Soal-Jawab
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Kepada ikhwan dan akhwat pengunjung Blog Abu Hudzaifah yg saya cintai…
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas Blog ini, saya khususkan halaman ini bagi yg ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’-nya, baik keluhan, pertanyaan, atau sekedar curhat… Semoga dengan itu semua saya jadi lebih semangat untuk menyampaikan ilmu saya kepada antum semua.
Jadi, saya tunggu partisipasi antum… Jazakumullahu khairan katsieran,
Wassalaam,
ada lg ustad yg mw saya tanyakan
1. trus bgmn ustad dgn shalat sunnah stlh wudhu? dikerjakan stlh shalat sunnah tahiyatul masjid atw ikut gugur dgn adanya shalat rawatib? truz gpp kan ustad kalo mengerjakan shalat tahiyatul masjid kemudian mengerjakan shalat rawatib?
2. apa yg lbh baik dilakukan ustad, shalat sunnah ba’diyah atau dzikir sesudah shalat? terkadang qta sibuk ustad shingga harus memilih salah satu dr keduanya.
3. jika stlh shalat fardhu kan qta disunnahkan untuk berdzikir. truz klu setelah shalat sunnah apa qta berdzikir juga ustad seperti stlh shalat fardhu atw bolehkah klu qta langsung berdoa tanpa berdzikir? mohon penjelasanya ustad.
4. ada lagi ustad, kpn shalat dijama’, diqoshor, ataupun dijama’ sekaligus diqashar? saya prnh mendengar disyariatkan beradzan diawal 2 shalat trsbut dan juga beriqomah, benarkah itu ustad?
jazakallahu khair barakallahu fiik….
1-Shalat sunnah setelah wudhu’ tergolong yg maqshuudun lidzaatih, jadi tidak gugur dengan adanya shalat rawatib, dan waktu pelaksanaannya adalah setelah seseorang berwudhu’ secara mutlak, sebagaimana yg difahami dari hadits Bilal. Namun dari sisi kekuatan perintahnya, shalat tahiyatul masjid lebih ditekankan daripada sunnah wudhu’, sehingga ada sebagian ulama yg mewajibkan tahiyyatul masjid, tapi tidak ada yg mewajibkan sunnah wudhu’.
Shalat tahiyyatul masjid boleh saja dilakukan secara terpisah dengan sunnah rawatib.
2-Sunnah ba’diyah lebih baik daripada dzikir setelah shalat bagi yg hanya bisa melakukan salah satunya. Alasannya, dzikir bisa saja dilakukan sambil berdiri, duduk, berjalan, berbaring dsb… dan tidak harus dilakukan di tempat shalat. Sedangkan shalat ba’diyah tidak demikian.
3-Setahu ana, setelah shalat sunnah tidak ada anjuran untuk berdzikir SEPERTI dzikir stlh shalat fardhu, adapun dzikir-dzikir yg sifatnya mutlak tetap dianjurkan kapan saja dan dimana saja, tanpa terikat dengan bacaan/bilangan tertentu. Adapun kebiasaan banyak orang yg berdoa usai shalat, atau usai berdzikir setelah shalat, maka saya pribadi tidak mendapatkan dalilnya. Bahkan kebiasaan itu justru tidak sesuai dengan sunnah Nabi, sebab Nabi tidak punya kebiasaan demikian usai shalat fardhu. Yang beliau anjurkan justru memperbanyak doa DI DALAM shalat, bukan DI LUAR shalat. Contohnya perintah beliau agar kita banyak-banyak berdoa ketika sujud dan setelah baca tahiyyat akhir sebelum salam. Itulah waktu yg disunnahkan untuk berdoa. Adapun setelah shalat Nabi hanya menyibukkan diri dengan wirid/dzikir. Dan hal ini logis, sebab doa yg dipanjatkan di dalam ibadah (shalat) adalah lebih afdhal dari pada doa yg dipanjatkan di luar ibadah, apalagi ketika shalat seseorang sedang kontak dengan Allah, maka itulah saat yg paling tepat untuk berdoa, bukan setelah kontak tsb terputus dengan berakhirnya shalat. Gitu khan logikanya?
4-Masalah jama’ dan qoshor antum baca aja buku-buku karya ulama terkenal yg membahasnya, terlalu panjang untuk ana jawab di sini. Tapi berkenaan dengan qoshor, antum harus tahu bahwa itu khusus berlaku dalam safar, bukan dlm kondisi lainnya. Yang disunnahkan ketika kita menjama’ shalat ialah sekali adzan dan dua kali iqamah, bukan dua kali adzan. Alasannya karena adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat, dan ketika shalat dhuhur dan asar dijama’, berarti kita melakukannya di satu waktu, jadi cukup sekali adzan saja. Adapun iqamah adalah pemberitahuan bhw suatu shalat akan segera dilaksanakan, sehingga dilakukan dua kali, karena shalatnya dua kali. wallahu a’lam.
Mengomentari jawaban Ustadz no 3 tentang berdoa sesudah solat ada hadisnya,
أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “Aku wasiatkan padamu wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat) : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud no. 1522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).
jawabannya, ‘dubur’ sesuatu adalah bagian dari sesuatu alias berada di dalamnya, bukan di luarnya. Demikian pula dubur shalat adalah bagian akhir shalat yakni sebelum antum keluar dari shalat. Ini penafsiran yg dirajihkan oleh Syaikhul Islam. Kesimpulannya, jika ada hadits-hadits yg mengatakan bacalah ini dan itu di dubur shalat, maka -menurut syaikh Ibn Utsaimin- jika yg dianjurkan untuk dibaca tadi sifatnya wirid/dzikir, maka membacanya setelah salam. Namun jika ia sifatnya doa, maka sebelum salam. Wallahu a’lam.
Ustadz bagaimana tanggapan antum mengenai tuduhan bahwa salafy wahhabi memalsukan kitab-kitab karya para ulama seperti yang ditulis dalam buku berjudul “Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi”. Untuk resensinya antum dapat membaca di http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/12/32137/Buku/Ketika_Kitab_Kitab_Dipolitisasi.html
Ana belum baca buku tsb, sehingga untuk memberi penilaian yg mendetail ana belum bisa. Tapi, tuduhan spt ini (atau bahkan yg lebih parah dari ini) bukanlah hal baru. Yg menggelikan ialah ketika mereka menganggap penerbit Daarul Kutubil ‘Ilmiyyah (DKI) asal Beirut-Lebanon, sebagai penerbit salafi-wahhabi (sebagaimana yg ana baca di situs nu tsb)… padahal kita semua tahu persis bahwa pemiliknya bukanlah salafi, bahkan salah satu teman saya yg warganegara Lebanon mengatakan bahwa Muhammad Ali Baidhun (pemilik penerbitan tsb) adalah seorang syi’ah. Tapi memang DKI banyak menerbitkan buku-buku tulisan ulama Ahlussunnah, dan -sayangnya- kualitasnya sangat-sangat jelek. Bahkan banyak dari masyayikh salafiyyin yg mentahdzir penerbit tsb karena saking seringnya melakukan tahrif dan tashif thdp kitab-kitab yg mereka cetak.
Agaknya penulis buku ini tidak faham betul, mana penerbit salafi dan mana yg bukan. Kelihatannya dia menganggap penerbit-penerbit timur tengah sebagai wahhabi-salafi. Kalau begitu sih ana bisa maklum… Sampai tahkik dan takhrij pun mereka anggap memalsukan… aneh banget tuh? Justru dengan tahkik-lah sebuah kitab bisa sampai ke tangan kita dengan baik dan benar, tapi tentunya hasil tahkik itu beda-beda, tergantung siapa yg mentahkik. Kalau pun ada salah satu pentahkik salafi yg melakukan pemalsuan (atau lebih baik kita namakan: kekeliruan), maka tidak berarti itu direstui oleh semua yg dianggap wahhabi/salafi, seperti ketika Gus Dur membela Ahmadiyah, terlibat skandal seks dgn Aryanti, dan sederet rapor merah lainnya… apakah berarti semua warga NU seperti itu, hanya karena Gus Dur adalah bagian dari NU??
Buku ini justru menjadi pertanda baik bahwa dakwah salafiyyah telah menyebar demikian pesat sehingga mengkhawatirkan musuh-musuhnya macam NU dll… akhirnya, mereka pun pake senjata lamanya, yaitu FITNAH. Itu sudah biasa ya akhi… bukankah para Nabi dan Rasul juga difitnah macam-macam? Toh yg benar akan kelihatan juga nanti… kita tunggu saja sama-sama.
ustadz..ada syubhat yang mengatakan berdasarkan definis thoghut yg dijelaskan oleh syaikh muh abdul wahab rahimahulloh didlm kitabnya..bahwa polisi dan tentara indonesia bs di sebut thoghut karna membela dan mendukung pemerintah yg mengganti hukum alloh?..sehingga bisa di kafirkan..mohon penjasannya ustadz..semoga alloh menjaga antum barakallohu fiik..
Tidak semudah itu mengkafirkan polisi dan tentara indonesia. Harus iqomatul hujjah dulu kepada mereka, jelaskan dengan baik bahwa mengganti hukum Allah itu perbuatan kufur akbar, tepis semua syubhat yg masih ada di benak mereka. Kalau setelah itu semua dilakukan mereka masih bersikeras membelanya, barulah PARA ULAMA boleh mengeluarkan vonis kafir. bukan sembarang orang yg memvonis…
Assalamu’alaykum Ustadz,
Adakah fatwa ulama di madinah atau yg lainnya ttg keadaan di mesir saat ini?
terutama ttg dakwah salafiyah di sana.
http://www.nahimunkar.com/salafi-dan-ikhwan-mesir-gelar-aksi-bersama-tuntut-khilafah-islamiyah/
assalamu’alaikum.
maksud ana, kalau kita kena liur anjing najis, kalau kena air kencing najis, dan seterusnya. Apakah setiap zat yang mengenai kita, jika syariat menyuruhnya untuk membasuh itu berarti zat tersebut najis?
Jazaakallooh
Kelihatannya sih begitu.
Assalamu’alaykum ustadz,
Bagaimana hukum mendapat hadiah Piala / Trophy? apakah termasuk Tasyabbuh bil Kuffar? Adakah dalilnya mengenai hal ini?
Jaazakallahu Khair atas jawabannya
assalamu’alaikum.
Ana mau bertanya beberapa hal:
1.Jika pakaian kena liur (jilatan) anjing, apakah mencucinya juga sebanyak 7 kali dan cucian pertama dicampur dengan tanah, seperti kalau anjing menjilat bejana?
2.Jika berburu menggunakan anjing buruan, hewan buruan yang tergigit anjing itu apakah bekas gigitan anjing itu harus dibasuh supaya suci dari najis anjing?
3.Apakah setiap yang dibasuh itu najis?
MOHON MAAF USTADZ pertanyaan saya belum dijawab!
Jazaakallooh
Wa’alaikumussalaam.
1.Setahu ana, mencuci tujuh kali yg salah satunya dengan tanah adalah khusus bagi jilatan pada bejana dan yg semisalnya. Sebab bejana biasanya digunakan untuk makan minum, sehingga bila tidak dicuci dengan tanah, masih ada kuman yg hidup dan bisa masuk ke tubuh manusia (ini secara ilmiah), adapun pakaian tidak demikian. Sehingga -insya Allah- bila dicuci dengan deterjen dengan baik pun cukup. Wallahu a’lam.
2.Bekas gigitan anjing harus dibuang, karena pasti terkena liurnya yg najis dan tidak bisa hilang dgn dibasuh, kan liur mudah meresap dalam daging, bagaimana bisa hilang dengan dibasuh?
3.Pertanyaan kurang jelas… tidak ada kaitan antara dibasuh dengan najis. Wajah, tangan, kaki dan kepala semuanya dibasuh ketika wudhu, dan bukan karena najis. Apa maksud antum?
ustadz, saya mau tanya tentang kaidah yang kira2 bunyinya begini:
“apa2 yang tidak bisa diambil seluruhnya maka jangan pula ditinggalkan seluruhnya”…
kaidah itu maksudnya apa, penerapannya bagaimana dan dibidang apa ustadz? mohon penjelasannya,.. terimakasih..
catatan:
soalnya saudara2 kita yang berpartai2 (dengan mengatasnamakan partai islam) dan masuk kedalam parlemen itu menggunakan kaidah ini (dulu saya anggota/kader mereka dan termakan oleh syubhat mereka yang berhujjah dengan kaidah ini)…
sebagai tambahan ustadz…
berdasarkan artikel yang saya sampaikankan di atas, ada orang yang menganggap penggunaan biogas itu haram….
Assalamu’alaikumwarohmatullohiwabarokatuh…semoga ustadz senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah…
begini ustadz, berkenaan dengan jawaban ustadz tentang biogas.. apakah penggunaan pupuk kandang juga diperbolehkan…sebab saya pernah membaca artikel yang mengharamkan penggunaan pupuk kandang… isi artikel nya sebagai berikut:
“Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menghukumi status hukum penggunaan barang-barang najis. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lain mengharamkan. Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang mengharamkan. Untuk itu, penggunaan pupuk kandang untuk pemupukan tanaman pada dasarnya adalah perbuatan haram, karena termasuk ke dalam “memanfaatkan atau menggunakan benda-benda najis”. Pemanfaatan di sini tidak terbatas pada aspek memakan, meminum, atau menjualnya, akan tetapi juga mencakup pemanfaatannya untuk pemupukan, pakan ikan, dan sebagainya. Adapun dalil yang mengharamkan pemanfaatan atau penggunaan barang-barang najis ada dua sisi:
pertama, pengharaman najis dari sisi najis itu sendiri;
kedua, adanya dalil-dalil yang mengharamkan najis dari sisi dzatnya, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan darah, bangkai, kencing, anjing, babi dan sebagainya.
1. Keharaman najis dari sisi najis itu sendiri.
Di dalam al-Qur’an terdapat perintah dari Allah SWT agar kaum muslim menjauhi segala macam najis. Allah SWT berfirman tentang khamer:
“Sesungguhnya arak, judi, berhala dan bertenung itu adalah najis, termasuk pekerjaan setan.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 90).
Maksud ayat ini adalah perintah untuk menjauhi najis itu sendiri. Walaupun najis dalam ayat ini dihubungkan pada arak, judi, berhala dan bertenung, akan tetapi perintah untuk menjauhinya tidak dihubungkan dengan empat hal tersebut akan tetapi dihubungkan dengan kata “najis” itu sendiri. Walhasil, berdasarkan dalalah isyarah bisa ditetapkan, bahwa ayat ini memerintahkan kaum muslim untuk menjauhi najis dari sisi najis itu sendiri. Allah SWT berfirman:
“Hendaklah kamu jauhi najis…” (Qs. al-Hajj [22]: 30).
Meskipun maksud najis dalam ayat ini adalah najis maknawi, akan tetapi tidak boleh dikatakan bahwa ia hanya mencakup najis maknawi saja dan tidak mencakup pada najis hissiy (najis factual). Sebab, kata “rijs” pada ayat kedua (Qs. al-Hajj [22]: 30) dihubungkan dengan huruf alif dan lam (isim ma’rifah), sehingga ia berfaedah pada pengertian umum. Artinya, “rijs” di sini bersifat umum, tidak hanya najis maknawi, akan tetapi juga najis hissiy.
Semua ini menunjukkan bahwa perintah untuk menjauhi najis disebabkan karena najis itu sendiri, bukan karena sebab yang lain.
2. Dalil-dalil yang mengharamkan najis.
Banyak sekali riwayat yang menuturkan tentang keharaman najis dari sisi dzatnya sendiri, misalnya darah, daging babi, kencing, dan lain sebagainya.
*Bangkai. Rasulullah Saw telah mengharamkan bangkai, baik menjualnya, memanfaatkannya (kecuali kulit yang disamak, bangkai ikan, dan belalang), dan dianggap sebagai najis. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Apa yang dipotong dari binatang ternah, sedang ia masih hidup adalah bangkai.” [HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi].
*Darah, baik ia darah mengalir, yaitu darah dari sembelihan hewan, atau darah haidl. Yang dimaksud darah di sini adalah darah yang tertumpah, bukan darah yang terdapat dalam urat-urat binatang yang disembelih. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah, ‘Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (Qs. al-An’âm [6]: 145]).
Aisyah berkata, “Kami makan daging sedangkan darah tampak seperti benang-benang dalam periuk.” Kata Hasan pula, “Kaum muslim tetap melakukan sholat dengan luka-luka mereka.” [HR. Bukhari].
*Daging babi. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah, ‘Tidak kujumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena itu adalah najis.” (Qs. al-An’âm [6]: 145).
Ayat ini menunjukkan dengan jelas, bahwa daging babi adalah najis.
*Anjing. Ia adalah najis dan wajib dicuci bagian tubuh yang dijilatnya. Ini didasarkan pada hadits riwayat Abu Hurairah, telah bersabda Rasulullah Saw:
“Menyucikan bejanamu yang dijilat oleh anjing, ialah dengan mencucinya sebanyak tujuh kali, mula-mula dengan tanah.” [HR. Muslim, Imam Ahmad, Abu Daud, dan al-Baihaqi].
*Binatang Jallalah. Binatang jallalah termasuk najis, karena ada larangan mengendarai, memakan dagingnya dan meminum susunya. Yang dimaksud dengan binatang jallalah adalah binatang yang suka makan kotoran sampai baunya berubah, baik hewan itu unta, sapi, kambing, ayam, itik, dan lain sebagainya. Jadi, jika itik diberi makan kotoran hingga berubah baunya, maka ia termasuk binatang jallalah. Terhadap binatang jallalah ini Rasulullah Saw telah melarang memakan dan mengendarainya. Ibnu ‘Abbas berkata, “Rasulullah Saw telah melarang meminum susu jallalah.” [HR. Imam Lima]. Dalam riwayat lain dituturkan, “Nabi melarang mengendari jallalah.” [HR. Abu Dawud].
Akan tetapi, jika binatang jallalah ini dikurung dan dipisahkan dari kotoran dan diberi makan yang bersih hingga beberapa waktu, dan kembali memakan makanan yang bersih, maka ia tidak lagi disebut binatang jallalah.
Seluruh hadits-hadits di atas adalah dalil yang terperinci mengenai keharaman benda-benda najis. Jika Allah SWT telah mengharamkan najis, maka menggunakannya juga tidak diperbolehkan. Kecuali tentang air kencing yang digunakan untuk berobat. Dengan demikian, kotoran hewan tidak boleh digunakan untuk apapun. Sebab, ia adalah najis. Perhatikan sabda Rasulullah saw terhadap bangkai, Rasulullah Saw bersabda:
“Janganlah kalian memanfaatkan bagian dari bangkai sedikitpun.” [HR. Bukhari dalam al-Târîkh].
Walhasil, pemanfaatan kotoran untuk pupuk termasuk perbuatan memanfaatkan najis yang terkategori keharaman.
Para fuqaha juga melarang jual beli benda-benda najis dan haram. Para ‘ulama membahas jual beli benda-benda haram dan najis ini dalam bab “Jual Beli Terlarang”.
Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab Minhaj al-Muslim menyatakan, “Seorang muslim tidak boleh (haram) memperjualbelikan barang haram dan najis. Seorang muslim tidak boleh memperjualbelikan khamer, babi, gambar, bangkai, patung dan juga anggur yang hendak dijadikan khamer.” Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamer, bangkai, babi, dan patung.” [HR. Muttafaq ‘alaihi].
“Barangsiapa menimbun anggur pada waktu panen untuk kemudian menjualnya kepada orang Yahudi atau Nashrani atau kepada siapa saja yang akan menjadikannya khamer, maka jelas-jelas dia telah memasukkan api neraka ke dalam matanya.” [HR. al-Baihaqi dan ath-Thabarani].
Jadi, siapa saja yang memperjualbelikan kotoran hewan baik untuk pupuk, atau untuk kepentingan yang lain adalah perbuatan haram.
Pada dasarnya anda bisa menggunakan pupuk dari daun-daun yang dibakar, atau dari daun-daun yang masih segar. Pupuk ini tidak kalah bagusnya dibanding pupuk kandang. Pemahaman bahwa tanaman hanya bisa subur dengan pupuk kandang adalah pemahaman yang kurang tepat.
Wallahu a’lam bi as-shawab.
mohon penjelasannya ustadz….barokallahufiik
Na’am..Faham Ustadz
syukron atas penjelasannya..
Zadanallah ilman wa hirsha
Assalamualaykum ustadz..
ada hal yg ingin ana tanyakan mengenai para sahabat yg keluar masjid pada saat sholat jumat.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah RA bahwasanya ketika Nabi SAW sedang berkhutbah sambil berdiri pada hari Jum’at, tiba tiba datanglah kafilah ( yang
membawa barang dagangan ) dari Syam, maka orang – orang ( di mesjid ) keluar berebut membeli barang dagangan itu, sehingga di dalam mesjid hanya tinggal
12 orang, lalu turunlah ayat ini :
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, maka mereka bubar untuk menuju kepadanya dan meninggal kamu ( Muhammad ) berdiri ( berkhutbah)”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Sahihnya pada Kitab Tentang Jum’at dan Sahih Bukhari serta termaktub di dalam Tafsir Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir.
afwan ustadz..yang ana tanyakan bagaimana memahami hadist tsb?apakah ada para sahabat yg berkhianat kpd Rosululloh?apakah mereka termasuk kedalam assalafusholeh?
sebelum dan sesudahnya ana ucapkan syukron wa Jazzakumuloh khairan..
wassalamualaykum warohmatullohiwabarokatuh..
Mereka melakukan hal tsb sebelum mengetahui bahwa mendengarkan khutbah jum’at itu wajib, akan tetapi setelah turunnya ayat tsb tidak ada seorangpun dari mereka yg melakukannya lagi. Dan antum harus tahu bahwa syariat itu turunnya secara bertahap, sehingga hal-hal seperti ini sering terjadi. Karenanya, jika kita mendapati ada hadits yg mengatakan begini dan begitu (yg kedengarannya tidak pantas dilakukan oleh sahabat Nabi), maka jangan tergesa-gesa menghukumi mereka dengan vonis yg tidak baik spt itu, tapi bacalah syarah hadits tsb terlebih dahulu niscaya akan jelas duduk perkaranya.
Semua sahabat adalah salafus shaleh, tanpa kecuali ! Dan tidak ada seorang sahabat pun yg berkhianat kepada Rasulullah, yg berkhianat hanyalah kaum munafikin, dan mereka bukan termasuk sahabat Nabi, sebab pada hakikatnya mereka tidak beriman secara batin, sedangkan definisi sahabat ialah orang yg pernah berjumpa dengan Nabi semasa hidupnya dlm keadaan beriman kpd Nabi, lalu ia mati sebagai mukmin pula, walaupun sempat diselingi murtad. Inilah definisi sahabat yg dirajihkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani. Faham?
mohon ana di kasih dalil tidak najisnya kotoran binatang halal!
Sebelum bicara dalil, perlu antum fahami bahwa yg namanya kotor itu beda dengan najis. Ukuran kotor/bersih tidak harus pake dalil, tapi bisa melalui perasaan. Sedangkan ukuran najis/suci hanya bisa ditentukan pakai dalil, karena najis/suci itu hukum syar’i. Jadi, sesuatu boleh jadi dianggap kotor namun tidak najis, contohnya ingus, daki di badan/pakaian, air mani, dll. Apa bedanya? Bedanya, kalau barang tersebut najis, maka kita harus membersihkannya sebelum berwudhu dan shalat, namun jika ia bukan najis tapi sekedar kotor, maka kita tidak wajib membersihkannya sebelum wudhu dan shalat, alias bila kita shalat dengan membawa sesuatu yg kotor tsb, shalatnya tetap sah. Faham?
Dalil tidak najisnya kotoran binatang yg halal dimakan dagingnya, ialah dengan melihat asalnya, yaitu binatang itu sendiri. Karena semua benda yg Allah ciptakan untuk manusia, hukum dasarnya adalah bersih (suci/tidak najis) dan boleh dipakai (sesuai fungsinya). Kecuali benda-benda yg dilarang secara khusus dlm syari’at. Karenanya, selama tidak ada dalil yg melarang kita menggunakan apa yg Allah ciptakan, maka kita tidak perlu menanyakan ini boleh/tidak untuk dipakai. Demikian pula halnya dengan apa-apa yg tidak dihukumi sebagai najis oleh syariat, maka kita tidak perlu menanyakan apa dalilnya itu tidak najis.
Berhubung kita tidak menemukan sebuah dalil pun yg mengatakan bahwa kotoran binatang yg halal dimakan itu najis, maka berarti ia tidak najis. Apalagi Rasulullah memerintahkan (mengizinkan) kita untuk shalat di kandang kambing (HR. Tirmidzi no 348 dgn sanad yg shahih). Dan kita tahu bahwa yg namanya kandang itu tidak mungkin bersih dari kotoran khan? Nah, simpulkan sendiri kalau begitu…
barokallahu fik. Ustadz, ana mau nanya! Bagaimana hukumnya kompor masak di dalam masjid yang menggunakan bahan bakar gas dari kotoran hewan (bio gas) ?
Wa fiika aidhan. Biogas itu secara fiqih merupakan hasil istihalah (perubahan suatu zat menjadi zat lain yg berbeda sifat-sifatnya), sehingga hukumnya thaahir. Contoh istihalah adalah khamer yg berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka cuka tsb hukumnya halal. Demikian pula biogas, lebih-lebih jika berasal dari kotoran hewan yg boleh dimakan dagingnya, maka kotorannya pun tidak najis.
Untuk memantapkan, mohon ana dikasih dalil mengenai tidak najisnya kotoran binatang halal!
menurut ustadz, bagaimana dengan pernyataan bahwa biogas itu haram… seperti dalam artikel di
http://istikuma.wordpress.com/2010/03/19/hukum-biogas-dalam-islam/
Sudah ana jawab berulang kali, cari saja dalam rubrik tanya jawab…
Pendapat ini tidak dapat diterima, karena :
(1) Meski gas yang dihasilkan tidak najis, tapi gas itu tidak dapat dipisahkan dari proses pembuatannya, yaitu memanfaatkan benda najis. Gas itu tidak muncul tiba-tiba dari alam, tapi ada proses rekayasa manusia yang mendahuluinya. Adanya gas adalah akibat, yang tidak akan muncul kecuali dari suatu sebab (pemanfaatan najis). Jadi menghukumi gas secara terpisah dari proses pembuatannya tidaklah sesuai dengan manath (fakta yang hendak dihukumi).
(2) Meski gas yang dihasilkan tidak najis, namun pemanfaatannya untuk memasak dan lain-lain adalah haram, bukan boleh. Kaidah fiqih menyebutkan : At-Taabi’ taabi’ (Apa saja yang mengikuti sesuatu yang lain, hukumnya sama dengan sesuatu yang lain itu) (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir). Adanya gas adalah at-taabi’ (sesuatu yang mengikuti) yang muncul dari proses sebelumnya, yaitu memanfaatkan najis. Dengan demikian, jika memanfaatkan najis adalah haram, maka memanfaatkan gas hasil proses tersebut, juga ikut haram hukumnya.
bagaimana menurut ustadz
Saya tetap tidak sependapat, sebab menghukumi kotoran hewan sebagai najis secara mutlak adalah tindakan keliru, kecuali bila hewan yg dimaksud adalah hewan yg haram dimakan. Bahas dulu asal masalahnya (kotoran hewan), baru membahas masalah turunannya (biogas). Lagi pula proses biogas tidak selamanya dihasilkan dari kotoran hewan, tapi bisa juga dari sampah/makanan yg membusuk. Apakah mereka berani mengharamkan ini pula?
Kalau mereka mengatakan bahwa gas itu hasil rekayasa manusia, itu juga tidak sepenuhnya benar. Manusia hanya membikin tempat penampungan kotoran dan menyalurkan gas yg dihasilkan, tidak lebih dari itu.
Kaidah at-taabi’ taabi’ tidaklah berlaku mutlak dalam setiap masalah. Contohnya bolehnya kita memanfaatkan kulit dari bangkai kambing setelah disamak. Padahal bangkai itu najis, dan kulit itu taabi’ lil mayitah (mengikuti asalnya yg notabene adalah bangkai). Pun demikian dlm hadits muttafaq alaih, ketika Nabi melihat ada sebagian sahabat yg menyeret-nyeret bangkai kambing, beliau menegur:Halla intafa’tum bijildiha? (mengapa tidak kalian manfaatkan kulitnya?), jawab mereka: “Innaha mayyitah” (Ini adalah bangkai). Lalu Kata Nabi: “Innama yahrumu akluha” (Yang diharamkan hanyalah bila kalian memakannya). Beliau juga bersabda: Ayyuma ihaabin dubigha faqad thahura” (setiap kulit yg disamak berarti suci (tidak najis). Padalah menyamak kulit jelas merupakan REKAYASA manusia, bukan proses alami, nah apakah kaidah attaabi’ taabi’ juga berlaku di sini???
Ustadz, mohon dijelaskan mengenai Naungan/Bayangan Allah terkait hadits 7 golongan yang mendapat naungan Allah, http://id.lidwa.com/app/?k=bukhari&n=620 …apakah hal ini termasuk Sifat Allah?
Bagaimana dengan penjelasan dari Syakh Bin Baz dibawah ini:
في حديث السبعة الذين يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله، فهل يوصف الله تعالى بأن له ظلاً؟
نعم كما جاء في الحديث، وفي بعض الروايات: ((في ظل عرشه))[1] لكن الصحيحين ((في ظله))، فهو له ظل يليق به سبحانه لا نعلم كيفيته مثل سائر الصفات، الباب واحد عند أهل السنة والجماعة. والله ولي التوفيق.
http://binbaz.org.sa/mat/4234
Dan penjelasan dari Syaikh Al-Utsaimin,Syarh al Aqidah al Wasithiyyah:
وقوله: “لا ظل إلا ظله”؛ يعني: إلا الظل الذي يخلقه، وليس كما توهم بعض الناس أنه ظل ذات الرب عز وجل؛ فإن هذا باطل؛ لأنه يستلزم أن تكون الشمس حينئذ فوق الله عز وجل. ففي الدنيا؛ نحن نبني الظل لنا، لكن يوم القيامة؛ لا ظل إلا الظل الذي يخلقه سبحانه وتعالى ليستظل به من شاء من عباده. أ.ه
Mohon dijelaskan Ustadz, Jazakallah
Ini termasuk hadits-hadits yg musykil, artinya para ulama berbeda pendapat ttg penafsirannya. Akan tetapi yg rajih adalah apa yg dikatakan oleh syaikh bin Baz, sesuai dhahir hadits. Sedangkan alasan yg dikatakan oleh syaikh utsaimin kurang tepat karena menyinggung masalah kaifiyah sifat Allah yang tidak bisa kita ketahui hakikatnya. Kalau beliau mengatakan bahwa adanya bayangan berarti karena ada matahari di atasnya, maka bisa kita tolak dengan mengatakan bahwa di jannah pun pepohonan memiliki bayangan yg demikian besar, tapi apakah berarti di atas jannah juga ada matahari? Nah, jika hal ini tidak berlaku mutlak, maka hadits ttg adanya bayangan Allah tidak boleh kita fahami dengan logika tsb. Wallahu a’lam.
jazakallahu khair atas jawabannya. ada lg ustad yg mw saya tanyakan
1. trus bgmn ustad dgn shalat sunnah stlh wudhu? dikerjakan stlh shalat sunnah tahiyatul masjid atw ikut gugur dgn adanya shalat rawatib? truz gpp kan ustad kalo mengerjakan shalat tahiyatul masjid kemudian mengerjakan shalat rawatib?
2. apa yg lbh baik dilakukan ustad, shalat sunnah ba’diyah atau dzikir sesudah shalat? terkadang qta sibuk ustad shingga harus memilih salah satu dr keduanya.
3. jika stlh shalat fardhu kan qta disunnahkan untuk berdzikir. truz klu setelah shalat sunnah apa qta berdzikir juga ustad seperti stlh shalat fardhu atw bolehkah klu qta langsung berdoa tanpa berdzikir? mohon penjelasanya ustad. jazakallahu khair barakallahu fiik….
Assalammu’alaikum,
Pak Ustadz Hudzaifah
Masalah : Kapan takbir ketika hendak sujud dan bangkit
dari sujud.
Pendapat Syaikh al-Albani:
Abu Hurairah ra bahwa: “Nabi saw apabila hendak sujud,
Rasulullah saw bertakbir kemudian sujud, dan apabila hendak bangkit
dari duduk beliau bertakbir lalu bangkit. “55
Hadits ini merupakan nash yang jelas, bahwa yang disunahkan
adalah bertakbir lalu sujud. Dan juga bertakbir dalam posisi duduk
lalu bangkit. Hadits ini juga sebagai bantahan terhadap apa yang
dilakukan sebagian orang-orang bertaklid dimana ia memanjangkan
takbir sejak dari duduk hingga berdiri
ash-Shahihah (II/155).
Pertanyaannya : Ini berarti Ketika akan sujud yaitu ketika posisi masih berdiri itidal sesudah membaca Robbana walakalhamdu setelah itu baca takbir begitu ( masih dalam keadaan berdiri itidal baca takbirnya ) ?
Syukron,
assalamu’alaikum.
Ana mau bertanya beberapa hal:
1.Jika pakaian kena liur (jilatan) anjing, apakah mencucinya juga sebanyak 7 kali dan cucian pertama dicampur dengan tanah, seperti kalau anjing menjilat bejana?
2.Jika berburu menggunakan anjing buruan, hewan buruan yang tergigit anjing itu apakah bekas gigitan anjing itu harus dibasuh supaya suci dari najis anjing?
3.Apakah setiap yang dibasuh itu najis?
MOHON PENJELASANNYA!
Jazaakallooh
Ustadz, saya mau bertanya tentang safar..
Sebenarnya berapakah jarak perjalanan yang digolongkan safar.. saya baca di beberapa buku yaitu sejarak sehari semalam dan ada pula yang sejarak tiga hari…
Lalu apakah seorang teman wanita yang dipercaya bisa menggantikan posisi lelaki mahrom untuk mendampinginya dalam bersafar? Menurut buku yang saya baca (wasiat rasul kepada kaum wanita: ‘adil fathi ‘abdullah: al qowam: hal. 127-131) “….safarnya wanita tergantung bagaimana secara kebiasaan. Kalau hanya perjalanan dekat dan tidak dikhawatirkan keamanannya maka tidak disyaratkan harus ada mahrom. Tapi bila perjalanan jauh dan keamanannya tidak terjamin maka harus ada mahrom atau teman wanita yang aman dan terpercaya, atau beberapa orang yang terdiri dari laki2 dan wanita yang tidak dikhawatirkan mereka akan mengganggu. Semua ini berpulang kepada kebiasaan..”
Mohon penjelasannya ya ustadz… karena pekerjaan saya ini bikin kepala pusing dan hati tidak tentram.. mau keluar juga tidak bisa karena beberapa kondisi, termasuk mengembalikan biaya selama kuliah (dulu saya kuliah dengan beasiswa selama 3 tahun)..
Lalu, adakalanya saya menghadiri ta’lim dengan jarak 80 km seorang diri alias tanpa disertai mahrom.. bagaimana pula hukumnya??
Menurut logika saya: mungkinkah 80 km itu ditempuh dengan berjalan kaki atau naik unta (dimasa rasul dan para sahabat ) sehingga bisa saja menjadi sehari semalam perjalanan atau bahkan lebih… sekarang kalau naik bus atau motor maka jarak 80 km itu bisa ditempuh selama 2 jam saja.. (ga nyambung ya ustadz?)..
Sekali lagi, mohon jawabanya ustadz.. terima kasih..
Ada beberapa riwayat memang yg menyebutkan safar sejarak sehari, tiga hari, dll; dan yang paling dekat adalah sehari semalam, yaitu sekitar 80 Km. Nah, berangkat dari sini, maka setiap bepergian yg berjarak 80 Km ke atas, secara syar’i sudah dianggap safar, karena Nabi menamakannya safar. Adapun jarak yg kurang dari itu, maka diukur berdasarkan kebiasaan masyarakat, bila masyarakat menilai dari solo ke Jogja dianggap sebagai safar, padahal jaraknya kurang dari 80 Km; maka itu dianggap safar. Namun bila belum, ya belum dianggap safar. Ini yg rajih.
Adapun pendapat yg mensyaratkan mahram hanya ketika kondisi tidak aman, ini pendapat yg lemah. Sebab nash haditsnya bersifat umum, tanpa dikaitkan dengan aman atau tidak aman. Lagi pula, zaman dahulu tindak kriminal tidak separah sekarang; pun demikian Nabi tetap mensyaratkan mahram, nah apalagi sekarang. Adapun pendapat yg membolehkan wanita terpercaya sebagai pengganti laki-laki, adalah pendapat yg lemah. Sebab sejak dahulu, yg namanya safar biasa dilakukan secara berkafilah, artinya rombongan… pun demikian, Nabi tetap mensyaratkan adanya laki-laki. Ada sebuah kaidah ushul fiqih yg diucapkan oleh Imam syafi’i, yg maknanya ialah bila ada dalil yg tidak merinci suatu keadaan, padahal keadaan tsb memiliki beberapa kemungkinan; berarti dalil tersebut berlaku umum dlm setiap keadaan yg mungkin terjadi. Contoh: Suatu safar bisa saja dilakukan secara sendirian, atau bersama rombongan wanita yg terpercaya, atau bersama rombongan wanita yg sebagiannya disertai suami mereka dan sebagian lagi tidak (ini dari sisi jumlah musafir), sedangkan dari sisi keamanan, bisa saja safar tsb terjadi saat kondisi aman, atau saat kondisi tidak aman. Pun demikian, ketika ditanya tentang safarnya wanita; Nabi tidak menanyakan atau merinci pertanyaan tsb; padahal boleh jadi si wanita tadi safar dlm kondisi aman, atau disertai rombongan wanita, atau kemungkinan2 lain yg saya sebutkan tadi; Nah, tidak merincinya Rasulullah ini menunjukkan bahwa jawaban beliau yg berbunyi “Tidak halal bagi seorang wanita yg beriman kpd Allah dan hari akhir untuk safar sejarak sehari semalam kecuali disertai mahram lelakinya” adalah berlaku umum dlm setiap kondisi.
Adapun jarak 80 Km yg ditempuh selama dua jam bukanlah alasan yg membolehkan seorang wanita untuk safar. Karena yg menjadi ukuran adalah jarak, bukan waktu. Wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum, Apa Kabar ya UStz, terima kasih sebelumnya ana ucapkan atas jawaban2 yang telah dibahas dengan bahasan yang baik dan bagus. Ada pertanyaan dari ana:
1. Apa pengertian masjid dan apakah setiap masjid yang dibangun harus ditanah wakaf?
assalamu alaikum ustad, saya mw mengulang pertanyaan saya yg wkt itu juga mw menambah sedikit.
assalamu alaikum ustad, saya mw tanya beberapa pertanyaan:
1. bgmn cara mengusap kepala bagi perempuan ketika berwudhu, apakah seluruhnya atau sebagian saja ustad?
2. bgmnkah yg benar dlm menghirup dan mengeluarkan air dr hidung ketika berwudhu apakah bersamaan dgn berkumur atau dilakukan stlh berkumur?
3. bolehkah menggabungkan shalat sunnah, sprt shalat tahiyatul masjid digabungkan dgn shalat rawatib dan juga shalat sunnah stlh wudhu dgn satu niat?
4. bagaimana hukumnya memotong rambut bagi wanita? jika diharamkan apakah mutlak pengharamannya?
5. bgmnkah hukumnya ikhthilat bagi perempuan yg melaksanakan umrah atau haji ketika melaksanakan rukun2x? juga ketika perjalanan menuju masjidil haram ataupun masjid nabawi yg berdesak-desakan dgn laki2 yg bkn mahram baik ketika haji atau umrah maupun dlm pelaksanaan shalat berjamaah biasa di masjid2 tersebut? apakah itu termasuk darurat?
jazakallahu khair ustad, barakallahu fiik…
Wa’alaikumussalam..
1. Pada dasarnya, apa yg berlaku bagi laki-laki berlaku pula bagi wanita, selama tdk ada pengecualian. Termasuk tatacara mengusap kepala dlm wudhu’. Menurut Imam Syafi’i, ayat dlm Al Maidah yg menjelaskan ttg cara wudhu (وامسحوا برؤوسكم… الآية) maksudnya adalah “usaplah sebagian kepala kalian”, dari sini, beliau berpendapat bahwa sebagian kepala saja yg harus diusap. Akan tetapi pendapat yg rajih ialah bahwa huruf ba’ dlm kata biru-uusikum tadi bukan menunjukkan sebagian, namun bermakna menempelkan tangan ke kepala saat mengusap. Dari sini, mereka mengharuskan mengusap seluruh kepala, dari ujung dahi (tempat tumbuhnya rambut) hingga tengkuk. Wallahu a’lam.
2.Menghirup dan mengeluarkan air dr hidung tentunya tidak bisa dilakukan bersamaan dengan berkumur, tapi dilakukan sesaat sebelumnya atau setelahnya. Ana tidak mengetahui dalil khusus yg menentukan kapan hal tsb dilakukan, karena toh hal itu masih diperselisihkan apakah wajib atau sunnah. Ada sebagian ulama yang hanya mewajibkan membasuh wajah saja tanpa mengharuskan berkumur dan istinsyaq, dan ini pendapatnya jumhur ulama. Sedangkan Imam Ahmad/madzhab hambali mewajibkan kumur-kumur dan istinsyaq. Intinya, bagi yg hendak melakukannya, maka dilakukan dalam rangkaian membasuh wajah, baik sebelumnya, maupun setelahnya, dan baik kumur-kumur dahulu baru menghirup air, atau sebaliknya.
3. Shalat Tahiyatul Masjid otomatis gugur dengan shalat dua rokaat apa pun yg kita lakukan saat masuk mesjid, baik itu rowatib, atau shalat fardhu. Jadi, bisa saja digabung dengan shalat tahiyatul masjid, tapi niatkan untuk selain tahiyatul masjid. Misal: jika antum disuruh pilih antara qabliyah fajar dengan tahiyatul masjid, maka pilihlah qabliyah fajar (yg dilakukan di masjid), karena dengan demikian antum mendapat fadhilah qabliyah fajar sekaligus tahiyatul masjid. Tapi kalau antum pilih tahiyatul masjid, maka akan kehilangan pahala qabliyah fajar.
4. Memotong rambut bagi wanita setahu ana tidak dilarang, asalkan tidak meniru gaya rambut laki-laki atau wanita kafir. Apalagi kalau alasannya dibolehkan dlm syari’at, spt dlm rangka berbekam di daerah kepala misalnya. atau untuk pengobatan secara umum.
5. Ikhtilath yg diharamkan ialah bila dilakukan secara kontinyu, dalam waktu lama, dan pada kondisi yg tidak harus dilalui dengan ikhtilat. Adapun ikhtilat yg tidak bisa dihindari, seperti di pasar, di jalanan, di area tawaf, di area haji dsb.. maka ini ditoleransi oleh Islam. Adapun ikhtilath dlm sekolah, kantor, dan tempat lain yg sebenarnya bisa dilakukan tanpa ikhtilat, inilah yg dilarang.
Wallahu a’lam.
satu lagi ustadz, pernah saya mengambil gaji saya ke bendahara provinsi dan waktu itu saya dan 2 teman lainnya nyampe di provinsi jam 4 sore (jam kerja telah selesai). namun bendahara tersebut masih mau memeriksa syarat2 kami (untuk mengambil gaji tersebut ada syarat2nya)dan memberikan gaji kami… bagaimana hukumnya jika kami berinisiatif memberi sedikit uang karena kebaikan orang tersebut yang masih mau meladeni kami diluar jam kerja (bahkan sampai jam 6 sore)??apakah termasuk suap??
kalau mengambil SIM secara nembak apa hukumnya ustadz? karena kalau mengikuti prosedur prosesnya terlalu lama (sering ga lulus) sementara polisi seing razia dadakan dijalan…
Ga’ boleh tuh, pemberian yg diberikan berkaitan dengan jabatan seseorang itu hukumnya haram. Walaupun karena jasa baik dia. Kalau ingin membalas kebaikan ya doakan saja dia (kalau muslim), atau ucapkan terima kasih (kalau non muslim). Lagi pula, kalau antum terlambat datang bukan karena sengaja, itu kan bukan kesalahan antum. Mestinya diusulkan saja kepada atasannya agar memberikan gaji lembur untuk bendahara tsb.
Mencari SIM dengan menembak sebaiknya dihindari, kecuali bila Polres sengaja mempersulit proses mendapatkan SIM, padahal anti sudah memenuhi syarat (tahu peraturan lalin dan bisa mengendarai dengan baik), maka anti boleh menembak. Tapi kalau anti memang belum memenuhi syarat, ya tidak boleh, karena itu berarti suap yg diharamkan.
assalamu’alaykum.
ustadz saya mau tanya:
1. saya bekerja di instansi pemerintah yang sampai alat tulis kantor (ATK)pun alhamdulillah ditanggung dengan cara membeli dengan uang kita terlebih dahulu kemudian diakhir bulan baru diganti sejumlah yang dipakai dengan menunjukkan faktur pembelian.. masalahnya ustadz waktu itu saya membeli kertas hanya 25.000/rim, tapi sama bendaharanya dikatakan bahwa harga itu terlalu rendah… minimal 40.000/rim.. saya sudah katakan kalau itu harga sebenarnya ketika membeli di toko buku.. beliau mengatakan (yang intinya) begitulah standar provinsi (masalah gaji dan penggantian uang ATK ini di provinsi) mengingat harga barang dimasing2 daerah berbeda2 jadi kita (provinsi) membuat standar.. kalau tidak nanti kami kena ketika diperiksa oleh yang berwenang.. apa yang harus saya lakukan ya ustadz?? Apa saya ikuti saja ‘kebijakan’ itu kemudian kelebihan (sisanya) saya sedekahkan untuk kepentingan social dan sejenisnya??
2. pekerjaan saya yaitu membina industri kecil dan menengah dan seringkali daerah yang saya bina/suluh sangat minim transportasi sehingga saya harus menginap di rumah pengusaha yang saya suluh. bagaimana hukum saya menginap tersebut?? catatan: saya menyuluh tidak disertai mahram.
3. Masalah yang dihadapi oleh rata2 industri yang saya bina adalah modal.. solusi dari kantor (pemerintah) adalah mencarikan bapak angkat yang mau meminjamkan modal (biasanya perusahaan2 besar atau bank konvensional) dengan tingkat suku bunga rendah, yaitu 6%/tahun. Bagaimana pula itu ustadz.. mau saya tolong saya tentunya tidak mau terlibat sebagai pemberi informasi dan pembuat proposal riba.. tidak saya tolong saya kasihan dengan IKMnya–karena sebelumnya kita telah memperbaiki aspek lain dan mengabaikan modal namun hasilnya tidak ada atau sedikit sekali,, selain itu saya digaji memang untuk membina mereka dari segala aspek… lalu bagaimana kalau saya mengarahkan untuk meminjam uang ke bank syariah saja seperti bank mu’amalat atau BPR syari’ah?? Apakan itu artinya podo saja??
Wa’alaikumussalaam
Untuk pertanyaan 1, bila anti menerima uang 40.000 sebagai ganti dari 25.000 tanpa ada syarat sebelumnya, alias anti tidak tahu bahwa ternyata harga patokan kertas di provinsi adalah segitu, maka insya Allah tidak mengapa. Itu bukan Riba. Tapi jika anti sedekahkan sisanya tentu lebih baik lagi.
Adapun apa yg anti lakukan dengan memberi penyuluhan di daerah tertentu sebenarnya baik, tapi bila jarak tempuh ke daerah tsb tergolong ‘safar’ (sekitar 80 km), maka kepergian anti harus disertai mahrom. Jika tidak, berarti haram hukumnya. Apalagi bila disertai menginap di rumah seorang pengusaha, wah lebih berbahaya lagi tuh… fitnahnya lebih besar.
Semua pinjaman yg disyaratkan harus dikembalikan dengan tambahan (bunga), berarti RIBA. Sekecil apa pun suku bunga itu (walau 0,01 %), selama ia disyaratkan di awal akad, maka ada empat pihak yang terjerumus dalam riba di sini, yaitu: Peminjam, Pemodal, Pencatat transaksi, dan saksi-saksinya (barangkali anti masuk dlm yg terakhir ini). Kata Rasulullah: Mereka semuanya sama ! (HR. Muslim). Bank Konvensional dan Syari’ah sama saja prinsipnya, cuma beda istilah. Ini menurut hasil penelitian Dr. Muh Arifin Badri, MA dalam bukunya ttg Bank Syariah, dan saya sudah tanya langsung kepada beliau dan ternyata sama saja.
Assalamu’alaikum Ya Ustadz, Bagaimana Kabarnya
Ana mau tanya… di Mekkah ada rumah peninggalan Rasulullah, banyak pertanyaan bahwa tidak terjaga dan terawatnya bahkan hancurnya rumah tempat rasulullah lahir tersebut akbiat perbuatan wahhaby-salafy. Padahal, rumah tersebut merupakan tempat bersejarah untuk umat islam. Mohon Pencerahannya Ustadz
KALAUPUN ISU TERSEBUT BENAR, maka kaum wahabi/salafi sengaja melakukan hal tersebut (tidak menjaga tempat bersejarah) demi menjaga hal yg jauuuuh lebih penting dari itu, yaitu keselamatan akidah umat Islam. Lho bagaimana, apa hubungannya? Begini, kita semua tahu bahwa penyakit kultus individu, terutama terhadap orang-orang yg diklaim sebagai shalih/wali demikian mewabah di tubuh umat Islam. Bahkan sebagian besar fenomena syirik yg ada di lapangan berangkat dari sini. Coba aja antum lihat tuh kuburannya si Gus Dur yg dibangun megah… untuk apa kalau bukan biar semakin banyak pengunjung yg ngalap berkah/minta-minta di sana? Budaya ngalap berkah dan minta-minta kepada orang mati demikian kental di masyarakat indonesia… tapi mengapa justru difasilitasi seperti itu? Jawabannya, karena mayoritas masyarakat kita masih bergelimang dlm bid’ah, khurafat, dan kemuysrikan. Makanya hal-hal spt itu selalu eksis, dan memang sengaja dipelihara demi kepentingan golongan tertentu…
Nah, ketika kita harus dihadapkan kepada dua pilihan: Menjaga tempat-tempat bersejarah yg konsekuensinya berarti melanggengkan praktek ngalap berkah dan minta-minta (baca: syirik) tsb; atau menghancurkan tempat-tempat tsb demi menjaga akidah umat… menurut para penyembah kubur dan pengkultus orang-orang shalih, tentu pilihan pertama yg harus dipilih. Tapi menurut kaum muwahhidin (ahli tauhid, wahhabi, salafi), maka pilihan kedualah yg harus dipilih.
Dan ternyata pilihan kedualah yg tepat. Apa buktinya? Simaklah riwayat berikut:
عَنْ نَافِعٍ ، قَالَ بَلَغَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ، أَنَّ نَاسًا يَأْتُونَ الشَّجَرَةَ الَّتِي بُويِعَ تَحْتَهَا ، قَالَ فَأَمَرَ بِهَا فَقُطِعَتْ.
Nafi’ (bekas budaknya Ibnu Umar) menceritakan, bahwa Umar mendengar kalau orang-orang sering mendatangi pohon tempat Nabi dibai’at (Bai’atur Ridhwan), maka pohon tersebut ditebang atas perintahnya (HR. Ibnu Abi Syaibah dlm Mushannafnya, no 7627).
Umar tidak menyuruh agar pohon tersebut dikarantina atau dipagari sehingga tidak bisa dikunjungi seperti dahulu, tapi menyuruhnya agar ditebang… Padahal pohon tersebut merupakan peninggalan sejarah yg luar biasa, bahkan disebut-sebut dalam AL Qur’an, sedangkan tempat lahirnya Rasulullah tidak sampai sehebat itu, karena tidak disebut-sebut dlm Al Qur’an (Al Fath: 18). Pun demikian, demi menjaga tauhid masyarakat yg dikhawatirkan lambat laun menjadikan pohon tsb sebagai ajang mencari berkah, dan bila dibiarkan bisa menjadi ajang kemusyrikan nantinya; maka Umar pun menebangnya. Sebab melindungi hak Allah (tauhid) diatas segalanya… inilah yg menjadi teladan mereka yg disebut wahhabi atau salafi itu. Apalagi Rasulullah telah berwasiat agar kita mengikuti ajaran (Sunnah) beliau dan ajaran (sunnah) khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau, yg salah satunya adalah Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu. Jelas khan?
assalamu’alaykum ust.
belakangan marak pmberitaan ttg Usamah bin Ladin yg ‘katanya’ meninggal dlm serbuan tentara AS.
nah yang ana tanyakan bagaimana sikap kita thdp Usamah ini? jujur aja, ana skrg agak kurang nyaman dgn penyebut langsung Usamah ini anjing2 neraka. dan juga ana minta tanggapan antum thdp video (prtemuan syaikh Shaleh ‘Utsaimin dgn Usamah bin laden) ini http://www.youtube.com/watch?v=NZXiO899gHY
jazaakallaahukhayra atas jawabannya ust..
Sikap kita terhadap Usamah secara umum adalah seperti kita menyikapi ahli bid’ah lainnya. Kita tidak mengkafirkan dia -karena sejauh yg kita ketahui dia belum terjerumus dlm kekafiran, meskipun telah terjerumus dlm dosa besar-, kita membenci bid’ah yg ada pd dirinya (bukan membenci sosoknya), tapi kita tidak membencinya 100 persen, karena setiap muslim -betatapun fasiknya- tetap harus kita beri wala’ secara minimal. Jadi, kebencian kita thd Usamah tidak boleh menghapus kadar minimal dari wala’ kita kepadanya sebagai sesama muslim.
Adapun mengatakan bhw Usamah itu anjing neraka, maka ana sendiri belum berani… karena itu berarti menghukumi seseorang secara ghaib… kalaulah kita saja tidak tahu bagaimana nasib diri kita pribadi di akhirat nanti, bagaimana kita bisa menentukan nasib seseorang? Kecuali kalau ada nash khusus yg mengatakan bahwa Usamah bin Ladin itu anjing neraka, maka lain soal. Tapi kan tidak ada nash seperti itu…
Yg ada adalah bahwa khawarij itu anjing neraka… kalau tidak salah, ini ucapan Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu ‘anhu ketika menyaksikan kepala-kepala kaum khawarij yg digantung di sebuah tempat di Syam. Tapi itu sifatnya umum, bukan ditujukan kepada orang-perorang secara khusus… kita harus membedakan antara nash yg sifatnya umum dengan yg sifatnya khusus. Spt bila ada nash yg mengatakan bahwa barang siapa melakukan ini berarti ia telah kafir… ini sifatnya umum, alias tidak bisa kita gunakan untuk memvonis Si Joko atau Si Marno yg melakukan hal tsb. Sebab tidak semua pelaku kekafiran harus menjadi kafir karenanya.
Adapun pertemuan Syaikh Utsaimin dan Usamah memang benar terjadi, tapi itu dulu waktu terjadi Jihad Afghan yg pertama (yg melawan Uni Soviet). Ketika itu para ulama menilainya sebagai jihad yg syar’i, bahkan pemerintah Saudi secara resmi mendukung jihad tsb. Adapun kemudian nampaklah niat asli sebagian dari mereka yg ternyata memendam benih-benih takfir selama ini… mulailah sebagian ‘mantan mujahidin’ tadi melontarkan tuduhan kafir kepada sebagian besar pemerintah muslim karena dianggap kaki tangan salibis. Pemicunya adalah perang teluk, ketika Saudi meminta bantuan AS untuk melawan Irak (yg ketika itu termasuk negara terkuat kelima di dunia secara militer). Jumlah pasukan Irak yg mencapai sejuta personel tentu tak mungkin ditandingi oleh Saudi yg konon tak sampai 200 ribu. lagi pula dari sisi persenjataan juga jauh… dan musuh yg dihadapi adalah Saddam Husein dgn tentara Ba’ats-nya yg ‘RAJA TEGA’… jangankan bangsa lain, rakyatnya sendiri saja tega dia habisi demi menjaga tahtanya.
Maka wajarlah bila Saudi menyewa tentara bayaran dari AS dan sekutunya, di samping juga banyak pasukan relawan dari Mesir dan Suriah, untuk menghadapi Irak. Lagi pula bisa antum bayangkan kalau sampai Irak menguasai Saudi, betapa kacaunya negeri itu nanti, dan tentu tidak akan menjadi negara Islam lagi. Tapi, biarlah saudi ‘rugi’ sekian milyar… yg penting negara tidak hancur, dan rakyat tidak jadi bulan-bulanan. Uang bisa diganti (dan ternyata memang akhirnya diganti oleh Allah dengan lebih banyak dari yg keluar untuk biaya perang), tapi kalau nyawa siapa yg akan mengganti? Hal ini tentunya telah dikaji masak-masak oleh para ulama sebelum memfatwakan bolehnya mengundang pasukan Kafir (baca: menyewa) untuk melawan musuh bersama… Akan tetapi banyak kalangan yg menilai sesuatu dengan hawa nafsu saja tanpa ilmu… akhirnya menuduh para ulama sebagai ulama suu’ atau ulama pemerintah. Yg salah satunya adalah Bin Laden itu sendiri… padahal dulu waktu melawan Uni Soviet dia juga dibantu AS… Aneh khan?? Memang, di dunia ini banyak yg aneh… tapi nyata!!
Assalamu’alaikum, Ustadz Apa Kabar, alhamdulillah semoga Allah melindungi antum beserta keluarga.
Ustadz ana ada pertanyaan, bagaimana menjawab pertanyaan sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa kaum maaf Wahhaby Salafy tidak menjaga situs/ atau tempat bersejarah lahirnya Rasulullah, karena ana juga baca bahwa tempat tersebut tidak dirawat banyak tulisan2 tidaj bertanggung jawab disana, mohon penjelasannya ustadz.
Syukron
Wassalamu’alaikum
Assalamu’alaikum warahmatulloh wabarakaatuh
Ustadz ana ingin tanya mengenai air mani dan madzi.
1.ada kasus orang sudah tua karena lelah dan capai tiba2 keluar maninya,pertanyaannya apakah ia wajib mandi?
2.tentang madzi disebutkan hukumnya najis, ketika suami istri jima’,maka keluar madzinya dulu kemudian baru keluar mani,pertanyaannya apakah yang masuk (ke tubuh istri) itu mani bercampur madzi, ataukah hanya mani saja? karena jika madzi ikut masuk berarti najis masuk ke dalam tubuh?
Mohon penjelasannya!
Jazakallahu Khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh
Sebelum menjawab pertanyaan, perlu antum ketahui ciri-ciri mani yg membedakannya dari madzi, yaitu ia keluar diiringi perasaan nikmat (syahwat) dan badan terasa loyo setelahnya… sedangkan keluarnya madzi tidak menyebabkan badan loyo (kehilangan syahwat), alias syahwat masih ada dan -maaf- buah zakar masih bisa ereksi. Kalau orang tua lelah dan capai lalu tiba-tiba keluar sesuatu, ana rasa itu madzi, bukan mani. Sebab madzi kadang kala keluar karena kelelahan, sedangkan mani hanya keluar karena gelora syahwat.
Madzi yg ikut masuk ke tubuh istri akan keluar lagi bersama sisa air mani. Jadi tidak perlu was-was. Wallahu a’lam.
Assalamualaikum, ustad bagaimana pengertian sholat witir ?
Assalamu’alaykum Ustadz,
Sebenarnya apa yg terjadi dg dakwah salafiyah di mesir?
http://www.nahimunkar.com/kebangkitan-salafi-mesir-pasca-revolusi/
Assalamu alaikum wr. wb.
ust..bgagaimana cara kita mengenal ciri-ciri dari jawabn istikharah yang telah dilakukan,
Wa’alaikumussalaam
Biasanya dengan merasa mantap, atau mungkin bisa juga lewat mimpi. Wallahu a’lam.
Assalamau alaikum..ust. saya mau tanya tentang penafsiran mimpi, bisa tidak…?
Wassalam
Wa’alaikumussalaam. Ma’af, saya tidak ahli menafsirkan mimpi.
Assalamu’alaikum
Ustadz ana ingin bertanya tentang masalah: Bolehkah ana menyebarkan artikel dari website hizbut tahrir di Facebook yang berisi tentang masalah2 yang disepakati oleh semua kaum muslimin semisal masalah penegakan Syariat Islam dan perlawanan/kritik terhadap sekularisme dengan segala sisinya?
Jujur saja tadz, ana merasa pembahasan tentang penegakan Syariat Islam di Indonesia dengan berbagai sisinya [ga cuma pembahasan wajibnya berhukum kepada hukum Allah secara global sebagaimana yang ditulis di website2 salafi] yang sifatnya sistem ketatanegaraan [termasuk hukum2 pidana dan sejenisnya bukan hanya sekedar tauhid, shalat, dll] itu jarang -kalau ga boleh dikatakan ga ada sama sekali- dibahas di website2 salafi apalagi masalah kritik terhadap sekularisme dari berbagai sisinya [termasuk dari sisi realita, dll].
Apakah tetap terlarang ana menyebarkan artikel2 yang sifatnya seperti diatas [masalah2 yg disepakati oleh kaum muslimin khususnya dalam penegakan Syariat Islam dan perlawanan terhadap Sekularisme] dari website2 yg berhaluan HTI? Dan ini ana lakukan setelah ana tidak mendapati artikel yang sejenis dari website2 Salafi? Apakah tetap dilarang? Apa pendapat antum?
Oya ada yang ketinggalan. Teman2 ana di FB sebagian besarnya adalah tukang ngaji [di kajian Salafi] dan sebagian sisanya adalah -anggaplah- bukan tukang ngaji.
Sebelum menilai bahwa website salafi sangat jarang membahas ttg sekulerisme, cobalah tengok situs berikut: http://www.nahimunkar.com (yg mengasuh adalah ust. Hartono Ahmad Jaiz, dkk, dia salafi insya Allah).
Ana sih tidak melarang, tapi kalau antum tetap melakukannya, boleh jadi antum akan dicap ‘HIZBI’ oleh sebagian kalangan, dan antum belum tentu sabar menerima cap tsb.. yg nantinya menimbulkan fitnah. Nah, dari pada begitu, mendingan jangan nukil dari HTI, tapi dari lembaga/sumber lain yg netral. Wallahu a’lam.
pak ustadz… melanjutkan pertanyaan “seorang muslim”
bagaimana dengan hamba yang berdosa, terus bertobat, dosa, tobat, berulang2, apakah dosa2nya senantiasa bisa dimaafkan ?
Ustadz Abu Hudzaifah
Mohon dijawab pernomor ya Pak Ustadz !
Apa kedudukan hadis di bawah ?
1. Barangsiapa meninggalkan shalat jumat tanpa uzur, hendaklah ia bersedekah dengan satu dinar. Jika tidak menemuka, maka dengan setengah dinar (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Samurah bin Jundub dan ia hadis shahih).
2. Pandanglah orang tua penuh kecintaan. Menurut Ibnu Abbas ra, Rasulullah SAW bersabda: “Seorang anak yang memandang kepada orang tuanya dengan pandangan cinta, akan dicatat Allah seperti amalan orang yang naik Haji Mabrur” (R. Ar-Rafi’I dalam sejarah Kaspi dan oleh al-baihaqi dalam Syu’abil Iman).
3. Doa nabi yunus, apakah bisa dibaca sebanyak-banyaknya ? misalkan 100 kali, atau lebih tak dihitung jumlahnya.
Doa allahummainna’afuwwun tuhibbul ‘afwafa’fu’annii sebanyak banyaknya. Apakah itu diperbolehkan ?
4. Jika dalam sehari saya membaca surat Almulk berulang-ulang apakah itu boleh ? Misal, mengulang-ulang dalam sehari membaca surat Almulk 12 kali,
5. Bagaimana jika membaca surat alimlam tanzil sajdah, kan ada ayat sujud tilawahnya, jadi jika bisa dibaca berkali-kali dalam sehari, berarti sujud tilawahnya bisa berkali-kali juga ?
Karena, kedua surat tersebut ada dalam hadis tingkat hasan yang disebut almani’ah penjaga dari siksa kubur dan neraka.
Syukron,
Assalamu’alaikum, ustadz ana minta teks arab untuk hadits ini yang ana dapat dari layanan SMS supaya tidak ada salah penafsiran. Sekalian tolong koreksikan jika ada tafsiran yang salah.
Daripada Abu Musa al-Asy’ari r.a., Nabi s.a.w. bersabda:
“Allah menghulurkan tanganNya pada waktu malam, maka yang berdosa pada siang hari boleh bertaubat. Dia menghulurkan tanganNya pada siang hari, yang melakukkan dosa pada malam hari boleh bertaubat. Sehinggalah terbit matahari dari arah barat.”
(Hadist Riwayat Muslim)
Jazakallahu Khoiron Jaza.
teks haditsnya:
إن الله يبسط يده بالليل ليتوب مسيء النهار، ويبسط يده بالنهار ليتوب مسيء الليل ،حتى تطلع الشمس من مغربها
kata ‘yabsuthu yadahu’ secara bahasa artinya membuka telapak tangan-Nya. Ini menunjukkan bahwa Allah memang memiliki tangan yg hakiki. yang selalu terbuka sepanjang malam untuk menerima taubatnya orang yang berdosa di siang harinya, dan selalu terbuka di siang hari untuk menerima taubatnya orang yg berdosa di malam harinya. Demikian seterusnya sampai matahari terbit dari barat, yg berarti tertutuplah pintu taubat saat itu.
Begitulah penafsiran hadits ini kira-kira.
assalamu’alaikum….
pak ustadz…manakah yang benar, dalam doa ketika akan tidur berikut ini:
bismika allahuma ahya wa bismika amuut…
atau sebaliknya…bismika allahumma amuut wa ahya…
mohon penjelasannya
Wa’alaikumussalaam
Secara makna, yg lebih tepat adalah bismikallaahumma amuutu wa ahya, karena kita hendak tidur dan tidur itu saudaranya mati. Maka kita mulai dengan kata ‘amuutu’ (aku mati) terlebih dahulu.
Bismillah …
Assalamu’alaykum warahmatulloh wabarakaatuh ..
Ustadz hafidhohulloh … ana mohon bantuan unstadz untuk memperjelas masalah tentang tawassul dengan orang mati yang berdalil dengan hal-hal berikut ini :
————————————————————————–
1.Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: “رحمك الله يا أمي بعد أمي” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:
“ا
• لله الذي يحي و يميت و هو حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع عليها مدخلها بحق نبيك و الأنبياء الذين من قبلي”
(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
2.Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemusian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:
“ا
للهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجت
ي…”
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku)
Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)
3.Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab “Fathul Bari” 2/577)
4.Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)
————————————————————————
jazaakumulloohu khoir atas bantuannya …
Sebagiannya telah ana jawab lewat artikel “ini dalilnya (3)”.
assalamu alaikum ustad, saya mw tanya beberapa pertanyaan:
1. bgmn cara mengusap kepala bagi perempuan ketika berwudhu, apakah seluruhnya atau sebagian saja ustad?
2. bgmnkah yg benar dlm menghirup dan mengeluarkan air dr hidung ketika berwudhu apakah bersamaan dgn berkumur atau dilakukan stlh berkumur?
3. bolehkah menggabungkan shalat sunnah, sprt shalat tahiyatul masjid digabungkan dgn shalat rawatib dan juga shalat sunnah stlh wudhu dgn satu niat?
4. bagaimana hukumnya memotong rambut bagi wanita? jika diharamkan apakah mutlak pengharamannya?
jazakallahu khair ustad, barakallahu fiik…
Assalamualaikum, ustadz, ana mau tanya mengenai hukum feng shui dalam islam. mohon dibahas ustadz. jazakallahkhair, wassalam.
Assalamu`alaykum
Apa kabar ustadz? Semoga antum dalam keadaan baik, Allah selalu memberkahi antum dan keluarga. Ustadz, ana ada pertanyaan tentang buku-buku referensi dari seseorang yang meggunakan buku-buku tersebut untuk me”legalkan” bid`ah mereka. Apakah pendapat Ustadz terhadap buku tersebut?
Ini adalah buku-buku yang ana maksud
Mafahim Yajib an-Tushahhah karya Prof. Dr. Muhammad Alwi al-Maliki, Al-Hujaj al-Qath’iyyah Fii Shihhah al-Mu’taqadaat wa al-‘Amaliyaat al-Nahdiyyah karya KH. Muhyiddin Abdushshomad, Hujjatu Ahli Sunnati… wal Jama’ah karya KH. Ali Ma’shum, Al-Ajwibah al-Ghaliyah fi Aqidah al-Firqah al-Najiyah, I’anatut-thalibin, Bughyatul Mustarsyidin.
Mohon pencerahannya untuk menanggapi buku-buku tersebut.
Jazakallahu.
buku yg pertama (mafahim…) telah dibantah habis oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alusy Syaikh (skrg menjabat menteri agama Saudi) dlm buku: Haadzihi Mafaahimuna. Beliau menunjukkan betapa kacaunya cara berdalil si Prof Dr tsb (perlu diingat bhw si Maliki dpt gelar dari MESIR, tapi ga’ sampe professor, baru doktor doang). Syaikh Shalih benar-benar membuktikan bahwa si Prof Dr ini sebenarnya sangat jahil dlm berbagai disiplin ilmu. Ana sudah baca bukunya, luar biasa memang. Coba antum cari di internet.
Adapun buku-buku lainnya ana belum baca, tapi isinya bisa ditebak ! Mereka rata-rata pakai qiyas yg ngawur dan semuanya karya mutaakhkhirin syafi’iyyah yg memang banyak terkontaminasi faham tasawuf. Kaidah penting dlm membantah mereka ialah bahwa perkataan ulama itu bukan dalil, tapi memerlukan dalil. Kalau perkataannya sesuai dengan dalil maka ia semakin memperkuat dalil tsb, namun kalau perkataannya bertabrakan dengan dalil, maka jangankan mereka yg semuanya tergolong ulama muqallid, guru besar mereka saja spt imam Syafi’i mengharuskan agar kita mengikuti dalil (sunnah) dan mencampakkan perkataan beliau yg bertentangan dengannya.
Ana mengoleksi sejumlah buku model itu, dan lagi-lagi mereka pakai qiyas yg ngawur. Langkah pertama mereka ialah menakwilkan hadits “Kullu bid’atin dhalalah”, bahwa yang dimaksud bukan semua bid’ah… bla.. bla.. bla.. sehingga kesimpulannya bahwa ada juga bid’ah yg tidak dhalalah, dan itulah yg dinamakan bid’ah hasanah. Dari sini mereka mulai meligitimasi apa saja yg mereka inginkan.
Mereka juga kacau dalam membedakan antara bid’ah, istihsan, dan masalih mursalah. Sehingga mengqiyaskan bid’ah dlm agama dengan orang haji naik pesawat terbang, adzan pakai mikrofon, makan pakai sendok dll yg sangat menggelikan sebenarnya. Tapi… begitulah ketika hawa nafsu yg berbicara.
Bismilah..
Ustadz, ana ada beberapa pertanyaan:
1. Bolehkah ummahat ketika rekreasi ke pantai, ikut berbasah-basah ke laut (dg menggunakan hijab sempurna)? Bagaimana bila tujuannya untuk menjaga anak-anak?
2. Bagaimanakah beriman pada qodho & qodar Alloh pada kasus sperti ini yaa ustadz??
Dimana seseorang menganggap bahwa kesalahan yang diperbuat oleh dirinya sendiri (sehingga dia mendapatkan akibat buruk dari kesalahan tersebut), adalah karena kesalahannya sendiri semata, tidak ada ketentuan taqdir Alloh atasnya. Sehingga orang tersebut selalu menyalahkan dirinya sendiri..
Jazakallohu khoyr..
Sekedar rekreasi ke pantai sih boleh, tapi masalahnya ketika ummahat berbasah-basah, pasti pakaiannya akan ngepres menampakkan lekuk-lekuk auratnya. Ini yg haram. Kecuali kalau pantainya menyediakan tempat khusus bagi wanita, maka boleh, namun ana rasa di Indonesia belum ada yg kaya gitu.
Yang menjaga anak mestinya bapaknya, bukan ibunya. Ana kalau rekreasi ke pantai sama teman-teman di Saudi juga begitu caranya. Bapak-bapak yg berenang sambil jaga anak, sedangkan ibu-ibu sekedar cuci mata.
Jawaban pertanyaan kedua ana pending dulu, masih sibuk nih.
Assalamu’alaikum warrohmatulloh ustadz yg semoga selalu dalam lindungan dan rahmat Allah Jalla wa ‘Alla.
Ustadz, saya minta tolong dijelaskan perihal tafwidh. Karena saya baca artikel di blognya ustadz Abul Jauzaa : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/at-tafwidl.html, tetapi afwan mungkin karena masih sangat kurangnya pengetahuan saya, saya berpendapat apa yg ditulis ustadz Abul Jauzaa tersebut hanya menyentuh kulit luarnya sedangkan apa tafwidh itu sendiri kurang tersentuh oleh beliau (ini hanya anggapan saya saja ustadz).
Dan mengapa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menganggap batil madzhab tafwidh?
Demikian ustadz. Terima kasih atas kesediaan waktu ustadz untuk menjawab pertanyaan saya. Barokallohu fiik.
Ustadz misalnya kita sholat jama’ah terus kita di belakang imam. Lalu imamnya batal. Terus kita kan menggantikan. Nah kalau imamnya berhenti di suatu ayat dari suatu surat lalu kita menggantikannya, apakah kita meneruskan ayat tersebut atau bagaimana? lalu bagaimana kalau kita belum hafal surat yang dibacakan imam tersebut?
Jazakallah
kalau imam sudah baca al-fatihah, maka yg menggantikan tidak wajib membaca ayat/surat lain setelahnya. Ia bisa langsung ruku’ dan melanjutkan shalat yg tersisa. Wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum
Tadz, ana mau tanya. Ana dengar di Univ Islam Madinah ada kelas persiapan bahasa. Kelas itu lama studinya berapa tahun?
Kitab apa saja yang dipakai di kelas persiapan bahasa tersebut? Tolong sebutkan ya tadz…
Terima kasih…
Wa’alaikumussalaam.
Iya benar. Lamanya tergantung mahasiswa ybs. Bisa setahun, dua tahun, atau lebih. Kalau ga’ salah target maksimal-nya 5 smester. Kitab yg dipakai ana ga’ tahu krn ga’ pernah masuk kelas tsb. Tanya aja ke ust. Firanda yg pernah di sana. Atau nt cari infonya di situs resmi Univ. Islam Madinah (www.iu.edu.sa) namanya: Ma’had Ta’limul Lughah.
Assalamu’alaykum Ustadz,
Semoga Alloh selalu menjaga Anda.
Pertanyaan ana:
1. Apa definisi Shahabat ?
2. Bagaimana membedakan seseorang yg hidup di zaman Rasululloh, ia merupakan shahabat atau orang munafik?
Jazakallohu khoyron.
Wa’alaikumussalaam wr wb.
Definisi sahabat menurut pendapat paling rajih adalah: Siapa saja yang pernah bertemu dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan beriman kepadanya, lalu wafat dalam keadaan beriman pula, walaupun diselingi dengan murtad. Artinya, orang yg dahulu beriman kepada Nabi, lalu setelah Nabi wafat dia murtad, dan kemudian kembali lagi menjadi muslim sampai dia mati, maka dia tetap dianggap sebagai sahabat.
Dari definisi di atas, otomatis orang-orang munafik tidak bisa dianggap sebagai sahabat, karena walaupun mereka bertemu dengan Rasulullah, akan tetapi hati mereka tidak beriman kepadanya. Adapun bagaimana cara membedakannya, maka bisa dengan perbuatan dan sikap, seperti yg dilakukan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul dan pengikutnya yg berjumlah 300 orang dan semuanya mundur ketika perang Uhud. Demikian pula dengan sekitar 80 orang yg tidak ikut perang Tabuk, selain wanita, anak-anak, dan 3 orang yg dikecualikan (yakni Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabie’); maka sisanya adalah munafik semua, dan Allah menurunkan sejumlah ayat dlm surat At Taubah ttg mereka. Dan masih banyak rambu-rambu lain yg bisa kita jadikan patokan dlm hal ini, hanya saja kita tidak bisa mengetahui nama mereka satu-persatu selain Abdullah bin Ubay ibnu Salul -setahu ana-. Dan ini pasti ada hikmahnya. Sebab kalau nama-nama mereka disebut satu-persatu, niscaya orang yg tidak disebut akan tenang-tenang saja setelah itu karena dianggap bebas dari kemunafikan. Namun dengan tetap wallahu a’lam.
Ustadz, maaf apa ta’liq antum untuk keterangan syaikh al Albani di Tamam al Minnah di atas?
Barokallahu fi ‘ilmikum.
Apa yg dikatakan oleh Syaikhul Islam adalah pendapatnya Imam Ishaq bin Rahuyah. Berikut ini nukilannya dari sunan Tirmidzi:
سنن الترمذي (2/ 399):
523 – حدثنا ابن أبي عمر حدثنا سفيان عن سهيل بن أبي صالح عن أبيه عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من كان منكم مصليا بعد الجمعة فليصل أربعا
[ قال أبو عيسى ] هذا حديث حسن صحيح
حدثنا الحسن بن علي حدثنا علي بن المديني عن سفيان بن عيينة قال كنا نعد سهيل بن أبي صالح ثبتا في الحديث
وروي عن [ عبد الله ] بن مسعود أنه كان يصلي قبل الجمعة أربعا وبعدها أربعا
و [ قد ] روي عن علي بن أبي طالب [ رضي الله عنه ] أنه أمر أن يصلى بعد الجمعة ركعتين ثم أربعا
وذهب سفيان الثوري وابن المبارك إلى قول ابن مسعود
وقال إسحق إن صلى في المسجد يوم الجمعة صلى أربعا وإن صلى في بيته صلى ركعتين
واحتج بأن النبي صلى الله عليه و سلم كان يصلي بعد الجمعة ركعتين في بيته وحديث النبي صلى الله عليه و سلم من كان منكم مصليا بعد الجمعة فليصل أربعا
قال أبو عيسى و ابن عمر هو الذي روى عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه كان يصلي بعد الجمعة ركعتين في بيته و ابن عمر بعد النبي صلى الله عليه و سلم صلى في المسجد بعد الجمعة ركعتين وصلى بعد الركعتين أربعا
حدثنا بذلك ابن أبي عمر حدثنا سفيان [ بن عيينة ] عن ابن جريج عن عطاء قال رأيت ابن عمر صلى بعد الجمعة ركعتين ثم صلى بعد ذلك أربعا
Agaknya wajhul istidlal beliau ialah adanya kata: “Falyushalli ba’daha arba’an”, dan setahu ana ini mengandung makna ta’qieb, yang berarti ‘segera setelahnya’. Kemudian jika kita mengamati praktik jum’atan di zaman Nabi, maka yg hadir shalat jum’at adalah warga madinah dan sekitarnya, bahkan Syaikhuna Al ‘Allamah Muhammad Mukhtar Asy Syinqiethy mengatakan bahwa para sahabat datang dari jarak 3 mil untuk jum’atan di Mesjid Nabawi, sehingga banyak dari mereka yg mengeluarkan keringat dan bau badan. Sebab di zaman Nabi shalat Jum’at hanya dilakukan di mesjid beliau. Dan hal ini berlangsung terus hingga masa Harun Ar Rasyid. Di masa tsb, orang yg hendak jum’atan di Baghdad harus menyeberang sungai Dajlah, sehingga banyak korban berjatuhan. Maka Khalifah Harun minta fatwa kepada Abu Yusuf dan beliau memfatwakan bolehnya ta’addud jumu’at. Dan itulah pertama kalinya terjadi ta’addud jumu’at dalam satu kota. (ini semua keterangan yg ana dengar langsung dari Syaikh Syinqiethy, mudah2an ana bisa menyertakan sumbernya kemudian).
Nah, berangkat dari realita di atas: Mungkinkah seseorang yg shalat jum’at di rumahnya yg berjarak 3 mil (umpamanya dia tinggal di Quba) dianggap mengamalkan sabda beliau: “Falyushalli ba’daha arba’an ?”. Padahal kalau jalan kaki butuh waktu minimal setengah jam… Wallahu a’lam, ana sekedar berusaha memahami wijhat nazhar ulama salaf semacam Imam Ishaq bin Rahuyah dan Syaikhul Islam, yg tentunya lebih faham terhadap dala-ilun nushus dari pada ulama mu’ashirin secara umum. Maa ro’yukum ya ustadz?
فأنت ترى أن رواية أبي داود تختلف عما عزاه إليه ابن القيم من وجهين : الأول : أن فيها أنه كان يصلي ست ركعات وهو يقول : أربعا الثاني : فيها أن ذلك كان في مكة وهو يعني المسجد الحرام وابن القيم قال : ” المسجد ” أي المسجد النبوي بدليل ما بعده ” وإذا صلى في بيته ” يعني
في المدينة لأن ابن عمر مدني كما هو معلوم
فإذا عرفت هذا فراويه أبي داود هذه لا تدل على التفصيل الذي ادعاه ابن تيمية وزعم ابن القيم أن الحديث يدل عليه وذلك لأمور : الأول : أن الدعوى أنه يصلى ستا
الثاني : أنه خاص بالمسجد الحرام والدعوى عامة
الثالث : أنه موقوف فليس بحجة ومن المحتمل أنه فعل ذلك لأمر يتعلق به أو لغير ذلك من الأسباب التي ذكرها الشوكاني في ” نيل الأوطار ” ( 3 / 239 )
قوله في سنة الجمعة البعدية : ” قال ابن القيم : قال شيخنا ابن تيمية : إن صلى في المسجد صلى أربعا وإن صلى في بيته صلى ركعتين ”
قلت : هذا التفصيل لا أعرف له أصلا في السنة إلا ما سيذكره من حديث ابن عمر ويأتي قريبا بيان ما فيه وقوله في الحديث الصحيح المتقدم : ” من كان منكم مصليا بعد الجمعة فليصل أربعا ”
رواه
مسلم وغيره وهو في ” الإرواء ” ( 625 ) لا دليل فيه على ان الأربع في المسجد والحديث الصحيح المعروف : ” أفضل صلاة المرء في بيته الا المكتوبة ” فإذا صلى بعد الجمعة ركعتين أو أربعا
في المسجد جاز أو في البيت فهو أفضل لهذا الحديث الصحيح
قوله في تمام كلام ابن القيم المتقدم : ” وقد ذكر أبو داود عن ابن عمر أنه [ إذا ]
صلى في المسجد [ صلى ]
أربعا وإذا صلى في بيته صلى ركعتين ”
قلت : الجملة الأولى من هذا الأثر اختصرها ابن القيم رحمه الله اختصارا مخلا بالمعنى وانطلى أمره على المؤلف ولا غرابة في ذلك فإن من عادته عدم الرجوع إلى الأصول وإنما الغريب أن يخفى ذلك على من علق على ” زاد المعاد وزعم أنه ” حقق نصوصه وخرج أحاديثه . . ” فإنه قال في تخريج هذا الحديث ( 1 / 440 ) : ” رواه أبو داود ( 1130 ) في الصلاة : باب الصلاة بعد الجمعة ”
فإن لفظه في المكان الذي أشار إليه : ” عن عطاء عن ابن عمر قال : كان إذا كان بمكة فصلى الجمعة تقدم فصلى ركعتين ثم تقدم فصلى أربعا وإذا كان بالمدينة صلى الجمعة ثم رجع إلى بيته فصلى ركعتين ولم يصل في المسجد فقيل له ؟ فقال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعل ذلك ”
وهكذا رواه البيهقي ( 3 / 240 – 241 ) وهو مخرج في ” صحيح أبي داود ” ( 1035 )
Assalamualaikum ustadz, ana yg dr semanggi tadz, tadz afwan mau tanya tp cm pertnyaan santai, Ana pernah membaca Ada nobel di kota madinah, Nobel itu tentang apa y tadz? Apa tentang pendidikan tadz? setau Ana Di Indonesia ustadz Ali musri pernah dapat
Assalammu’alaikum, Pak Ustadz saya ingin bertanya lagi, terimakasih jawaban sebelumnya,
Apa kedudukan hadis di bawah :
1. “Rasulullah pernah bersabda yang bermaksud..Barangsiapa yang berkata Laa ilaaha illALLAHU.. dan memanjangkan sebutannya (pada huruf mad) kata ulamak pada “laa” yang berada di awal, nescaya ALLAH akan meruntuhkan 4000 dosa besar yang telah dia perbuat…Para sahabat bertanya kepada Rasulullah..Bagaimana jika ia tiada dosa besar..maka Rasulullah berkata.. ALLAH akan mengampunkan dosa keluarganya dan jiran-jirannya…”
2. “Rasulullah saw pernah bersabda yang bermaksud..”barangsiapa yang membaca Laa ilahaillahu” maka ia akan dapat menolak bala sebanyak 99 bala dan dapat menghilangkan segala kegundahan dan kesedihan yang dialaminya..”
3. Hadis : “Sebagian orang-orang yang buruk diantara kamu adalah orang-orang bujangan. Dua rakaat dari orang yang sudah kawin lebih baik daripada 70 rakaat dari orang yang tidak kawin.” ( H.R. Ibnu Adiy dari Abi Hurairah ). Apa kedudukan hadis ini ? Apa tafsir nya ?
4. Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, “Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, “Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)”. Kemudian, Ali ra. kembali berkata, “Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir”. Rasulullah berkata, “Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan ‘Allah’, ‘Allah’. “Bagaimana aku berzikir?” tanya Ali. Rasulallah bersabda, “Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula”. Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
5. Dari Abu Hurairah R.A, Rasulullah SAW berkata, “Seorang lelaki Israel meminta seorang Israel lain untuk meminjamkannya seribu dinar. Lelaki yg memberi pinjam meminta saksi. Si peminjam menjawab, “Allah cukup sebagai saksi.” Lelaki itu berkata lagi, “Aku mahukan penjamin.” Si peminjam menjawab, “Allah cukup sebagai penjamin.” Lelaki itu berkata, “Betul katamu” dan meminjamkannya wang untuk satu tempoh masa.
Si peminjam belayar ke lautan. Setelah tamat pekerjaannya, dia mencari kapal supaya dia dapat sampai pada masanya untuk membayar hutang, tetapi gagal. Jadi, dia mengamil seketul kayu lalu membuat lubang pada kayu itu, lalu memasukkan seribu dinar serta sepucuk surat kepada pemberi pinjam ke dalamnya, & menutup ketat lubang itu. Dia membawa kayu itu ke laut & berkata “Ya Allah! Kau tahu yang aku meminjam seribu dinar dari si polan. Dia meminta penjamin tetapi aku memberitahu Allah cukup sebagai penjamin, & dia menerima Jaminan Mu. Dia meminta saksi & aku memberitahu Allah cukup sebagai saksi, & dia menerima Kau sebagai Saksi. Aku telah berusaha mencari kapal untuk membayar balik wangnya tetapi gagal, jadi aku menyampaikan wang ini kepada Mu.” Sambil berkata, dia melontar kayu itu ke jauh lautan, dan pergi dari situ. Seterusnya dia terus mencari kapal untuk ke negara pemberi pinjam.
Suatu hari, pemberi pinjam keluar dari rumahnya untuk melihat samada kapal telah sampai membawa wangnya, dan tiba2 dia terlihat sebatang kayu. Dia membawanya pulang sebagai kayu api. Apabila dia memotongnya, dia terjumpa wangnya & surat itu.
Tak lama kemudian, peminjam datang membawa seribu dinar kepadanya dan berkata, “Dengan nama Allah, aku telah cuba mendapatkan kapal untuk memulangkan wangmu, tetapi gagal sebelum kapal yang aku naiki ini.” Pemberi pinjam bertanya, “Adakah kau menghantar sesuatu untukku?” Peminjam menjawab, “Aku telah memberitahu, aku gagal mendapatkan kapal selain dari kapal yang aku naiki ini.” Pemberi pinjam berkata, “Allah telah menyampaikan, atas pihakmu, wang yang kau hantar dalam sekeping kayu. Jadi, kau simpanlah seribu dinar itu & pergi dalam bimbingan jalan yang benar.”
Sahih Bukhari, Vol. 3, Hadis No 488B diambil dari : Quran terbitan King Fahd Complex, Arab Saudi
Syukron.
Hadits no 1-2-3-4 kelihatannya palsu semua. Adapun yg nomor 5 tidak diragukan keshahihannya.
assalamu alaikum ustad, saya ingin bertanya lagi. jika krn terlalu lama warisan tdk dibagikan shgg beberapa ahli waris yg seharusnya mendapat warisan meninggal dunia. apakah ketika warisan itu dibagi para ahli waris yg sdh meninggal itu tetap mendapatkan haknya atw tdk ustad? jazakallahu khairan kastiron
iya, mereka tetap dapat, lalu dibagikan kpd Ahli waris mereka masing-masing.
Assalammu’alaikum,
A. Apa kedudukan hadis di bawah ?
Dalam riwayat lain dikatakan: “Nabi mengerjakan empat rakaat sebelum Jum’at tanpa memutus keempat rakaat tersebut (dengan salam) dan empat rakaat sesudahnya” (H.R. Ibnu Majah).
B. Tanpa memutus rakaatnya artinya beliau solat empat rakaat. Apakah solat sunat rawatib empat rakaat pada jumat itu pada rakaat keduanya tahiyat awal dulu ?
C. Apakah tanpa memutus rakaatnya alias empat rakaat di hadis itu berarti solat ba’diyahnya juga ?
D. Apakah bisa dilakukan 2 rakaat 2 rakaat ?
Balas ya Pak Ustadz perabjad !
Syukron,
Jawab:
A. Hadits dgn lafazh tsb tidak saya temukan. itu gabungan dari dua hadits yg diriwayatkan oleh dua sahabat yg berbeda. Hadits pertama adl hadits ibn Abbas bhw Nabi Shalat 4 roka’at sblm Jum’at tanpa dipisah, hadits ini derajatnya sangat lemah (dha’if jiddan). Adapun hadits kedua adalah hadits Abu Hurairah yg derajatnya shahih.
B. Cara pelaksanaan ba’diyah Jum’at ada dua macam. Jika dilaksanakan di Mesjid maka shalatlah empat rokaat dengan dua kali salam (yakni 2-2), atau dengan sekali salam (4 rokaat sekaligus dengan satu tahiyyat). Kedua cara ini boleh dilakukan. Namun jika shalat ba’diyahnya dilakukan di RUMAH, maka cukup dua roka’at berdasarkan hadits Ibnu Umar riwayat Bukhari dan Muslim. Pun demikian, Ibnu Umar sendiri awalnya hanya shalat dua roka’at setelah Jum’atan, dan beliau melakukannya di rumah. Namun kemudian setelah dua roka’at tadi beliau shalat lagi 4 roka’at. wallaahu a’lam.
C. Baik yg 4 roka’at maupun yg 2 roka’at setelah Jum’at, keduanya dinamakan ba’diyah. Jadi niatnya ba’diyah semua.
D. Bisa.
NB: TOLONG JAWABAN INI DIBACA DENGAN TELITI DAN DIFAHAMI. KALAU BELUM FAHAM MAKA DIBACA LAGI BERULANG KALI. JANGAN BURU-BURU TANYA LAGI DAN MUTER-MUTER DALAM PERTANYAAN YG SAMA SEPERTI TENTANG NIAT PUASA !!