Soal-Jawab
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Kepada ikhwan dan akhwat pengunjung Blog Abu Hudzaifah yg saya cintai…
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas Blog ini, saya khususkan halaman ini bagi yg ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’-nya, baik keluhan, pertanyaan, atau sekedar curhat… Semoga dengan itu semua saya jadi lebih semangat untuk menyampaikan ilmu saya kepada antum semua.
Jadi, saya tunggu partisipasi antum… Jazakumullahu khairan katsieran,
Wassalaam,
Assalamu’alaikum.
Ada teman yang tanya, dia pernah baca hadits “bahwa orang yang berhutang hampir sama dengan kekafiran”
Ustadz mohon diteliti apa ada hadits semacam ini, dan bagaimana derajatnya?
JAZAAKALLOOHU KHOIRON
Wa’alaikumussalaam warahmatullah…
Tidak perlu dicek sanadnya, kalau memang ada hadits spt itu pastilah hadits batil (palsu), sebab matannya munkar dan bertentangan dengan dalil-dalil shahih yang membolehkan seseorang untuk berhutang tanpa celaan sedikitpun. Bahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat dengan menanggung hutang yang tergadai dengan sebuah baju besi. Demikian pula sahabat Zubeir bin Awwam, yang wafat dengan hutang sekitar 2.2 juta dirham (setara dengan milyaran rupiah hari ini), namun akhirnya terbayar semua melalui warisan yg ditinggalkannya, sebagaimana yg diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya.
ustadz..jazakalloh khoir atas jawaban antum..mudah2an Alloh menjaga Antum dan mengokohkan antum di atas sunnah..ana mencintai antum karna Alloh ustadz..barakallahu fiik
Amien, wa jazaakallaahu khairan aidhan… ahabbakallaahu fima ahbabtani liajlih. wa fiika baarakallaah.
maaf ada yang terlewat ustadz.mohon dikoreksi jika salah
HT mengganti penguasa yang ada saat ini dengan sistem khilafah tanpa jalan kekerasan. Tentu saja, tidak dapat disamakan dengan memerangi penguasa yang dimaksud di dalam hadist:
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam telah menyeru kepada kami, kemudian kami membai’at beliau shallallaahu ‘alaihi wa salam untuk selalu mendengar dan mentaati, baik dalam kondisi yang kami senangi, kami benci, maupun dalam kondisi susah maupun lapang, dan AGAR KAMU TIDAK MEMERANGI PENGUASA kecuali nampak kekufuran yang nyata”[Bukhari]
Perkara penguasa melakukan tindakan kekerasan kepada syabab HT meskipun HT tidak melakukan kekerasan, itu bukanlah kesalahan HT, tetapi kesalahan penguasa itu sendiri yang menyiksa orang-orang mukmin. Apalagi, menasehati penguasa secara terang-terangan itu sendiri, bukanlah perkara haram:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.[QS:85.10]
Pertanyaan saya: Mengapa penguasa melakukan tindak kekerasan kpd HT? Apakah mungkin pemerintah kita bersikap demikian jika HT melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang diajarkan Nabi, spt dengan mengutus tokoh-tokoh yang terpandang di mata pemerintah, lalu menghadap presiden (misalnya) secara empat mata dan menjelaskan baik-baik maksudnya dan menasehatinya… atau dengan menyurati beliau? Saya rasa (bahkan yakin), kalau caranya baik dan benar, kita tidak akan diperlakukan spt itu. SBY itu jauh lebih ‘ramah’ dan ‘berperasaan’ daripada Hajjaj bin Yusuf.
Antum jgn punya anggapan bahwa ana membela penguasa yg zhalim, ana hanya ingin menjelaskan bagaimana menghadapi penguasa yg zhalim sesuai dengan yg diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Memang, menyiksa orang-orang beriman adalah kesalahan besar… tapi memberontak kpd penguasa yg jauh lebih kuat, dan belum jelas-jelas kafir, adalah dosa besar pula, yg mengakibatkan fitnah besar.
Karenanya, Imam Ahmad walaupun telah disiksa demikian berat oleh Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq; ketika dimintai pendapatnya bolehkah mengangkat senjata (memberontak) kpd mereka oleh tokoh-tokoh masyarakat dan sebagian ulamanya; beliau dengan tegas melarangnya. Simaklah nas riwayatnya berikut:
يقول حنبل – رحمه الله تعالي -:
((أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار ))
Hambal -sepupu Imam Ahmad- mengatakan: “Para fuqaha’ Baghdad pernah berkumpul dengan Abu Abdillah (Imam Ahmad) di masa kekuasaan Al Watsiq. Mereka berkata: masalah ini semakin meluas dan parah -maksudnya: menampakkan perkataan bahwa Al Qur’an itu makhluk dll- dan kami tidak meridhai kepemimpinan dan kekuasaan dia (yakni Al Watsiq)”. Maka Imam Ahmad mendebat mereka, dan mengatakan: “Hendaknya kalian mengingkarinya dalam hati dan janganlah mencabut bai’at kalian untuk taat kepadanya (dlm selain maksiat tentunya -pent), dan jangan memecah kesatuan kaum muslimin… janganlah menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin bersama kalian… fikirkanlah akibat dari perbuatan yang akan kalian lakukan… dan sabarlah sampai yang orang baik beristirahat, atau orang yang bejat ‘diistirahatkan’. Beliau juga mengatakan: “Ini (maksudnya mencabut bai’at ketaatan) bukanlah sesuatu yang benar… ini bertentangan dengan atsar (hadits Nabi)” (Lihat: Al Aadaabusy Syar’iyyah karya Ibnu Muflih 1/195-196 dan kisah ini diriwayatkan oleh Al KHallal dalam kitab As Sunnah hal 133). Al Khallal sendiri adalah murid Imam Ahmad.
Coba antum perhatikan, bagaimana sikap Imam Ahmad, Imam Ahlussunnah wal jama’ah ketika menghadapi seorang penguasa yg jelas-jelas menyeru kepada kekafiran yg telah disepakati bahwa ia merupakan kekafiran (yakni mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, bukan kalamullah). Tidak cuma sampai di situ, bahkan si penguasa ini memaksa para ulama untuk mengatakan hal tersebut, bahkan tak sedikit yang telah disiksa dan dibunuh karena tidak mau mengatakannya. Salah satu yg dibunuh oleh Al Watsiq sendiri adalah Ahmad bin Nashr al Marwazi yg disembelih langsung olehnya !! Pun demikian, Imam Ahmad tetap tidak merestui keinginan mereka karena melihat akibatnya akan lebih buruk.
Adapun apa yg terjadi di zaman Hajjaj, tragedi Al Harrah (di zaman Yazid bin Mu’awiyah), Kudeta Bani Abbas thd Bani Umayyah, Perlawanan Ibnuz Zubeir, Husein bin Ali, dll thd penguasa saat itu dan kejadian-kejadian semisal lainnya; maka itu semua terjadi sebelum zaman imam Ahmad, dan itu memang madzhab klasik yang dianut sebagian salaf. Akan tetapi setelah melihat bagaimana akibatnya yg mengerikan, maka para ulama yg datang kemudian sepakat untuk meninggalkan cara-cara tersebut. Simaklah perkataan Ibnu Katsir berikut setelah menceritakan akibat pemberontakan Ibnul Asy’ats thd Hajjaj, yg didukung oleh banyak ulama:
والعجب كل العجب من هؤلاء الذين بايعوه بالامارة وليس من قريش، وإنما هو كندي من اليمن، وقد اجتمع الصحابة يوم السقيفة على أن الامارة لا تكون إلا في قريش، واحتج عليهم الصديق بالحديث في ذلك، حتى إن الانصار سألوا أن يكون منهم أمير مع أمير المهاجرين فأبى الصديق عليهم ذلك، ثم مع هذا كله ضرب سعد بن عبادة الذي دعا إلى ذلك أولا ثم رجع عنه، كما قررنا ذلك فيما تقدم.
فكيف يعمدون إلى خليفة قد بويع له بالامارة على المسلمين من سنين فيعزلونه وهو من صلبية قريش ويبايعون لرجل كندي بيعة لم يتفق عليها أهل الحل والعقد ؟ ولهذا لما كانت هذه زلة وفلتة نشأ بسببها شر كبير هلك فيه خلق كثير فإنا لله وإنا إليه راجعون.
Yang sungguh aneh bin ajaib adalah perbuatan mereka (maksudnya para fuqaha’) yang membai’at Ibnul Asy’ats sebagai Amirul Mukminin, padahal dia bukan berasal dari Quraisy. Dia hanyalah orang Arab dari suku Kindah asal Yaman. Padahal para sahabat telah ijma’ pada hari Saqifah, bahwa kepemimpinan haruslah dipegang oleh orang yg berasal dari suku Quraisy. Abu Bakar As Shiddiq bahkan berdalil dengan sebuah hadits ttg hal ini ketika mendebat keinginan mereka (orang-orang Anshar). Bahkan ketika kaum Anshar mengusulkan agar mereka juga memiliki Amir bersama Amir dari kalangan Muhajirin, Abu Bakar tetap menolaknya. Bahkan Abu Bakar lantas memukul Sa’ad bin Ubadah (tokoh Anshar) karena semula mengajak kaum Anshar untuk mengangkat pemimpin dari mereka, meskipun akhirnya ia rujuk. Sebagaimana yg telah kami jelaskan sblmnya.
Lantas, bagaimana kok mereka justru mencopot seorang khalifah (maksudnya Abdul Malik bin Marwan) yang telah dibai’at oleh kaum muslimin seluruhnya selama bertahun-tahun, dan melengserkannya, padahal dia adalah seorang Quraisy asli?? Kemudian mereka membai’at seseorang dari suku Kindah yang belum disepakati oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi (semacam wakil-wakil rakyat yg berhak mengangkat/mencopot pemimpin). Nah, karena kesalahan dan ketergelinciran para fuqaha’ tadilah, akhirnya timbul bencana dan kerusakan yang sangat besar, yang menewaskan banyak orang. Fa inna lillaahi wa inna ilaihi Raaji’uun (Al Bidayah wan Nihayah 9/66).
Simak pula perkataan Ibnu Hajar di akhir biografi Al Hasan bin Shalih bin Hayy, yg digolongkan sebagai Khawarij Qa’adiyyah, maksudnya khawarij yg tidak ikut memberontak secara langsung, namun memprovokasi orang lain untuk memberontak lewan perkataan dan sikapnya thd penguasa. Antum bisa baca biografinya dan bagaimana para tokoh Ahlussunnah yg sezaman dengannya menyikapinya. Contohnya Imam Sufyan Ats Tsauri yg demikian pedas dan keras dalam mengingkari sikap-sikapnya… dan masih banyak ulama lain yg bersikap spt itu dan mengatakan bahwa si Hasan ini (كان يرى السيف). Maka di akhir biografinya, Ibnu Hajar mengatakan:
تهذيب التهذيب (2/ 250):
وقولهم كان يرى السيف يعني كان يرى الخروج بالسيف على ائمة الجور وهذا مذهب للسلف قديم لكن استقر الامر على ترك ذلك لما رأوه قد افضى إلى أشد منه ففي وقعة الحرة ووقعة ابن الاشعث وغيرهما عظة لمن تدبر .
Mereka yg mengatakan (كان يرى السيف) maksudnya ialah bahwa si Hasan ini termasuk yang mendukung pemberontakan dengan senjata (pedang) terhadap penguasa-penguasa zhalim. Ini memang madzhab yang dahulu dianut oleh para salaf. Akan tetapi kemudian terjadi kesepakatan untuk meninggalkan cara tersebut
, setelah mereka menyaksikan akibatnya yang lebih buruk. Apa yg terjadi dlm tragedi Al Harrah, Ibnul Asy’ats dan lain-lain menjadi mau’izhah dan ‘ibrah bagi orang yang ingin mengambil pelajaran.
Nah, dari nukilan-nukilan tadi, jelaslah duduk perkaranya… bahwa pendapat yg membolehkan angkat senjata melawan penguasa zhalim adalah pendapat yg telah ditinggalkan, sehingga kita tidak boleh mengikutinya. Lagi pula, di zaman mereka yg membolehkan hal tsb, banyak pula ulama yg tidak sependapat dengan mereka. Contohnya Ibnu Umar dan Sa’ad bin Abi Waqqash yg menjauhkan dirinya dari fitnah dan tidak mau membai’at Ibnu Zubeir, tidak ikut memberontak bersama warga Madinah, dst… lalu di zaman Tabi’in kita mengenal Muhammad ibnul Hanafiyyah yg juga tidak mau berbai’at kpd Ibnuz Zubeir krn telah memba’iat Yazid, lalu Hasan Al Basri, dan berikutnya Sufyan Ats Tsauri, dll… dan disusul oleh Imam Ahmad bin Hambal. Kalaulah ini merupakan masalah khilafiyah di kalangan mereka, maka jelas bahwa mereka yg tidak khuruj (tidak berontak)-lah yg benar, karena akhirnya pendapat mereka-lah yang dipilih dan menjadi ijma’ ulama yg datang kemudian. Faham?
Tidak cukupkah dalil-dalil yg memerintahkan untuk taat kpd penguasa zhalim untuk mengharamkan pemberontakan? Tidak cukupkah akibat buruk yg dicatat oleh sejarah tersebab pemberontakan (yg dilakukan oleh sejumlah ulama) menjadi dalil bahwa cara ini sama sekali tidak membuahkan hasil yg baik? Itupun yg memimpin pemberontakan adalah para ulama yg tidak diragukan keshalihannya… lantas bagaimana kalau yg mimpin saja masih diragukan ‘nawaitu’-nya… tidak dikenal sbg orang baik, dan kalaupun dia orang baik maka kebaikannya jauh tak sebanding dengan para ulama tsb…??
Bahkan secara logika, kalaupun penguasanya jelas-jelas kafir dan rakyatnya lemah… maka membolehkan pemberontakan thd penguasa dlm kondisi ini sama dengan mati konyol.
Ustadz…saya ingin melanjutkan permasalahan sebelumnya. mohon pembetulannya jika saya salah
1-.Dari pendapat As Sindi, Asy Syaukani dan An-Nawawi yang ustadz nukil, dinyatakan dengan redaksi kalimat yang tidak secara tegas menyatakan bahwa menasehati penguasa seara terang-terangan adalah perkara yang Haram. Hal ini berbeda dengan pendapat Ulama yang sering melabeli khawarij atau manyatakan keharaman terhadap orang yang memberi nasehat secara terang-terangan.
2-.berkaitan dengan sejarah yang ustadz nukilkan, bahwa korban yang tewas di tangan Hajjaj akibat pemberontakan Abdurrahman bin Asy’ats mencapai 130 ribu orang, dan semuanya dieksekusi di depan Hajjaj tanpa bisa melawan”
Dengan banyaknya korban dari kalangan shahabat atau tabi’in yang gugur ditangan hajjaj, bukankah menunjukkan bahwa tidak ada ijma’ dari kalangan shahabat dan tabi’in bahwa menasehati penguasa secara terang-terangan adalah haram?
lalu bagaimana dengan :
1) Mazhab Imam Malik menjadikan pendapat ahlul Madinah sebagai dalil syara’, sedangkan ahlul Medinah telah menentang Yazid. Dan Imam Malik rahimahullah, tidak menyukai pemberontakan terhadap khalifah, tetapi juga menyatakan ketidaksetujuannya secara terang-terangan terhadap kezhaliman penguasa yang meminta bai’at dengan paksa dengan menyatakan hadist:
“Laysa ‘ala mustakrohi yamiin” (tidak sah sumpah dibawah paksaan)
Beliau rahimahullah disiksa oleh penguasa Abu Ja’far Al Mansur.
2) Mahzhab Imam Syafi’i membatasi pengggunaan dalil syara’ adalah dari Al Qur’an dan Hadist shahih, ijma’ shahabat dan Qiyash Syar’i.
Artinya, Imam Syafi’i rahimahullah tidak menjadikan ijma’ ulama sesudah mereka (jika memang mereka telah berijma) sebagai dalil syara’. Telah jelas, terdapat perselisihan dikalangan shahabat dan tabi’in di dalam masalah menasehati penguasa secara terang-terangan ini dikalangan mereka, maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa menasehati penguasa secara siir adalah kaidah Ulama salaf? Sedang, ulama salaf shalih adalah ada dari kalangan shahabat.
Apakah dibenarkan pendapat meyakini, bahwa mereka yang gugur menentang kezaliman penguasa (termasuk Said bin Zubair, Hasan dan Husein), insyaAllah syahid karena usaha mereka menegakkan Agama, sedangkan mereka pembunuhnya akan mendapat kemurkaan yang besar dari Allah subhana wa Ta’ala?
Apakah Jika kita menganggap menasehati penguasa secara terang-terangan adalah haram, maka berarti kita menganggap bahwa mereka yang gugur karena menasehati penguasa dan menentang penguasa secara terang-terangan berarti meninggal di dalam keadaan berdosa?
Sebelum mengingkari kemunkaran (baik dari penguasa/lainnya), seseorang harus memperhatikan hal-hal berikut:
1-Ia harus tahu benar bahwa yg terjadi adalah kemunkaran menurut syar’i.
2-Ia harus melihatnya dengan mata kepala, baru wajib mengingkarinya. Adapun yg sekedar diberitahu maka tidak wajib. Karena Nabi mengaitkan pengingkaran dengan ‘melihat’ (man ro’a minkum munkaran…).
3-Ia harus memperhatikan tahapan-tahapan inkarul munkar. Apakah mengingkarinya dengan tangan, dengan lisan, atau cukup dengan hati. Sebab tidak semua orang bisa dan boleh melakukan penginkaran dengan tangan dan lisan. Penginkaran dengan tangan ialah bagi yg berkuasa melakukannya. sedangkan dengan lisan bagi yg berilmu. Namun semuanya harus dan bisa mengingkari dengan hati.
4-Ia harus memperhitungkan bahwa pengingkarannya tidak akan menimbulkan kemungkaran yg lebih besar dari yang ingin dia ingkari. Kalau ia yakin, atau menduga kuat tidak akan menimbulkan kemungkaran lebih besar; maka dianjurkan baginya untuk inkarul munkar. Tapi kalau tidak yakin (ragu-ragu) maka tidak dianjurkan, karena keraguan tidak boleh menjadi landasan berbuat dalam syari’at.
5-Ia harus mengingkari dengan cara yang syar’i, bukan dengan semangat doang tanpa ilmu…
6-Bentuk pengingkaran tidaklah sama, tergantung siapa yg mengingkari, siapa yg diingkari, dan apa kemungkaran yg dilakukan.
setelah memperhatikan poin-poin di atas, cobalah kita tanyakan diri kita sendiri: Apa yg kita inginkan dengan mengingkari penguasa? Kita ingin menasehati dia atau sekedar ingin membeberkan aib-aibnya karena tidak senang dengan kekuasaan yg Allah berikan kpdnya? kalaulah seseorang benar-benar tulus dalam menasehati –dan nasehat itu artinya: iradatul khair lil mansuuh, yakni menginginkan kebaikan bagi yg dinasehati–, maka hendaknya ia menggunakan cara-cara yg menjadikan si penguasa/yg dinasehati mau mendengarkan nasehatnya. Bukankah begitu? Nah, cara ini tidak sama. Lain orang lain caranya. Ketika yg mengingkari seorang yg berwibawa di mata penguasa, akan berbeda hasil dan akibatnya dengan ketika yang mengingkari adalah orang yg tidak disukai oleh si penguasa atau tidak memiliki kedudukan apa-apa di matanya. Karenanya, ketika Anas bin Malik dicaci maki oleh Hajjaj bin Yusuf dan diancam hendak dihabisi, Anas tidak membalas cacian dan ancaman tsb. Beliau mengatakan: Demi Allah, kalaulah tidak teringat akan anak-anakku yg masih kecil, niscaya takkan kupedulikan bagaimana aku akan dibunuhnya (yakni beliau akan melawan ucapan tsb dan tidak peduli bila akhirnya dibunuh). Beliau lantas menyurati Abdul Malik bin Marwan yg menjadi khalifah saat itu, dan merupakan boss-nya Hajjaj. Anas mengatakan bahwa kalaulah kaum yahudi melihat sahabat2nya Musa, pastilah mereka menghormati dan menghargainya. Demikian pula kalau Nashara melihat sahabat2nya Isa, mereka pasti menghormati dan menghargainya. Dan aku adalah sahabat Rasulullah dan pembantunya selama 10 tahun, namun Hajjaj telah mengatakan perkataan yang munkar dan kurang ajar kepadaku, padahal ia tidak berhak mengatakannya. Maka tahanlah dia. Wassalaam…
Setelah membaca surat tsb, maka Abdul Malik langsung naik pitam dan menulis surat dengan bahasa yg sangat kasar kpd Hajjaj, dan menyuruhnya agar begitu membacanya hajjaj hendaknya bersikap lebih rendah kepada Anas daripada sandal Anas sendiri. sehingga begitu membacanya, Hajjaj langsung gemetar dan minta maaf kpd Anas. (lihat: Al Bidayah wan Nihayah 9/153).
Nah, ini salah satu contoh bagaimana Anas mengingkari kemungkaran Hajjaj dgn cara yg lebih tepat, dibandingkan cara yg dilakukan oleh mereka yg memberontak bersama Ibnul Asy’ats.
Lagi pula, siapa sih orang yg senang dibeberkan kesalahannya? Bukankah kebanyakan orang yg keliru justru semakin keras kepala ketika kesalahannya dibeberkan di muka orang? Nah, kalau sudah begitu, maka tidak ada baiknya melakukan hal tsb… kecuali bila dengan kata-kata yg sopan dan tidak menyakitkan atau tidak menyebut-nyebut namanya, namun sekedar menyebut kesalahannya.
Adapun pengingkaran yg dilakukan oleh para ulama spt Imam Malik, dll thd penguasa; maka semuanya dengan cara yang sesuai dengan poin keenam. Yg mengingkari adalah ulama besar yg memiliki wibawa, dan fatwanya diikuti oleh kaum muslimin. Jadi, kalau dia tidak mengingkari maka akan banyak yg tersesat. Karenanya, beliau mengingkari demi menyelamatkan umat walaupun beliau sendiri yg harus menanggung akibatnya. Bandingkan ini dengan pengingkaran secara massa yg dilakukan oleh Harokiyyin hari ini… ga’ nyambung sama sekali. Lagi pula, yg diingkari adalah orang yg berilmu (meskipun zhalim), sehingga bisa memahami duduk permasalahannya. tentunya kalau yg diingkari adalah orang jahil plus zhalim, caranya beda lagi. Kemudian, Imam Malik sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kedudukan Abu Ja’far Al Manshur sebagai Khalifah, artinya beliau mengingkari kebijakannya tanpa mengingkari keabsahan dirinya sebagai khalifah. Yakni tidak ada unsur merongrong kekuasaan sama sekali, namun sekedar menjelaskan bahwa apa yg dilakukan Abu Ja’far itu keliru, tanpa memaki-maki, dan tanpa menghasung massa untuk memberontak kpdnya.
Adapun pendapat imam syafi’i yg hanya membatasi dalil syar’i pada Al Qur’an, hadits, ijma’ para sahabat, dan qiyas yg shahih; maka ini tidak menjadi ilzam bagi orang lain yg menganggap adanya ijma’ setelah sahabat, dan inilah yg rajih. lagi pula, sikap yg benar dalam menghadapi perbedaan ijtihad di kalangan sahabat ialah tarjih berdasarkan dalil-dalil yg ada. Bukan pokoknya saya pilih pendapat si fulan. Apalagi dengan adanya ijma’ setelah itu, dan boleh jadi ijma’ ini baru terjadi setelah wafatnya imam syafi’i (th 204) shg beliau tidak mengetahuinya. Nah, apakah pendapat beliau hendak kita menangkan diatas berbagai dalil yg ana sebutkan dlm jawaban ana yg lalu, lalu dimenangkan pula atas ijma’ yg dinukil oleh sejumlah ulama, di antaranya Ibnu Hajar, dan dimenangkan pula atas qiyas yg shahih?? Apakah ini sikap yg ilmiyah??
Adapun ttg Al Husein bin Ali, Sa’id bin Jubeir dll yg berijtihad lalu terbunuh, maka khusus Al Husein, kita katakan sebagai syahid karena sabda Nabi. Adapun Sa’id bin Jubeir memang dibunuh secara zhalim dan diharapkan (tanpa memastikan) sebagai syahid pula. Adapun Hasan bin Ali tidak gugur karena menentang kezhaliman, beliau mati dengan cara biasa, setelah menyerahkan kekuasaannya kepada Mu’awiyah. Itu yg ana tahu. Dan jelaslah bahwa yg membunuh seorang muslim tanpa alasan yg benar terancam dengan siksa pedih, apalagi kalau yg dibunuh adalah ulama, bahkan sahabat Nabi.
Bagi mereka yg terbunuh sebelum terjadinya ijma’ yg mengharamkan pemberontakan bersenjata thd penguasa muslim, maka mereka tidak berdosa karena mereka dianggap mujtahid. Namun bagi yg terbunuh setelah itu, maka wallahu a’lam… bisa jadi mereka berdosa. Apalagi kalau caranya dengan berdemonstrasi, maka jelas ia telah melakukan sesuatu yg haram, atau bahkan bid’ah. Nanti akan ada artikel khusus yg panjang lebar ttg hukum demonstrasi.
Demikian. wallaahu ta’aala a’lam.
ustadz ada yang bertanya ke saya di facebook..saya ga berani menjawabnya..mudah2an ustadz bisa menjawabnya..
saya adalah pegawai di salah satu warnet yang ada di bekasi. saya berkerja untuk biaya kuliah saya. yang alhamdulillah bisa saya tanggung sendiri.
yang ingin saya tanyakan, bagai mana hukumnya saya berkerja di warnet yang selalu dipakai untuk bermain games.
di warnet tersebut juga menjual rokok, seruling, pianika, serta alat tuli yang bergambar makhluk hidup?
tolong sertakan dalilnya y!
jazakallahu khoir ustadz atas jawabannya..
Allah ta’ala berfirman: (وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان) Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Pertanyaan: Apakah bekerja di warnet yg selalu dipakai untuk bermain games, menjual rokok, seruling dan pianika termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, ataukah dalam dosa? Silakan direnungkan…
Assalamualaikum, ada kasus seperti ini ustadz:
Dalam sebuah keluarga, ada seorang ibu yang sedang sakit dan berwasiat kepada anak-anak mereka. Anak mereka jumlahnya ada 12 orang begini isi wasiatnya ” nak setelah sepeninggalanku nanti rumah yang aku wariskan kepada kalian jangan sampai dijual karena untuk menyatukan kalian saat-saat tertentu”.
Setelah orang tuanya meninggal ada suatu masalah yaitu timbul pertanyaan pada beberapa anaknya, bagaimana jika dijual warisan tersebut menginggat ada beberapa anggota keluarga yang tidak mampu.
Pertanyaannya adalah:
1. Bolehkah ahli waris itu menjual rumah (hak warisnya) sedangkan ada wasiat dari ibu mereka tidak boleh dijual, bukankah ada hak untuk para ahli waris?
2. Jika tetap dijual hukumnya bagaimana menurut islam?
3. Apabila boleh dijual hanya sebagian atau seluruhnya?
Jazakumullah khair atas jawabannya ustadz.
Assalamualaikum,
Pak Ustadz, mau tanya. Apakah orang-orang yang mengaku bisa melihat makhluk ghaib, mendengar dan berbicara dengan mereka, sebenernya ada peran jin juga dalam dirinya? Bagaimana cara menghilangkan ‘Jin’ tersebut, apakah cukup dengan rukyah syar’i dilakukan sendiri, atau perlu dengan ustadz ‘specialis’?
Demikian saja Pak Ustadz, jazakallahu Khair…..
Wa’alaikumussalaam warahmatullah
Iya betul, itu pasti hasil kerjasama dengan jin. Cara menghilangkannya dengan mendekatkan diri kepada Allah dan memutus hubungan dengan jin tsb dengan segala usaha, salah satunya dengan meruqyah diri sendiri (kalau dia bisa konsentrasi), atau minta diruqyah orang lain yg ikhlas dan shalih. Tapi selama ia bisa meruqyah diri sendiri, maka itulah yg lebih baik.
Minta penjelasannya kembali ustadz berkaitan dgn jawaban ustadz di atas
1)makna “فلايبد له علانية” (Maka janganlah melakukannya secara terang-terangan)..
bukankah diselisihi dengan hadist Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa’idiy yang berisi nasehat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam secara terang-terangan kepada seorang pejabat. Dan makna ini, juga tidak bermakna secara tegas bahwa perkara nasehat terang-terangan tersebut adalah Haram.
2)”kamu sungguh berani karena menantang orang yang dijadikan penguasa oleh Allah”.
Siapakah yang disebut “Penguasa Allah”? Kedudukan penguasa saat ini bukanlah shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam. Dan, kezhalimannya lebih dari sekedar mencambuk, tetapi bertanggung jawab terhadap pembunuhan seperti yang dilakukan Densus 88 di Indonesia.
Bukankah Penguasa Allah yang shahih adalah
“Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku”[QS:24.55].
Hari ini, penguasa saat ini melakukan perbuatan syirik uluhiyyah, yaitu menerapkan hukum selain Kitabullah dan Sunnah. Bahasan Syirik di dalam hal Tahkim ini, bukankah dibahas di dalam kitab2 Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah?
3) Makna ” Tidakkah kamu takut jika penguasa tersebut membunuhmu sehingga engkau menjadi korbannya penguasa?”
bukankah diselisihi dengan makna hadist shahih riwayat All Hakim dan Ath-Thabrani tentang Sayyidus-Syuhada, yaitu mereka yang terbunuh karena mengucapkan Al Haq. Apalagi, ada teladan 2 Imam (Imam Ahmad dan Imam Ibnu Taimiyyah, yang keduanya meninggal di dalam penjara karena menasehati dan menyelisihi perintah penguasa secara terang-terangan..
4) “Hadits ini merupakan kaidah dasar yang dianut Ahlussunnah (tapi nampak bahwa HT kelihatannya banyak menyelisihi ahlussunnah) dalam menasehati penguasa, yakni tidak secara terang-terangan, karena akan menimbulkan mafsadat”.
Bukankah, terjadi perselisihan sejak zaman shahabat mengenai nasehat secara terang-terangan? Kisah ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha yang menuntut Ali bin Abi Thalib, Kisah Sa’ad Bin Zubair yang menolak kepemimpinan Yazid, kisah cucu Nabi Hasan dan Husein dan lain2?
Bagaimana menurut ustadz..
Biarlah ana nukilkan perkataan para ulama dlm hal ini.
Ketika menjelaskan hadits Iyadh bin Ghanm tadi, As Sindi dlm hasyiyah musnad Ahmad (24/50) mengatakan: (نصيحة السلطان ينبغي أن تكون في السر، لا بين الخلق) “Menasehati penguasa, hendaknya dilakukan secara sembunyi2, bukan terang-terangan di hadapan khalayak”.
Asy Syaukani dlm As Sailul Jarrar (4/556) mengatakan:
ينبغي لمن ظهر له غلط في بعض المسائل أن تناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد.
بل كما ورد في الحديث : أنه يأخذ بيده ويخلوا به، ويبذل له النصيحة، ولا يذل سلطان الله.
وقد قدمنا : أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بلغوا في الظلم أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعني متواترة.
ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ،ويعصيه في معصية الله، فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
Orang yg terlihat bersalah dalam suatu masalah, hendaknya dinasehati tanpa menunjukkan kecaman keras terhadapnya di hadapan khalayak. Namun sesuai yang disebutkan dlm hadits, yaitu dengan mengandengnya dan menasehatinya empat mata tanpa menghinakan penguasa yg Allah tunjuk tsb. Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa memberontak kepada penguasa hukumnya tidak boleh, meskipun mereka demikian zhalim selama mereka masih menegakkan shalat dan tidak menampakkan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits yang membahas tentang ini derajatnya mutawatir. Rakyat wajib taat kepada penguasa dalam hal-hal yang sifatnya menaati Allah, namun membangkangnya dalam hal-hal yang sifatnya maksiat. Sebab tidak ada ketaatan dalam hal maksiat”.
Dalil lain yg menguatkan hadits Iyadh bin Ghanm adlh hadits Sa’ad bin Abi Waqqash yg muttafaq ‘alaih sbb:
أعطي رسول الله رهطاً – وأنا جالس فيهم -، قال : فترك رسول الله منهم رجلاً لم يعطه، وهو أعجبهم إلي، فقمت إلي رسول الله فساررته، فقلت : يا رسول الله !ما لك عن فلان ؟ والله إني لأراه مؤمناً، قال : (( أو مسلماً … )) وفيه قال :
(( إني لأعطي الرجل وغيره أحب إلي منه وخشية أن يكب في النار على وجهه )).
Rasulullah pernah sedang membagi-bagi hadiah pada sekelompok orang dan aku duduk bersama mereka. Beliau sengaja membiarkan seseorang tidak diberi apa-apa, padahal orang itu yang paling kukagumi. Maka kudatangi Rasulullah dan kubisikkan kepada beliau: Ya Rasulullah, adapa antaramu dengan si Fulan? Demi Allah, menurutku dia itu seorang mukmin. Maka Nabi menyanggah: “Atau baru muslim…”. lalu beliau mengatakan: “Aku sengaja memberi seseorang padahal ada orang lain yang lebih kusukai (tapi tidak kuberi), karena aku khawatir bila Allah mencampakkannya dalam Neraka”. Imam Nawawi lantas mengomentari hadits ini dlm syarahnya sbb: (فيه التأدب مع الكبار، وأنهم يسارون بما كان من باب التذكير لهم والتنبيه ونحوه، ولا يجاهرون فقد يكون في المجاهرة به مفسدة ) Hadits ini mengandung anjuran agar bersikap sopan terhadap pembesar, yaitu dengan mengingatkan mereka secara sirr (rahasia) dalam hal-hal yg perlu diingatkan. Mereka tidak semestinya ditegur terang-terangan, karena teguran terang-terangan mengandung mafsadat”.
Dalil ketiga ialah riwayat Ziyad bin Kasib Al ‘Adawy yg mengatakan:
كنت مع أبي بكرة تحت منبر ابن عامر – وهو يخطب وعليه ثياب رقاق -، فقال أبو بلال :
انظر إلي أميرنا يلبس ثياب الفساق !
فقال أبو بكرة : اسكت، سمعت رسول الله يقول :
(( من أهان سلطان الله في الأرض أهانه الله )).
قال الترمذي : (( حسن غريب ))
Aku pernah bersama Abu Bakrah duduk di bawah mimbarnya Ibnu Amir saat ia berkhutbah dengan pakaian yang tipis. Maka seseorang yg bernama Abu Bilal berkata: “Lihatlah amir kita yang memakai pakaiannya orang fasik ini ! (Maksudnya Ibnu Amir)”. Maka Abu Bakrah menyanggah: “Diam. Aku mendengar Nabi bersabda: “Barangsiapa menghinakan penguasa Allah di bumi, maka Allah akan menghinakannya” (HR. Tirmidzi dll. Beliau mengatakan: hasan gharib). Hadits ini dihasankan pula oleh syaikh Al Albani dlm silsilah as shahihah (5/376).
Dalam kitabnya yg berjudul Maqasidul Islam, Syaikh Utsaimin mengatakan:
فإذا كان الكلام في الملك بغيبة، أو نصحه جهراً والتشهير به من إهانته التي توعد اله فاعلها بإهانته، فلا شك أنه يجب مراعاة ما ذكرناه – يريد الإسرار بالنصح ونحوه – لمن استطاع نصيحتهم من العلماء الذين يغشونهم ويخالطونهم، وينتفعون بنصيحتهم دون غيرهم …
إلي أن قال : (( فإن مخالفة السلطان فيما ليس من ضروريات الدين علناً ،وإنكار ذلك عليه في المحافل والمساجد والصحف ومواضع الوعظ وغير ذلك، ليس من باب النصيحة في شيء، فلا تغتر بمن يفعل ذلك، وإن كان عن حسن نية، فإنه خلاف ما عليه السلف الصالح المقتدي بهم، والله يتولى هداك
Kalaulah meng-ghibah raja atau menasehatinya secara terang-terangan dan membeberkan kesalahannya termasuk penghinaan atasnya yang pelakunya terancam akan dihinakan oleh Allah; maka kita harus memperhatikan hal tersebut -maksudnya menasehati secara rahasia- bagi pihak yg bisa melakukannya, dari kalangan ulama atau orang-orang dekatnya penguasa yg sering bergaul dengannya, yang nasehat mereka bermanfaat baginya; bukan oleh selain mereka…. beliau lantas mengatakan: “Mengingkari penguasa dalam hal-hal yg tidak termasuk esensi agama secara terang-terangan, atau mengingkarinya dalam berbagai even, lewat mesjid-mesjid, ceramah-ceramah, media massa, dsb; sebenarnya bukanlah menasehati sama sekali. Maka janganlah engkau terkecoh oleh mereka yang melakukannya meskipun dengan niat baik; sebab cara itu bertentangan dengan praktik salafus shalih yang menjadi panutan kita”.
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang menguatkan makna ini. Adapun yg antum sebutkan bahwa Nabi menegur pejabatnya, maka teguran itu sama sekali tidak menyebutkan nama ybs. Beliau hanya menegur secara umum tanpa menunjuk orangnya. Lagi pula beliau adalah Imam yg menegur bawahannya, bukan rakyat yg menegur penguasa. Dan ini jelas tidak masalah dan tidak bisa dikiaskan ke masalah kita.
Penguasa Allah menurut dhahir hadits-hadits di atas adalah seorang muslim yg dijadikan Allah sebagai penguasa atas kaum muslimin, baik itu penguasa pusat (imam, raja, khalifah, presiden, dsb) atau penguasa daerah (amir, gubernur, menteri, dsb). Kezhaliman penguasa bukan hal baru, sejak zaman salaf pun mereka sering berada di bawah penguasa yg zhalim dan haus darah, seperti Hajjaj bin Yusuf yg jauh lebih kejam dari Densus 88 maupun Soeharto saat berkuasa. Tahukah antum bahwa korban yang tewas di tangan Hajjaj akibat pemberontakan Abdurrahman bin Asy’ats mencapai 130 ribu orang, dan semuanya dieksekusi di depan Hajjaj tanpa bisa melawan? Silakan baca kronologinya di Al Bidayah wan Nihayah. Demikian pula saat Yazid bin Mu’awiyah mengutus pasukan syam di bawah komando Muslim bin Uqbah al Murri yg membantai warga madinah dan melanggar kesucian kota tsb, hingga menurut sebagian ahli sejarah, mesjid2 menjadi kosong, shalat jum’at dan shalat lima waktu terbengkalai beberapa waktu karena warga madinah dicekam rasa takut, bahkan jumlah korban jiwa dari gadis2 Bani Hasyim saja mencapai seribu orang !! belum yg laki-lakinya… Mengapa? Itu semua akibat pemberontakan kpd penguasa zhalim.
Masalah syiriknya tahkim kita sepakat, namun tidak semua orang yg berbuat syirik harus menjadi musyrik, dan tidak semua orang yg berbuat kufur harus menjadi kafir. Menjatuhkan vonis kafir adalah urusannya qadhi dan ulama yg robbani, bukan sembarang orang. Apalagi jika obyeknya adalah penguasa yg jahil. Serampangan dlm mengkafirkan penguasa hanya mendatangkan fitnah dan musibah besar…
Kalaupun pemerintahnya jelas-jelas kafir, itu juga belum cukup menjadi alasan bolehnya memberontak dgn senjata kpd mereka. Harus memperhatikan apakah kita memiliki cukup kekuatan untuk menggulingkannya ataukah belum. Jika belum, maka tidak boleh memberontak. Sebagaimana Nabi dan para sahabat beliau yg disiksa dan diintimidasi selama 13 tahun oleh pihak musyrikin Quraisy, pun demikian beliau tidak melawan dengan senjata karena belum punya kekuatan.
Hadits iyadh bin Ghanm tidak menyelisihi haditsnya sayyidusy syuhada, sebab yg dimaksud terbunuh karena mengucapkan al haq, ialah bila seseorang menyampaikan kebenaran di majelisnya Sultan yang zhalim (‘inda sultanin jaa-ir), lalu sultan tsb membunuhnya. Bukan di mimbar-mimbar, di media massa, dsb tanpa disaksikan oleh sultan.
Perselisihan sahabat itu karena ijtihad, dan kalau lah sebagian sahabat memilih untuk berontak kpd penguasa zhalim seperti Ibnuz Zubeir, dan Husein bin ALi; maka sebagian besar sahabat justru menjauhi fitnah tsb. Contohnya adalah ibnu Umar dan sa’ad bin Abi Waqqash. Bahkan Ibnu Umar mentahzir warga madinah yg hendak memberontak kepada Yazid, dengan mengatakan bahwa hal itu termasuk pengkhianatan besar karena mereka sebelumnya telah berbaiat kpd Yazid, lalu memberontak kpdnya. Dan ternyata sikap Ibnu Umar inilah yg lebih tepat, karena hasil pemberontakan tsb sama-sekali tidak mendatangkan maslahat, bahkan mafsadatnya sangat-sangat besar. karenanya, kalau antum baca ucapan para ulama, seperti An Nawawi, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar dll; mereka mengatakan bahwa memang ada sebagian salaf yg dahulu menganggap boleh untuk memberontak kpd penguasa yg zhalim, akan tetapi setelah itu terjadi ijma’ bahwa hal tsb tidak boleh karena ternyata mafsadatnya lebih besar. Hal ini bisa antum baca di biografi Al Hasan bin Shalih bin Hayy dlm Tahdzibut Tahdzib-nya Ibnu Hajar, di bagian akhir. Wallahu a’lam.
assalaamu’alaikum…
ustadz, kemarin di salah situs berita besar di Indonesia, ada yg nulis resensi
buku baru yg berjudul ‘Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi’,
barangkali ustadz berkenan membuat bantahannya
selengkapnya di sini: http://media.kompasiana.com/buku/2011/03/09/sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi/
baarakallaahu fiik
Assalamu’alaikumwarohmatullohiwabarokatuh..
semoga Allah menjaga ustadz.
Mohon penjelasan apakah ada hadits
. سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يَأْمُرُونَكُمْ بِمَا لَا يَفْعَلُونَ، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكِذْبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَنْ يَرِدَ عَلَيَّ الْحَوْضَ (رواه أحمد
“Akan ada para pemimpin yang memimpin kalian dengan perkara-perkara yang tidak mereka laksanakan. Karena itu, siapa saja yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kedzaliman mereka maka ia bukan termasuk golongganku, dan aku juga bukan termasuk golongannnya; telaga haud pun sekali-kali tidak akan bermanfaat bagiku (untuk menolongnya). (HR. Ahmad).
dalam praktiknya, dalil ini dijadikan Hizbut Tahrir untuk mengkritik/mengoreksi penguasa…dengan alasan sebagai kontrol sosial atau menasehati penguasa merupakan sunnah rasul dan tabi’at para pemimpin Islam. Rakyat, tanpa memandang status sosialnya merasa berkewajiban dan berani mengkritik atau mengoreksi segala kebijakan atau tindakan yang dilakukan pejabat Negara, pada setiap kesempatan terbuka.
Kemudian menurut H,T Sebaliknya, para pejabat Negara tanpa memandang posisi dan jabatannya merasa berkewajiban menerima kritik dan koreksi dari rakyatnya, tanpa ada perasaan tersinggung atau terrendahkan martabatnya, walau kritik dan koreksi dilakukan di depan umum.
selengkapnya di *****
mohon penjelasan hadits di atas ya ustadz..
terimakasih
Menurut hadits yg diriwayatkan oleh sahabat Iyadh bin Ghanm (yg kala itu adalah gubernur di suatu wilayah bernama Daria) yang mencambuk salah seorang pemimpin warga tsb ketika berhasil menundukkan wilayahnya. beliau (yakni Iyadh bin Ghanm) lantas ditegur keras oleh seorang sahabat lainnya, yakni Hisyam bin Hakiem, hingga Si Iyadh murka. Setelah beberapa hari, Hisyam kemudian mendatangi Iyadh dan minta maaf, seraya berkata: Tidakkah engkau pernah mendengar hadits Nabi yg mengatakan: “Orang yg paling keras siksanya, ialah yang paling keras dalam menyiksa manusia ketika di dunia”. Iyadh pun menyanggah, Ya Hisyam, aku telah mendengarnya sebagaimana yang kau dengar, namun tidakkah engkau mendengar hadits Nabi yg mengatakan:
(( من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية، ولكن ليأخذ بيده، فيخلو به، فإن قبل منه فذاك، وإلا كان قد أدي الذي عليه له )) وإنك يا هشام لأنت الجريء إذ تجترئ على سلطان الله فهلا خشيت أن يقتلك السلطان فتكون قتيل سلطان الله – تبارك وتعالي – ))
“siapa yg ingin menasehati seorang penguasa, maka janganlah menampakkan nasehat (teguran) tsb terang-terangan, namun gandenglah dia dan nasehatilah dia empat mata. Kalau dia menerimanya maka syukurlah, namun kalau tidak berarti dia (si penasehat) telah menunaikan kewajibannya”. Hai Hisyam, kamu sungguh berani karena menantang orang yang dijadikan penguasa oleh Allah. Tidakkah kamu takut jika penguasa tersebut membunuhmu sehingga engkau menjadi korbannya penguasa? (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, Ahmad, dll yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dlm Dhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah).
Hadits ini merupakan kaidah dasar yg dianut Ahlussunnah (tapi HT kelihatannya banyak menyelisihi ahlussunnah) dalam menasehati penguasa, yakni tidak secara terang-terangan, karena akan menimbulkan mafsadat. Jadi, cara menasehati yg syar’i ialah dengan menemui penguasa zhalim tsb lalu menasehatinya empat mata, sebagaimana yg dilaksanakan oleh Nabiyullah Musa dan Harun yg diperintahkan oleh Allah untuk mendatangi dan mengingatkan Fir’aun secara langsung dan mengatakan perkataan yg lemah lembut. Atau dengn menyurati penguasa tsb dengan bahasa yg baik, bukan dengan caci-maki. Dia boleh saja menasehati seorang penguasa di depan orang lain, namun ketika penguasa tsb hadir di tempat, bukan dengan menggunjing penguasa tsb di mimbar-mimbar sehingga mengompori rakyat untuk berontak kpd pemimpinnya sehingga menimbulkan fitnah besar, spt yg akhir-akhir ini terjadi di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Libya. Wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum warrohmatulloh ustadz Sufyan,
Menyambung pertanyaan akhi Arham mengenai asma wa shifat, didalam Alqur’an ada ayat : وَاللّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ (Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya), QS Al Anfal ayat 30.
Bagaimana mentakwilkan ayat2 yg bersifat spt ini ustadz? Kita tidak mungkin menerima secara zhahiriyah ayat2 spt ini karena dapat berasumsi Allah Maha tipu daya -Subhanallah-. Ana pernah dijelaskan bahwa pada dasarnya lafadz Qur’an dan hadits itu dimaknai secara zhahir kecuali jika dimungkinkan untuk ditakwil, mohon penjelasan pak ustadz mengenai kaidah ini dan kapan kita dibolehkan untuk mentakwil ayat dan hadits?
Ustadz punya rujukan buku mengenai hal ini ga? Dan klo bisa yg sudah ada terjemahnya, hehehe afwan ana blm bisa bahasa arab soalnya. Syukron ustadz.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Ayat itu tidak perlu ditakwilkan, cukup difahami, disebutkan, dan diimani sesuai dengan konteks lengkapnya. Artinya, kita tidak bisa menyifati Allah dengan kata-kata: “Sebaik-baik pembuat Makar” begitu saja, sebab konteks lafazh ini disebutkan ketika dihadapkan kepada makar orang-orang kafir, bukan secara independen. Artinya, Allah hanya bersifat demikian ketika menghadapi makar-makar musuh-Nya, sehingga kita hanya boleh menyifati Allah demikian dalam kondisi seperti itu. Ini alasan yang pertama. Alasan yg kedua, syarat bolehnya suatu sifat atau nama untuk disandarkan kepada ALlah, ialah bahwa sifat/nama tersebut haruslah ‘husna’, artinya memiliki makna terbaik dan tidak mengandung makna negatif. Nah, tidak semua nama atau sifat memenuhi syarat ini dalam setiap kondisi. Ada sifat-sifat yg mengandung makna baik bila ditetapkan pada kondisi tertentu (seperti sifat istihza’ [Al Baqarah: 14-15] dan sifat makar [Al Anfal: 30]), kedua sifat ini hanya mengandung makna yg baik jika ditetapkan sesuai dengan konteks ayatnya, bukan secara mutlak. Bagaimana Maksudnya? Coba kita simak terjemahan ayat-ayat tsb:
1. Konteks ayat ttg sifat istihza':
“Jika mereka (kaum munafikin) bertemu dengan orang-orang beriman, mereka berkata: “kami telah beriman”, namun ketika mereka menghadap setan-setan mereka (tokoh2 munafikin dan kafir) secara rahasia, mereka mengatakan: “Kami masih bersama kalian, karena kami hanya mempermainkan (memperolok) mereka (orang-orang yg beriman)”. Allah-lah yang sebenarnya mempermainkan (memperolok) mereka, dan membiarkan mereka tetap buta dalam kesesatannya.
2. Konteks ayat ttg sifat makar:
“Ingatlah ketika orang-orang kafir (makkah) berbuat makar terhadapmu, untuk memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memang berbuat makar, dan Allah pun juga berbuat makar; dan Allah-lah sebaik-baik pembuat makar (tipu daya)”.
Jika kita perhatikan, maka sifat istihza’ dan makar dalam kedua konteks di atas semuanya sebagai wujud perlawanan dengan cara yg serupa, dan ini menunjukkan hakikat kekuatan dan kemampuan Allah untuk mengalahkan musuhnya dengan cara serupa. Dalam konteks ini, sifat istihza’ dan makar menjadi sifat yg terpuji, karena mengandung makna: lebih jago, lebih ahli, lebih kuat, dan semisalnya. Karenanya, kita hanya boleh menetapkan sifat-sifat tadi sesuai konteksnya. namun jika sifat istihza’ dan makar tadi ditujukan kepada pihak yg tidak melakukan istihza’ dan makar, tentunya tidak menjadi sifat yg baik, bahkan menjadi sifat tercela. Oleh karenanya, kita tidak boleh menetapkan kedua sifat tadi secara mutlak, atau bahkan menarik sebuah nama darinya, seperti: Al Mustahzi’ dan Al Maakir. Ini tidak boleh dalam kaidah penetapan nama Allah, sebab masalah Nama (asma’) cakupannya lebih sempit dari pada sifat. Tidak semua sifat boleh dijadikan nama, meskipun semua nama Allah mengandung sifat. Dan kaidah dalam menetapkan nama Allah ialah bahwa nama tersebut harus mengandung arti yg paling baik, dan tidak boleh mengandung makna jelek sedikitpun.
Karenanya, banyak sifat yang tidak bisa dibuatkan namanya. contoh: Sifat nuzul (turun ke langit dunia), ghadhab (marah), tertawa, sifat ityan, maji’, dll. Kita tidak bisa lantas menamakan Allah sbg: An Naazil (Maha Turun), Al Ghaadhib (Pemarah), Adh Dhaahik (Yang Tertawa), Al Aati dan Al Jaai’ (Yang Datang). Mengapa? karena nama-nama tsb tidak bisa dikatakan sebagai nama yg paling baik, mengingat maknanya sendiri terkesan tidak baik. Jadi, semua sifat tadi hanya bisa ditetapkan sebagai sifat namun tidak bisa dijadikan Asma’ul Husna yg kita sebut-sebut dalam doa. Ini penjelasan singkatnya, untuk lebih luas antum bisa cari buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang asma’ was sifat, seperti Aqidah wasithiyah misalnya. Ana rasa sdh diterjemahkan, namun mengingat masalah asma’ was sifat memerlukan kejelian ekstra dalam memahami (apalagi menerjemahkannya), saya belum bisa merekomendasikan terjemahan ttt untuk saat ini.
Perlu juga difahami bahwa yg dimaksud zhahir ayat maupun hadits ialah makna pertama yg tertangkap oleh pemahaman orang yg membaca/mendengarnya. Contoh: Jika ada orang mengatakan: “Aku melihat singa yang bicara di atas podium”, maka makna pertama yg tertangkap oleh pemahaman orang yg mendengarnya ialah bahwa yg dilihat bukanlah singa si raja hutan, namun seorang lelaki pemberani. nah, yg seperti ini tidak dinamakan menakwilkan, namun memahami sesuai dhahir. Demikian pula ketika Allah mengatakan: (واصنع الفلك بأعيننا ووحينا ولا تخاطبني في الذين ظلموا إنهم مغرقون) “Buatlah bahtera (wahai Nuh) dengan pengawasan dan perintah, serta pertolongan dari Kami. dan janganlah kamu meminta penangguhan kepadaku atas orang-orang yg zhalim itu, karena mereka akan ditenggelamkan” (Hud: 37). Ketika kita menafsirkan kata “Bi-a’yunina” dengan: “dengan pengawasan kami”, ini merupakan penafsiran secara zhahir, bukan ta’wil. sebab yg pertama kali difahami oleh orang Arab ketika mendengar ungkapan tsb ialah bahwa kata-kata a’yunina di sini artinya pengawasan bukan mata. Karena pembuatan kapal membutuhkan mata dalam arti pengawasan, bukan mata dalam arti salah satu dzat Allah. Mudah-mudahan antum faham maksud ana… kalau belum faham coba baca buku lebih banyak ttg hal ini dan tanyakan secara lisan kepada ustadz-ustadz yg bisa antum temui.
Ustadz, jadi apa yang ada didalam kitab Aqidatus Salaf ashhabul Hadits, Imam Ash-Shabuni SHAHIH kah?
sengaja saya menanyakan mengenai sanad dari ucapan Ulama Salaf dalam Kitab tersebut supaya saya tidak ikut-ikutan meniru Abusalafy cs yang menukil dari kitab Al-Farqu Baynal Firaq, Syaikh Abu Manshur Al-Baghdadi…khususnya dalam penjelasan “ALLAH MAUJUD BILA MAKAN (Allah ada Tanpa Tempat)” yang ternyata setelah dijelaskan oleh Ust. Firanda, banyak nukilan yang dibawakan oleh Syaikh Abu Manshur Al-Baghdadi TANPA SANAD.
Dan sampai sekarang mereka (Abusalafy cs) masih “BERSUSAH PAYAH” memberikan bantahan dengan cara mengalihkan isu bahasan.
Jazakallah atas perhatiannya
Maksud ana ialah bahwa dalam menyikapi perkataan para ulama salaf, kita tidak bisa menerapkan kaidah tashih wat tadh’ief yang dipakai muhadditsin untuk memverifikasi hadits Nabi. Tapi bukan berarti kita bisa menerima semua perkataan ulama yg tanpa sanad. Tentunya kalau yg mengatakan Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan ulama-ulama mutaakhkhirin, kita tidak bisa mengatakan: “Mana sanadnya?”, tapi cukup kita ditunjukkan letak perkataan tsb dalam kitab-kitab yg memang ditulis oleh ulama-ulama tsb. Namun jika ada orang mengatakan: Hasan Al Basri mengatakan bahwa perayaan maulid itu dianjurkan, maka kita harus menjawab: “Mana riwayat yg mengatakan seperti itu, mana sanadnya?” barulah kita verifikasi… Mengapa? sebab klaim tsb bertentangan dengan apa yg kita kenal pada diri Hasan Al Basri sebagai salah satu ulama salaf, yg tidak mungkin menganjurkan bid’ah. Demikian pula jika ada orang yg mengklaim bahwa salah satu ulama salaf mengatakan: Allah maujud bilaa makaan, tentu kita tidak bisa menerimanya begitu saja tanpa sanad, dan bila sanadnya pun benar-benar ada, kita tetap harus meneliti shahih atau tidak, sebab ini bertentangan dengan apa yg kita kenal dari akidah salaf dan bunyi ucapan tsb lebih mirip dengan perkataan mutakallimin daripada perkataan para salaf. namun jika kita mendapati perkataan para salaf dengan sanadnya dalam kitab-kitab yg disusun oleh ulama ahlussunnah dalam rangka menjelaskan akidah ahlussunnah, spt kitabnya Ash Shabuni tsb, lalu kitab As Sunnah, baik yg disusun oleh Al Khollal, Ibnu Abi ‘Asim, Al Barbahari, Abdullah bin Ahmad, dll; atau kitab Syarh Usulul I’tiqad karya Al Lalaka’i, maka semuanya otomatis pake sanad dan kita tidak perlu mengkritisi semua riwayat yg ada sebagaimana kalau kita mengkritisi hadits Nabi atau perkataan sahabat, dan alasannya telah ana jelaskan sebelum ini. Ini bukan berarti taklid, karena toh riwayat mereka ada sanadnya… dan menyikapi perkataan ulama sebagai hadits Nabi juga bukan sesuatu yg dibenarkan, karena akan banyak sekali perkataan terkenal dari sejumlah ulama yg menjadi dha’if kalau kita sikapi sebagaimana kita menyikapi hadits atau atsar. Bahkan para ulama cenderung tasahul ketika menyikapi hadits-hadits Nabi dalam bab fadha-ilul a’mal, sirah, maghazi, dan tafsir… namun mereka bersikap ‘strength’ ketika membahas hadits-hadits tentang akidah dan masalah halal-haram. Kalaulah kita hendak menyikapi semua bab dengan sikap yg sama, maka hal ini bertentangan dengan sikap jumhur muhadditsin itu sendiri, dan tentunya mereka lebih faham dan lebih bertakwa kepada Allah dlm hal ini. Wallahu a’lam. Faham maksud ana?
Ustadz, maaf ada yang tertinggal:
Wahhab bin Munabbih berkata kepada Ja’ad bin
Dirham:”Sungguh celaka engkai wahai Ja’ad karena
masalah itu (karena Ja’ad mengingkari sifat-sifat Allah)!,
seandainya Allah tidak mengkhabarkan dalam Kitab-Nya
bahwa Ia memiliki tangan, mata dan wajah, niscaya aku
tidak berani mengatakannya, takutlah kepada Allah!”
Bagaimana SANAD atsar ini apakah SHAHIH atau TIDAK (sumber Kitab Aqidatus Salaf ashhabul Hadits, Imam Ash-Shabuni)
Jazakallah atas penjelasannya
Ustadz, mohon penjelasannya mengenai ucapan Ulama dibawah ini apakah ia SHAHIH atau TIDAK, yang bersumber dari Kitab Aqidatus Salaf ashhabul Hadits, Imam Ash-Shabuni
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1031
Ucapan Para Ulama Tentang Sifat Nuzul, Ityan dan Maji’
Diriwayatkan oleh imam Ash-Shabuni dengan sanadnya sampai kepada Ishaq ibnu Rahuyah. Dia berkata: “Bertanya kepadaku gubernur Abdullah bin Thahir: ‘Wahai Aba Ya’qub (yakni Ibnu Rahuyah pent.) hadits yang kau riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “turun Rabb kita setiap malam ke langit dunia..” bagaimana turun-Nya?’ Saya (yakni Ibnu Rahuyah pent.) jawab: “Semoga Allah memuliakan gubernur. Tidak bisa dikatakan tentang Allah dengan kaifa (bagaimana)”. Allah turun tanpa diterangkan kaifiyahnya’. (Aqidatus Salaf ashhabul Hadits, Imam Ash-Shabuni, Tahqiq Nashir bin Abdur Rahman bin Muhammad al-Juda’. hal. 194)
Dalam riwayat lain, Ibnu Rahuyah pada suatu hari hadir di majlis Gubernur Abdullah bin thahir. Beliau ditanya tentang hadits Nuzul , apakah hadits itu shahih? Beliau menjawab: “Ya”. Maka berkatalah sebagian para ajudannya: “Wahai Aba Ya’qub, apakah engkau menganggap bahwa Allah turun setiap malam? Beliau menjawab: “Ya”. Dia bertanya lagi: “Bagaimana turunnya?” Berkata Ishaq ibnu Rahuyah: “Yakinilah dahulu bahwa Allah tinggi di atas, maka aku akan terangkan turunnya”. Maka mereka pun menjawab: “Kami menetapkan dan meyakini bahwa Allah di atas “. Maka berakta Ibnu Rahuyah: “Bukankah Allah berfirman:
وَجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. ]الفجر: 22[
dan datanglah Rabb-mu; dan malaikat berbaris-baris. (al-Fajr: 22)
Amir bin Abdullah berkata: “Wahai Aba Ya’qub, bukankah datangnya Allah tersebut nanti pada hari kiamat? “Maka Ishaq Ibnu Rahuyah mengatakan: “Semoga Allah memuliakan Amir. Siapa yang berkuasa untuk datang pada hari kiamat, maka siapakah yang dapat menghalangi-Nya untuk datang ke langit dunia setiap malam?” (Aqidatus Salaf ashhabul Hadits, Imam Ash-Shabuni, Tahqiq Nashir bin Abdur Rahman bin Muhammad al-Juda’. hal. 197-198)
Juga diriwayatkan oleh imam Ash-Shabuni bahwa Abdulah bin Salam pernah bertanya kepada Abdullah bin Mubarak: Apakah benar Allah turun pada malam nisfhu Sya’ban?. Abdullah bin Mubarak menjawab: “Wahai orang yang dlaif (lemah), Allah turun pada setiap malam!” Seseorang yang hadir ketika itu bertanya: “Wahai Abu Abdurrahman (Ibnul Mubarak), bagaimana turunnya, bukankan nanti ’Arsy-Nya kosong?” Abdullah bin Mubarak menjawab: “Allah turun sebagaimana dikehendaki-Nya!!” Dalam riwayat lain Abdullah bin Mubarak marah dan berkata: “Jika datang kepadamu hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam , maka tunduklah!”. (Aqidatus Salaf ash habul Hadits, Imam Ash-Shabuni, Tahqiq Nashir bin Abdur Rahman bin Muhammad al-Juda’, hal. 196)
Imam Ash-Shabuni berkata: “Ketika telah shahih riwayat tentang turunnya Allah ke langit dunia dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, maka ahlus sunnah menerima berita tersebut dan menetapkan sifat Nuzul sesuai dengan apa yang telah dikakatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Mereka tidak menyerupakan turunnya Allah dengan turunnya mahluk. Mereka juga tidak pernah membahas dan mencari-cari bagaimana turunnya, karena tidak mungkin ada jalan untuk mengetahuinya. Mereka mengetahui dengan yakin bahwa sifat-sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat mahluk-Nya sebagaimana Dzat Allah tidak sama dengan dzat mahluk-Nya. Maha suci Allah dan Maha tinggi dari apa yang diucapkan oleh kaum musyabbihah (yang menyerupakan) dan mu’athilah (para penolak sifat). Maha Tinggi setinggi-tingginya, dan semoga Allah melaknat mereka dengan sebesar-besarnya”. (idem, hal. 232)
Hammad Ibnu Abi Hanifah pernah membantah mereka (yakni para mu’athilah): “Bagaimana pendapat kalian tentang ayat Allah:
“وَجَآءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا”.
Bukankah Rabb kita datang pada hari kiamat sebagaimana dikatakan-Nya? Bukankah para malaikat juga datang berbaris-baris?” Mereka menjawab: “Adapun para malaikat mereka datang berbaris-baris. Adapun Rabb kita Tabaroka wata’ala kita tidak mengetahui apa maksud ayat tersebut dan kami tidak tahu bagaimana datangnya”. Hammad ibnu Abi Abi Hanifah berkata: “Kami tidak membebani kalian untuk menerangkan bagaimana datangnya, tapi kami meminta kalian untuk beriman dengan datangnya Allah! Bagaimana pendapat kalian kalau ada orang yang mengingkari para malaikat datang berbaris-baris? Bagaimana hukumnya menurut kalian?” Mereka menjawab: “Kafir dan mendustakan al-Qur’an.” Hammad berkata: “Kalau begitu demikian pula orang yang mengingkari bahwa Allah Subhanahu wata’ala datang pada hari kiamat. Maka dia adalah kafir dan mendustakan al-Qur’an”. (idem, hal. 234-235)
Fudlail ibnu Iyyadl berkata: “Jika ada seorang dari aliran Jahmiyyah berkata: “Aku tidak percaya kalau Rabb turun ke langit dunia”. Maka kamu katakan: “Aku beriman kepada Rabb yang Maha melakukan apa yang dikehendaki-Nya”.”
Dari hadits-hadits shahih dan ucapan para ulama di atas di samping faedah penetapan sifat Nuzul, kita mendapatkan faedah besar yaitu betapa berharganya waktu sepertiga malam terakhir ketika Allah turun ke langit dunia dan menawarkan ampunan, pemberian dan pengkabulan doa. Orang yang yakin dengan hadits ini, tentu akan memanfaatkan waktu tersebut untuk shalat malam dan berdoa. Adapun orang yang tidak percaya, ragu, menakwilkan dengan makna lain, maka semangat mereka untuk bangun di waktu tersebut sangat lemah, karena tidak ada dorongan aqidah dalam hatinya. Inilah yang menyebabkan kaum munafik terhalang dari keutamaan waktu tersebut.
Wallahu a’lam
Jazakallah atas penjelasannya
Dalam menyikapi atsar-atsar para salaf (selain perkataan sahabat), para muhadditsin tidak menerapkan kaidah-kaidah mereka ketika menghukumi hadits Nabi. Mereka lebih cenderung sekedar menisbatkan suatu perkataan kepada yg mengatakan dengan sanadnya, tanpa mengkritisi keabsahan perkataan tersebut. Kecuali bila redaksinya mengandung kejanggalan atau bertentangan dengan apa yang dikenal dari imam tersebut. Nah, barulah ketika itu kita perlu mengkritisi sanad dan matannya. Sedangkan apa yg antum nukil semuanya merupakan perkataan yang sahih sesuai akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dan sesuai dengan dalil-dalil dari Al Qur’an maupun Sunnah, karenanya, semua perkataan tadi -menurut kacamata ahli hadits- adalah sahih tanpa harus diteliti sanadnya.
Adapun perkataan sahabat dan hadits Nabi mereka sikapi dengan kritis, dalam artian tidak menerima sembarang perkataan sahabat atau hadits kecuali setelah memenuhi standar-standar yg ditetapkan oleh ahli hadits. Ini karena hadits Nabi merupakan dalil yg independen -bila shahih- sehingga harus diterima dan diyakini kebenarannya, sedangkan yg mengingkari setelah tahu bahwa hadits itu benar, maka ia bisa dianggap kafir. Adapun perkataan sahabat, menurut jumhur ulama adalah hujjah, sedangkan menurut qoul jadidnya madzhab syafi’i tidak dianggap hujjah. Karenanya, dalam rangka hati-hati, para ahli hadits juga bersikap selektif dan tidak asal menerima perkataan sahabat kalau tidak sesuai standar mereka. Adapun perkataan orang-orang selain sahabat, maka tidak menjadi dalil/hujjah yg independen alias bukan dalil, bahkan ia perlu dalil untuk dinilai sebagai perkataan yg benar atau salah, sehingga kita tidak perlu menerapkan kaidah ahli hadits di atas. wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum warahmatullah.
Apakah hukum menggunakan kata sayyid untuk Rasulullah dalam sholat dan dalam kehidupan sehari-hari diluar sholat?
Lalu apakah hukumnya menggunakan kata sayyid untuk orang lain selain Rasulullah misalnya sahabat Rasulullah?
Jazakallah Khoir.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Di luar shalat boleh-boleh saja, sebab dalam hadits shahih Nabi pernah bersabda: “Ana sayyidu waladi Aadam, walaa fakhr !”, Aku adalah sayyid-nya anak Adam, dan ini bukan demi berbangga !”. Adapun di dalam shalat maka tidak ada dalilnya sama sekali, sebagaimana dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar yg dinukil oleh Syaikh Al Albani dalam Sifat Shalat Nabi. Mengingat bahwa lafazh-lafazh dzikir dan doa, terutama yg dibaca dalam shalat sifatnya telah baku, maka kita tidak boleh menambah-nambah tanpa dalil yg shahih dan sharih (jelas).
Penggunaan kata sayyid untuk orang yang memang dimuliakan dalam Islam boleh-boleh saja, apalagi untuk sahabat beliau. Tapi jangan lupa mengikutinya dengan kata Radhiyallaahu ‘anhu, atau ‘anha (kalau perempuan), atau ‘anhuma (kalau sahabat tsb dan bapaknya sama-sama muslim). Ini yg lebih diutamakan dari pada sekedar menjulukinya dengan sayyid tanpa mengatakan ‘radhiyallaahu ‘anhu’.
Wallaahu ta’ala A’lam.
Assalamu’alaikum
Ada yang membuat syubhat maulud nabi itu ada contoh dari sahabat, sebagai berikut:
“fakta bahwa Sahabat Khulafa’urrosyidin dan Ulama tiga generasi menganjurkan dan memotivasi ummat Islam agar diselenggarakan majelis untuk membesarkan atau mengagungkan Maulid Nabi Saw.
1. Abu Bakar ash-Shiddiq
Telah berkata Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq: “Barangsiapa yang menafkahkan satu dirham bagi menggalakkan bacaan Maulid Nabi saw., maka ia akan menjadi temanku di dalam syurga.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
2. Umar bin Khottob al-Furqon
Telah berkata Sayyidina ‘Umar: “Siapa yang membesarkan (memuliakan) majlis maulid Nabi saw. maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
3. Utsman bin ‘Affan Dzun-Nuraini
Telah berkata Sayyidina Utsman: “Siapa yang menafkahkan satu dirham untuk majlis membaca maulid Nabi saw. maka seolah-olah ia menyaksikan peperangan Badar dan Hunain” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
4. Ali bin Abi Tholib Karomallahu wajhah
Telah berkata ‘Ali : “Siapa yang membesarkan majlis maulid Nabi saw. dan karenanya diadakan majlis membaca maulid, maka dia tidak akan keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan akan masuk ke dalam syurga tanpa hisab”. (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
5. Syekh Hasan al-Bashri
Telah berkata Hasan Al-Bashri: “Aku suka seandainya aku mempunyai emas setinggi gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk membaca maulid Nabi saw. (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
6. Syekh Junaid al-Baghdady
Telah berkata Junaid Al-Baghdadi semoga Allah mensucikan rahasianya: “Siapa yang menghadiri majlis maulid Nabi saw. dan membesarkan kedudukannya, maka sesungguhnya ia telah mencapai kekuatan iman”. (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
7. Syekh Ma’ruf al-Karkhy
Telah berkata Ma’ruf Al-Karkhi: “Siapa yang menyediakan makanan untuk majlis membaca maulid Nabi saw. mengumpulkan saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang bau yang wangi dan memakai wangi-wangian karena membesarkan kelahiran Nabi saw, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama kumpulan yang pertama di kalangan nabi-nabi dan dia berada di syurga yang teratas (Illiyyin)” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
8. Fakhruddin ar-Rozi
Telah berkata seorang yang unggul pada zamannya, Imam Fakhruddin Al-Razi: “Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi saw ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan zahir keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka makanan tersebut akan bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah mengampunkan orang yang memakannya”.
“Sekirannya dibacakan maulid Nabi saw. ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki, penyakit dan tidak mati hati tersebut pada hari dimatikan hati-hati”.
“Siapa yang membaca maulid Nabi saw. pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut keberkatan, pemiliknya tidak akan fakir dan tidak akan kosong tangannya dengan keberkatan Nabi saw.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
9. Imam as-Syafii
Telah berkata Imam Asy-Syafi’i: “Siapa yang menghimpunkan saudaranya (sesama Islam) untuk mengadakan majlis maulid Nabi saw., menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan, dan dia menjadi sebab dibaca maulid Nabi saw. itu, maka dia akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat bersama ahli siddiqin (orang-orang yang benar), syuhada’ dan solihin serta berada di dalam syurga-syurga Na’im.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
10. as-Sary as-Saqothy
Telah berkata As-Sariyy As-Saqothi: “Siapa yang pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya maulid Nabi saw. maka sesungguhnya ia telah pergi ke satu taman dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan lantaran kerana cintanya kepada Nabi saw. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesiapa yang mecintaiku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
11. Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami
“Siapa yang hendak membesarkan maulid Nabi saw. maka cukuplah disebutkan sekedar
ini saja akan kelebihannya. Bagi siapa yang tidak ada di hatinya hasrat untuk membesarkan maulid Nabi saw. sekiranya dipenuhi dunia ini dengan pujian ke atasnya, tetap juga hatinya tidak akan tergerak untuk mencintai Nabi saw. Semoga Allah menjadikan kami dan kalian di kalangan orang yang membesarkan dan memuliakannya dan mengetahui kadar kedudukan Baginda saw. serta menjadi orang yang teristimewa di kalangan orang-orang yang teristimewa di dalam mencintai dan mengikutinya. Aamiin, wahai Tuhan sekalian alam. Semoga Allah melimpahkan rahmat atas penghulu kami Nabi Muhammad saw. keluarganya dan sahabat-sahabatnya sekalian hingga Hari Kemudian.”
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
Ustadz Bisa cek di web berikut:
http://ummatiummati.wordpress.com/2011/01/22/fakta-bicara-khulafurrasyidin-dan-imam-syafii-menganjurkan-majelis-maulid-nabi-saw/
BAGAIMANA KITA MEMBANTAHNYA?
JAZAAKALLOOHU KHOIRON
Selain poin ke 8 dan ke 11, maka semuanya adalah BOHONG bin DUSTA. Semua nukilan tsb tanpa kecuali adalah riwayat palsu tanpa sanad ! Bagaimana kita bisa menerima klaim orang yg hidup di abad kesepuluh Hijriah (Ibnu Hajar Al Haitami hidup dari tahun 909-974 H), yakni antara dia dgn Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali terpaut hampir 900 tahun, sedangkan antara dia dengan Imam-imam lainnya (selain Fakhruddin Ar Rozi) terpaut 7 abad. Asyik banget ya, kalau cara berdalilnya kayak begini… kita ga usah capek2 cari riwayat yg lengkap dengan sanadnya untuk dijadikan dalil. Cukup asal nukil aja dari sembarang kitab, yg penting disitu disebutkan bahwa Abu Bakar, fulan, dan fulan memerintahkan perayaan maulid, meskipun itu semuanya dusta… ga’ masalah bagi kaum sufi, karena mereka memang hobi berdusta atas nama Nabi, apalagi yg selain Nabi… saran saya, mengapa mereka tidak menukil dari kitab-kitab hadits maudhu’ (palsu) sekalian?
Adapun Pendapat Fakhruddien Ar Rozi dan Ibnu Hajar Al Haitami sendiri sama sekali bukan dalil, bahkan itu pendapat yg batil. Dalil yg bisa diterima menurut kesepakatan para ulama hanya 3: Ayat Al Qur’an, Hadits Nabi (yg bisa diterima menurut kaidah ahli hadits), dan Ijma’ Ulama.
Bukti lain bahwa semua riwayat tsb (selain no 8 dan 11) adalah dusta, ialah bahwa sebagian dari mereka yg membolehkan perayaan maulid, seperti Syamsuddin As Sakhawi (wafat th 902 H) yg merupakan murid kesayangan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (yg ini beda dengan Al Haitami, Al Haitami itu sufi dan Asy’ari tulen, sedangkan yg ini adalah ahli hadits yg lebih dekat ke manhaj salaf); As Sakhawi mengatakan dalam kitabnya “Al Jawahir wad Durar” bahwa perayaan maulid tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin yg hidup di tiga generasi yg mulia (Al Quruunul Mufadhdhalah), maksudnya generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in sampai imam yg empat. Ini jelas menafikan adanya riwayat2 tsb.
Ustadz, terkait dengan Syarif/Habib,…ada ndak sih Syarif yang bermanhaj Salaf?…saya pernah dengar dari teman dia bilang ada (kalau ndak salah) namanya Alwi As-Saqqaf atau siapa gitu, makanya saya tanya ke Ustadz benar ndak info itu.
kemudian mengenai sistem pernikahan dikalangan Syarif/Habib, kok jadi agak-agak RASIS gitu yah?…jadi merasa keturunannya itu bibit unggul/super, hal ini terjadi pada kebanyakan seluruh Habib atau sebagian kecil saja,Ustadz?
Benar, namanya Syaikh Alawi bin Abdul Qadir As Saqqaf (Assegaf), tapi beliau warga negara Saudi, bukan WNI. Jadi dibesarkan dan dididik secara ahlussunnah. Kalau yg di Indonesia sangat jarang yg bisa lepas dari pengaruh leluhur/keluarga mereka. Mereka yg bersikap spt itu bisa dikatakan 99%, kecuali kalau antum dapet yg syarifah yg asalnya dari Malaysia, mungkin sudah luntur sikap Rasis-nya. Meskipun tasawuf mereka tetap masih kental. Itu karena di kalangan sufi mereka lebih diagungkan, jadi mereka merasa ‘nyaman’ dalam kesufiannya… kecuali yg dirahmati oleh Allah sehingga keluar dari kesufian tsb, dan yg tipe kedua ini sangat sedikit jumlahnya, bahkan sangat-sangat sedikit.
syukron ustadz…:)
semoga Allah selalu menjaga anda dan tidak bosan memberikan pencerahan kepada orang-orang seperti saya yang kurang ini
Maaf Ustadz…menambah pertanyaan…
mohon penjelasan ttg hadits dibawah ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا، قَالَ، قَالُوا: وَفِي نَجْدِنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ، قَالَ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَفِي يَمَنِنَا، قَالَ، قَالُوا: وَفِي نَجْدِنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ، قَالَ: هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ، وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ. رواه البخاري (979) والترمذي (3888) وأحمد (5715)
“Dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman bagi kami.” Mereka memohon: “Najd kami lagi wahai Rasulullah, doakan berkah.” Beliau menjawab: “Ya Allah berkahilah Syam dan Yaman bagi kami.” Mereka memohon: “Najd kami lagi wahai Rasulullah, doakan berkah.” Beliau menjawab: “Di Najd itu tempatnya segala kegoncangan dan berbagai macam fitnah. Dan di sana akan lahir tanduk (generasi pengikut) syetan.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (979), al-Tirmidzi (3888) dan Ahmad (5715).
terimakasih…
Hehe… nt memang pemerhati syubhat rupanya…
Ala kulli haal, banyak orang yg memahami hadits ini dengan pemahaman keliru. Mereka mengira bahwa ‘Nejed’ yang dimaksud para sahabat adalah ‘nejed’ yg dikenal sekarang sebagai salah satu wilayah Saudi, demikian pula dengan ‘Yaman’, dikira sebagai negara Yaman yg ada sekarang. Lha memangnya zaman dahulu sudah ada batas-batas geografi kaya’ begitu? Yg dimaksud ‘yaman’ adalah wilayah di selatan Mekkah secara umum, artinya lebih luas daripada negeri yaman yg ada sekarang. Makanya, sisi ka’bah yg menghadap ke selatan dinamakan Rukun Yamani, sedangkan yg menghadap ke utara dinamakan Rukun Syami. Adapun negeri Syam itu sendiri, maka sekarang mencakup empat negara, yaitu Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina.
Adapun Nejed dlm hadits di atas, maka maksudnya adalah ‘al masyriq’ (wilayah timur) yg sering disebut dengan ‘iraq’. karenanya, dlm Fathul Baari (13/46-47) Ibnu Hajar mentakhrij hadits ini dari berbagai jalur, yg beberapa di antaranya menunjukkan bahwa Nabi mengarahkan tangannya ke ‘al masyriq’ (wilayah timur), sbgmn dlm lafazh Muslim dan yang lainnya. Kemudian Ibnu Hajar menyebutkan riwayat berikut:
فتح الباري – ابن حجر (13/ 46):
ولمسلم من رواية عكرمة بن عمار عن سالم سمعت بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يشير بيده نحو المشرق ويقول ها ان الفتنة ها هنا ثلاثا حيث يطلع قرن الشيطان وله من طريق حنظلة عن سالم مثله لكن قال ان الفتنة ها هنا ثلاثا وله من طريق فضيل بن غزوان سمعت سالم بن عبد الله بن عمر يقول يا أهل العراق ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم الكبيرة سمعت أبي يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ان الفتنة تجيء من ها هنا وأومأ بيده نحو المشرق من حيث يطلع قرنا الشيطان
Muslim meriwayatkan dari jalur Ikrimah bin Ammar, dari Salim (bin Abdillah bin Umar), katanya: Aku mendengar Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda sambil menunjuk ke wilayah timur (al masyriq): Fitnah itu dari sini (3x), tempat munculnya tanduk setan. Muslim juga meriwayatkan dari jalur Hanzhalah, dari Salim dengan lafazh: “Sesungguhnya, fitnah itu dari sini (3x)”. Muslim juga meriwayatkan dari jalur Fudhail bin Ghazwan, katanya: Aku mendengar Salim bin Abdillah bin Umar mengatakan: “Wahai penduduk Irak, kalian demikian antusias menanyakan masalah yg sepele, namun sangat berani melakukan dosa besar”, aku mendengar dari ayahku (Abdullah bin Umar) yg mengatakan: Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya, fitnah akan datang dari sini, -sambil menunjuk ke arah timur-, tempat munculnya dua tanduk setan”.
Al Muhallab (salah seorang pensyarah shahih Bukhari) mengatakan: “Nabi mengatakan hal tsb bagi wilayah timur, agar penduduknya menahan diri dari kejahatan, karena memang kejahatan banyak muncul dari wilayah mereka akibat fitnah-fitnah yang dikuasai oleh setan”. ulama yg lain mengatakan: “Dahulu, warga masyriq adalah orang-orang kafir. Karenanya, Nabi mengabarkan bahwa fitnah akan muncul dari sana, dan ternyata memang benar. Fitnah yg pertama memang berasal dari mereka, sehingga menyebabkan perpecahan kaum muslimin, dan hal ini disukai oleh setan [ini ucapan ulama yg dinukil oleh Al Hafizh ibnu Hajar, yg wafat th 852 H, yakni sekitar 3 abad sebelum munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab !!!]. Demikian pula berbagai bid’ah, juga tumbuh dari arah sana. Al Khattabi mengatakan: “Nejed adalah bagian dari wilayah timur. Bagi warga Madinah, nejed mereka adalah ‘baadiyatul iraq’ (gurun Irak) dan sekitarnya, itulah wilayah timurnya warga Madinah. Nejed sendiri adalah istilah bagi dataran tinggi, lawan dari ‘ghaur’ yg merupakan istilah bagi dataran rendah. Seluruh wilayah “Tihamah” termasuk ‘ghaur’, dan Mekkah adalah bagian dari Tihamah [..]
Jadi, seluruh dataran tinggi dinamakan “Nejed” secara bahasa. Ini pengertian Nejed yg dimaksud oleh para salaf, yaitu wilayah Masyriq yg cakupannya lebih luas dari Nejed yg berada di Saudi saat ini, karena meliputi sebagian wilayah IRak.
Sejarah pun membuktikan bahwa berbagai fitnah justru keluar/muncul dari wilayah IRak, seperti fitnah dan bid’ahnya Khawarij di zaman Ali bin Abi Thalib, demikian pula Rafidhah, Mu’tazilah, Qadariyyah, dll. Semuanya muncul dari Irak, bukan dari Nejed yg sekarang berada di Saudi. Lagi pula, suatu daerah tidaklah dicela karena semata-mata lokasinya; tapi karena tingkah laku penduduknya. Contoh, Mekkah sebelum ditaklukkan oleh Rasulullah adalah Daarul Kufr/Daarul Harb karena penduduknya memerangi beliau dan syirik masih berkuasa di sana, meskipun Mekkah adalah bumi Allah yg paling dicintai-Nya. Demikian pula wilayah2 lainnya, tidaklah dipuji dan dicela kecuali karena kondisi warganya. Iran di masa para salaf merupakan gudangnya para ulama, namun hari ini adalah gudang kekufuran. Demikian pula Irak, Nejed, dan wilayah-wilayah lainnya. Bahkan Nejed saudi sebelum munculnya dakwah tauhid yg dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan sarang berbagai bid’ah, syirik, dan khurafat. Bahkan kondisi masyarakatnya lebih parah dari masyarakat jahiliyah di zaman Nabi. Sampai akhirnya bersih dari itu semua setelah tersebarnya dakwah tauhid. Jadi, yg dicela atau dipuji sebenarnya adalah kondisi warga suatu daerah, bukan tanah dan buminya semata. Meskipun ada sebagian wilayah yg lebih afdhal dari wilayah lain, seperti Al Haramain, Yaman, Syam, dll.
Mereka yg kehabisan dalil untuk menghadapi kebenaran dakwah tauhid, selalu menempuh cara-cara yg tidak ilmiah dan memelintir hadits-hadits sesuai hawa nafsu mereka. salah satunya adalah hadits ini… padahal realita dan sejarah bertentangan dengan penafsiran mereka 180 derajat.
Assalamu’alaikum warrohmatulloh ustadz -hafizhahulloh-
Ustadz, ada sedikit permasalahan yg mengganggu saya, ustadz bisa liat disini :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/02/bolehkah-mengalokasikan-zakat-ke.html
Lihat di bagian komen, ada komentator yg membawakan fatwa Syaikh Salim bin Ied al Hilaly dan Syaikh Ibrahim ar-Ruhaily bahwa Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid bermanhaj Surury, Quthuby dan keluar dari ahlussunnah. Apakah ini benar ya ustadz bahwa Syaikh Shalih al Munajjid bermanhaj Quthubiyah?
Jujur saja ya ustadz, masalah2 spt ini kerapkali menganggu kenyamanan saya dalam membaca artikel2 di blog rekan2 salafiyin karena ada saja yg iseng melontarkan kembali permasalahan tahdzir atau balik lg ke masalah Ihya’ut Turots, alsofwah dsb yg mana saya ini ga gitu ngerti permasalahan apa yg sbnrnya terjadi diantara mereka apalagi soal tahdzir mentahdzir ulama yg mana saya ini punya pikiran bahwa kita ini sbg tholabul ilmi dan bukan ulama seharusnya melepaskan diri dari hal2 semacam ini. Lagian apa gunanya berkecimpung didalam perselisihan terus menerus ya.
Saya mohon penjelasan ustadz. Terima kasih. Barokallohu fiik.
Ahlan bika ya akhil habiib… kalau antum merasa risih dengan tahdzir2 mereka yg sok paling nyalaf sendiri itu, maka ana pun demikian. Ana jadi teringat perkataan Ibnul Jauzi dlm Talbis Iblisnya, bahwa salah satu jebakan iblis thd para ahli hadits ialah dengan menyeret mereka ke dalam ghibah atas nama jarh wat ta’dil. Kalau hal ini saja bisa terjadi pada ulama, lantas bagaimana dgn thalabatul ‘ilm yg rata-rata muqallid kaya mereka itu? Tentu lebih parah lagi… karenanya, antum bisa pastikan bahwa mereka yg menyibukkan dirinya dengan tahdzir mentahdzir, biasanya spt kata pepatah: “Tong kosong berbunyi nyaring”… alias makin banyak omong, makin keliatan bhw dia tidak berilmu.
Ala kulli haal, ini termasuk ujian bagi kita tentang sejauh mana kecintaan kita dan keberpegangan kita terhadap manhaj salaf. Jika kita memang mencintai dan berpegang teguh dengannya atas dasar ilmu, maka hal-hal seperti ini tidak akan menjadikan kita antipati dengan manhaj salaf atau dengan salafiyyin. toh itu cuma oknum salafiyyin… dan ana rasa, tanggapan ustadz Abul Jauza thd komen-komennya si fulan ‘yg majhul’ itu cukup ilmiah, dan ternyata memang si fulan hanya membebek orang lain dan menyimpulkan berdasarkan ‘hawa nafsunya’… na’udzubillah minal hawa.
ustadz..ada yang yang bertanya diblog ana..ana sudah menyarankan untuk bertanya kepada ustadz scara langsung..tapi saya pikir sy langsung aja ke ustadz..mudah2an saya juga bisa mengambil faidah dari jawaban ustadz..
Asslamualaikum wr wb………..
Seblumnya ane ucapin terima kasih ustad smoga bermanfaat buat ane & muslimin laenya yg membaca. keluarga ane pernah membangun rumah dr hasil pinjem bank n sampai skrg setiap bulannya masih membayar begitu jg dengan ane, skrg ini ane lg ambil kredit mobil n insyaallah 1 thun lg selesae lalu bagaimana solusinya supaya ane n keluarga ane bisa terhindar dari pemberi riba setiap bulannya, terus terang aja ustad semua itu mencekik kami baru ane sadar ternyata semua jerih payah kami hanya kami keluarkan untuk hal hal yg tidak berkah. sukron ustad.
Jazakallah khoir…………
Dilema memang… sementara ana belum bisa memberikan solusi atas yg telah terjadi, tapi yg jelas jangan diulangi lagi, sebab Rasulullah bersabda dlm hadits riwayat Muslim yg artinya bahwa beliau melaknat pemakan riba (rentenir/bank/dsb), pemberi riba (peminjam), penulisnya, dan kedua saksinya (para pegawai bank dan semisalnya); dan beliau mengatakan: MEREKA SEMUANYA SAMA !!.
Coba antum tanya ustadz DR. Muhammad Arifin Badri di situs pengusaha muslim, atau di: http://www.muslim.or.id
Assalamu’alaikum ustadz,
Ingin bertanya tentang tentang Ahmadiyyah,
Di balik masyarakat yang membela Ahmadiyah secara ngawur-ngawuran itu banyak pula yang tampak bersemangat untuk membubarkan Ahmadiyah, mendesak pemerintah untuk melarang dan membubarkan Ahmadiyah.
Kemudian ada yang tampaknya mendukung pembubaran Ahmadiyah, bahkan tampak memberi solusi. Yaitu suara yang beredar di masyarakat, tampaknya sebagai saran dan jalan keluar.
contohnya ada yang mengatakan:
“Silahkan Ahmadiyah membuat agama baru tersendiri, tidak usah membawa-bawa Islam, maka kami akan hidup berdampingan dengan damai di negeri ini. Tidak ada masalah.”
Saran itupun masih pula dengan memberikan nama-nama, misalnya: “Dirikan saja agama baru dengan nama agama anu atau agama anu.”
hal seperti ini (menyarankan membuat agama baru) bagaimana menurut ustadz, Apakah lebih besar maslahatnya atau malah menimbulkan madharat yang lebih besar?
mohon penjelasannya dan terimakasih
Innad diena ‘indallaahil Islaam. Menurut ana, Ahmadiyyah harus dibubarkan (secara organisatoris, adapun secara pemikiran maka tidak mungkin) dan dinyatakan sebagai aliran sesat & terlarang di Indonesia. Tidak ada pilihan lain. Kita tidak boleh merestui berdirinya agama baru apa pun, karena itu berarti merestui kebatilan. Ahmadiyah beda dengan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), kalau ahli kitab kita masih bisa mentoleransi keberadaan mereka dengan syarat-syarat tertentu (spt membayar jizyah umpamanya, tentunya ketika kaum muslimin kuat dan mereka lemah). Adapun Ahmadiyyah, maka mereka seperti kaum musyrikin yg tidak punya pilihan lain selain masuk Islam atau pedang (kalau umat islam yg berkuasa dan sanggup memerangi mereka, namun di Negara yg berfaham Demokrasi kaya Indonesia, nampaknya yg mungkin dilakukan sebatas membubarkan atau melarang saja). wallaahu a’lam.
Tapi sayang… orang-orang ribut membicarakan Ahmadiyyah, dan melupakan Syi’ah Itsna Asyariyah (Rafidhah), padahal mereka lebih berbahaya dan lebih mengkhawatirkan perkembangannya !!
Assalamu’alaikum ustadz, mau menanyakan pertanyaan dari teman..
“mau tanya hukum memakai ‘celak’ itu apa untuk muslimah, ada salah paham juga soalnya. ada yang bilang sunnah hanya bagi laki-laki, tapi ada yang bilang juga sunnah buat laki-laki maupun perempuan?”
tolong jawabkan ust.
wa’alaikumussalaam warahmatullah.
Pada dasarnya, memakai celak memang disunnahkan karena bermanfaat untuk mata. Hanya saja, celak dianggap sebagai perhiasan bagi wanita, yang secara syar’i tidak boleh diperlihatkan kepada selain mahramnya (lihat An Nuur: 31). Karenanya, bila ia seorang wanita yang tidak menutup wajahnya, maka ia hanya boleh pakai celak di rumah atau ketika tidak ada laki-laki ajnabi (bukan mahram) yg melihatnya. Namun bila ia menggunakan burka yg menutup wajahnya secara total, maka tidak mengapa menggunakan celak ketika keluar rumah.
syukron Ustadz atas jawabannya, semoga Allah selalu menjagamu.
Assalamualaikum
Ustadz, ana mau tanya, bagaimana pandangan ustadz tentang Kafa’ah Syarifah? benarkah ada larangan (dengan dalil yg shahih) seorang ahwal menikahi seorang syarifah?
terima kasih ustadz atas tanggapannya.
Wassalamualaikum
Wa’alaikumussalaam warahmatullah.
Jumhur ulama memperhitungkan masalah kafa’ah hingga ke nasab segala, tapi mereka tidak memiliki dalil yg shahih dan sharih dalam masalah ini, yang ada hanya dalil-dalil keutamaan Bani Hasyim di atas orang Arab secara umum, lalu keutamaan Quraisy di atas non quraisy dari bangsa Arab, dan keutamaan bangsa Arab (secara umum) di atas bangsa Ajam. Hadits ini memang shahih, tapi tidak menyinggung masalah pernikahan, dan praktik yg terjadi sebagiannya bertentangan dengan kaidah yg disebutkan oleh para ulama bahwa yg kufu dengan syarifah hanyalah syarif (sama-sama anak cucu Ali bin Abi Thalib dari jalur Hasan atau Husein). Mereka juga mengatakan bahwa Yg cocok untuk Bani Hasyim dan Bani Mutthalib adalah kalangan mereka sendiri. Ini semua bertentangan dengan pernikahan Ruqayyah dan Ummu Kultsum puteri Rasulullah (Bani Hasyim) dengan Utsman bin Affan (Bani Umayyah). Bertentangan pula dengan pernikahan Dhuba’ah bintiz Zubeir bin Abdil Muththalib (sepupu Rasulullah) yg dinikahi oleh Al Miqdad ibnul Aswad Al Kindi (non Quraisy), dan haditsnya ada dlm shahih Bukhari. Demikian pula pernikahan Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib dengan Umar bin Khattab (Bani Adiy).
Jadi, sejauh yg ana ketahui, syarat kafa’ah yg mu’tabar hanyalah kafa’ah fid Dien. Artinya bila istrinya seorang muslimah shalihah, maka suaminya harus muslim shalih, ga boleh fasik. Adapun nasab maka tidak ada seorang ‘alim pun -setahu ana- yg mengharamkan wanita syarifah untuk dinikahi pria ‘ajam, selama si wanita ridha. Sebab Rasulullah bersabda yg artinya: “Man Batto-a bihi amaluhu, lam yusri’ bihi nasabuh” (orang yg diperlambat oleh amalnya, tidak bisa dipercepat oleh nasabnya), artinya kemuliaan seseorang tergantung kepada amal dan ketakwaannya, bukan kpd nasabnya semata. Lagi pula, mereka yg menganggap kafa’ah dlm hal nasab, alasannya karena pihak wanita adalah ‘yg ditiduri’, dan ini merupakan bentuk dzull (semacam kehinaan), kecuali bila yg meniduri setaraf dengannya. Nah, bila yg meniduri kelasnya di bawah yg ditiduri, maka rasa direndahkan tsb menjadi lebih besar bagi pihak wanita. Tapi, alasan ini menjadi tidak ada bila pihak wanita telah ridha dengan calon suaminya krn satu dan lain sebab. Misalnya: si Syarifah dibesarkan di daerah yg tidak terlalu memandang kpd nasab (contohnya di Malaysia, hal itu biasa sekali terjadi). Atau karena hal lain…. intinya, para ulama mengatakan hal tsb dengan tujuan spy pernikahan mereka berdua berjalan mulus dan terjadi kecocokan diantara suami istri. itu saja.
terima kasih ustadz atas penjelasan yang komprehensif. tapi terus terang, ana masih dilema karena ini menyangkut penyatuan 2 keluarga yang mungkin berbeda adat/budayanya.
terkait dengan si Syarifahnya ridho atau tidak, insyaAllah dia tidak mempermasalahkan nasab, namun kami belum tau pandangan orang tuanya terhadap putrinya yang akan dinikahi oleh seorang ahwal. lalu apakah sah pernikahan kami jika nanti tanpa restu dari orang tuanya?
sekali lagi terima kasih ustadz telah bersedia menjawab kegalauan hati saya.
jazaakallaahu khairan.
Biasanya ortu atau keluarga ortunya yang tidak ridho. Saudara ipar ana (Alamudi) pernah menikah dengan perempuan Alaydrus, tapi akhirnya dicerai karena keluarga orangtuanya yg ga bisa menerima, dan waktu menikah tidak ada keluarga perempuan yg hadir !!. Padahal sama-sama keturunan Arab, hanya saja Alamudi bukan syarif, dan alaydrus-nya syarifah. Kalau orang tua tidak merestui, lantas siapa yg menjadi walinya? Karena syarat sahnya pernikahan ialah dengan izin wali. Ahsan antum cari yang lain saja lah… cari yg ahwal dan taat beragama. Kalau mereka (ba’alawi/habaib) biasanya berlatar belakang sufi yg sarat dengan bid’ah khurafat, salah satu bid’ah yg mereka warisi secara turun temurun adalah merasa diri mereka superior di atas yg lainnya. Ana lebih kenal ttg mereka daripada antum, karena kita sama-sama orang keturunan Arab… 99% dari mereka adalah penganut tarekat, dan ini diakui oleh mereka sendiri (bahkan mereka menulis buku ttg itu, judulnya: “Jalan Nan Lurus, Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi”). Ana tinggal sekampung dengan mereka, jadi ana tahu persis bagaimana latar belakang dan akhlak mereka. Ada dari keluarga ana yg menikah dengan mereka (laki-lakinya bukan syarif, tapi perempuannya syarifah), dan akhirnya setelah si bapak meninggal, anak-anaknya ditarik ke keluarga ibunya menjadi sufi semua… ini musibah khan? Apalagi kalau ahwal dgn ba’alawi, minimal tidak akan klop, atau anak-anak antum tidak akan dekat dengan keluarga ibunya, karena dipandang ‘bukan keturunan mereka’… kan kasihan. Tapi lebih kasihan lagi kalau akhirnya anak-anak antum yg diseret ke ajaran mereka. ahsan cari yg lain saja… ahwal yg zen lebih banyak daripada syarifah.
Assalamu’alaikum Warahmatullah.
Ustadz mau tanya mengenai hadist ini :
Rasulullah bersabda ,”Pandangan mata (berlebihan) adalah sebagian dari panah iblis la’natullahi. Barang siapa yang meninggalkan pandangan seperti itu karena takut kepada Allah, maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan keimanan kepadanya dan menambahkan manisnya iman kepada hatinya.” Al Hadits Riwayat Imam Al Hakim.
Pertanyaannya apakah/bagaimanakah yang dimaksud dengan pandangan mata tersebut? apakah yang menimbulkan syahwat?
lalu bagaimana jika ada seorang wanita/laki-laki memandangi seseorang (baca : yang ia sukai) tapi tidak menimbulkan syahwat?
Biasakan kalau menanyakan syarah hadits, sertakan pula bunyi haditsnya dalam bahasa Arab. Terjemahan yg antum nukilkan bisa saja keliru, ana tidak bisa menafsirkan suatu hadits dari terjemahannya, harus tahu dulu teks arabnya.
Kalau seseorang memandang orang lain dengan rasa menikmati, berarti sudah timbul syahwatnya. Syahwat itu bila diterjemahkan dlm bahasa indonesia, artinya ‘suka’. Orang Arab menggunakan ungkapan: “Ana asytahi hadza” yg artinya: “Aku menyukai ini”. kata “asytahi” merupakan kata kerja dari ‘syahwat’. Jadi, semua pandangan yg memberikan perasaan nikmat, adalah pandangan yg berisi syahwat. nah, bila hal itu ditujukan kepada yg haram, maka haramlah dia. Namun bila ditujukan kepada yg halal, maka halal. Dan bila sesuatu yg tadinya halal dikhawatirkan bisa menjerumuskan kepada yg haram, maka memandangnya terlalu lama haram pula hukumnya. Karenanya, para ulama mengharamkan seorang lelaki dewasa untuk menatap bocah-bocah tampan yg belum berjenggot dalam tempo yg lama, karena pandangan tsb -meskipun awalnya mubah- lama-kelamaan bisa menimbulkan syahwat. Apalagi bila yg dipandang adalah lawan jenis.
syukron ustadz. Dan untuk yang menukili hadist tersebut bukan saya, saya hanya mendapatkan dari teman. sekali lagi syukron atas ilmunya, jazakallah.
faham ustadz…alhamdulillah
assalaamu’alaikum,
ada syubhat tentang tabarruk di sini:
****************************
bagaimana menjawab syubhat ini ustadz?
jazaakallaahu khairan..
Maaf, kalau harus melayani syubhat2 yg ada di internet, umur ana akan habis. Solusinya, jangan baca artikel yg mengandung syubhat. Belajarlah dasar-dasar akidah dengan baik, jangan mulai dengan belajar membantah syubhat. Syubhat tidak akan ada habisnya… tapi syubhat tidak akan mempan bagi orang yg telah menguasai dasar2 akidah dengan baik. Karenanya, belajarlah yg baik saja… dan hindari syubhat.
Assalamu’alaikumwarohmatullohiwabarokatuh
ustadz, mohon penjelasannya:
pertama:
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ ” :
“Kalau sekiranya HAL ITU BAIK , tentulah mereka PARA SAHBAT mendahului kami kepadanya MELAKUKANNYA ..
kalimat ini darimana ya ustadz(Al-Qur’an atau Hadits),apakah ini merupakan dalil dari kaidah laukaana khoiron la sabaquunailaih?
kedua:
Ada orang yang membolehkan maulid dengan berdalih sbb:
DALIL DARI SEGIAN BANYAKNYA DALIL…
Telah disebutkan di dalam kitab al-Bukhari, bahawa Abu Lahab telah diringankan siksaannya pada tiap-tiap hari Itsnin karena ia telah membebaskan hambanya Tsuwaibah, apabila hambanya itu membawa khabar …akan keputeraan Nabi صلى الله عليه وسلم.
Hal ini juga diterangkan dalam sebuah syair al-Hafiz Syamsuddin Muhammad Nasiruddin ad-Dimasyqi:-
إِذَكَانَ هَذَا كَافؤرًا جَاءَ ذَمُّهُ * بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِيْ الجَحِيْمِ مُخَلَّدًا
أَتَى أَنَّهُ فِيْ يَوْمٍ الإِثْنَيْنِ دَائِمًا * يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدَا
فَمَا الظَّمُّ بِالعَبْدِ الذَّيْ كَانَ عُمْرُهُ * بِاَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا
Artinya:
Jikalau sikafir ini (Abu Lahab) yang telah datang cercaan Allah kepadanya (di dalam surah al-Masad) dan celakalah kedua tangannya didalam neraka selama-lamanya
Telah datang (khabar) sesungguhnya dia pada setiap Isnin sentiasa diringankan (azab siksa) darinya karena kegembiraan dengan kelahiran Muhammad (صلى الله عليه وسلم)
Maka tidak syak lagi, bagi seorang hamba yang sepanjang hayatnya bergembira dengan Muhammad (صلى الله عليه وسلم) dan mati dalam keadaan mengesakan Allah (sudah tentu mendapat kelebihan melebihi daripada apa yang dikurniakan kepada Abu Lahab)
Kisah ini diriwayatkan didalam Shahih al-Bukhari, bab nikah dan dinukilkan oleh Ibn Hajar di dalam kitabnya al-Fath. Juga diriwayatkan oleh Imam Abdurrazak as-San’ani didalam kitabnya al-Musannaf (jilid 7 mukasurat 478), al-Hafiz didalam kitabnya al-Dala’il, Ibn Katsir di dalam kitabnya, al-Bidayah bab as-Sirah an-Nabawiyyah (jilid 1 mukasurat 224). Ibn ad-Daiba asy-Syaibani didalam kitabnya Hada’iq al-Anwar (jilid 1, mukasurat 134), Imam Hafiz al-Baghawi didalam kitabnya Syarah Sunnah (jilid 9 mukasurat 76), Ibn Hisyam dan as-Suhaili didalam al-Raudh al-Unuf (jilid 5 mukasurat 192), al-Amiri didalam kitabnya Bahjatul Mahaafil (jilid 1 mukasurat 41).
mohon dijelaskan
Jawabannya: Riwayat tsb tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalkan perayaan maulid dari beberapa sisi;
1-Riwayat ini hanyalah mimpi yg sanadnya dha’if, karena yg menceritakan hal tsb adalah Urwah bin Zubeir yg baru lahir di awal2 kekhalifahan Utsman bin Affan (tahun 14 H) , sedangkan Abu Lahab sudah mati lebih dari 11 tahun sebelum kelahiran si Urwah (Abu Lahab mati tidak lama stlh perang Badar, yakni tahun ke 2 H). Dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan dari mana Urwah menukil kisah tsb, ia hanya meriwayatkan dari sebagian keluarga Abu Lahab (?) bahwa mereka bermimpi melihat Abu Lahab setelah matinya dlm keadaan yg sangat mengenaskan, dst… (spt yg antum nukil). Jadi, ini hanyalah mimpi sebagian keluarga Abu Lahab yg tidak kita ketahui siapa namanya? Tidak pula kita ketahui apakah mereka itu muslim atau kafir? Lagipula, kalaupun mereka itu mukmin, maka sehebat-hebat mimpi seorang mukmin, tetap tidak bisa dijadikan dalil dalam menetapkan hukum suatu masalah spt halal-haram, apalagi untuk melegalkan bid’ah. Ini sudah menjadi kesepakatan ulama, spt yg dinukil oleh An Nawawi dlm mukaddimah syarahnya atas shahih Muslim.
Mungkin antum bertanya: Lho, bukannya semua riwayat dalam shahih bukhari telah dinyatakan shahih oleh para ulama? Jawabnya: Tidak. Yang dinyatakan shahih adalah yg sesuai dengan syarat Imam Bukhari dan sesuai dengan nama kitab beliau, karena sesungguhnya nama shahih Bukhari menurut Imam Bukhari sendiri adalah: Al Jaami’ul Musnad As Shahih, min Umuuri Rasulillahi wa sunanihi wa ayyaamih. Artinya: Kumpulan musnad yg shahih, tentang perkara Rasulullah, sunnah-sunnah beliau dan biografinya. “Musnad yg shahih”, artinya Hadits-hadits yg yg bersambung sanadnya secara shahih. Jadi, semua riwayat yg beliau sebutkan selain yg masuk ke kriteria ‘musnad yg shahih’, berarti bukan merupakan hadits yg beliau anggap sahih. Karenanya, tidak sedikit ada riwayat-riwayat yg tidak lengkap sanadnya dlm shahih Bukhari. Bahkan jumlahnya menurut Al Hafizh Ibnu Hajar mencapai 2500 riwayat. Semua riwayat tadi (termasuk yg kita bahas di atas) adalah di luar kriteria Imam Bukhari.
Antum jgn terkecoh dengan banyaknya kitab yg meriwayatkan ‘mimpi misterius’ tsb, karena semua riwayatnya bertemu di orang yg sama, yaitu Urwah. Jadi kalau nara sumbernya ga’ jelas, ya mau diriwayatkan oleh sejuta kitab pun tetap saja tidak bisa diterima. Faham?
2-Kandungan riwayat ini apa hubungannya dengan perayaan maulid? TIDAK ADA BUKAN… nah, mereka pun akhirnya pakai qiyas… dan perlu anda ketahui bahwa qiyas mereka ini faaasidul i’tibar (rusak, kacau, tidak mu’tabar), karena beberapa segi (ini pembahasan usul fiqih). Pertama: Pijakan mereka adalah mimpi misterius (sangat-sangat lemah, lebih lemah dari hadits dha’if sekalipun); padahal salah satu syarat utama qiyas adalah dalil utamanya harus shahih baik dimata yg mengqiyaskan maupun di mata lawan bicaranya. Kedua, maksud dan hukum riwayat tsb tidak jelas, alias multitafsir… bisa saja (kalaupun mimpi misterius tadi kita paksakan untuk kita terima) kita katakan bhw hal itu khusus berkaitan dengan amalan berupa membebaskan budak, lha sekarag yg kalian lakukan adalah perayaan maulid yg tidak ada unsur pembebasan budak… atau kita katakan: Bisa saja itu khusus berlaku bagi Abu Lahab, lagi pula apa faedahnya hal tsb bagi orang yg jelas-jelas menjadi bahan bakar Jahannam? (bodoh sekali mereka ini…). Atau kita katakan: Boleh jadi yg bermimpi adalah keluarga Abu Lahab sebelum dia masuk Islam, alias mimpi orang kafir… dan ini sama sekali tidak ada artinya, apalagi mau dijadikan dalil. Intinya, maksud (dilalah) dan kekuatan riwayat ini sangat rapuh dan serba tidak jelas, sehingga otomatis tidak mungkin bisa dijadikan pijakan maupun diterapkan kepada masalah lain.
Jadi, unsur qiyas yg pertama (yaitu dalil masalah utama) telah batal dan gugur… demikian pula unsur yg kedua (yaitu hukum dari masalah utama) juga batal dan gugur.
Sekarang unsur qiyas yg ketiga, yaitu ‘illah. Alias dimanakah titik persamaan antara Abu Lahab mendapat sedikit keringanan di lembah Jahannam, dengan perayaan Maulid Nabi? Ga ada… dan Anda tidak bisa mengatakan: “Kalau pun Abu Lahab yg kafir saja mendapat keringanan krn bahagia dengan kelahiran Rasulullah lalu membebaskan budaknya yg kemudian menjadi ibu susu Rasulullah, maka kita yg berbahagia dgn hari kelahiran beliau lebih utama untuk dapat pahala”. Mengapa demikian? karena kebenaran riwayat itu sendiri tidak terbukti… lagi pula kalau cara penalaran spt ini kita terima, maka semua orang akan bebas membikin bid’ah dlm agama berdasarkan qiyas mereka masing-masing. Bisa dibayangkan betapa kacaunya agama ini kalau hal itu sampai terjadi.
Ketiga: Aneh ya… kok para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in, termasuk Imam yg empat tidak ada yg berpikiran semacam itu. Padahal ilmu mereka jauh lebih mumpuni dari ulama mutaakhkhirin yg tidak sedikit dari mereka telah terjerumus dalam bid’ah… ya. tidak sedikit dari ulama mutaakhkhirin yg terjerumus dlm bid’ah, terutama bid’ah akidah, spt asy’ariyah, qadariyah, mu’tazilah dll… atau bid’ah tasawuf, spt Jalaluddin As Suyuti (yg menjadi pembela maulid mati-matian, karena dia itu sufi kelas berat), atau ‘Izzuddien bin Abdussalaam (asy’ari dan sufi kelas berat), dan murid-murid mereka. Karenanya, mengukur suatu masalah apakah ia itu sunnah ataukah bid’ah, hanya bisa diambil dari perkataan salaf, bukan perkataan mutaakhkhirin spt mereka, sebab mereka sendiri banyak yg tidak lepas dari bid’ah tertentu. Jadi, kita hanya mengambil masalah2 ttt saja dari ulama mutaakhkhirin, bukan semua masalah, dan itupun dengan ekstra hati-hati.
Ana rasa ini cukup, dan afwan, sebelum antum tanya, tolong baca dulu semua artikel ana ttg maulid, jadi tidak ada pertanyaan yg terulang.
Assalamu’alaikum warrohmatulloh ustadz,
Menyinggung al hafidz Suyuthi -rahimahullah-, saya pernah baca dari sebuah artikel di internet, beliau terlalu tasahul dalam menshohihkan hadits sampai2 diibaratkan beliau ini ibarat pencari kayu bakar di malam hari, benarkah itu pak ustadz? Dan saya pernah baca jg katanya tafsir Jalalain termasuk kitab2 tafsir yg tidak dianjurkan untuk membacanya? Apa benar ya pak?
Lalu mengenai Imam Izzudin bin Abdissalam, saya hanya membaca kritikan dari Imam Asy-Syathibi untuk beliau didalam muqoddimah kitab beliau, Al-I’tishom mengenai masalah pembagian bid’ah menjadi 5. Pendapat Imam Izzudin ini banyak diikuti oleh penggemar2 bid’ah hasanah di zaman kita skrg ini pdhl dari yg saya baca mengenai kritikan Imam Syathibi untuk beliau, pembagian bid’ah spt ini tidaklah dikenal dari zaman salaf dan hanya menjadikan tambah rancu. Afwan, ini yg saya ketahui ustadz. Saya setuju dengan ustadz, akan lebih baik kita merujuk mengenai bid’ah dari pendapat2 ulama salaf, bukan mutaakhirin.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Memang, Jalaluddien As Suyuti termasuk ulama yang sangat tasahul. Karenanya, dalam Al Jami’us Shaghir-nya, meskipun beliau mensyaratkan untuk tidak memasukkan hadits maudhu’, ternyata masih ada juga yg maudhu’, hampir 1000 hadits !!! Ini jelas tasahul yg luar biasa. Adapun tafsir Jalalain, menurut masyayikh kami di Saudi, sangat cocok untuk dikaji sebagai matan tafsir karena singkat. Akan tetapi tetap harus diwaspadai ketika menafsirkan ayat-ayat sifat, sebab beliau dan jalaluddin Al mahalli adalah asy’ari. itu saja.
Ala kulli haal, pendapat ulama bukanlah dalil, apalagi kalau ulama yg masih ternodai bid’ah kaya suyuthi dan Izzuddien bin Abdissalaam, dan apalagi kalau pendapatnya bertentangan dengan sharihul hadits… ya jelas tidak ada artinya. Kalau imam Syafi’i saja menyuruh agar pendapat beliau yg bertentangan dengan hadits supaya dibuang, lantas bagaimana dgn pendapat ulama-ulama syafi’iyyah yg hidup di zaman penuh bid’ah, dan bertentangan dengan sunnah?
Syukran atas penjelasannya pak Ustadz. Makin semangat mempelajari Asma’ul Husna ^_^
Adapun bukunya berupa buku saku, ‘Rahasia Manfaat Asmaul-Husna (solusi masalah dunia dan akhirat)’ oleh Syaikh Jazri Rah.a. terbitan Citra Media Agama. Juga saya unduh untuk Ipod, Asmaul – Husna oleh AlHabib Husein AlHaddad. 2 ini pakai itung-itungan.
Dan terakhir ‘Wirid&Doa Asmaul Husna oleh Atha Ibnu Syarqi, terbitan Wafa Press. Isinya Nama Allah dan contoh aplikasinya dalam do’a, misalnya; Al Bathin: Meminta Ampunan dan Kejayaan: “Ya Allah. Ampunilah dosaku, baik yang nampak maupun tersembunyi sehingga tiada satu dosapun yang tidak diampuni. Ya Allah. Peliharalah diriku untuk selalu mengurus anakku.” Kemudian; As Sami': Memohon Keturunan yang Shalih: QS Ali Imron 38. Memohon Agar Doa Dikabulkan: QS Al Baqarah 127
Sekarang saya coba dihapalkan dulu nama2nya, tanpa mempraktekan itungan2nya, Sambil terus mencari buku yang tepat sesuai Ahlus Sunnah. Pak Ustad mungkin punya rekomendasi buku yang bagus untuk saya? Tapi dalam bahasa Indonesia, ana belum bisa bahasa arab…
Jazakallahu Khair………
Untuk buku yg kedua, penulisnya jelas orang sufi (hati-hati dengan semua yg berlabel: Al Habib fulan bin fulan, 99% dari mereka adalah penganut tasawuf yg sarat dengan bid’ah khurafat). Adapun buku pertama saya tidak kenal dengan penulis maupun penerbitnya, coba antum tunjukkan buku itu ke salah seorang ustadz salafi dan mintai komentarnya bagaimana. Adapun buku ketiga, saya kenal dengan penerbitnya (dia penerbit yg relatif baik, tidak asal menerbitkan buku agama tanpa memperhatikan kandungan), adapun penulisnya saya tidak kenal. Buku yg ketiga ini insya Allah tidak mengapa diamalkan, selama dalilnya jelas dari Al Qur’an dan hadits yg bisa diterima (sohih atau hasan).
Perlu diketahui pula, bahwa Asma’ul Husna tidak memiliki jumlah tertentu, tidak hanya 99 saja, tapi lebih dari itu… bahkan yg ada dalam al Qur’an maupun hadits bisa dipastikan lebih dari 99.
Buku yang terbaik dan paling ilmiah adalah buku karya Syaikh kami yg berjudul “Fiqih Asma’ul Husna” sdh diterjemahkan dengan judul ini pula oleh Pustaka Darus sunnah. Lihat disini.
Buku pertama juga sarat dengan wirid2 Asma Allah dengan jumlah2 tertentu, sama saja dengan yg AlHabib Husein. Harus segera di’aman’kan. Untung ana tanyakan dulu sebelum diamalkan… Buku ketiga ana dapatkan di toko buku kecil di Jl Kramat 2 Jakarta Pusat, isinya buku-buku sunnah, walau masih terselip buku-buku Ikhwanul Muslimin…
Syukran atas info buku dan juga bimbingannya pak Ustad. Jazakallahu khair……
Assalamualaikum,
Pak Ustad, ana beli buku bacaan AsmaUl Husna, setiap nama suka diberi tip Khasiat misalnya: Yaa Mu’min; khasiat: 136 kali setiap hari, aman dari perbuatan jahat. Yaa Muhaimin; khasiat: Kita selalu diawasi Allah SWT, maka perlu menyebut asma di atas sebanyak-banyaknya. Kita terpelihara dan hati bersih terang. Dst. Apakah ini termaksud bid’ah?
Kemudian membaca Asmaul Husna saat berdoa, dibaca sebelum Shalawat atau setelahnya pak Ustad?
Terimakasih.
Nb: Kapan pak Ustad memulai kajian di Indonesia? ^_^
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh
Iya, anjuran baca asma’ul husna kaya gitu dengan jumlah yg tertentu tadi adalah bid’ah. Lagi pula, sekedar menyebut asma’ul husna dan mengulang-ulangnya adalah bid’ahnya kaum sufi. Kalau boleh tahu siapa penulis dan penerbit buku tsb? Sebaiknya sebelum beli buku, antum konsultasi dulu kepada ustadz yang bisa dipercaya, karena terlalu banyak buku agama yg beredar di indonesia, yg konten-nya tidak bisa dipertanggung jawabkan, atau bahkan menyesatkan. Salah beli buku bisa membahayakan akidah anda lho… so, beware of those books !! Tidak semua buku layak dibaca, apalagi diamalkan isinya… alhamdulillah walaupun antum terlanjur beli, tapi antum tanya dulu. Lain kali, tanya dulu sebelum beli, itu lebih selamat dan lebih hemat.
Membaca Asma’ul Husna dalam doa bisa dilakukan di awal, di tengah, dan di akhir doa. Adabnya ialah memulai doa dengan hamdalah (puji-pujian thd Allah, termasuk dengan menyebut beberapa asma’ul husna di dalamnya), lalu mengikutinya dengan shalawat atas Nabi, lalu menutupnya dengan shalawat pula. Shalawat yg paling baik ialah shalawat Ibrahimiyyah, yaitu yang biasa kita baca dlm shalat (yg menyebut-nyebut nama Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim).
Perlu diketahui bahwa Asma’ul Husna yg kita sebut-sebut harus sesuai dengan makna doa kita. Artinya, jika kita memohon ampunan dari Allah, maka sebutlah nama-nama Allah seperti: Yaa Ghaffaar, Ya Ghafuur, Ya Ghaafiradz Dzanbi wa qaabilat Taubi, Yaa waasi’al Maghfirah. Demikian pula ketika kita memohon rahmat, kita menyebut nama-nama Allah sbb: Yaa Rahmaan, Yaa Rahiim, Yaa Ra’uufun bi’ibaadih, Yaa Arhamar Raahimin, wa Akramal Akramiin… dan semisalnya. Tapi ketika kita mendoakan kemenangan bagi saudara kita dan kehancuran orang kafir -umpamanya-, maka yg sesuai bukanlah nama-nama tadi, tapi nama-nama Allah yg menunjukkan sifat kuat, perkasa, dsb. Contohnya: Yaa Qawiyyu, Yaa ‘Aziizu, Yaa man laa yu’jizuhu syai-un fil Ardhi walaa fis samaa’, dsb. Jadi, antum harus tahu terlebih dahulu makna dari asma’ul husna tsb sebelum memakainya dalam doa. Ini mengharuskan antum untuk belajar tauhid asma’ was sifat secara mendalam dari ustadz yg berakidah ahlussunnah wal jama’ah, bukan yg asy’ari. Makin dalam antum belajar asma’ was sifat, makin mantaplah keimanan antum dan makin kenal antum terhadap Allah Rabbul ‘Alaamien. Tauhid yg satu ini efeknya luaaar biasa lho terhadap keimanan dan keshalihan seseorang !! Kalau lah antum menghabiskan bertahun-tahun untuk mempelajari ini, antum sama sekali tidak rugi. Justru yg rugi adalah mereka yg menghabiskan bertahun-tahun untuk mempelajari biologi, patologi, geografi, politik, dan ilmu-ilmu dunia lainnya; namun tidak kenal dengan Rabb-nya… mereka itulah orang terpelajar yg sebenarnya ‘bodoh’ menurut Allah (lihat: QS. Ar Ruum: 5-6). Wallaahu a’lam.
Adapun kapan saya memulai kajian di Indonesia? Saya sendiri belum tahu kapan akan pulang ke Indonesia… tapi Alhamdulillah, banyak ustadz lainnya yg memberikan kajian rutin di Indonesia di berbagai belahan Nusantara… antum bisa lihat di muslim.or.id atau blog abu salma ttg nama sebagian ustadz dan blog mereka, atau bahkan bisa mendownload sebagian kajian tsb.
Assalamu’alaikum ustadz. Adakah perbedaan tata cara sholat lail (baca : tahajud dan sholat hajat) dengan sholat biasa?
Wa’alaikumussalaam.
Shalat lain dalam pengertian tahajjud, adalah shalat sunnah yg dilakukan setelah seseorang tidur terlebih dahulu. minimal dua rokaat dan tidak ada batasan maksimal berapa, hanya saja, Rasulullah tidak pernah melakukan lebih dari 11 rokaat (plus witirnya). Intinya tiap dua rokaat salam, karena Nabi bersabda yg artinya: Shalat lail itu dua-dua. Namun bila anda hendak mencukupkan diri dengan witir saja, maka Nabi mengajarkan beberapa cara sbb:
1- 1 Rokaat
2- 3 Rokaat, caranya bisa sekaligus dengan sekali tahiyyat dan tasyahhud; bisa pula dengan dua rokaat lalu salam, lalu shalat lagi satu rokaat (yakni dua kali salam).
3- 5 Rokaat, caranya ialah sekaligus dengan satu kali tahiyyat dan sekali salam.
4- 7 Rokaat, caranya bisa sekaligus dengan sekali tahiyyat dan sekali salam. Bisa pula dengan shalat 6 rokaat terlebih dahulu secara biasa, lalu duduk tasyahhud sebelum bangkit ke rokaat ketujuh, tapi tanpa salam, kemudian bangkit ke rokaat ketujuh lalu duduk tahiyyat lagi dan kemudian salam.
5- 9 Rokaat, caranya ialah dengan shalat delapan rokaat lalu duduk tahiyyat tanpa salam, kemudian melengkapkan satu rokaat lagi, lalu duduk tahiyyat lagi dan salam.
Adapun shalat hajat, sementara ini saya tidak ingat apa dalilnya dan bagaimana tatacaranya.
maksudnya dari segi gerakan dan bacaan, adakah perbedaan??
kan sudah ana jawab…
maaf ustadz yang dijawab di atas adalah tata cara rakaat.. yang saya bingungkan adalah bacaannya apakah sama saja dengan sholat wajib atau ada perbedaan? maaf ustadz ana terlalu byk bertanya..
Bacaannya sama saja.
maaf ustadz, menambah pertanyaan lagi
mengenai pembagian takfir menjadi takfir ‘aam dan takfir khaash.
apa definis ikeduanya. kemudian apa yang di maksud dengan takfir mu’ayyan…seperti jawaban ustadz jika ada yang memvonis takfir pemerintah Indonesia seperti pada rubrik tanya jawab diatas.
mohon penjelasannya
assalamualaikum ustadz
Mau tanya hukum seorang suami memanggil mama/adik/ibu kepada istri,dan bagaimana seharusnya memanggil istri…?
Mohon penjelasannya ustadz
Syukron
Jazakallahu khoiron
assalamualaikum ustadz,
istri saya mau menanyakan tentang hukum sholat berjamaah bagi wanita di mesjid?apakah wanita tidak di wajibkan sholat dimesjid sedangkan tidak ada halangan baginya untuk pergi kemesjid?
trus hukum memukul / mencubit anak saat anak salah dan tidak mau mengikuti kemauan orang tuanya sedangkan anaknya baru berusia 6 tahun
Mohon penjelasannya!
Jazaakalloohu khoiron.
Ttg hukum wanita shalat di mesjid sudah pernah dibahas, antum cari saja di blog ini.
Adapun mencubit anak yg salah dan tidak mau mengikuti kemauan orang tuanya, maka hukumnya boleh2 saja selama tidak kelewat batas dan memang perlu dicubit. Kita bisa bercermin pada sebuah atsar yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dlm shahihnya, dari Ibrahim An Nakha’i, katanya: mereka (maksudnya para sahabat) sering memukul kami sewaktu kecil, karena kami gampang bersumpah. Ini menunjukkan bahwa anak kecil boleh dipukul dalam rangka mendidik mereka, terutama jika mereka memiliki kebiasaan buruk, seperti gampang bersumpah (atas nama Allah), suka berbohong, kurang ajar, dsb. wallaahu a’lam.
ustadz..tentang cara pengucapan…
mana yg lebih tepat dlm pengucapan?
apakah silaturahmi atau silaturahim?
Ass.Wr.Wb.
Mohon penjelasan, utk bs diterima Allah bagi org kafir atau non muslim yg akan masuk Islam, syarat pertama hrs mengucapkan ”Dua kalimah syahadat” dg ikhlas dan dg tulus, apakah bs dilakukan sendiri tanpa saksi atau hrs resmi didepan saksi ahli agama ? Kalo bs diucapkan sendiri, syarat apa lg yg hrs dipenuhi agar bs sah dit…erima Allah jd muallaf ?
Terima kasih sebelum, kalo ada yg salah mohon dimaklumi dan mohon diperbaiki.
WassalamLihat Selengkapnya
Bila seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka secara hukum dia telah dianggap masuk Islam. Hanya saja, berhubung pindah agama bukanlah hal yg sepele, maka sebaiknya pakai saksi dan dilakukan secara resmi. Nah setelah itu, perlu diketahui bahwa syarat sahnya syahadat ada tujuh (ini berdasarkan keseluruhan dalil2 dari Al Qur’an dan Sunnah yg ada):
1-Mengetahui makna dari syahadat yg diucapkan, yaitu bahwa tiada yg berhak diibadahi (dengan ibadah dlm bentuk apa pun) secara benar, kecuali Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya. Dan bahwasanya Muhammad bin Abdillah adalah Rasul Allah, artinya beliau lah yg ditugasi oleh Allah untuk mengajarkan kepada seluruh manusia, bagaimana cara beribadah kepada ALlah yg baik dan benar, sehingga mereka bisa selamat dari adzab-Nya dan masuk dalam surga-Nya. Ini makna syahadat secara umum.
2-Meyakini kebenaran dari dua kalimat syahadat tsb, artinya tidak boleh ada keraguan sedikitpun bahwa Allah itu benar-benar satu-satunya yg pantas diibadahi, dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah. kalau masih ada keraguan, berarti belum sah imannya.
3-Jujur dalam mengucapkannya. Artinya, antara apa yg diucapkan secara lisan tidak bertentangan dengan apa yg diyakini dlm hati.
4-Ikhlas dalam mengucapkannya, bukan karena alasan duniawi atau pamrih lainnya. Namun semata-mata karena menghendaki ridha Allah dan pahala dari-Nya.
5-Mencintai dua kalimat syahadat. Artinya, selain mengetahui arti keduanya, meyakininya, jujur dlm mengatakan dan ikhlas; ia juga harus mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan semua yang datang dari keduanya, baik sesuai dengan keinginan maupun tidak.
6-Menerima dengan sepenuh hati, artinya tidak ada penolakan terhadap makna syahadatain tsb. Sebab tidak semua orang yg melakukan kelima hal sebelumnya pasti menerimanya.
7-Tunduk patuh terhadap seluruh konsekuensi dari syahadatain tsb. Kalau seseorang bisa mewujudkan ketujuh syarat ini, barulah syahadatnya diterima oleh Allah. Dan ini semua mengharuskan seseorang untuk tidak cukup masuk islam secara lisan, tapi harus belajar ttg Islam secara sungguh-sungguh dan sumber-sumber yang benar dan bisa dipercaya.
Ustadz apa hukum SARA (menjelekkan agama lain)? saya sering menemui hal hal seperti itu di internet.
jika hal tsb berdampak pada dijelek-jelekkannya Allah dan Rasul-Nya, maka hal ini dilarang, sebagaimana dhahir ayat 108 surat Al An’am.
lalu bagaimana jika orang islam yang menjelek-jelekkan agama lain??
Assalamu’alaikum
Apakah benar Rasulullah SAW meninggal atas sebab dibunuh oleh orang yahudi melalui racun?
Wa’alaikumussalaam.
Kalau sebagai penyebab utama sih bukan, tapi efeknya masih beliau rasakan menjelang kematian beliau, sebagaimana yg beliau tuturkan kepada Aisyah. Jadi, beliau tetap mendapatkan pahala mati syahid, meskipun tidak dibunuh secara lansung oleh si Yahudiyah (perempuan yahudi). Beliau dihadiahi daging kambing yg telah diracuni olehnya ketika pembebasan kota Khaibar (thn 7 H), sedangkan beliau baru wafat di bulan Rabi’ul Awwal thn 11 H. Tapi efek racun tsb masih terlihat di bagian dalam mulut Rasulullah (yg disebut amandel), sebagaimana yg diceritakan oleh Aisyah. Semua keterangan ini berdasarkan hadits-hadits dalam shahihain.
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Ustadz ana ingin menanyakan tentang ucapan “maaliki” pada al fatihah boleh dibaca “maliki”. Sementara dalam surat An Naas, “maliki” tidak boleh diucapkan “maaliki” yaitu dibaca panjang. Benarkah pernyataan ini dan Apa alasannya? Dan jika imam salah dalam membaca apakah ia berdosa?
Mohon penjelasannya!
Jazaakalloohu khoiron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Itu tergantung qira’at yg ada pada masing-masing ayat. Kita perlu tahu bahwa qira’at (cara pembacaan) Al Qur’an itu ada banyak, yang paling banyak dipakai adalah qira’at Hafsh dari gurunya yg bernama ‘Ashim. Ini yg sering kita jumpai di mushaf-mushaf baik di Indonesia, maupun negara lainnya, termasuk yg cetakan Saudi. Selain qira’atnya Hafsh, masih banyak qira’at2 lainnya yg juga berasal dari Nabi dan diriwayatkan dengan sanad yg mutawatir. Itu bisa dipelajari dlm ilmu qira’at. Nah, yg membaca: Maliki (pendek) ialah jumhur (mayoritas Imam-imam Ahli Qira’at), sedangkan yg membaca dengan: “maaliki” adalah Imam ‘Ashim dan Al Kisa’i. Makna “maliki” adalah Raja. sedangkan makna “maaliki” adalah pemilik/penguasa. Sedangkan dalam surat An Naas tidak disebutkan adanya qiraat lain selain : Maliki (pendek), dan ini sifatnya tauqiefi. Artinya, cara pembacaan Al Qur’an itu bersifat baku, bukan hasil ijtihad. Kalau memang ada riwayat yg mengatakan bahwa kata ini dibaca demikian, dan riwayat tsb dishahihkan oleh para ulama qiraat, maka kita boleh membacanya seperti itu. Tapi kalau tidak ada ya tidak boleh dikiaskan ke kata lainnya di ayat yg lain.
Jika imam salah membaca karena tidak mau belajar, bukan semata-mata ketidaksengajaan dan kekhilafan, maka boleh jadi ia berdosa. karena Allah memerintahkan kita agar membaca Al Qur’an secara tartil, dan tartil itu memiliki tingkat minimal dan tingkat maksimal. Kalau tingkat minimalnya tidak dipenuhi, sehingga bacaannya jadi tidak jelas (karena terlalu cepat atau karena ngawur dlm mengucapkan huruf2nya), saya khawatir dia berdosa, wallaahu a’lam.
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
ustadz mau menanyakan ttg definisi dan makna silaturahmi…
Apakah silaturahmi itu terbatas pada orang2 yang mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan kita saja… atau bagaimana…
kalau hubungan antara sesama muslim yang bukan berkerabat itu seperti misalnya saya dengan teman apakah bisa disebut hubungan silaturahmi?
apakah jika saya meninggalkan pertemanan akrab dengan teman yang masih ngeyel jika dinasehati,itu termasuk memutus hubungan silaturahmi? menurut persangkaan teman saya tersebut..
mohon penjelasannya…
Silaturahmi berasal dari kata silah (menyambung) dan rahim. Artinya, setiap orang yg terhubung kepada kita melalui ayah atau ibu, termasuk orang perlu disilaturahmi. Contohnya saudara, paman, bibi, sepupu, keponakan, kakek dan nenek. Adapun sekedar teman yg tidak ada hubungan kerabat dengan orang tua kita, maka tidak termasuk pengertian ini. Dengan demikian, meninggalkan teman yg masih ngeyel tidak berarti memutus silaturahmi secara syar’i…
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.
ustadz mau menanyakan pertanyaan teman saya. saya dulu pernah diajari bahwa kita sebagai muslim kan dibolehkan berteman sama nonislam tetapi tidak boleh sampai bersahabat.Teman saya dulu bersahabat dengan seorang nonis. Tapi skrg bisa di bilang masih namun mulai berkurang dan sudah jarang komunikasi. Lalu apa hukumnya? dan sekarang apa yang lebih baik dilakukan olehnya terhadap temannya(sahabat lama) itu?
syukron.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Kalau maksud dari bersahabat adalah berteman akrab, maka harus memperhatikan hal-hal berikut:
1- Ingat, bahwa dia itu kafir, dan orang kafir berarti musuhnya Allah, dan Allah itu adalah pencipta kita, pemberi rezeki kita, dan penentu nasib kita secara mutlak. Artinya, jangan sampai ada kecintaan sedikit pun di hati kita terhadap kekafirannya. ingat ya: “Kekafirannya” tidak boleh kita cintai sedikitpun, adapun pribadi orang tsb maka lain lagi hukumnya. Seseorang bisa dimaklumi jika menyukai orang kafir dari sisi tertentu seperti sikapnya yg baik, ini dibolehkan. Demikian pula cinta seorang lelaki muslim kepada istrinya yg beragama Yahudi/Nasrani, ini juga diperbolehkan. Tapi yg terlarang ialah mencintai kekafirannya. Jadi, tetap dalam hati kita harus membenci kekufurannya dia.
2- Jangan sampai persahabatan tsb menjadikan kita lembek dalam menjalankan syari’at ALlah dan Rasul-Nya. Tidak boleh seorang muslim mengucapkan selamat hari raya kpd sahabatnya yg non muslim. Dan bila si nonis tsb sampai melakukan hal-hal yg bersifat pelecehan thd Allah, Rasul-Nya, atau agama Islam sekecil apa pun, maka saat itu juga persahabatan harus diputus.
3- Jangan lupa agar mendakwahinya supaya mau masuk Islam, baik dakwah secara lisan maupun perbuatan, dan yg kedua ini lebih berkesan. Ingatlah bahwa kalau dia tetap dlm kekafiran, maka dia akan menjadi bahan bakar neraka… jadi, kasihanilah dia, dan berusahalah semampunya untuk menyelamatkan dia dari siksa neraka.
1. saya mendapat pertanyaan dari teman saya, “mengapa seorang wanita lebih dianjurkan sholat di rumah dari pada ke masjid?”. Tolong jawabkan ustadz.
2. Bagaimana menjawab jazakallah yang benar? saya membaca di beberapa website dengan permasalahan menjawab jazakallah. di web tsb disimpulkan membalas ucapan jazakallah dengan perkataan “wa iyyaakum” mereka adalah suatu yang baru yang telah ditambahkan (untuk agama). tetapi yang di syariatkan adalah mengucapkan jazakallahu / jazakillahu, apakah itu benar ustadz??
syukron.
Jawaban atas pertanyaan 1:
pertama, karena itu anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
kedua, Karena wanita pada dasarnya diharuskan lebih banyak tinggal di rumah (QS. Al Ahzab:33), inilah yg dinamakan hijab akbar, yaitu menutup diri dengan tinggal di dalam rumah. Adapun bila ia harus keluar rumah karena suatu hajat, spt ingin shalat di mesjid, hadir shalat ‘ied, belanja, dsb; maka disyaratkan untuk mengenakan hijab (busana muslimah) yg syar’i, dan tidak mengenakan wewangian, itu semua agar ia tidak menjadi fitnah bagi laki-laki.
ketiga, secara logika, kalau wanita dianjurkan untuk shalat di mesjid, siapa yg akan mengurus rumah dan keluarga? ini jelas lebih banyak madharatnya dari pada manfaatnya. lagi pula jumlah kaum wanita lebih banyak dari laki-laki, sehingga mesjid akan penuh sesak dengan wanita, dan ini jelas menimbulkan masalah baru.
Adapun pertanyaan kedua, jawabannya sbb:
Sejauh yg ana tahu, ucapan jazakallaah dan yg semisalnya lebih bersifat adat (kebiasaan). dan pada dasarnya apa-apa yg bersifat adat tidak bisa dikatakan bid’ah, kecuali bila ada maksud menjadikan adat tsb sebagai ibadah. Adapun jika tidak ada maksud begitu, maka tidak mengapa. Seperti ucapan terima kasih, syukron, dan semisalnya… tidak mungkin dikategorikan bid’ah. Wallaahu a’lam.
untuk pertanyaan pertama juga pernah dijawab seperti itu, namun ia balik menjawab “itukan cuman yang udah bersuami istri?”. Bagaimana pendapatnya ini ustadz?
Ustadz…
ada teman saya yang menyimpulkan bahwa al-Qur’an adalah Makhluk Allah… bukan Kalamullah…dia menyangkal penjelasan orang yang pernah diajaknya berdiskusi yang menyatakan bahwa..”.Kalau Al-qur’an itu makhluk,maka bisa salah..” dengan mengatakan…”Bagaimana dengan malaikat?malaikat adalah makhluk yang diciptakan untuk taat,jadi tidak mungkin salah…”
kemudian teman diskusinya,mengutarakan..”malaikat pernah salah,karena mempertanyakan penciptaan Adam…” dan kemudian Allah mengingatkannya….
bagaimana ya ustadz…penjelasannya…karena kedua orang ini…lebih condong kepada logika…ketimbang keterangan dari Qur’an&sunnah…
wassalamu’alaikumwarohmatullohiwabarokatuh
Lha nt ngapain harus mengambil kesimpulan mereka? Emang mereka itu siapa? Apakah firman Allah dlm Surah At Taubah: 6 masih belum jelas? Allah berfirman:
{وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ} [التوبة: 6]
Jika salah seorang dari kaum musyrikin minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia bisa mendengar KALAMULLAH…
Masalah Al Qur’an adalah kalamullah sudah menjadi ijma’nya Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan para salaf, bahkan mereka sepakat mengkafirkan orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu Makhluk. Yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk adalah kaum Jahmiyyah yg dikafirkan oleh para ulama secara ijma’. Dalil atas ijma’ ini -bagi yang masih berpijak kepada dalil- bisa ditemui di awal-awal kitab Khalqu Af’aalil ‘Ibad karya Imam Al Bukhari.
Nih ana sebutkan salah satunya (riwayat no 5):
خلق أفعال العباد (ص: 30):
حدثنا محمد عبد الله جعفر البغدادي قال سمعت أبا زكريا يحيى بن يوسف الزمي قال كنا عند عبد الله بن إدريس فجاءه رجل فقال يا أبا محمد ما تقول في قوم يقولون القرآن مخلوق فقال أمن اليهود قال لا قال فمن النصارى قال لا قال فمن المجوس قال لا قال فمن قال من أهل التوحيد قال ليس هؤلاء من أهل التوحيد : هؤلاء الزنادقة من زعم أن القرآن مخلوق فقد زعم أن الله مخلوق يقول بقول بسم الله الرحمن الرحيم فالله لا يكون مخلوقا والرحمن لا يكون مخلوقا والرحيم لا يكون مخلوقا وهذا أصل الزنادقة من قال هذا فعليه لعنة الله لا تجالسوهم ولا تناكحوهم
Imam Bukhari meriwayatkan dgn sanadnya, dari Yahya bin Yusuf Az Zimmi, katanya: Kami pernah bersama Abdullah bin Idris (salah seorang tabi’it tabi’in, dan imam di zamannya, wafat th 192 H). Maka datanglah seseorang kepadanya seraya berkata: Hai Abu Muhammad, apa pendapatmu ttg orang-orang yg mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk, apakah dia termasuk kaum Yahudi? Bukan, jawabnya. Termasuk Nashara? tanya orang itu. Bukan, jawabnya. Termasuk Majusi? tanyanya lagi. Bukan, jawab beliau. Termasuk ahli tauhid? tanyanya. Bukan, jawab beliau. Lantas termasuk apakah mereka? tanya orang itu. Mereka bukanlah Ahli tauhid, tapi mereka itu kaum zindiq (munafik). Barang siapa mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk, berarti mengklaim bahwa Allah itu makhluk. Allah mengatakan (dlm Al Qur’an): “Bismillahirrahmaanirrahiem”, maka Allah bukanlah makhluk, Arrahmaan juga bukan makhluk, dan Arrahiem juga bukan makhluk. Adapun perkataan mereka tadi adalah pokok keyakinannya orang zindiq. Siapa yg mengatakannya, maka semoga Allah melaknatnya. Jangan kamu duduk bersama mereka, dan jangan kamu menikahi wanita mereka.
Atsar ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab Assunnah, Al Aajurri dalam kitab Asy Syari’ah, Al Khallal dalam kitab As Sunnah, dll.
Ini satu dari segudang riwayat yang menyatakan bahwa para salaf mengkafirkan mereka secara terang-terangan. Tapi bukan berarti bahwa teman antum itu lantas harus dikafirkan lho… tidak semua orang yg mengucapkan kekafiran harus menjadi kafir karenanya. Boleh jadi ia masih terkena syubhat dalam hal ini. Jadi nasehati saja agar segera bertaubat, karena konsekuensi dari perkataan tsb adalah bahwa Allah itu makhluk, dan ini jelas kufur akbar, lebih kafir dari Yahudi dan Nashara.
Assalamu’alaikum warohmatullohi Wabarokatuh…
Barokallahu fikum ya ustadz…
afwan, ana pengen tanya ustadz. dari penjelasan hadits ini yg terdapat dari kitab shahih dan Dhaif kitab AL Adzkar[Imam Nawawi Rahimahullah] yg di Tahqiq Syaikh saliem bin ‘ied al hilali.
Kami tlah meriwayatkan dlm kitab Ibnus Sunni dari Ummu Rafi’ Radhiyallahu ‘anha, Ia berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkanlah kepadaku satu amal yg jika aku mengerjakannya aku mendapat pahala dari Allahu Ta’ala. “Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda: “Wahai Ummu Rafi’i! apabila engkau berdiri hendak mnunaikan shalat, mk bertasbihlah kpd Allah sbanyak 10 kali, bertahlil 10 kali, bertahmid 10 kali, bertakbir 10 kali, serta mohonlah ampun kpdNya 10 kali. karna sesungguhnya apabila engkau bertasbih, bertahlil, bertahmid, bertakbir Allah menjawab “Ini untukku” dan ktika engkau memohon ampun, Dia menjwab: “Aku telah melakukannya” dari Shahiih kitaab AL-Adzkar wa Dha ‘iifuhu, Syaikh Salim al Hilali no. 90. hadits ini shahih karna byk syahid.
yg jadi pertanyaan ana, bagaimana cara mengamalkan hadits ini, apakah diamalkan sebelum shalat? terus, apakah hadits ini berlaku untuk smua shalat? mksd ana shalat sunnah dan wajib. kalo emang benar hadits ini bisa diamalkan, subhanallah banyak faedahnya ustadz…
Jazakumullahu Khairan wa Barokallahu fikum atas kesediaannya ustadz untuk menjawab…
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Kelihatannya hadits yg anti tanyakan adalah tentang shalat tasih. Masalah shalat tasbih memang menjadi khilaf di kalangan para salaf. Ada sebagian dari mereka yang menganggapnya sunnah walau sekali seumur hidup, seperti Ibnul Mubarak. Dalil mereka ialah hadits dlm Sunan Abu Dawud (no 1299), Tirmidzi (no 481) dan Ibnu Majah (no 1386). Namun menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak ada satu orang pun dari Imam yg empat yang menganjurkan shalat tasbih ini. Bahkan imam Ahmad dan sejumlah tokoh sahabat memakruhkannya dan mendha’ifkan hadits tsb. Dan menurut Ibnu Taimiyyah, yang rajih ialah bhw hadits tsb adalah hadits dusta meski sebagian ulama meyakini kebenarannya. Adapun Ibnul Mubarak yg menyunnahkannya, beliau melakukannya dengan cara lain yang berbeda dengan yg disebut dalam hadits tsb, dan cara yg beliau lakukan masih bisa dikompromikan dengan sunnah.
Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Rofi’, bhw Nabi menyuruh Abbas pamannya agar melakukan shalat berikut:
Shalat 4 roka’at, tiap rokaat dimulai dgn membaca Al Fatihah dan sebuah surat. Setelah itu diikuti dengan bacaan Subhanallah walhamdulillah walaailaaha illallaah wallaahu akbar (15 x), lalu ruku’, dan membacanya 10 x, lalu berdiri (i’tidal) dan membacanya 10 x, lalu sujud dan membacanya 10 x, lalu duduk dan membacanya 10 x, lalu sujud kedua kalinya dan membacanya 10 x, lalu duduk kedua kalinya dan membacanya 10 x. Yang demikian itu adalah 75x dlm tiap rokaat, dan 300x dalam 4 rokaat. Dan hadits tsb menyebutkan bhw siapa yg melakukannya akan mendapat ampunan walau dosanya sebanyak bukit pasir… dst. Dlm hadits tsb juga dianjurkan agar melakukannya setiap hari, atau setiap pekan, atau setiap tahun, atau sekali seumur hidup.
Itu hadits yg dinisbatkan kepada Nabi dan dianggap dusta oleh Ibnu Taimiyyah. Sedangkan tata cara yg dilakukan oleh Ibnul Mubarak adalah berbeda. Hal ini diriwayatkan oleh Imam Tirmdizi dlm Sunan-nya (no 481), salah satu perbedaannya ialah Ibnul Mubarak tidak menyebutkan adanya duduk setelah sujud yg kedua dgn membaca tasbih tahmid tahlil dan takbir 10 x tadi. Nah, inilah yg menjadikan shalat tasbih (dgn tatacara yg disandarkan kepada Nabi tsb) dianggap dusta, sebab bagi yg mengamati sunnah beliau niscaya akan mendapati bahwa beliau tidak pernah mengajarkan untuk duduk yang lama (untuk membaca doa 10 x tsb) setelah sujud yg kedua, lalu baru berdiri ke rokaat berikutnya. (lihat: Minhajus Sunnah 7/315, Fatawa Al Kubra 5/344, dan Majmu’ Fatawa 11/579).
Pun demikian, berhubung masalah ini telah menjadi khilaf sejak zaman salaf, maka bagi yg melakukannya tidak boleh kita bid’ahkan. Namun kita hanya menjelaskan bhw yg rajih dlm masalah ini adalah begini dan begitu. Wallaahu a’lam.
assalamualaikum ustadz
ana bekerja di toko pakaian di mana pada bulan ramadhan tentunya toko tersebut sangat ramai dan tentunya sangat sibuk dalam segala hal….
yang menyebabkan ana sangat susah sholat berjamaah ke mesjid…
bagai mana hukumnya kalau ana sholat di tempat kerja ana saja….karena ana tidak mendengar suara azan…?
atau ana sholat berjamaah di dalam toko tersebut….bersama 2 atau 3 orang dalam setiap waktunya…
Syukran Ustadz. Jazakallahu khoiron..
Wa’alaikumussalaam warahmatullah.
Masalah yg antum tanyakan jawabannya berangkat dari khilaf para ulama ttg hukum shalat berjama’ah itu sendiri. Dan pendapat yg rajih ialah bahwa shalat berjama’ah hukumnya wajib bagi laki-laki yg baligh. Namun apakah harus dilakukan di mesjid, ataukah boleh di lokasi setempat? Sebagian ulama mengatakan bahwa selama dia bisa mendengar adzan dgn kriteria sbb:
1-Dilantunkan oleh muadzin dengan suara lantang dari tempat yang tinggi.
2-Adzan tanpa menggunakan loud speaker.
3-Dilakukan pada waktu yang ideal, yakni BUKAN saat ada angin kencang dan suara-suara ribut, atau di tempat yang banyak gedungnya sehingga menyerap suara adzan.
Kalau seandainya dia bisa mendengar suara si muadzin dari tempat tinggalnya dalam keadaan spt itu, maka ia wajib shalat berjamaah di mesjid, namun kalau tidak, ya tidak wajib, alias boleh shalat berjamaah di tempatnya. Pun demikian, tetap saja lebih afdhal kalau dia bisa berangkat ke mesjid yg jauh tsb, karena dalam hadits shahih disebutkan yg artinya: “Orang yg paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh menempuh perjalanan ke mesjid”.
Intinya, yg lebih penting untuk diperhatikan ialah tetap menjaga shalat berjama’ah, walaupun dlm kondisi ttt tidak bisa dilakukan di mesjid, dan shalatlah pada waktunya, walaupun tidak di awal waktu, tapi jangan sampai di luar waktu.
Assalamu’alaykum Ustadz,
Apakah orang2 ahmadiyah termasuk kategori kafir dzimmi atw kafir harbi?
Jazakallohu khoyron.
Susah juga untuk mengklasifikasikan orang kafir di sebuah negara yg tidak jelas statusnya spt Indonesia ini. Memang umat islam adalah mayoritas di Indonesia, tapi mayoritas yg tidak punya jati diri, tidak bisa membikin keputusan untuk kepentingan Islam. Indonesia adalah negara demokrasi, jadi kita tidak bisa mengatakan bahwa orang kafir yg ada di indo adalah kafir dzimmi atau harbi. karena kekafiran masih diakui -na’udzubillah- sebagai agama resmi di negara ini, seperti Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu… Yang jelas semua orang kafir harus -termasuk ahmadiyyah- dimusuhi tanpa dizhalimi. Ingat: PERMUSUHAN BUKAN BERARTI PENINDASAN. Kita membenci mereka, mengkafirkan mereka, tapi tidak boleh menzhalimi mereka.
Alhamdulillah pertanyaan ana sudah ustadz jawab, jazaakumullaah khoiron katsiron ustadz atas jawabannya. Ilmu ana jadi bertambah, alhamdulillah. O ya ustadz, ana mohon info tentang kitab2 tuk materi2 ilmu agama yang cocok untuk pemula, baik Aqidah, Fiqh, Hadits, Ilmu Hadits dll. Sehingga dalam belajar ada tahapannya, tidak langsung ambil kitab2 yang berat. Mohon juga disertai link yang bisa download kitab2 tsb, mengingat di Indo mungkin kitab2 tsb cukup susah ditemukan/harganya yang kurang cocok. Afiiduunaa baarokallaahu fiikum wa fii ‘ilmikum.
Kalau antum bisa bahasa Arab dgn baik, semuanya bisa antum dapatkan dalam mauqi’nya Syaikh Abdul Karim Al Khudheir: http://www.khudheir.com
di situ ada mustawa-mustawa tertentu untuk pemula, menengah, dan lanjutan. Semuanya telah beliau syarah, baik secara lisan maupun tulisan. Jadi, Antum bisa download audio plus PDF yg berisi Nas matan dan syarahnya, persis spt yg di audio.
Assalamu’alaikum ustadz,
Ana pernah diskusi dengan seseorang yang mengatakan bahwa indonesia ini tidak hanya berhukum dgn selain hukum Allah tapi juga membuat dan mengeluarkan (ishdaar) selain hukum Allah, jadi pelaku-pelakunya terkena kufur akbar. Sedangkan masa kekhalifahan dulu hukum negara jelas alqur`an dan assunnah walaupun amirnya ada juga terkadang berbuat dzalim, tapi negara tidak membuat dan ishdaar selain hukum Allah. Jadi tidak terkena kufur akbar. Pertanyaan ana, benar gak ustadz hal demikian? Mohon jawabannya, sebab ana tatkala memerinci berhukum dengan selain hukum Allah, bahwa di sana ada tafshil bisa kufur akbar dan bisa juga kufur ashgor, ana tidak bisa menjawab dengan statemen di atas. Sekali lagi mohon jawabannya, baarokallaahu fiikum wa fii ‘ilmikum.
Wa’alaikumussalaam.
Perlu dibedakan antara takfir ‘aam dan takfir khaash. Kalau takfir ‘aam, kita juga mengatakan bahwa orang yg membikin aturan yg bertentangan dgn hukum Allah, dia adalah kafir. Sedangkan orang yg sekedar menjalankannya -bukan membikinnya-, hukumnya bisa kafir, bisa juga tidak. Masalahnya ialah ketika kita hendak menjatuhkan vonis tadi kepada pemerintah Indonesia, ini menjadi takfir mu’ayyan (menurut pandangan ana, orang lain boleh saja berpandangan lain lho !). Sebab yg namanya pemerintah adalah Presiden, Wapres, dan Para menteri, mencakup pemda. Nah, apakah syarat2 takfir telah terpenuhi pada diri mereka, dan mawani’-nya telah hilang semua dari mereka? Ini perlu penelitian yg cermat. Lagi pula yg berhak menjatuhkan vonis kafir adalah qadhi, atau alim robbani, bukan sembarang orang.
Lagi pula, masalah takfir memiliki konsekuensi yg panjang dan berat… spt halalnya darah, harta, dan kehormatan ybs… dst.
Kalau mereka mengkafirkan sebagai legitimasi atas bolehnya tindakan khuruj, maka perlu diketahui bahwa untuk memberontak tidak cukup dengan itu. Kekafiran penguasa bukanlah satu2nya syarat bolehnya memberontak kpd mereka, tapi harus memperhitungkan maslahat dan madharat dari pemberontakan tsb. Bukankah selama di Mekkah nabi dan para sahabat berada di bawah pemerintahan yg jelas-jelas kafir? lantas mengapa Nabi tidak menyuruh sahabatnya untuk perang/angkat senjata melawan mereka? mengapa Musa dan Bani Isra’il tidak angkat senjata melawan Fir’aun yg lebih kafir dari penguasa mana pun hari ini? Jawabnya: karena kondisi mereka yg masih lemah tidak akan membawa maslahat jika nekat mengangkat senjata.
Assalamu’alaikum Ustadz.
Tentang Al hukmu bi ghoiri ma anzalallah, ada sebagian orang yang berhujjah begini ustadz, “Dahulu jaman kekhalifahan, negara berasaskan Al Qur`an dan As Sunnah, jadi secara sistem negara, asas mereka Islam, walaupun khalifahnya terkadang berbuat dzalim, di sana tetap ada hudud yang dilaksanakan seperti potong tangan, rajam dll. Dan mereka tidak membuat hukum dengan selain hukum Allah. Maka para ulama dahulu, tidak mentakfir khalifah/amir. Sedangkan sekarang, katakan Indonesia, negara ini tidak hanya berhukum dengan selain hukum Allah, akan tetapi sudah membuat dan mengeluarkan hukum selain hukum Allah, maka mereka yang membuat dan mengeluarkan hukum selain hukum Allah ini, masuk ke dalam kufur akbar.” Bagaimana ustadz untuk menjawab syubhat ini. أفيدونا بارك الله في علمكم
Ana heran, kenapa mereka hanya menilai dengan berlaku atau tidaknya hudud sebagai tolok ukur keislaman/kekafiran? Mengapa mereka tidak mengukur akidah yg berlaku di negara tsb? Contohnya Akidah daulah Abbasiyah di zaman Al Ma’mun, Al Mu’tashim, dan Al Waatsiq, yg ketiganya meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk… padahal Ahlussunnah sepakat bahwa ini merupakan kekafiran akbar. Bukankah akidah menjadi tolok ukur pertama sebelum kita mengukur perbuatan yg lainnya? Kalaulah ada pemerintahan yg melaksanakan semua hudud syari’at, tapi meyakini bahwa Abu Bakar dan Umar adalah orang kafir, bagaimana mereka menyikapinya? Atau meyakini bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat (jahmiyyah/mu’tazilah), bagaimana mereka menyikapinya?