dapat berbicara dan mengatakan bahwa: “Aku adalah Isa, hamba Allah, dan Allah memberiku Al Kitab (Injil) dan menjadikanku seorang Nabi. Allah juga menjadikanku diberkati di manapun aku berada, dan menyuruhku agar melaksanakan shalat dan membayar zakat selama aku hidup”. Allah juga menjelaskan bahwa Diri-Nya tidak pernah memiliki anak, dan bahwasanya Isa BUKANLAH anak-Nya. Allah juga mengatakan bahwa Isa tidak lah mati disalib, akan tetapi ia diangkat oleh Allah ke langit, dan yg disalib adalah orang lain yg diserupakan wajahnya dengan wajah Isa. Allah juga mengatakan bahwa Isa datang membawa ajaran yang benar dari Sisi-Nya, yaitu ajaran yg mengajak kepada Tauhid, alias mengesakan Allah semata tanpa menganggap ada sekutu bagi-Nya. Dan menyuruh Isa agar menyampaikan kabar gembira akan diutusnya seorang Rasul setelah dirinya, yang namanya adalah Ahmad (ini merupakan nama lain Rasulullah, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam). Dan kita sebagai umat Islam juga mengakui kenabian Isa Al Masih ‘alaihissalaam, dan bahwasanya di akhir zaman nanti, ia akan turun kembali ke dunia dan membunuh Dajjal, lalu menghancurkan salib, dan menghapuskan Jizyah (pajak yg dibebankan kepada setiap yahudi dan nasrani yg tidak mau masuk Islam namun berada di bawah kekuasaan Islam). Isa akan turun sebagai pengikutnya Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan sekaligus menjadi sahabat Nabi. Ia tidak lagi turun sebagai Nabi, namun sebagai pengikut Rasulullah dan menjalankan syari’at Rasulullah Muhammad bin Abdillah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Kemudian ia akan diwafatkan oleh Allah dan dishalatkan oleh Imamnya kaum muslimin saat itu, yaitu Al Mahdi. Jadi, saat itulah ia benar-benar wafat, adapun sekarang ia masih hidup di langit sana. Demikian secara ringkas cerita Nabi Isa berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah yg shahih.
2. Haji merupakan rukun Islam yg kelima, yang wajib dilakukan bagi orang yg mampu dan memenuhi syarat untuk itu. Kenapa kok harus hajji? Ya itulah aturan Allah… Allah bebas menentukan aturan semau-Nya, dan inilah yg namanya beribadah. Ibadah itu dari kata-kata ‘abada, yg artinya ‘mengabdi’ alias memperbudak diri kita untuk menyenangkan Allah. Kalaulah seorang budak itu selalu tunduk kepada majikannya, tidak pernah ‘menyoal’ dan ‘memprotes’ ketika diperintah… maka kita harus lebih tunduk lagi kepada Allah. sebab Allah-lah yg menciptakan kita, memberi rezeki kita, menghidupkan kita, mematikan kita, dan menentukan nasib kita baik di dunia maupun di akhirat… semuanya ada di tangan Allah. Allah berfirman ttg Diri-Nya: (لا يسأل عما يفعل وهم يسألون) Dia (Allah) tidak pernah ditanya tentang apa yg diperbuat-Nya; namun mereka (para hamba) lah yang akan ditanya (Al Anbiya': 23). Nah, kalau kita sudah bisa menerima ‘kenyataan’ ini, maka kita boleh saja bertanya: Apa hikmah di balik manasik hajji? Secara umum, hikmahnya ialah meneladani Nabi Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah. Sementara sampai di sini dulu penjelasannya, kalau ada pertanyaan lain silakan ditanyakan lagi. Semoga bermanfaat.
Assalamualaikum pak Ustadz,
Ana punya beberapa pertanyaan;
1. Bila berdoa sendiri, apakah mengucapkan Amin diakhir doa?
2. Bila buang air apakah tidak boleh menghadap kiblat?
3. Bila kita tidur disunnahkan menghadap kanan, selain itu apakah tidak boleh kaki kita menghadap kiblat?
Afwan bila pertanyaannya aneh.
Syukran Ustadz. Jazakallahu khoiron..
Wa’alaikumussalaam…
Bila anda berdoa sendiri maka setahu ana tidak ada anjuran untuk mengaminkan. Larangan menghadap kiblat ketika buang air adalah bila buang airnya di tempat terbuka yg tidak dikelilingi dinding. Adapun bila di dalam ruangan maka menurut hadits Ibnu Umar, beliau pernah menyaksikan Rasulullah buang air dengan menghadap kiblat dalam rumah Hafshah. Masalah kaki setahu ana tidak ada larangan untuk menghadap kiblat. Wallaahu a’lam.
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh,
Ustadz, ana mau tanya… Apakah riwayat tentang Nabi Idris yang memiliki kelebihan yaitu pernah meminta mati lalu akhirnya dihidupkan kembali oleh Alloh itu benar adanya? Apa pelajaran yang bisa diambil dari riwayat tersebut? terus termuat dalam buku/kitab apa riwayat tersebut? Jazaakallohu khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh….
jawabannya, Laa adri, wallaahu a’lam.
Assalamu’alaykum Ustadz,
Apakah disyari’atkan membaca “Amin” setelah membaca Al-Fatihah utk orang yg shalat sendirian atau membaca Al-Fatihah di luar shalat?
Jazakallohu khoyron.
Wa’alaikumussalaam.
Ada sebuah riwayat dari Abu Hurairah yg lafazhnya: (إذَا قَالَ أَحَدُكُمْ آمِينَ وَالْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ فَتُوَافِقُ إحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غَفَرَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ) Jika seseorang mengatakan ‘aamin’ dan bertepatan dengan ‘aamin’ yg diucapkan oleh para malaikat di langit, maka dosa-dosanya akan diampuni. Menurut Al Hafizh Al Iraqi dlm Tarhut Tatsrib, hadits ini mengandung faidah dianjurkannya mengucapkan aamin bagi orang yg shalat sendirian (secara mutlak), demikian pula bagi imam dan makmum dalam shalat sirriyah.
Assalamu’alaykum,
Apakah Tawasul dengan amal sholeh tidak menghilangkan keutamaan di akherat? dan apakah tidak mengapa kita ikhlas bersedekah karena Allah untuk mengharapkan kelancaran rezeki atau yang lain…minta tolong respon jawabannya ustadz (kalau tidak berkenan bisa kirim via email)
Jaazakallahu Khair
Wa’alaikumussalaam. Tawassul dengan amal shaleh adalah sesuatu yg dianjurkan. Allah berfirman: ({ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة: 35])
Hai orang-orang yg beriman, bertakwalah kepada Allah dan tempuhlah wasilah-wasilah dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Dan berjihadlah di Jalan-Nya agar kalian beruntung (Al Maidah: 35). Arti dari ‘tempuhlah wasilah’ ialah agar kita mempersembahkan berbagai amal shaleh untuk mendapatkan keridhaan Allah. Sebab setiap amal shaleh yg kita lakukan pada hakekatnya adalah dalam rangka mendapatkan keridhaan ALlah, ampunan-Nya, dan Surga-Nya. Jadi, semua ibadah yg kita lakukan adalah termasuk tawassul.
Bila seseorang melakukan ibadah karena semata-mata mengharapkan nilai dunia, seperti ingin mendapat kelancaran rezeki saja tanpa mengharap pahala di akhirat, ya dia akan mendapatkan sesuai yg diniatkannya. Namun jika ia mengharapkan pahala di akhirat sebagai motivasi utama, sekaligus ingin juga mendapat kelancaran rezeki di dunia, maka insya Allah hal ini tidak mengurangi pahalanya di akhirat. Wallaahu a’lam.
oh iya satu lagi ustadz… afwan
saya membaca artikel ustadz yang berjudul “Tips Sholat Khusyu”
alhamdulillah saya mamperoleh banyak manfaatnya….
tapi jika mungkin sholat kita “tidak khusyu'” Apakah sholat kita sah?
mohon penjelasannya
Khusyu’ dalam pengertian meresapi bacaan dalam shalat, memang bukan syarat sahnya shalat. Namun khusyu’ menjadi standar nilai shalat kita. Jika kita khusyu’ 100%, maka pahala shalat kita juga 100%, jika 50% maka 50% yg dicatat, sampai hingga 10%. Pun demikian, selama semua syarat dan rukun dalam shalat telah dipenuhi, maka shalat kita dihukumi ‘sah’. Artinya, kita tidak diperintahkan untuk mengulanginya lagi, walaupun tidak khusyu’. Jadi, khusyu’ itu tingkatan yg di atasnya sah. tidak semua yg sah berarti khusyu’.
Assalamualaikum Ustadz…
mohon penjelasannya,
1. apakah mencantumkan nama keluarga seperti yang dicontohkan oleh beberapa suku di Indonesia merupakan hal yang disyariatkan?
2. bagaimana dgn suku minangkabau yg menganut sistem matrilineal(menasabkan dari garis keturunan ibu)…dan satu2nya suku diindonesia yg memakai sistem matrilineal…
tp jarang nama2 org minangkabau nama suku/marga(-sprti chaniago,piliang,jambak dll)… nya dibelakang namanya ..??
bagaimana hukumnya,??
mohon penjelasannya
terimakasih
Wa’alaikumussalaam. Masalah penulisan nama adalah masalah adat, bukan ibadah. Oleh karenanya tidak ada aturan tertentu yang harus diikuti dalam hal ini. Akan tetapi jika mengandung unsur tasyabbuh bil kuffar, maka jadi tidak boleh. Contohnya menamakan istri dengan nama suami, spt Hillary Clinton, Tien Suharto, Ainun Habibie… dst. Ini merupakan budaya orang kafir yang dilestarikan oleh sebagian rakyat Indonesia, padahal yang dilakukan para salaf ialah menamakan seseorang dengan nama aslinya, atau kun-yah-nya (Abu fulan, Ummu Fulan), atau julukannya (kalau memang punya julukan, spt Ash Shiddieq, Al Faruq, Amirul Mukminin, Al Imam, dst… tapi ini tidak ada dalam masyarakat Indonesia). Atau menyebutkan suku-nya (marganya).
Adapun menasabkan diri kepada Ibu adalah budaya yg bertentangan dengan syari’at, karena nasab dalam Islam adalah mengikuti ayah, bukan ibu. Hanya saja, memang ada beberapa ulama salaf yg dinasabkan kepada ibunya karena ia memang terkenal dengan nama tsb, spt Abdullah ibnu Buhainah (sahabat), Buhainah adalah nama ibunya, sedangkan bapaknya adalah Malik. Demikian pula Isma’il Ibnu Ulayyah (ulama hadits), Ulayyah adalah nama ibunya, sedangkan bapaknya adalah Ibrahim.
Assalamualaikum pak Ustadz…
Mau tanya pak, telah dipahami bahwa dzikir bersama adalah perilaku bid’ah, namun bagaimana dengan firman Allah yang membolehkan untuk berdzikir bersama dengan meninggikan suara:
“Dirumah rumah Allah (masjid) telah Allah izinkan untuk mengangkat suara sebutan dzikir Nama Nya, dan ber…tasbih pada Nya di pagi hari dan sore” (QS Annur 36).
Juga dalam firman Allah:
Mereka yg ringan timbangan pahalanya maka mereka adalah orang yg merugikan dirinya sendiri dan mereka selamanya di neraka, wajah mereka hangus terbakar dan kedua bibirnya menjulur (kesakitan dan kepanasan), bukanlah sudah dibacakan pada kalian ayat ayat Ku dan kalian mendustakannya?, maka mereka berkata : Wahai Tuhan kami, kami telah tertundukkan oleh kejahatan kami dan kami telah tergolong kaum yg sesat, Wahai Tuhan Kami keluarkan kami dari neraka dan jika kami kembali berbuat jahat maka kami mengakui kami orang yg dhalim, (maka Allah menjawab) : Diamlah kalian didalam neraka dan jangan kalian berbicara lagi, dahulu ada sekelompok hamba hamba Ku yg berdoa : Wahai Tuhan Kami kami beriman, maka ampuni dosa dosa kami, dan kasihanilah kami dan Sunguh Engkau Maha Berkasih sayang dari semua yg berkasih sayang, namun kalian mengejek mereka sampai kalian melupakan dzikir pada Ku dan kalian menertawakan mereka, Sungguh Aku membalas kebaikan mereka saat ini dan merekalah orang yg beruntung (QS Al Mukminun 103 – 111)
Mohon penjelasannya segera pak Ustad.
Jazakallaho khair
Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh
Ustadz, ana mau tanya….. Apakah orang yang kerja kantoran kemudian dia sudah menyelesaikan tugasnya meskipun tidak sampai batas waktu yang telah ditentukan lalu orang tersebut meninggalkan kantornya termasuk kategori orang yang korupsi waktu? sedangkan dalam hal ini pimpinannya tidak melarangnya, bahkan ada pimpinan yang menyatakan boleh keluar dari ruangan kantor asalkan pekerjaan telah diselesaikan…. mohon penjelasannya. Jazaakallohu khoiron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh.
Kalau memang pekerjaan kantor tadi berupa paket tugas tertentu yg bisa diselesaikan dalam waktu tertentu, tanpa harus terikat dengan jam kerja. Maka dalam hal ini insya Allah tidak mengapa bagi si pegawai meninggalkan kantornya krn keperluan setelah menyelesaikan paket tugasnya hari itu, apalagi jika memang diizinkan oleh pimpinan. Artinya, dalam hal ini, ia bekerja untuk kepentingan pemilik kantor/perusahaan, jadi ia seperti orang upahan yg terikat dengan majikannya. Kalau majikan mengizinkan maka di boleh pergi, tapi kalau tidak, ya tidak. Tapi kalau ia sebagai pegawai yg tugasnya melayani masyarakat, atau kepentingan umum lainnya, maka ia harus terikat dengan jam kerja, tidak boleh menguranginya walaupun semenit. Kecuali karena udzur yg syar’i, atau keperluan darurat, sesuai peraturan perusahaan. Wallaahu a’lam.
Assalamu’alaikum ustadz,
Semoga Allah Ta’ala memberikan antum kemudahan agar cepat menyelesaikan S2 antum dan kembali ke Indonesia untuk menyebarkan ilmu antum. Amin.
Afwan ustadz, saya ingin bertanya, apakah Ahbash itu? Saya pernah baca ketika sedang web browsing, ahbash ini dinisbatkan pada Abdullah Al-Harawi Al-Habashi dan mereka sangat kental sekali kebenciannya pada salafi/wahabi. Apakah ahbash ini tergolong asy’ariyah?
Terima kasih atas kesediaan waktu ustadz untuk menjawab pertanyaan saya.
Dari tulisan Syaikh Abdurrahman Dimasyqiyyah yg sejak tahun 1983 telah membantah golongan Al Ahbash, ana bisa simpulkan bahwa mereka ini adalah hasil kawin silang antara mu’tazilah, asy’ariyah, dan tasawuf. Terlalu banyak mukhaalafaat aqadiyyah dan manhajiyyah yg ada pada mereka untuk kita sebutkan. Antum bisa baca di kitab Mausu’ah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Abdurrahman Dimasyqiyyah, terutama yg jilid satu, dia membahas secara khusus ttg Ahbash di sana.
Assalaamu’alaikum warohmatullooh wabarokaatuh
Ada kasus seseorang dulunya kafir lalu masuk islam. Tentu saja dia belum banyak memahami diin, kemudian belum lama dia muslim dia terbunuh oleh perampok. Yang ana tanyakan apakah bisa dikatakan dia termasuk orang yang bertaubat dan ada jaminan syurga baginya (meskipun belum banyak beramal dan mencari ilmu)
Jazaakalloohu Khoiron
Jaminan Surga tentu tidak ada, karena Ahlussunnah tidak menjamin seorang pun dari kaum muslimin dengan surga, kecuali yg dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sepuluh sahabat yg terkenal itu, bilal, Khadijah, Aisyah, dll yg memang ada nasnya. Adapun selain mereka, maka kita hanya bisa ‘berharap’ sesuai kadar keimanan dan ketakwaan masing2. Namun secara umum, setiap muslim yg mati dalam keadaan islam, maka ia tetap akan masuk surga walaupun harus mampir dulu di neraka untuk dicuci dosa-dosanya. Semoga teman antum termasuk orang yg diselamatkan dari Siksa neraka, bahkan kalau dia terbunuh karena membela hartanya, maka menurut hadits Nabi dia tergolong syahid, dan ini juga merupakan khusnul khatimah insya Allah. Terakhir, bila seseorang benar-benar masuk Islam, maka keislaman dia akan menggugurkan semua dosanya yg telah lalu, sebagaimana sabda Nabi.
Saya pernah mendengar bahwa 3 kali gerakan di luar shalat saat kita shalat membatalkan shalat, benarkah ustadz?
Yang masyhur dalam madzhab Syafi’i memang begitu, alasan mereka ialah karena 3 gerakan berturut-turut berarti ‘banyak gerak’ (batasan banyak adalah tiga kali/lebih). Dan ini menafikan perintah Allah untuk shalat dgn khusyu’. Adapun ulama lain tidak menganggapnya batal karena gerakan yg dianggap banyak ialah gerakan yg bila dilihat oleh orang lain, maka yg melakukannya dikira tidak dalam shalat, dan ini sifatnya relatif. wallahu a’lam.
Syukron. Jazakallaah Khoiron Katsiro.
Assalamu’alaikum Ustadz.Mohon penjelasan tentang perbedaan aqidah Asy-‘Ariyyah dengan Ahlussunnah.Kalau bisa sebelum hari Senin besok (24 Januari 2010) sudah jadi ya,Tadz.’Afwan klo ngrepotin.Jazakallahu khiran katsira.
Di antaranya: Asy’ariyah mendefinisikan Iman sebagai Tasdiq, alias pembenaran saja. sedangkan Ahlussunnah mendefinisikannya sebagai keyakinan, ucapan, dan perbuatan, dan ia bisa bertambah maupun berkurang.
Asy’ariyah meyakini Al Qur’an sebagai ‘ungkapan dari kalamullah’, bukan ‘kalamullah’ itu sendiri. Artinya, kalau Allah berbicara dgn bahasa Arab, jadilah ia Alqur’an, namun ktk bicara dengan bahasa Ibrani, jadilah ia Taurat, dst.
Asy’ariyah HANYA menerima sejumlah kecil sifat Allah spt wujud, qidam, baqo’, mukhalafatu lil hawadits, qiyamuhu binafsihi, iradah, ilmu, qudrah, dll yg kalo ga’ salah jumlahnya 20 puluh. Mereka menamakannya dgn sifat wajib… padahal banyak di antaranya yg tidak berdalil dari qur’an maupun sunnah, kecuali hanya rumusan akal mereka yg telah terpengaruh filsafat. Akhirnya, sifat-sifat yg justru disebutkan oleh Al Qur’an dan Sunnah malah mereka tolak (takwilkan). Contohnya sifat wajah yg mereka takwilkan dgn keridhaan, padahal wajah tidaklah sama dengan keridhaan. lalu sifat tangan yg mereka takwilkan dgn kekuasaan, padahal keduanya adalah berbeda, demikian pula sifat mata, kaki, betis, jari, sifat turunnya Allah ke langit dunia, datangnya Allah pada hari kiamat, sifat marah, tertawa, ridha, dst. Anti bisa pelajari lebih lanjut ttg ini dlm artikel: Cara mudah memahami asma’ was sifat, di blog ini.
Ini sebagian dari perbedaan antara Ahlussunnah dengan Asy’ariyah.
soalnya orang ini terkenal sekali gara2 kitabnya al-hikam itu…
lha saya sendiri gak tau itu kitab apa..
Tanya lagi ustadz….
Apakah Ibnu Atho’illah itu seorang sufi yang kemudian bertaubat dan kemudian rujuk ke manhaj salaf sebelum bertaubat?
jika ada referensinya mohon disampaikan.
terimakasih..
Wallaahu a’lam… saya tidak tahu siapa itu Ibnu Atho’illah.
assalamu’alaikum ustadz…
menarik sekali artikel yang ustadz tulis berkaitan tentang sepak terjang syiah rafidhah…
salah satu yang menarik saya adalah apa yang diutarakan berkaitan dengan banyaknya kaum muslimin Indonesia pada tahun 79-80 yang “latah” memberi nama kepada anaknya dengan nama Khomeini…
pertanyaan saya, apabila sudah terlanjur, apakah anak tersebut harus berganti nama…
dengan alasan supaya tidak tasyabbuh dengan orang kuffar?
sebab ada juga teman saya insya Allah telah mengenal dan ikut manhaj salaf diberi nama oleh orang tuanya khomaini..
mohon penjelasannya
terimakasih
Wa’alaikumussalaam…
Hehe… Temen ana di madinah ada yg namanya: Ayatullah (tp ga pake khomeini), dan saudara kandungnya bernama: Nasrullah (tapi ga pake Hasan). Ana rasa ga perlu dirubah, karena akan menyulitkan mengingat ybs sudah dewasa. Bahkan Syaikhul Islam dalam kitab Minhajus Sunnah An Nabawiyyah bahwa di antara ketololan kaum Rafidhah ialah bahwa mereka menghindari nama-nama seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman, bahkan memusuhi orang-orang yang memiliki nama tersebut. Padahal sebagaimana dimaklumi, andai saja mereka (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah manusia paling kafir, tetap saja tidak dianjurkan bagi seseorang untuk menghindari nama tersebut, karena di antara kaum muslimin ada yang namanya Amru (bin Ash) dan di antara kaum musyrikin juga ada yg bernama Amru (nama abu jahal: Amru bin Hisyam). Di antara sahabat juga ada yang bernama Ali (bin Abi Thalib), tapi ada juga dedengkot kemusyrikan yang bernama Ali, yaitu Ali bin Umayyah bin Khalaf yg terbunuh di perang badar dlm keadaan musyrik. Pun demikian, Nabi tidak mengingkari nama-nama tsb dan tetap memanggil mereka dengan nama-nama tsb (lihat: Mukhtasor Minhajus Sunnah hal 16-17).
Jadi, tidak ada keharusan untuk ganti nama menurut ana, wallaahu a’lam.
Assalamualaikum..Ustadz…
Afwan ana mo tanya..belakangan ini marak disuatu daerah melakukan ritual ‘SUMPAH POCONG’..yg mo ana tanyakan apakah ini disyariatkan oleh agama atau cuma budaya setempat aja yg mencampuradukkan Agama Islam ini dgn hal2 seperti itu?
MOhon pencerahannya…
Syukran yaa Ustadz..
Assalaamu’alaikum warohmatullooh wabarokatuh
Dari Tsauban dari Rosululloh SAW bersabda: Sungguh aku beritahukan tentang beberapa kaum dari umatku yang datang di hari kiamat membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lalu Alloh menjadikannya seperti debu yang beterbangan. Tsauban bertanya kepada Nabi, wahai Rosululloh, gambarkanlah mereka kepada kami siapa mereka, agar kami tidak termasuk mereka dalam keadaan kami tidak mengetahuinya. Nabi menjawab:”Adapun mereka itu adalah saudara-saudara kalian dan dari bangsa kalianserta menghidupkan malam seperti kalian menghidupkannya. Namun mereka adalah kaum-kaum yang menyendiri, mereka melanggar larangan- larangan Alloh(HR Ibnu Majah).
Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan manusia yang menyendiri itu?
Mohon sekalian dituliskan matan haditsnya, Ustadz!
Jazaakalloohu Khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullaah wabarakaatuh. Lafazh hadits yg antum maksud adalah sbb:
سنن ابن ماجه (2/ 1418):
لأعلمن أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة بيضا . فيجعلها الله عز و جل هباء منثورا . قال ثوبان: يا رسول الله صفهم لنا جلهم لنا أن لا نكون منهم ونحن لانعلم . قال أما إنهم إخوانكم ومن جلدتكم . ويأخذون من الليل كما تأخذون ولكنهم أقوام إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dlm Sunan-nya no 4245 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Namun terjemahan bagian akhirnya keliru, makanya maknanya jadi rancu. Yg benar ialah: “…Mereka adalah saudara kalian sebangsa, yang juga memanfaatkan sebagian waktu malam untuk ibadah seperti kalian, akan tetapi begitu mereka berada sendirian menghadapi yang Allah haramkan, mereka menerjangnya”.
Jadi, mereka adalah orang yg tidak gentar melanggar larangan Allah tatkala berada sendirian dan tidak diawasi orang lain.
Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Ustadz, ana mau nanya: Berhubung dengan semakin majunya dunia IT sekarang Al Qur’an pun bisa di muat digital dalam sebuah HP , mulai dari untuk membacanya atau mencari indek ayat ,lalu bagaimana hukumnya bila HP tersebut di bawa ke kamar mandi atau toilet ,walaupun dalam keadaan off apalagi on, dan apa bisa itu dikatakan sebagai mushaf. Syukron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. membawa HP yg ada software al qur’annya tidak sama hukumnya dengan membawa mushaf Al Qur’an, karena software adalah benda abstrak. Ini seperti orang hafal qur’an yang masuk ke kakus. Bahkan dalam shahihain diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi konon bersandar di pangkuan Aisyah lalu membaca Al Qur’an, sedangkan Aku dalam keadaan haidh. Sebagian ulama beristimbath dari hadits ini bahwa membaca Al Qur’an di dekat tempat najis hukumnya boleh, sebab bila kepala Nabi bersandar di pangkuan Aisyah, berarti mulut beliau sangat dekat dengan -maaf- bagian yg mengeluarkan darah haidh (tahu khan maksud ana). Dan para ulama juga berdalil dgn riwayat muttafaq ‘alaih di atas bhw wanita haidh atau orang yg berhadats besar boleh membawa Mushaf selama tidak menyentuhnya secara langsung, sebab dlm riwayat di atas, Al Qur’an berada dlm dada Rasulullah, dan Rasulullah berada di pangkuan Aisyah yg sedang berhadats, jadi, tubuh Rasulullah seakan sebagai ‘wadah’ yang berada di dalamnya Al Qur’an, lalu wadah tersebut disentuh oleh Aisyah.
Tapi jika Software al Qur’annya dlm keadaan terbuka dan memperlihatkan bagian mushaf, maka jelas tidak boleh dibawa ke kamar mandi, karena hukumnya ketika itu seperti membawa lembaran dari Al Qur’an. Wallaahu a’lam bisshawaab.
jazakallohu khoir atas jawabannya..
semoga Alloh menjaga antum ustadz dan keluarga…
ust..kakak ana seorang wanita yg tdk bekerja..
tp alhamdulillah dia bisa menyisihkan uang hasil kerja suaminya utk menabung..
dia kadang sembunyi2..
mengirim uang utk orangtua sy kadang 100Rb..
karna kalo bicara lngsung sama suaminya..
kadang wajahnya menunjukan kurang suka..
gmn hukumnya ustad kakak ana ngirim ke ortu tanpa sepengetahuan suaminya?
Uang hasil kerja suami adalah milik suami. Istri hanya berhak mendapatkan nafkah untuk dirinya, yaitu berupa makan, pakaian dan tempat tinggal. Ini yg menjadi kewajiban suami. Selain ketiga hal tsb adalah kebutuhan sekunder yg tidak wajib. Kalau suami memberikan tambahan berupa uang kepada istrinya setelah memenuhi ketiga unsur tadi, maka si istri boleh menggunakan uang pemberian tsb untuk kepentingannya. Tapi kalau tidak, ya ia tidak boleh mengambil uang suami kecuali dengan izinnya. untuk masalah makan dan tempat tinggal biasanya selalu dipenuhi, tapi kadang suami jarang membelikan pakaian bagi istrinya, padahal ini termasuk kewajiban suami, dan minimal harus dilakukan setahun sekali. Nah, solusinya -kalau memang kakak antum jarang dibelikan pakaian oleh suami- maka ia berhak minta dibelikan pakaian, atau uang senilai dgn harga pakaian yg wajar dipakai (sah untuk shalat) oleh wanita dengan taraf ekonomi seperti dia. Kemudian silakan jika kakak antum ingin menyedekahkan uang tsb untuk ortu-nya.
afwan ustadz menambah pertanyaan lagi….
bagaimana dengan kaidah “lau kaana khairan la sabaquuna ilaih”,
apakah dengan kita mempraktekan tahnik akan bertentangan dengan kaidah di atas, mengingat para shahabat tidak melakukannya?
Sejauh yg ana fahami, kaidah itu berlaku untuk hal-hal yg murni bid’ah. Artinya, kalau lah suatu bid’ah itu memang baik dalam agama, maka para sahabat pasti lebih dahulu mengamalkannya dari pada kita. Sedangkan masalah yg kita bahas di sini -yaitu tahnik- bukanlah bid’ah. Bagaimana akan dibilang bid’ah lha wong itu jelas-jelas dilakukan oleh Nabi?? Masalahnya hanyalah: Apakah hal itu khusus bagi Nabi, ataukah tidak? Ana pribadi menganggap bahwa ada perbedaan sudut pandang di sini antara yg menganggapnya khusus bagi Nabi dan yg menganggapnya tidak khusus bagi beliau. Yang membedakan di sini adalah NIAT. Bagi yg melakukannya dengan niat tabarruk, maka kita katakan bahwa hal itu khusus bagi Nabi, karena beliau lah yg jasadnya mengandung berkah, sehingga ludah, keringat, rambut, dan apa pun yg terkena tubuh beliau juga mengandung berkah. Hal ini merupakan bagian dari keyakinan Ahlussunnah.
Akan tetapi bagi yg mentahnik dengan niat tabarruk dengan air liur seseorang hari ini, maka kita katakan: Itu bid’ah, tidak boleh. Sebab yg air liurnya mengandung berkah hanyalah Rasulullah. Buktinya, para sahabat tidak mendatangi Abu Bakar dan Umar sepeninggal Rasulullah, padahal mereka tahu bahwa keduanya adalah orang paling alim dan shalih setelah Rasulullah.
Tapi kalau niatnya sekedar menyuapkan kurma kepada si bayi, agar bayi tersebut mendapatkan asupan glukosa yg baik baginya, bagaimana mungkin kita bisa menerapkan kaidah ini di sini? Apakah kita juga hendak melarang -umpamanya- orang yg menyuapkan pisang ke mulut bayi, dengan dalih bahwa kalaulah hal itu baik maka para sahabat pasti lebih dahulu melakukannya dari pada kita?? Tentu tidak bukan. Demikian pula bagi orang yg mentahnik berangkat dari banyaknya faidah yg terkandung dalam buah kurma yg telah dikunyah terlebih dahulu, lalu diberikan kepada bayi. Mudah2an antum faham maksud ana.
Tapi sekali lagi, ini sekedar pemahaman ana pribadi, boleh antum terima, boleh juga tidak. Toh masalahnya adalah masalah ijtihadiyyah yg seseorang diberi kelonggaran untuk berbeda pendapat. Wal ‘ilmu ‘indallaah.
Saya Ingin bertanya lebih lanjut ustadz…
bagaimana dengan… peristiwa Rasulullah melewati suatu kuburan kemudian beliau menancapkan batang pohon dikuburan itu agar penghuninya diringankan dosanya karena penghuni kubur itu tengah disiksa oleh malaikat. Apakah itu ada keterangan bahwa itu adalah kekhususan Nabi Shalallahu’alaihi wasallam?
mohon penjelasannya
Dalam shahihnya, Imam Bukhari mencantumkan sebuah bab yg berjudul: (باب الجريدة على القبر) Bab: “Pelepah korma di atas kuburan”. lalu menyebutkan riwayat2 secara mu’allaq dari Buraidah (sahabat Nabi) yg menyuruh agar kuburnya ditancapi pelepah korma. Kemudian menyebutkan pula hadits Ibnu Abbas yg mengisahkan bhw Nabi menancapkan pelepah kurma yg masih hijau di kuburan salah seorang sahabat… dst (al hadits). Dalam syarahnya, ibnu Hajar mengatakan bhw riwayat yg mu’allaq tadi diriwayatkan secara bersambung (maushul) oleh Ibnu Sa’ad dlm Thabaqatnya, bahwa Buraidah memang berwasiat agar kelak kuburnya ditancapi pelepah kurma yg masih basah, dan akhirnya beliau wafat di Khurasan. Ibnu Hajar lantas berkata yg intinya bahwa perbuatan Buraidah ini bisa jadi (1) karena beliau ingin meneladani perbuatan Rasulullah (sbgmn dlm hadits ibnu Abbas), atau (2) karena meyakini bahwa pohon kurma adalah pohon yg mengandung berkah, sebagaimana yg tersirat dlm firman Allah: (كشجرة طيبة) yg ditafsirkan sebagai pohon kurma (Ibrahim: 24). Kemudian Ibnu Hajar mengatakan bahwa yg lebih dhahir adalah pendapat pertama. Pun demikian, Imam Bukhari juga menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar yg ketika melihat ada kemah di atas kuburan, beliau menyuruh agar memugarnya, seraya berkata: “yang bisa menaunginya hanyalah amalannya”. lalu Ibnu Hajar mengomentari bahwa ini merupakan pendapat lain yg menganggap bahwa kisah pelepah kurma dan manfaatnya bagi dua orang yg dikubur tadi, adalah khusus bagi kedua orang tsb.
Ala kulli haal, bila antum menganggap itu khusus maka inilah pendapat Ibnu Umar, dan bila ada pihak lain yg menganggapnya boleh diteladani maka inilah pendapat Buraidah. Wallaahu a’lam bisshawab.
ini ustadz, artikelnya
http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatmujizat&id=23
assalamu’alaikum ustadz…
Tentang mentahnik bayi….
Apa benar itu hanya pengkhususan kepada Rasulullah saja?
Apa benar yang dikatakan teman saya bahwa, dalam masalah tahnik ini Imam Nawawi rahimahullah telah salah dalam berpijak.
Dia berkata Kalau seandainya tahnik ini bukan khusus untuk diri beliau shollallahu ‘alaihi wasallam, tentulah para sahabat rodliyallahu anhum ajma’in sudah mempraktekannya.
Tentu apa yang dilakukan oleh Rasulullah, belum tentu semuanya bisa dilakukan.
dia mengambil contoh poligami Di hadist ditemukan tentang Rasulullah mempunyai istri lebih dari 4, tentu kita tidak bisa dan tidak akan bisa spt beliau. Begitu juga ketika beliau melewati suatu kuburan kemudian beliau menancapkan batang pohon dikuburan itu agar penghuninya diringankan dosanya karena penghuni kubur itu tengah disiksa oleh malaikat. Tentu kita tidak bisa melakukan itu walaupun disebutkan ada dihadist.
mohon penjelasannya… apakah menTAHNIK BAYI itu memang sunnah yang dianjurkan atau hanya pengkhususan kepada Rasulullah Shallahu’alaihi wa’alahi wasallam saja…
mengingat saya baca artikel di alsofwah, bahwa mentahnik bayi itu berguna bagi kesehatan bayi…
terimakasih
Wallaahu a’lam, ana rasa itu tergantung niat yg mentahnik. Kalau dahulu para sahabat melakukannya karena tabarruk dengan air liur Nabi, maka kita katakan bahwa itu khusus bagi Nabi. Tapi kalau sekarang kita ingin melakukan hal tsb karena adanya hikmah lain selain tabarruk (yg memang tdk mungkin kita lakukan karena Nabi sudah wafat), maka boleh-boleh saja. Atau tabarruk dengan mengikuti sunnah Nabi tsb, toh tidak ada dalil yg tegas-tegas menyatakan bahwa itu kekhususan Nabi, sebab hukum asalnya ialah bahwa apa yg beliau lakukan adalah untuk dicontoh. Adapun tidak adanya sahabat yg melakukan hal tersebut setelah Nabi -menurut teman antum tadi- mungkin karena mereka melakukannya dalam rangka tabarruk dengan air liur beliau.
Assalamu’alaikum ustadz Hudzaifah,
Semoga antum selalu dalam lindungan Allah Ta’ala. Amin.
Begini pak ustadz, saya ada pertanyaan mengenai ilmu hadits, jika ada beberapa hadits dho’if yg beberapa perawinya ternyata adalah perawi majhul, bisakah derajat beberapa perawi majhul mengangkat derajat hadits dho’if menjadi hadits hasan lighairihi bila diriwayatkan dari banyak jalan?
Terakhir, mengenai tadlis, apakah tadlis Al A’masy secara umum bisa diterima? Lebih baik mana, tadlis beliau atau tadlis Hasan Al Bahsri?
Jazakalloh khoir.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah.. Ahlan bik ya Akhi. Aamin walil qa-il wal qurra’ kadzaalik.
Tentang pertanyaan antum, kalau memang ‘illah hadits-hadits tsb ‘hanya’ jahalatur ruwaah, tidak ada ‘illah yg lain baik di sanad maupun matannya; maka secara qaidah bisa saja menjadi hasan lighairihi. Tapi yg penting perhatikan dulu siapa yg menjadi madaarul isnadnya (titik temu dari masing-masing sanad hadits tsb), karena itulah yg menentukan kualitas sanad hadits tsb. Ini bila haditsnya berasal dari sahabat yg sama. Namun bila yg antum maksud adalah sejumlah hadits dari sejumlah sahabat yg bunyi matannya kurang lebih sama, maka ini namanya syawahidul hadits, dan bila memang tidak terlalu dha’if maka bisa saling menguatkan.
Setiap perawi yg tergolong mudallis secara umum haditsnya harus disikapi secara hati-hati, dalam hal ini tadlisnya a’masy dan hasan al bashri hampir sama, karena keduanya sama-sama suka mentadlis. Akan tetapi bila A’masy mengatakan ‘An fulan, dan si fulan tsb adalah guru yg ia banyak meriwayatkan hadits darinya, maka tadlisnya bisa diterima. Atau jika yg meriwayatkan hadits dari A’masy adalah Syu’bah, maka ini merupakan jaminan bahwa ‘an’anah-nya A’masy di sini adalah muttashil, karena Syu’bah sendiri yg mengatakan: Kafaitukum tadlisa tsalatsatin: Al A’masy, Abu Ishaq As Sabi’iy, wa Qatadah. Artinya: Aku menangani tadlisnya tiga orang untuk kalian, yaitu Al A’masy, Abu Ishaq As Sabi’i dan Qatadah. Artinya, syu’bah hanya meriwayatkan ‘an’anah mereka bertiga setelah memastikan bahwa mereka benar-benar mendengar hadits dari guru-gurunya.
Adapun Hasan Al Bashri, maka selain suka tadlis beliau juga suka irsal… artinya meriwayatkan secara terputus. Lebih lengkapnya bisa antum baca di kitab Jaami’ut Tahshil karya Al Ala-i.
Assalamua’laikum warohmatulloh wabarokatuh..
Barokallahu Fik..
Kaifa haluk Ustadz..? Laa’llaka bi khair…
Ana fi suual…..mengenai Al Ilmu qablal Qaul wal amal…..
Pertanyaan ana ..apakah ada tolak ukur sampai mana batasan ilmu itu kita pelajari, sehingga kita bisa meerapkannya, apakah kita hanya baca dan pahami misalnya dr Kitab Riyadush Shalihin lalu kita applikasikan..ato ada hal-hal lain yg mesti diperhatikan..? Mohon Penjelasannya
Jazakallohu Khair
NB: Afwan bahasa arabnya campur2, masih belajar, sekalian latihan
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…
Ana bikhair walhamdulillaah…
Itu adalah judul bab dalam shahih bukhari, yang artinya ialah bahwa ilmu itu harus mendahului setiap perkataan dan perbuatan. Bila tidak, maka perkataan dan perbuatan tsb tidak ada artinya, karena ilmu tadilah yang menentukan niat, dan niat itu merupakan syarat sahnya ucapan dan perbuatan. Secara logika, jika ilmu yang kita dapatkan bisa langsung diamalkan, maka segeralah mengamalkannya. Namun bila masih belum bisa diamalkan, karena syarat2nya belum terpenuhi, atau masih adanya penghalang, atau masih ada hal-hal lain yg terkait dengannya yg harus dipelajari lebih lanjut; maka ya jangan diamalkan dulu sampai benar-benar bisa diamalkan. Misal: Kalau antum membaca hadits di Riyadhus Shalihin tentang fadhilah shalat dhuha, atau shalat qabliyah fajar, atau sedekah dll dan antum sudah tahu bagaimana syarat2 shalat, maka amalkanlah. Tapi kalau belum, ya pelajari dulu bagaimana syarat2nya, rukun2nya, dst. Jadi kita mempelajari sesuatu secara utuh, tidak sepotong-sepotong.
Misal lainnya: kalau antum mendapati hadits yg menganjurkan untuk jihad, maka ini tidak bisa langsung diamalkan, karena tidak semua ibadah bisa diamalkan dengan cara yg sama. Ada yg terkait dengan pribadi, ada yg secara kolektif, ada yg harus dengan izin pihak lain (spt jihad yg harus dgn izin Imam dan orang tua), dll… Karenanya, ana sarankan agar antum jangan mencukupkan diri dengan membaca kitab-kitab hadits, tapi pelajari pula fiqih ibadah dan mu’amalah. Karena ilmu fiqih membahas suatu masalah secara menyeluruh, mulai dari definisinya, syarat2nya, rukun2nya, sunnah2nya, dan hal-hal yg membatalkannya. tapi kalau antum tetap ingin belajar dr kitab2 hadits, maka baca juga syarah para ulama ttgnya.