Soal-Jawab
Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh,
Kepada ikhwan dan akhwat pengunjung Blog Abu Hudzaifah yg saya cintai…
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas Blog ini, saya khususkan halaman ini bagi yg ingin menyampaikan ‘uneg-uneg’-nya, baik keluhan, pertanyaan, atau sekedar curhat… Semoga dengan itu semua saya jadi lebih semangat untuk menyampaikan ilmu saya kepada antum semua.
Jadi, saya tunggu partisipasi antum… Jazakumullahu khairan katsieran,
Wassalaam,
Assalamualaykum warohmatulloh wabarokatuh..
afwan ustadz…Apakah semua sholat sunnah Rawatib harus dikerjakan di rumah? atau hanya sholat magrib saja yg diharuskan dirumah sesuai dalil sabda Rosululloh ketika Beliau selesai sholat magrib kemudian Rosululloh memerintahkan para sahabatanya utk sholat sunnah 2 rakaat dirumah (afwan ana lupa redaksi Hadistnya)..situasinya begini ustadz..ana pulang kerja jam setengah enam sore waktu magrib jam 17.45wib ,ana Insya Alloh Ta’ala selalu sholat berjamaah di masjid dekat kantor namun ketika selesai sholat magrib ana kadang ragu utk melaksanakan sholat sunnah ba’da magrib di masjid(karena hadist diatas).namun kalau ana sholat sunnah dirumah tidak mungkin krn jarak kantor kerumah sekitar 20-an kilo dan biasanya sampai dirumah sudah masuk waktu sholat isya..apakah boleh kita meng-qadha sholat sunnah magrib dirumah bila keadaanya demikian..?atau apakah boleh kita sholat sunnah setelah sholat magrib di masjid bila keadaanya demikian?
syukron Ustadz atas tanggapannya..afwan kalo kepanjangan …Zadanallah ilman wa hirsha
Jazaakallahu khayran
wassalamualaykum warohmatulloh wabarokatuh..
Wa’alaikumussalaam…
Kalau memang bener ada hadits yg memerintahkan spt itu, maka itu perintah yg bersifat sunnah, bukan wajib. Semua shalat sunnah rawatib boleh saja dilakukan di mesjid, bahkan jika kita takut terlewatkan/terlupakan bila tidak kita lakukan di mesjid, maka dari sisi ini yg lebih utama ialah melakukannya di mesjid. namun jika kita yakin/menduga kuat bisa melakukannya di rumah, maka itu yg lebih afdhal. Sebab Nabi tidak memerintahkan agar semua shalat sunnah dilakukan di rumah, tapi cukup sebagiannya saja, agar rumah kita tidak spt kuburan.
Assalamu’alaykum
Ustadz, apa hukumnya jika seseorang membunuh orang lain karena terpaksa. Misal -ini hanya permisalan jika kasus semacam ini memang ada-: seorang TKW ingin diperkosa lalu dia membela diri dan matilah si majikan. Apakah si TKW ini tetap dihukum bunuh walau dia melakukan pembunuhan tsb karena membela diri?
Satu lagi, jika antum tahu ada tulisan khusus [bahasa arab/inggris ga masalah] yang berkaitan dengan hal ini, tolong beritahukan judulnya ke ana, ana ingin baca…
Terima kasih…
Wa’alaikumussalaam…
Masalah pembunuhan bukanlah hal sepele walaupun dilakukan karena terpaksa. Para ulama mengatakan bahwa jika seseorang dipaksa untuk membunuh seorang muslim lainnya dengan ancaman bila tidak mau melakukannya maka dia sendiri yg akan dibunuh; maka tetap saja yg diancam tidak boleh membunuh orang tsb, sebab darahnya di mata syari’at tidak lebih utama dari darah seorang muslim manapun. Rasulullah bersabda (المسلمون تتكافؤ دماءهم) Darah kaum muslimin itu setara. Artinya, Darah Abu Bakar Ash Shiddieq dengan darah seorang muslim terendah di mata syariat adalah setara. Darah raja muslim dengan rakyat jelata adalah sama. Bahkan dlm sebuah atsar yg masyhur, Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu pernah mengatakan bahwa seandainya penduduk suatu kota bersekongkol membunuh seorang muslim, maka mereka semua akan ku-qishash (hukum mati).
Berangkat dari sini, maka Nabi mengajarkan agar kita sangat berhati-hati dlm masalah ‘darah’ ini. Karena ia tidak hanya berhubungan dengan satu atau dua pihak, tapi ada tiga pihak yg terkait:
1. Allah
2. Keluarga korban
3. Korban.
Hak Allah dapat kita tunaikan dengan taubat karena Allah itu maha pengampun, dan apa-apa yg berhubungan dengan-Nya biasanya bersifat ‘mudah’ dan tidak terlalu diperhitungkan. Sedangkan hak keluarga korban dapat ditunaikan dengan membayar diyat, atau mendapat ampunan cuma-cuma, atau menghadapi qishash. Namun bagaimana dengan korban itu sendiri? Kita tidak bisa menunaikan haknya dengan cara apa pun karena ia telah beralih ke dunia lain… dan manusia itu biasanya akan menuntut haknya, sehingga ini benar-benar masalah yg pelik dan berbahaya. Sampai-sampai ada sebagian ulama yg mengatakan bahwa pembunuhan itu tidak ada taubatnya… (meskipun ini pendapat yg tidak rajih).
Berangkat dari mukaddimah singkat ini, maka bila seseorang dihadapkan pada suatu kondisi yg mengancam keselamatan dirinya, hartanya, atau kehormatannya karena serangan dari seorang muslim (baik itu perampok, pencuri, pemerkosa, dsb); maka hendaklah ia menolak ancaman tsb/membela dirinya dengan cara yg paling ringan yg dapat melumpuhkan si penjahat. Misalnya dengan pukulan yg membikin jera terlebih dahulu. kalau masih nekat, maka beralih ke pukulan yg lebih menyakitkan namun tidak mematikan. Hingga sampai kepada tingkat bahwa si penjahat tidak akan menyerah/menghentikan kejahatannya kecuali bila dibunuh; maka ketika itulah kita diperbolehkan untuk membunuhnya.
Adapun apakah si TKW tetap dihukum bunuh? Itu tergantung keputusan pengadilan dan bukti-bukti yang ada. Kalau memang ia telah berusaha membela diri dengan cara yg ringan namun tidak berhasil, hingga akhirnya terpaksa membunuh si majikan, dan hal tsb bisa dibuktikan; maka insya Allah ia tidak akan dihukum bunuh. Tapi kalau tidak bisa dibuktikan? Wallaahu a’lam bagaimana nasibnya…
Ana belum mendapatkan tulisan khusus ttg hal tsb.
ustadz kalo vonis pancung bagaimana? apakah vonis mati semua sama dimata Islam? misalnya gantung – pancung – tembak mati dsb..
Vonis pancung menjadi pilihan karena dinilai memiliki kelebihan sbb:
1-Menimbulkan imej ‘ngeri’ bagi para penonton, sehingga mereka berfikir seribu kali untuk melakukan kejahatan serupa.
2-Paling mematikan dan secara teori tidak menyakitkan, sebab yg pertama kali diputus adalah leher dari belakang, sehingga syaraf-pun seketika terputus yg logikanya rasa sakit -kalaupun ada- maka hanya sepersekian detik. Ana pernah menyaksikan 4 orang yg dipancung, dan tidak satupun dari mereka yg bergerak sedikitpun setelah lehernya putus. Sama sekali tidak berkutik walaupun darahnya mengucur deras… ini -wallahu a’lam- menunjukkan bahwa ybs tidak kesakitan lagi. Beda dengan fenomena kambing yg disembelih yg masih kelonjotan setelah itu… sebab penyembelihan dimulai dari bagian depan leher, dan syaraf (yg terletak di tulang belakang) belum terputus… makanya dia akan kesakitan dulu baru akhirnya mati… (tapi ini lebih baik bagi daging sembelihan karena darah hewan tidak tertahan dlm daging yg bisa berakibat negatif).
Dlm hal ini, hukuman gantung gantung memiliki efek serupa kalau dilakukan spt Saddam Husein, bukan dengan ditarik dari bawah ke atas spt di Iran. Tapi tetap saja efek ‘ngeri’nya tidak seperti dipancung.
3-Pancung sesuai dengan sunnah Nabi.
afwn kalo ini kdengaran bodoh..
tp saya mau nanya nih..
pernyataan ustadz
yg mngatakan bahwa “yg berkaitan dngn Allah itu ‘mudah’ dan tdk terlalu diperhitungkan…”
afwn ..
apa tdk seharusx itu msi h harus di luruskan..?
bukan kah bagi Allah mmbunuh seorang muslim adalah hal yg berat disisi Nya..?
jd menurutku…
dengan Allah pun masih sangt berat..
mohon penjelasannya
Itu ana terjemahkan dari perkataan ulama yg bunyinya: (حقوق الله مبنية على المسامحة) artinya: “Hak-hak Allah itu dibangun atas dasar musamahah”, nah musamahah itu arti harfiyahnya ialah pemaafan. Artinya, mana yg lebih berat di sisi Allah: “Pembunuhan ataukah Syirik?”, tentu syirik bukan. Nah, berhubung Allah itu Ghafuurur Rahiem, syirik pun akan dimaafkan oleh Allah bila pelakunya bertaubat. Apalagi dosa pembunuhan. Jadi, yg berkaitan dengan hak Allah dlm kasus pembunuhan bisa dimaafkan bila pelakunya sungguh-sungguh bertaubat. Ini bukan berarti pembunuhan itu ringan di mata Allah, bukan. Tapi bila dibandingkan dengan hak korban, maka hak Allah ‘lebih mudah untuk ditunaikan’ karena sifat Allah yg pengampun tadi… beda dengan hak manusia yg dibangun atas dasar musyaahah, artinya, manusia itu sifat dasarnya pelit, dan tidak mudah memberikan sesuatu secara cuma-cuma.
Ala kulli haal, syukron atas komentarnya.
Assalaamu’alaikum,
Ada pertanyaan dari ikhwan :
1)bolehkah dua kali sholat wajib dengan satu kali tayammum
2)bolehkah sholat sunnah kemudian sholat wajib dengan satu kali tayammum
Jazaakallooh khoiron
Wa’alaikumussalaam warahmatullah
Dalam hadits shahih riwayat Abu Dawud, dan Tirmidzi, Nabi bersabda: (الصعيد الطيب طهور المسلم وإن لم يجد الماء عشر سنين) Tanah yg baik adalah media bersucinya seorang muslim walaupun tidak mendapatkan air selama 10 tahun !… alhadits. Ini menunjukkan bolehnya melakukan ibadah-ibadah yg disyaratkan thaharah dengan bertayamum jika tidak bisa berwudhu (baik karena tidak ada air, tidak bisa menggunakan air karena sakit, atau air yg ada tidak cukup, atau jika airnya dipakai wudhu maka tidak ada yg tersisa untuk minum, yg berarti ‘mati’). Hal ini boleh dilakukan tanpa batasan waktu tertentu. Jadi, tayammum di sini berperan persis spt wudhu’. Selama ia belum batal maka kita tetap boleh shalat/tawaf hingga berpuluh-puluh kali dengan sekali tayammum, sampai terjadi hal-hal yg membatalkan wudhu (pembatal tayammum=pembatal wudhu), atau sampai udzur yg menjadikan kita beralih ke tayammum tsb hilang. FAHIMTA ya akhi?
Assalamu’alaikum,
UStadz Bagaimana Kabarnya…
Alhamdulillah mudah2 an antum dan keluarga dalam lindungan Allah,
Berikut pertanyaan ana….
1. Apakah masjid yang bukan tanah wakaf/ wakaf , kita tidak boleh sholat didalamnya,
2. Apakah sah shalat jum’at apabila khatibnya tidak merangkap jadi imam, maksudya khatib sendiri dan imam sendiri
Syukron atas pencerahannya
Wassalam
Wa’alaikumussalaam warahmatullah…
Alhamdulillah, ana sekeluarga baik-baik saja.
Setahu ana tidak ada larangan untuk shalat di mesjid tersebut. Karena pada dasarnya semua bagian bumi Allah adalah tempat shalat, selain pekuburan, dan tempat-tempat yg Najis atau yg ada larangan khusus untuk shalat di sana (spt Kandang Unta).
Adapun masalah kedua, menurut madzhab Maliki memang disyaratkan bhw yg berkhutbah dan menjadi imam Jum’atan adalah satu orang. Ini merupakan syarat sahnya Jum’atan menurut mereka. Kalau tidak demikian, berarti jum’atan-nya tidak sah, kecuali bila khatibnya memiliki udzur yg membolehkannya menunjuk orang lain sebagai pengganti imam, seperti bila ia mimisan, atau batal wudhu’, dan untuk menghilangkan udzur tsb akan membutuhkan waktu yg lebih lama dari melakukan shalat dua rokaat. Maka ketika itu ia boleh menunjuk orang lain sebagai pengganti imam. Namun bila untuk menghilangkan udzur tsb tidak membutuhkan waktu lama, maka jama’ah wajib menunggunya hingga berwudhu kembali.
Sedangkan dlm madzhab lainnya tidak disyaratkan demikian. Dan ana tidak menemukan dalil yg mendukung pendapat Madzhab Maliki tsb, wallaahu a’lam.
assalamualaikum
ustadz bagai mana hukumnya wanita sesudah mandi langsung berwudu sementara si wanita hanya pakai handuk setengah badan….dan bagai mana seharusnya pakaian saat kita berwudu
mohon penjelasannya ustadz
jazakallahu khoiran
Wa’alaikumussalaam.
Tidak mengapa, karena dlm wudhu’ tidak disyaratkan harus menutup aurat.
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh,
Semoga Penjagaan dan Perlindungan Allah subhanallahu wata’ala senantiasa meliputi Ustadz.
Afwan ya Ustadz, ana ada dua pertanyaan dibawah ini, sudikah Ustadz memberikan jawabannya.
Ada seorang wanita sakit yang kronis, pergi berobat ke rumah sakit (dokter). Ternyata yang bisa mengobati penyakitnya hanya dokter laiki-laki, tidak ada dokter wanita yang mempunyai spesialis tentang penyakit yang dihadapi wanita tersebut. Setiap kali diperiksa/diagnose dokter tersebut selalu menutup kamar pasiennya demi untuk menjaga kerahasiaan penyakit wanita tersebut dari orang yang tidak berhak.
Wanita tersebut merasa hal ini (adanya khalwat) yang dilarang dalam agama Islam, karena dia mengetahui adanya suatu hadits dari Rasulullah salallahu’alayhi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang berbunyi diantaranya demikian:
“……..Dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah umatmu dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang akan memasuki surga tanpa dihisab dan azab.” Setelah menceritakan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bangkit lalu masuk ke dalam rumahnya. Orang-orang lalu memperbincangkan mengenai mereka yang akan dimasukkan ke dalam Surga tanpa dihisab dan azab. Sebagian dari mereka berkata, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang selalu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ada pula yang mengatakan, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan tidak pernah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah.” Mereka mengemukakan pendapat masing-masing. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui mereka, lalu beliau bertanya: “Apa yang telah kalian perbincangkan?” Mereka pun menerangkannya kepada beliau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang tidak meruqyah, tidak meminta untuk diruqyah, tidak meyakini thiyarah (pamali) dan hanya kepada Allah mereka bertawakal.”
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan:
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meyakini thiyarah (pamali), tidak meminta untuk diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan hanya kepada Rabb merekalah mereka bertawakkal.”
Pertanyaannya:
1). Apakah wanita tersebut yang berobat ingin sembuh dari penyakitnya berkhalwat dengan dokter laki-laki termasuk maksiat (perbuatan dosa)…?
2). Apakah dibenarkan bagi wanita tersebut lebih memilih bersabar untuk tidak berobat (tidak berikhtiyar) atas dasar hadits tersebut di atas?
Sebelumnya jazakallahu khairan.
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Jawab:
1. Apa yg dilakukan oleh Dokter tsb justru menjadikannya sebagai tindakan khalwat yg haram, karena dengan menutup pintu kamar, berarti ia berada berduaan dengan wanita ajnabiyyah di sebuah tempat yg tidak terlihat orang lain. Dan inilah definisi khalwat yg diharamkan menurut ijma’ ulama.
Pun demikian, kaidah syariat mengatakan bahwa semua yg diharamkan menjadi boleh dalam keadaan darurat sesuai dengan kadar yg diperlukan. Artinya, kalau memang penyakit tsb berbahaya dan tidak ada jalan lain selain berobat ke dokter lelaki tsb; maka tidak mengapa, namun tidak boleh melewati batas waktu yg diperlukan. Artinya, kalaulah waktu yg dibutuhkan untuk memeriksa si wanita cukup 5 menit, maka si Dokter tidak boleh menutup pintu kamar lebih dari 5 menit, sebab selebihnya berarti bukan merupakan keadaan darurat yg membolehkannya melakukan apa yg semula diharamkan. Demikian pula dalam menyingkap apa yg asalnya merupakan aurat, juga dibatasi dari sisi lokasi dan waktunya sesuai kadar yang diperlukan.
Atau ajaklah saudari/ibu/mahram Anda ikut masuk ke kamar tsb, sehingga dengan begitu anda terbebas dari masalah khalwat.
2. Berobat hukumnya dianjurkan, tapi tidak wajib. Bahkan kalau penyakit tsb tidak membahayakan, maka bersabar dlm menghadapinya boleh jadi lebih utama daripada berobat. Dalilnya adalah kisah si wanita hitam yg mengidap penyakit ayan. Ia pernah datang mengeluhkan penyakitnya kepada Rasulullah dan minta didoakan agar sembuh. Maka jawab Rasulullah: “Kalau kamu mau, maka bersabarlah dan kamu akan masuk Surga. Tapi kalau kamu ingin didoakan, ya aku akan mendoakanmu agar Allah menyembuhkanmu”. Maka si wanita tadi memilih untuk bersabar, namun minta didoakan agar ia tidak menyingkap-nyingkap auratnya ketika ayan-nya kambuh. Maka Nabi mendoakannya demikian (HR. Bukhari no 5328). Sabar dlm menghadapi sakit juga merupakan sunnah-nya Nabi Ayyub. Namun -wallahu a’lam-, ini khusus berkaitan dengan penyakit yg tidak membahayakan jiwa, sebab jika penyakit tsb membahayakan jiwa penderitanya, dan ia mampu berobat serta penyakit tsb mungkin disembuhkan; maka ia wajib berobat semampunya. Sebab memelihara keselamatan diri termasuk satu dari enam misi utama syari’at. Demikian pula jika penyakit tsb menghalanginya dari sejumlah aktivitas ibadah yg semula dia lakukan, maka dlm hal ini dia dianjurkan untuk berobat demi memulihkan kesehatan yg sangat berharga tsb. wallahu a’lam.
Assalaamu’alaykum.
Ustadz, ana masih samar tentang masalah perbedaan Haram Lidzatih dengan Haram Lighairih. Adakah dhabith untuk membedakan dua hal ini [lidzatihi vs lighairih] tadz? Dan tolong sekalian berikan contohnya untuk perbandingan agar lebih mendekatkan pemahaman ana. Ana tanya masalah ini sebab hal ini berhubungan dengan kaidah “Haram lidzatihi dibolehkan ketika darurat dan haram lighairih dibolehkan ketika ada hajat”.
Terima kasih…
Laa adri
assalamualaikum , ustadz sufyan…
apakah anda sudah menemukan tafsir hadist tsb?
menurut anda tokoh muslim seperti SAYYID QUTHB itu bagaimana ? saya pernah baca beberapa tulisannya dan tulisan2nya itu membuat saya kagum , tapi beberapa media men-capnya negatif , jadi menurut hemat ustadz beliau itu bagaimana ?
Wa’alaikumussalaam… afwan beberapa hari ini ana tersibukkan urusan keluarga dan koneksi internet macet. Sebetulnya ana sempat menemukan penafsiran hadits tsb, tapi masih dlm bahasa Arab. kalau Anda faham bahasa Arab saya akan senang sekali karena tidak perlu capai-capai menerjemahkan, sebab cukup panjang dan saya masih sibuk… entah kapan saya bisa menerjemahkannya.
Adapun sayyid Quthub menurut saya bukanlah ulama (saya punya bukunya yg berjudul Fie Dhilalil Qur’an). Jujur saja, menurut saya, pemikirannya itulah yg menimbulkan kelompok-kelompok ekstrim yg mengkafirkan kaum muslimin, sebab dlm menafsirkan ayat 19 surat Al An’am, beliau menganggap bahwa seluruh manusia di dunia telah murtad dari laa ilaaha illallaah, termasuk para muadzin yg tiap hari mengulang-ulang syahadatnya. (Saya baca langsung di kitabnya lho..). Beliau juga ‘lancang’ karena berani mengritik sahabat yg mulia, Utsman bin Affan, bahkan berani menyifati Nabi musa dgn julukan ‘ashabi (tempramental), dan segudang penyimpangan akidah lainnya yg menunjukkan sekali lagi bhw dia bukanlah seorang ‘alim, namun hanya sastrawan yg bersemangat membela islam… yah, mudah-mudahan dosanya diampuni oleh Allah. saya tidak mengkafirkannya karena dia jahil, dan kejahilan adalah udzur yg menjadikan seseorang tidak boleh dicap kafir (dlm beberapa kondisi). Dia memang hebat dalam bermain kata, sehingga banyak orang yg tersihir dgn ‘kata-katanya’… tapi bila ingin menilai khan harus menyeluruh, bukan parsial… dan penilaian pertama ialah masalah akidah, yg menurut saya nilai beliau di sini ‘merah’.
tak apa ustad…
terima kasih atas keluangannya melayani kami-kami yg masih awam ini… semoga Allah memberikan berkah kpd anda…
adapun ttg tafsir hadist tersebut , saya kira lebih baik anda jadikan posting diblog ini untuk membuka cakrawala kami para hamba Allah ttg ‘past-present-future’-nya umat islam dan bagaimana kami menyikapinya… (jika anda sudah tidak sibuk tentunya)
jujur saja hadist-hadist akhir zaman seperti itu berkontribusi besar untuk memperkuat akidah saya , dan menyelamatkan saya dari pemikiran firqoh2 diluar sana… karena ‘present-future’-nya begitu terasa dan nyata…
wassalamualaikum wr. wb
Assalamualaikum,
Ustadz saya ingin bertanya mengenai terjemahan ayat-ayat Al-Quran yang terkadang kita lihat dibagian sisi pada blog atau werbsite seseorang, bagaimana hukumnya mengenai hal itu Ustadz? karena bisa jadi yang mengunjungi blog kita ialah orang-orang non muslim yang tidak kita ketahui siapa pengunjung-pengunjung blog/website tersebut, mohon penjelasannya.
Terima kasih
Wa’alaikumussalaam.
Terjemahan Al Qur’an tidak sama dengan Al Qur’an, bagaimanapun hebatnya terjemahan tsb. Terjemahan ini tidak memiliki hukum syar’i sebagaimana yg dimiliki oleh Al Qur’an. Jadi, Anda boleh saja menghadiahkan Terjemahan Al Qur’an kepada non muslim yg diharapkan akan tertarik kepada Islam, karena toh itu bukanlah Al Qur’an walaupun memuat Al Qur’an. Sebab patokannya ialah mana yg lebih banyak? Terjemahannya atau Al Qur’annya? kalau jumlah terjemahannya lebih banyak maka ia dihukumi sebagai terjemahan. Sedangkan bila jumlah Al Qur’annya yg lebih banyak, maka ia dihukumi sebagai Mushaf.
Assalamualaikum, Afwan Ustadz,
SAYA MAU TANYA ADA USTADZ YANG MENGATAKAN KALAU KITA TIDAK BERDOA SESUDAH SELESAI SHOLAT ,ALLAH MENCAPKITA ORANG YANG SOMBONG,
TRUS KATANYA ADA HADIST YANG MENERANGKAN BAHWA POSISI TANGAN SAAT BERDOA YANG KALAU KITA BERDOA SEPERTI ITU ALLAH TIDAK BISA MENOLAK DOA KITA…YAITU POSISI TANGAN KANAN DIATAS TANGAN KIRI…MOHON PENJELASANNYA USTADZ…JAZAKALLAHU KHOIRON
Wa’alaikumussalaam.
Pernyataan itu tidak benar dan tidak berdasar sama sekali. Hadits yang diklaim juga tidak pernah saya dengar, bahkan saya yakin tidak ada hadits seperti itu, sebab terkabulnya doa tidak disebabkan posisi tangan orang yg berdoa, namun tergantung dari terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat terkabulnya doa, serta ada tidaknya hal-hal yg menghalangi terkabulnya doa.
assalamualaikum ustadz
kalau selesai sholat kita tidak berdoa allah akan cap kita sombong itu apa ada hadistnya ustadz???
karena saya pernah dengar yang lebih utama untuk berdoa saat kita sholat karena kita lagi berkomunikasi dengan allah,dan ada hadist katanya rasulullah menyuruh kita perbanyak doa waktu kita sujut…itulah doa yang mustajab mohon penjelasannya ya ustadz dengan dalil
jazakallahu khoiran
Wa’alaikumussalaam.
Anjuran berdoa setelah shalat fardhu sejauh yg saya ketahui tidak ada dalilnya. Apalagi hadits yg mencap sombong thd orang yg tidak berdoa selesai shalat, saya rasa ini -kalaupun ada- adalah hadits yg tidak sahih. Yg justru diperintahkan adalah memperbanyak doa saat sujud sebagaimana dlm hadits shahih yg berbunyi: (أما السجود فأكثروا فيه الدعاء فقمن أن يستجاب لكم) “Adapun sujud, maka perbanyaklah doa di sana, sebab itu saat potensial untuk diijabahi”. Ini juga dikuatkan dengan hadits lain yg mengatakan bhw sujud adalah saat terdekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya.
Demikian pula setelah tasyahhud akhir dan sebelum salam, kita juga dianjurkan memperbanyak doa yg kita inginkan sebagaimana dalam hadits shahih lainnya. Bahkan dlm kesempatan ini Rasulullah tidak pernah lupa untuk berdoa agar dilindungi dari empat hal: “Azab Jahannam, Azab Kubur, Fitnah kehidupan dan kematian, dan Fitnah Dajjal”.
Assalamualaikum, Afwan Ustadz, untuk kajian online di skype, IDnya apa ya. Ana ingin add.
Jazakallahu khairan..
ID-nya:
Kajianislamgraz (Austria)
kajian online Barando (indonesia)
kajian ummahat keluarga sakinah (Australia)
Assalamualaikum
USTADZ ana pernah baca hadits tentang 7 golongan yang dimurkai Alloh, ada yang menerangkan semua sanadnya lemah, seperti riwayat thobroni dan baihaqi dalam syu’bul iman. Benarkah hal ini?
jazakallahu khoiron
Wa’alaikumussalaam. Wah, ana tidak bisa menjawab kalau tidak disertai teks haditsnya.
Ustadz . saya dirundung subhat yg sangat dahsyat …
saya bingung mencari-cari referensi dan kajian islam yg BENAR , saya suka baca buku2 tuk nambah wawasan dan dengerin pengajian di radio ,tapi terkadang ada yg kontradiktif , saya minta tips dari ustad gmana belajar islam yg baik ?
ustadz tau LDII ? organisasi yg mengharuskan anggotanya berbai’ at pd amir , apakah mereka sesat?
dan tolong penjelasannya ustadz ttg hadist (saya tdk hafal detailnya), 1.wajib bai’at 2. lima babak perjalanan umat islam 3. perpecahan umat sampai 73 golongan 4. umat islam tanpa pemimpin (maaf tidak terlalu jelas)
Jazaakallaahu khairan
Kalau Anda benar-benar ingin mempelajari Islam yg baik dan benar, maka saya akan membantu dengan senang hati, anda dapat menghadiri kajian online tiap hari Ahad jam 13.00 WIB di Skype, atau antum bisa download beberapa kajian dari http://www.muslim.or.id sebagai salah satu alternatifnya.
Tentang LDII saya tahu, dan kesesatan mereka sudah menjadi rahasia umum dan sudah dibahas oleh LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Islam, Jakarta) dalam sebuah buku yg kalau tidak salah judulnya: “Bahaya LDII, Lemkari dan Islam Jama’ah”. Buku itu sudah terbit sejak 10 th silam kira-kira. Saya juga kenal dgn mantan LDII yg telah taubat dan aktif membongkar kesesatan mereka. Mereka itu sesat dan menyesatkan, jangan sekali-kali terjebak oleh mereka, nanti antum belum tentu bisa keluar dengan selamat !!
Hadtis wajib bai’at itu mereka pelintir maknanya untuk kepentingan golongan mereka, karena bai’at yg diwajibkan adalah bukan kepada amir golongan, tetapi kepada amirul mukminin (pemimpin umat Islam secara keseluruhan), dan hari ini kita belum bisa mengamalkan hadits itu karena umat Islam masih terkotak-kotak dan pemimpin negaranya kebanyakan tidak mendapat kredibilitas secara syar’i (selain Saudi Arabia setahu saya). Lagi pula, yang wajib berbai’at bukanlah setiap kaum muslimin satu-persatu, tapi cukuplah tokoh-tokohnya atau wakil-wakilnya yg membai’at si Pemimpin, dan kaum muslimin yg lain otomatis dianggap telah berbai’at setelah itu. Inilah praktik para sahabat ketika membai’at Khulafa’ur Rasyidin, tidak semua sahabat harus membai’at mereka, namun cukup beberapa tokohnya saja. Demikian pula dalam prosesi pembai’atan para khalifah dari Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, semuanya juga lewat perwakilan.
Adapun hadits lima babak perjalanan umat islam saya tidak faham apa maksudnya?
Perpecahan umat sampai 73 golongan itu benar dan memang ada, bahkan kalau dihitung-hitung jumlahnya jauh lebih banyak dari 73, dan 72 di antaranya masuk Neraka (sesat), yg sesat tadi salah satunya adalah LDII. Yg selamat hanya satu golongan, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah yg sejati, alias mereka yg mengikuti Sunnah Rasulullah dan berpegang teguh dengan jama’ah kaum muslimin. Sedangkan maksud dari jama’ah kaum muslimin ini bukanlah jama’ah2 yg sering dilabeli ‘islam’ tapi -sebagaimana yg dijelaskan oleh sahabat Ibnu Mas’ud-, “Al Jama’atu mulaazamatul haqqi wa in kunta wahdak” (Al Jama’ah itu ialah menetapi kebenaran meskipun hanya kamu seorang diri). Jadi, jama’ah yg hakiki ialah melazimi al haq, walaupun hanya seorang diri.
Tentang umat islam tanpa pemimpin saya juga tidak faham apa maksudnya? saran saya, segera putus hubungan anda dgn LDII sebelum anda menjadi korban. wabillaahit taufiiq.
تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا
ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ
ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ
مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا
ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا
إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Muncul (1) babak Kenabian di tengah kalian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul (2) babak Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul (3) babak Raja-raja yang menggigit selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul (4) babak Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak (5) Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian. Kemudian Nabi diam.” (HR Ahmad)
ini hadist yg saya maksud , benarkah sekarang ini sesi keempat ? mohon penjelasannya ustadz
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ
فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ
قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ
قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي
تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ
قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا
وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai – dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
hadist dimana umat islam tanpa imam, mohon penjelasannya ustadz…
Assalamu’alaikum warrohmatulloh pak ustadz,
Saya pernah denger temen saya bilang, asy’ariyah jaman skrg sudah bercampur aqidahnya dengan aqidah jahmiyyah yg menafikan sifat2 Allah, karena kata temen saya itu asy’ariyah yg dulu hanya mentakwil sifat2 Allah tanpa menafikannya sedangkan asy’ariyah jaman skrg bertambah parah karena selain menafikan sifat2 Allah, mereka jg punya aqidah “Allah ada tanpa tempat dan arah.”
Benarkah yg dikatakan temen saya itu pak ustadz? Lalu aqidah “Allah ada tanpa tempat dan arah” itu sendiri kira2 muncul ketika abad keberapa ya? Mohon jawaban pak ustadz. Terima kasih.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh…
Bahkan sedari dulu akidah mereka telah tercampuri faham jahmiyyah, karena hakikat dari menakwilkan sifat adalah menafikan hakikat sifat tsb.
Contoh: “Allah punya tangan, tapi artinya kekuasaan”, berarti Allah tidak punya tangan yg hakiki.
“Wajah Allah = keridhaan” berarti tidak punya wajah hakiki.
“Marahnya Allah = ingin menyiksa” berarti tidak marah beneran
“Istiwa Allah = istaula (menguasai)” berarti Allah tidak istiwa’ secara hakiki
“Turunnya Allah ke langit dunia = Turunnya rahmat/malaikat Allah” berarti yg turun bukan Allah… dst.
Hanya saja bedanya dengan jahmiyyah, Asy’ariyyah tidak berani terang-terangan menolak lafazh tangan, wajah, marah, dst karena konsekuensinya adalah kufur. Nah, akhirnya mereka takwilkan dan pelintir maknanya. Jadi mereka ini plintat-plintut alias mencla mencle. Induk semang mereka adalah kaum mu’tazilah, mengingat Abul Hasan Al Asy’ari sendiri mulanya adalah seorang mu’tazili (mu’tazilah mengakui semua nama Allah namun menafikan sifat-sifat yg terkandung di dlmnya), dan semenjak kecil ia telah menjadi anak tiri gembong mu’tazilah yg bernama Abu Ali Al Jubba’i, yg menikahi ibunya si Abul Hasan Al Asy’ari ini.
Makanya Ibnu Taimiyyah menjuluki kaum Asy’ariyyah sebagai ‘banci-nya’ mu’tazilah. Pun demikian, Abul Hasan telah taubat dan kembali ke madzhab-nya Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu Imam Ahmad bin Hambal, namun para pengikutnya sampai hari ini masih tidak mau taubat juga, dan mengingkari bahwa ‘guru besar mereka’ telah taubat.
kaum Asy’ariyyah hari ini hanya membebek thdp apa yang didoktrinkan oleh Fakhruddin Ar Raazi, yg oleh Ibnu Taimiyyah telah dibantah habis dlm kitab beliau “Bayan Talbis Jahmiyyah” dlm 11 jilid.
Adapun aqidah “Allah ada tanpa tempat dan arah” itu adalah bid’ah klasik mereka dan dibantah pula oleh Ibnu Taimiyyah dlm kitab tsb, tapi saya tidak tahu persis kapan istilah bid’ah tsb mulai dikenal. Wallahu a’lam.
Assalamualaikum
Ustadz, bagaimana hukumnya menyetel kaset murottal (atau membaca Al Qur’an sendiri) melalui pengeras suara di masjid, sekitar 5 – 10 menit sebelum adzan sholat wajib dan sebelum adzan jum’at? apakah hal ini dibolehkan atau termasuk bid’ah?
Sebagian orang beralasan tujuannya supaya masyarakat sekitar ada persiapan bahwa sebentar lagi sholat wajib (adzan dikumandangkan).
jazakallahu khoiron
Wa’alaikumussalaam
Ana khawatir itu termasuk bid’ah, sebab hal itu bisa saja dilakukan di zaman Rasulullah (walaupun tanpa pengeras suara) kalau sekedar ingin agar masyarakat bersiap-siap, dan tidak ada yang menghalangi pelaksanaan tsb; tapi toh tidak dilakukan juga dan mereka (Rasulullah dan para sahabatnya) hanya mencukupkan dengan adzan. Adzan jum’at tsb kemudian dijadikan dua kali, sekali sebelum masuk waktu agar masyarakat bersiap-siap, dan sekali lagi pas khatib naik mimbar. Nah, kalau mau yg safe dan sesuai sunnah, jangan pakai setel kaset murattal kaya’ gitu, tapi kumandangkanlah adzan dua kali dengan selang satu jam atau setengah jam misalnya. Ini untuk yg shalat Jum’at.
Adapun untuk shalat wajib cukup kumandangkan adzan, dan berilah selang waktu antara adzan dan iqamah dengan patokan tertentu, misalnya: subuh 25 menit setelah adzan, dhuhur 20 menit stlh adzan, asar = dhuhur, maghrib 10 menit setelah adzan, dan isya’ 15 menit. Ini lebih efektif untuk memberi kesempatan jama’ah mesjid untuk tidak ketinggalan shalat berjama’ah, daripada menyetel murattal kaya’ gitu. Ini insya Allah termasuk mashalih mursalah, dan inilah yg diterapkan di kebanyakan mesjid di Saudi Arabia, sehingga terjadi keteraturan dlm shalat berjama’ah. Wallahu a’lam.
Ana ingin menambahkan, di mesjid2 Singapore, ditulis dengan jelas waktu antara Adzan sampai Iqomat di papan pengumuman berapa menit. Seperti penjelasan Ustadz, misalnya waktu Adzan Isya, 19.00 – Iqomat, 19.15. Jadi jamaah tinggal menghafal waktunya sehingga waktu berikutnya bisa memperisiapkan diri. Bagus dijadikan contoh untuk mesjid2 Indonesia.
Kesejukan kasih sayang Nya semoga selalu menerangi hari hari anda dg kebahagiaan,
Saudaraku yg kumuliakan,
1. Aqidah Asy’ariyyah adalah aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang wajib yang berjumlah 20 sifat. Begitu juga yang mustahil 20 sifat dan yang jaiz 1 sifat dan yang lainnya yang dapat diketahui dari buku-buku tauhid seperti Kitab Sifat Dua Puluh karangan Habib Usman bin Yahya dan kitab lainnya
Adapun aqidah Asmaa wa sifaat adalah bagian aqidah kelompok yang dikenal dengan Wahabiyyah, dalam aqidah ini mereka mengajarkan bahwa aqidah terbagi tiga bagian yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Ukuhiyyah dan Asmaa wa sifaat.
Perbedaan yang prinsip antara 2 kelompok diatas diantaranya dengan aqidah asmaa wa sifaat mereka berkeyakinan bahwa Allah dengan Zat Nya bersemayam diatas A’rsy sedangkan Ahlussunnah menta’wilkan ayat yang dijadikan dalil oleh mereka yaitu Firman Allah
اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Bahwa Allah tidak bersemayam dengan Zat Nya diatas ‘Arsy secara singkat perbedaan antara keduanya bahwa Ahlussunnah menggunakan ta’wil dalam ayat2 sifat dengan ta’wil yang layak bagi Allah swt dengan segala kesucian Nya sedang mereka tidak menerimanya
2. Tentu setelah anda tahu bahwa aqidah Asy’ariyyah adalah aqidah Ahlussunnah maka inilah yang harus dipegang sampai wafat. Mudah-mudahan Allah wafatkan kita semua dalam Khusnul Khotimah, Amin
mengenai masalah yg mereka selewengkan adalah masalah takwil, sbgbr :
AYAT TASYBIH
Mengenai ayat mutasyabih yg sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yg sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yg hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.
Sebagaimana makna Istiwa, yg sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yg terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,
maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yg terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yg mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dg hadits qudsiy diatas, yg berarti Allah itu tetap di langit yg terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yg terendah.
Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yg bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yg beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yg tidak baik yg mempermasalahkan masalah ini.
Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.
Juga sebagaimana hadits qudsiy yg mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya….” (shahih Bukhari hadits no.6137)
Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yg taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.
Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1.Pendapat Tafwidh ma’a tanzih
2.Pendapat Ta’wil
1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.
dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
seperti ayat :
”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67),
dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).
Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dg sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).
Walillahittaufiq
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam
Bagaimana Pak Ustadz Abu Hudzaifah ?
Tanyakan kepada mereka: “Dari mana kalian bisa menetapkan bahwa Allah memiliki sifat wajib 20, mustahil 20 dan jaiz 1? Dari dalil atau dari akal?
Kalau mereka mengatakan dari dalil, mana dalil yg menyebutkan ke-20 sifat tsb?
Kalau mereka mengatakan dari akal, lantas apa jaminannya bahwa akal mereka itu benar dan akal selain mereka –(wahhabi) yg menetapkan semua sifat yang Allah tetapkan atas diri-Nya, atau ditetapkan oleh Rasulullah, tanpa menakwilkan, mentasybih, mentakyif, maupun menafikan– itu tidak benar?
Saya ingin bertanya: “Bukankah mereka meyakini bahwa Allah itu hidup, mendengar, berkuasa, berbicara, melihat, mengetahui… dst?” Bukankah Allah itu memiliki dzat?” Pasti jawabannya: “Ya”. nah, saya katakan: “Kita juga hidup, mendengar, berkuasa, berbicara, melihat, mengetahui dan memilki dzat?” Apa berarti kita mentasybih (menyerupakan) diri kita dengan Allah? Tentu tidak bukan… nah demikian pula ketika kita menetapkan bahwa Allah istiwa’ di atas Arsy sesuai dengan keagungan dan kebesarannya, Allah turun ke langit dunia, Allah memiliki wajah, tangan, kaki, jari, betis, mata, telapak kaki, Allah tertawa, marah, ridha, dll berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits Rasulullah; dan itu semua sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, dan berbeda dengan dzat maupun sifat makhluk-Nya, Apa yg menjadi masalah di sini?
kalau mereka mengatakan bahwa menakwilkan sifat merupakan pendapatnya para sahabat dan tabi’in dan para imam ahlussunnah wal jama’ah, maka ini sugguh merupakan kedustaan besar. kemudian apa yg mereka nukil dari imam malik merupakan kekeliruan besar, karena imam Malik tidak mengatakan bahwa istiwa’ itu majhul, ma’qul. Tapi beliau mengatakan bahwa al istiwa’u ma’luumun wal kaifu majhuulun, wal iemaanu bihi waajibun, was suaalu ‘anhu bid’atun. Artinya: Istiwa’ itu maknanya telah dimaklumi (yakni secara bahasa), namun kaifiyatnya (caranya) tidak diketahui. Mengimaninya adalah wajib, dan menanyakan tentangnya adalah bid’ah. Ini merupakan bumerang atas kaum Asy’ariyah, karena Imam Malik menetapkan sifat tsb, bukan menafikan atau menakwilkannya dengan istaula.
kalau mereka menakwilkan dengan istaula yg artinya menguasai, padahal Allah mengatakan bahwa diri-Nya baru beristiwa’ di atas Arsy setelah menciptakan langit dan bumi; nah kalaulah istiwa’ ditakwilkan dengan istaula (menguasai) lantas setelah penciptaan Arsy dan sebelum penciptaan langit dan bumi siapa yg menguasainya??? Anda harus jawab pertanyaan ini, kalau tidak bisa berarti penakwilan itu adalah batil bin keliru. Faham.
Situs majelisrosulullah adalah situsnya kaum ‘alawiyyin yg berpemahaman asy’ariyyah (bukan ahlussunnah), dan menganut tarekat tasawuf; jadi Anda salah alamat kalau mencari kebenaran dari situ. Orang-orang Asy’ariyyah memang selalu mengklaim dirinya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah, namun kenyataannya mereka menyelisihi ahlussunnah dalam banyak hal, salah satunya dalam masalah tauhid asma’ was sifat. Dan anehnya, yg benar-benar ahlussunnah justru mereka cap sebagai wahhabi, mujassimah, musyabbihah dst…
Kekeliruan mereka ialah begitu mereka mendengar bahwa Allah itu punya tangan, wajah, kaki, dst segera terbayang oleh mereka tangan, wajah, dan kaki manusia, dst… Padahal siapa yg mengatakan bahwa tangan, wajah, dan kaki Allah itu seperti bayangan mereka?? Kita tidak bisa membayangkan hakikat tangan, wajah, kaki dan semisalnya kalau tidak dinisbatkan kepada sesuatu. Kalau saya hanya mengatakan: “Tangan”, “wajah”, “kaki” tanpa menisbatkannya kepada apa-apa; maka Anda tidak akan bisa membayangkan seperti apa tangan, wajah, dan kaki itu. Ia bukanlah tangan/wajah/kaki manusia, karena saya tidak mengatakan ‘tangan/wajah/kaki manusia’. Ia juga bukan tangan/wajah/kaki kera, karena saya tidak mengatakan demikian. nah, kesimpulannya, semua sifat tadi tidak bisa kita ketahui hakikatnya sebelum ia dinisbatkan kepada empunya-nya. Ketika saya katakan ‘tangan kera’ barulah terbayang sebuah tangan yg lebat rambutnya… atau ‘tangan manusia’ barulah terbayang… demikian seterusnya. Nah, ketika kita menetapkan tangan bagi Allah, maka kita tidak bisa membayangkan apa-apa karena kita belum pernah melihat Allah; namun kita tidak boleh menafikan hakikat tangan tersebut, atau menakwilkannya dengan ‘kekuasaan’, sebab tangan tidak sama dengan kekuasaan. jadi, kita hanya punya satu pilihan, yaitu menetapkan tangan yg hakiki yg sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah, dan tangan itu tidak sama dengan tangan makhluknya, dan ia bukan berarti kekuasaan, dan kita tidak boleh menanyakan bagaimana hakikatnya. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah lainnya, semuanya kita sikapi dengan cara yg sama. Itulah akidah ahlussunnah wal jama’ah alias salafus shalih, yg hari ini identik dengan apa yg mereka namakan wahhabi itu. Faham?
Kalau mereka menafikan sifat istiwa’ dan turunnya Allah ke langit dunia di sepertiga malam terakhir karena menurut mereka konsekuensi dari istiwa’ adalah Allah membutuhkan ruang, dan konsekuensi dari turunnya Allah ialah Allah tidak akan naik lagi karena bumi terus bergilir; maka jawabannya ialah: Mereka telah menyerupakan Allah dengan diri mereka yg serba lemah, yg tidak mungkin berada di atas kecuali diliputi oleh ruangan, dan tidak mungkin turun kecuali dengan cara yg mereka fahami…. inilah kekeliruan mereka. Padahal Allah memiliki cara tersendiri yg sesuai dengan keagungan dan kebesarannya, yg tidak bisa kita tangkap dengan akal kita. Bukankah Allah tidak bingung mendengar doa jutaan orang yg wukuf di padang arafah, yg berdoa dengan ratusan atau bahkan ribuan bahasa? Bukankah Allah mampu memberi makan semua makhluknya dalam saat yg bersamaan? nah, demikian pula dlm hal istiwa’ dan turun ke langit dunia… itu sesuatu yg mudah bagi Allah. Dan tidak harus dengan konsekuensi spt yg mereka sebutkan, karena konsekuensi tsb hanya berlaku bagi akal mereka, dan akal mereka sifatnya sangat terbatas, lantas bagaimana akal yg sangat terbatas tadi hendak menjadi tolok ukur dalam memahami sifat Allah?? Alangkah naifnya cara mereka berfikir kalau begitu.
@ Ridho Amrullah, saya sengaja membuang komentar kedua anda yg memuat syubhat karena berbahaya bagi pembaca.
Faham pak Ustadz. Jadi yang selama ini ana amalkan, ““Asyhaduallaailaaha illallaah wahdahu laa syariika lahu”, sebaiknya diganti ke asal, “Asyhadualla ilaa haillallaah wa asyhadu anna muhammadurrasulullaah”?
O, bukan begitu maksud saya. Lafazh “wahdahu laa syariika lah” tetap merupakan bacaan tasyahhud yang disyariatkan, hanya saja ibnu Mas’ud meninggalkannya karena apa yg diajarkan Nabi kepadanya tidak menyisipkan lafazh tsb. Namun sahabat yg lain meriwayatkannya dengan lafazh tsb sebagaimana yg disebutkan oleh Syaikh Al Albani dlm sifat shalat Nabi. Jadi lafazh tsb tetap dibaca kalau antum memakai bacaan tasyahhud selain yg diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, yaitu bacaan tasyahhud versi Ibnu Umar dan Abu Musa Al Asy’ari radhiyallaahu ‘anhuma.
1. Pak Ustadz Kalau bukan dalil Qath’i berarti dzanni (artinya jika walaupun saya telah mengetahui itu hasil ijtihad Ibnu’ Mas’ud, bagaimana jika saya tetap membaca dengan assalammu’alaika….tidak nabiyyi..) Apakah saya berdosa ?
2. Berarti assalammu’alannabiyi itu bukan taqrir (persetujuan dari nabi melainkan ijtihad sahabat), karena saya baca di buku sifat sholat nabi Syeikh Albani katanya ucapan perubahan itu disetujui oleh nabi. Tapi saya merasa aneh saja, karena dalam kitab syeikh Albani, nabiyyi itu disetujui oleh Nabi. Tapi, kalau disetujui berarti Ibnu Mas’ud itu pasti memberikan keterangan atau berbicara dulu kepada Nabi sebelum Nabi meninggal tentang perubahan dhomir ka menjadi Nabiyyi. Apakah ini benar atau tidak benar yang berarti itu (dirubah jadi nabiyyi oleh sahabat) setelah Nabi meninggal ? Artinya, Buku tersebut ada kesalahannya bukan begitu Pak Ustadz ?
Astaghfirullah wa atuubu ilaih… setelah merujuk ke kitab sifat shalat Nabi, ternyata ada sebuah riwayat shahih dari seorang Tabi’in bernama ‘Atha’ bin Abi Rabah yang mengatakan bahwa para sahabat mulanya mengatakan: “Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu…” namun setelah beliau wafat, mereka mengatakan: “Assalaamu’alannabiyyi…”. Ini yang pertama. Yang kedua, ternyata lafazh “Assalaamu’alannabiyyi” juga diajarkan oleh Ibunda Aisyah, jadi ini menguatkan bhw hal tersebut bukanlah semata-mata hasil ijtihad beliau. Ketiga: Ibnu Mas’ud adalah sahabat yang sangat teliti dalam menukil perkataan Nabi, bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika beliau mengajarkan tasyahhud dan sampai ke bacaan “Asyhaduallaailaaha illallaah” ada seseorng yang mengatakan: “wahdahu laa syariika lahu”, maka komentar ibnu Mas’ud: Memang kenyataannya spt itu (yakni Allah itu hanya satu dan tiada sekutu baginya), akan tetapi hendaknya kita mengikuti sesuai yang diajarkan kepada kita saja”. Artinya, meskipun lafazh tsb maknanya haq, namun berhubung kita tidak diajari mengucapkan spt itu, maka ya tidak usah diucapkan.
Jadi, saya ralat kembali jawaban saya sebelum ini yg menganggap hal tsb sebagai ijtihad ibnu Mas’ud. Yang benar ialah bahwa hal tersebut disetujui oleh Nabi dan dilakukan oleh banyak sahabat, bukan ibnu Mas’ud saja. Pun begitu, tetap saja kita boleh mengatakan: “Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu…” sebagaimana lafazh tasyahhud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa Al Asy’ari dan Umar bin Khatthab, radhiyallaahu ‘anhum, yg tidak menyebutkan adanya perbedaan antara bacaan ketika Nabi masih hidup dengan setelah beliau wafat. Wallaahu a’lam.
Assalamualaikum warohmatulloh…
Pak Ustadz, ada pertanyaan lagi..
Pada bacaan tahiyat di buku Sifat Sholat Nabi Syaikh Al Albani rahimahullah, dibacakan …Assalaamu’alaika’ ayuuhanabiyyu… Nah, ana sering dengar dari kawan2 ahlus sunnah, setelah Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam meninggal, bacaannya jadi diganti …Assalaamu’alannabiyyi ayuuhanabiyyu warahmatullaah’.. Nah apakah itu benar, Ustadz..?
Syukran
Itu menurut keterangan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. tapi bukan diganti assalaamu’alannabiyyi ayyuhannabiyyu, namun cukup assalaamu’alannabiyyi warahmatullaahi… dst. karena menurut beliau, lafazh yg pertama ditujukan kepada Nabi saat hidupnya (nadanya nada memanggil, karena menggunakan dhamir ‘ka’, yg artinya ‘kamu’), nah setelah beliau wafat -menurut ibnu Mas’ud- kami mengatakan: “Assaalaamu’alannabiyyi”. Silakan aja kalau mau mengikuti, karena beliau juga didukung oleh Aisyah yg mengajarkan lafazh tersebut.
Pak Ustadz Abu Hudzaifah, Allah ada di atas ‘arsy (istiwa) sesuai ayat Alquran juga keterangan dari hadis. Nah, tapi ada juga yang berpendapat alistawla, istiwa di ta’wil istawla yang aritnya istiwa itu menguasai (ta’wilannya). Karena, kalau istiwa seolah-olah Allah punya tempat sedangkan Allah memiliki sifat Qiyamuhu binafsihi. Bagaimana Komentarnya ?
Pena’wilan istiwa dengan istaula adalah perkara bid’ah yg muncul belakangan, sedangkan para salaf tidak satupun yg menakwilkan demikian. Yg jadi panutan kita adalah ulama salaf saja, atau ulama yang mengikuti akidah dan manhaj para salaf, bukan setiap ulama.
Adapun alasan yg menyebutkan bhw konsekuensi bhw Allah itu ada di atas Arsy berarti Allah seolah-olah punya tempat… dst. Maka konsekuensi dari istaula (menguasai) berarti sebelumnya Arsy tidak dikuasai oleh Allah, lantas SIAPA YG MENGUASAINYA?????!!!!!
lagi pula dalil mereka satu-satunya dlm menafsirkan istiwa dengan makna istaula adalah sebuah bait sya’ir yg digubah oleh seorang penya’ir nasrani yg bernama Akhthal.
Adapun menurut Ahlussunnah, Allah memiliki kaifiyat tersendiri dalam beristiwa yg kita tidak tahu hakikatnya. kekeliruan orang yg menakwilkan istiwa dengan istaula adalah mereka mula-mula menganggap Allah itu seperti diri mereka/makhluk-Nya yg selalu dilingkupi oleh tempat, sehingga dari kekeliruan ini mereka beralih ke keliruan berikutnya, yaitu menolak sifat tsb hanya karena tidak sesuai dengan ‘akal sakit’ mereka.
Padahal kalau kita yakin bahwa Allah itu tidak sama dengan makhluk-Nya, maka segala perbuatan Allah juga otomatis tidak sama dengan makhluk-Nya. Intinya, jangan punya bayangan bahwa perbuatan Allah itu harus begini dan begitu (spt perbuatan makhluk-Nya), sehingga tidak akan muncul konsekuensi batil spt itu (coba antum baca artikel ana yg berjudul: cara mudah memahami asma’ was sifat).
Adapun sifat Qiyaamuhu binafsihi adalah sifat hasil rumusan kaum asy’ariyyah, bukan yg diyakini oleh Ahlussunnah as salafiyyah, dan tidak ada satu ayat maupun hadits pun yang menyebutkan sifat tsb. Jadi, itu bukanlah dalil yg benar secara mutlak, dan tidak bisa dipakai membatalkan sifat istiwa’ yg disebutkan sebanyak 7 kali dalam Al Qur’an.
assalamualaikum
ustd klo mau sholat jum’at biasanya krywan yng masuk pagi mandi jum’at pg harinya bkn pas waktu mau sholat jum’at,apkh sah mandi jum’at nya ?apkh hrs mandi lag ktka mau sholat juma’t ?syukron jawabanya
Wa’alaikumussalaam…
Kalau mandinya setelah masuk waktu subuh, berarti dia telah mengamalkan hadits Nabi yg mengatakan (Ghuslu yaumil jumu’ati waajibun ‘ala kulli muhtalim) “Mandi hari jum’at wajib bagi setiap laki-laki baligh”. Karena pengertian “hari (siang)” secara syar’i ialah mulai subuh hingga maghrib, sedangkan “malam” adalah sejak maghrib hingga subuh. Hanya saja, jika seseorang mandinya waktu subuh, lalu ia bekerja berat hingga berkeringat, maka ia dianjurkan untuk mandi lagi mengingat mandi yg pertama tidak ada bekasnya lagi setelah ia berkeringat… padahal di antara hikmahnya seseorang disuruh mandi ialah agar ia masuk mesjid dlm keadaan bersih dan tidak bau badannya. Apalagi dahulu para sahabat datang ke mesjid Nabawi dari jarak yg cukup jauh dan mereka telah bekerja sejak pagi, sehingga banyak dari mereka yg tubuhnya bau karena keringat…. karenanya Nabi memerintahkan umatnya agar mandi pada hari jum’at. Namun bagi yg tidak banyak bekerja dan tidak berkeringat, ya cukuplah mandinya yg pertama di pagi hari tadi.
Wallahu a’lam.
Syukran penjelasannya pak Ustadz. Jazakallahu khairon…
Assalamualaikum warohmatulloh,
Pak Ustad, apakah setiap apa yg akan kita perbuat harus dimulai dengan Bismillah? Termasuk memulai doa. Apakah bila perbuatannya sudah ada doanya, apa juga musti tetap diawali dengan Bismilah?
Mohon penjelasannya pak Ustadz. Syukron..
Wa’alaikumussalaam warahmatullah. Bukan setiap perbuatan, tapi perbuatan yang memiliki makna atau urgensi tertentu. Tentunya kalau seseorang mau kencing dan berak dia tidak dianjurkan membaca bismillah, demikian pula ketika seorang ibu rumah tangga cuci piring, nyapu-nyapu, memasak, dan kebiasaan lainnya. Namun ketika makan, minum, masuk rumah, bepergian, berjima’, berwudhu’, menyembelih, memberi ceramah, berdoa, dan hal-hal lain yang bermakna, ia dianjurkan membaca bismillah.
Khusus doa, mulailah dengan hamdalah (puji-pujian thdp Allah), lalu ikuti dengan shalawat atas Nabi, baru kemudian berdoa. Pakai bismillah juga bagus. dan tutup pula doa antum dengan hamdalah dan shalawat.
Syukran atas jawabannya Pak Ustadz.
Ana ingin menegaskan, jadi tidak perlu lengkap, “Bismillahirahmanirahim”. Tapi cukup Bismillah saja ya Pak Ustadz? Seperti yang Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam contohkan bila mau memulai makan.
kalau kita diperintahkan untuk ‘menyebut nama Allah’, spt ketika makan, minum, menyembelih, masuk rumah, pergi, berwudhu’, berjima’, dan lain-lain; maka cukup bismillah saja. Namun jika anjurannya untuk membaca ‘basmalah’, maka kita sempurnakan dengan arrahmanirrahiem, seperti ketika hendak memulai ceramah, berdoa, dan membaca Al Qur’an, dari awal surat (selain surat At Taubah). Adapun bila membaca bukan dari awal surat, maka cukup ta’awwudz saja tanpa bismillah. Wallahu a’lam
Assalamualaikum ustadz semoga Alloh menjaga antum ya ustadz…ada yang bertanya ke ana..”bagaimana dgn org tua yg ISLAM tp,tdk menjlnkan sholat 5 wkt. . .apakah kita msh boleh memintakan ampun pd mayitnya. . ? ? ?”
karna ini barkaitan dengan dilarangnya Rasululloh shalallahu alihi wassalam mendoakan orangtuanya yang telah mati dalam keadaan kafir..
jazakallahu khoiron atas jawaban antum ustadz..barakallahu fiik..
Menurut pendapat yg rajih, bila seseorang mengaku muslim tapi TIDAK PERNAH SHALAT 5 WAKTU (ingat ya, tidak pernah shalat !), berarti dia tergolong taarikus shalaah yg menurut Rasulullah hukumnya kafir. Tapi kalau ia masih terkadang shalat dan terkadang tidak shalat, dan tetap meyakini bahwa shalat itu rukun islam yg wajib dia kerjakan, maka dia tergolong pelaku dosa yg sangat besar, namun tidak sampai ke tingkat kafir. Sehingga bila dia mati kita boleh memintakan ampun baginya.
Sholat sunat mutlak sesudah sholat ba’da dzuhur 2 rakaat terus menerus sampai menunggu waktu ashar apakah diperbolehkan ? Apakah
waktu tersebut adalah termasuk waktu yang dilarang utk solat ?
Boleh aja, karena ba’da dhuhur bukan waktu yg terlarang untuk shalat sunnah.
assalamu’alaikum ….
saya ingin menanyakan apakah wajah wanita itu merupakan aurat atau bukan ya ustadz….mohon penjelasannya jika iya, ataupun tidak
Wa’alaikumussalaam.
Saya pribadi merajihkan pendapat yg mewajibkan wanita (terutama yg muda dan cantik) untuk menutup wajahnya, sebab inilah yang dilakukan para wanita di zaman Nabi. Lagi pula, kalaulah rambut adalah sesuatu yg harus ditutupi karena merupakan aurat, maka wajah lebih utama untuk ditutupi sebab kecantikan seseorang sebagian besar tercermin di wajahnya. Sejauh yg saya ketahui, para ulama tidak berbeda pendapat akan disunnahkannya seorang wanita mengenakan cadar (burka), yg jadi khilaf ialah wajib/tidaknya hal tsb. Sebab bila kita katakan wajib, berarti semua yg tidak melakukannya terkena dosa, namun bila tidak kita katakan wajib, berarti ybs tidak berdosa. Namun mereka yg mengatakan tidak wajib juga mensyaratkan bahwa hal tsb tidak boleh menimbulkan fitnah, alias bila tindakan membuka wajah tsb menimbulkan fitnah, maka ia wajib menutupinya. Lagi pula, selain lebih diridhai Allah, dengan menutup wajah, kaum wanita akan mendapat beberapa manfaat duniawi maupun ukhrawi. Salah satunya ialah resikonya terkena kanker nasofaring semakin kecil, Hal ini bisa anti baca dlm buku: “Lautan Mukjizat di Balik Balutan Jilbab”. Di sana anti akan dapatkan banyak maklumat yg berguna seputar manfaat jilbab yg sebagiannya berkaitan dengan cadar pula.
ustadz, apakah berdosa ketika kita mengatakan : “aku bersyukur jika dia meninggal” ?
Tergantung siapa dulu yg meninggal? Bisa dosa bisa tidak, bahkan bisa dapat pahala.
Kalau orang yang murtad (keluar dari agama islam), apakah bisa diampuni dosanya ? Atau tidak ada taubat bagi yang murtad (harus dihukum hudud setelah diberi konseling) ?
Selama dia belum mati, dia masih bisa taubat. Vonis eksekusi baru boleh dilaksanakan atasnya setelah ia diberi tangguh 3 hari untuk bertaubat. Kalau setelah 3 hari tetap murtad, barulah waliyyul amri/yg berwenang mengeksekusinya, dan dia mati sebagai kafir.
Kalau orang yang menyekutukan Allah, kemudian ia bertobat dan tidak menyekutukan Allah lagi, apakah dosanya bisa diampuni?
Iya, Bisa.
Lalu, apakah orang yang menampakkan perbuatan dosanya kepada orang lain bisa diampuni dosanya?
Kalau dia telah benar-benar bertaubat setelahnya, insya Allah akan diampuni.
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Saya Fahmi. Saya mau tanya, jika saya belajar buat kenaikan kelas di dekat orang tua saya dengan jarak yang lebih dekat antara mata saya dengan buku saya dengan alasan ingin membuktikan bahwa saya belajar dengan lebih sungguh-sungguh, kemudian di saat orang tua saya tidak di dekat saya, saya belajarnya dengan jarak yang sedikit lebih jauh antara mata saya dari buku tadi. Apakah ini termasuk perbuatan riya? Jika ia, apakah dosanya bisa diampuni? Wass Wr. Wb.
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh. Iya, itu termasuk riya’ walaupun tidak berkaitan dengan ibadah. Dosa riya’ -sebagaimana dosa lainnya- tetap bisa diampuni dengan taubat. Dalam kasus ini, caranya taubat ialah meninggalkan sikap tsb, menyesalinya, dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Kalaupun suatu saat terulang lagi karena khilaf, maka anda harus taubat lagi untuk dosa yg baru ini. Demikian seterusnya.
Assalamu’alakum
ustadz, apakah mencukur jenggot itu termasuk Dosa besar atau apa?
apakah orang yang mencukur jenggot itu bukanlah termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah?
Mencukur jenggot adalah perbuatan maksiat yg menjadikan pelakunya tergolong fasik, tapi tidak mengeluarkannya dari status ahlussunnah wal jama’ah, selama ia tidak meyakini bahwa perbuatan tsb hukumnya halal setelah dia mengetahui adanya larangan akan hal tsb. Namun kalau sudah tahu bhw hal tsb dilarang tapi ia menganggapnya boleh tanpa alasan darurat, maka ini berbahaya dan bisa menjadikannya kufur, na’udzubillah.
1. Pertanyaan saya : Kalau kebanyakan kita tidak sempat utk melaksanakan qabliyah fajar, apakah kita bisa melaksanakannya secara terus menerus juga, atau hanya utk yang sesekali saja ketinggalannya ?
2. QADHA SHALAT QABLIYAH ZUHUR
Jika seseorang datang ke masjid untuk shalat Zuhur, namun dia tidak dapat melakukan shalat sunnah qabliyah Zuhur empat rakaat, apakah memungkinkan baginya untuk melakukannay setelah shalat fardhu, kemudian sesudah itu dia shalat ba’diyah Zuhur dua rakaat?
Alhamdulillah
Pertama:
Menurut pendapat yang lebih kuat di antara pendapat para ulama, mengqadha shalat sunnah rawatib adalah disunnahkan, ini adalah pendapat dalam mazhab Syafii dan pendapat yang masyhur dalam mazhab Hambali. Berbeda dengna pendapat dalam mazhab Hanafi dan Maliki.
Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiallahu anha, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dua rakaat setelah Ashar, lalu dia ditanya tentang hal tersebut, maka beliau bersabda,
يَا بِنْتَ أَبِى أُمَيَّةَ ، سَأَلْتِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ ، وَإِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ فَشَغَلُونِي عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ ، فَهُمَا هَاتَانِ. رواه البخاري (1233) ومسلم (834)
“Wahai puteri Abu Umayah (maksudnya Ummu Salamah), engkau menanyakan tentang dua rakaat setelah shalat Ashar. Telah datang menemuiku orang-orang dari kabilah Abdil-Qais, sehingga aku tidak sempat melaksanakan kedua rakaat tersebut setelah Zuhur. Maka itulah kedua rakaat (yang aku lakukan setelah shalat Ashar).” (HR. Bukhari, no. 1233, dan Muslim, no. 834)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang benar adalah bahwa mengqadha shalat sunnah disunnahkan.” Pendapat ini juga dinyatakan oleh Muhammad Al-Muzani, Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Sedangkan Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf dalam riwayatnya yang paling terkenal berpendapat bahwa (shalat sunnah) tidak diqadha. Dalil kami adalah hadits shahih ini.” (Al-Majmu, 4/43)
Al-Mardawi yang bermazhab Hambali rahimahullah berkata, “Ucapannya ‘Siapa yang tidak sempat melaksanakan salah satu sunnah (rawatib) ini, disunnahkan baginya mengqadhanya’ Ini merupakan mazhab yang masyhur dikalangan kami (mazhab Hambali). Pendapat ini dikuatka oleh Al-Majd dalam syarahnya, dan dipilih oleh Syekh Taqiyuddin –Ibnu Taimiyah-.” (Al-Inshaf, 2/187)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Mengqadha shalat sunnah rawatib jika terlambat (dibolehkan). Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah tertidur sehingga tidak sempat menunaikan shalat Fajar dan baru bangun setelah matahari terbit, lalu beliau melakukan sunnah Fajar dahulu, baru setelah itu menunaikan shalat Fajar.” (Liqoat Al-Babul-Maftuh, no. 74, soal no. 18. Lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiah, 25/284)
Kedua:
Jika seseorang hendak mengqadha shalat qabliyah Zuhur setelah menunaikan shalat Zuhur, apakah dia melakukan shalat qabliyah dahulu kemudian shalat ba’diyah, atau sebaliknya?
Yang lebih kuat adalah bahwa perkara ini fleksibel, apakah shalat qabliyah dahulu atau ba’diyah. Yang penting adalah menunaikannya, baik didahulukan atau diakhirkan.
Sykeh Ibnu Utsaimin berkata, “Para ulama berkata, jika anda tertinggal melakukan shalat qabliyah Zuhur dua rakaat, maka lakukanlah shalat tersebut setelah shalat, karena dia terhalang melakukannya sebelum shalat. Hal ini sering terjadi apabila seseorang datang ke masjid sementara iqamah shalat sudah dilakukan. Dalam kondisi ini hendaknya dia mengqadhanya setelah shalat Zuhur.Akan tetapi hendaknya dia melakukan shalat rawatib setelah Zuhur dahulu sebelum melakukan rawatib qabliyah Zuhur.
Seseorang datang sedang jamaah sudah mulai shalat sehingga dia tidak dapat melaksanakan shalat sunnah Zuhur jika dia ikut shalat (bersama jamaah), maka hendaknya dia shalat dua rakaat dengan niat shalat ba’diya, kemudian dia mengqadha shalat rawatib qabliyah sesudahnya. Demikian sebagaimana diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
(Fathu Dzil Jalali wal Ikram Bisyarhi Bulughil Maram, 2/225)
Wallahua’lam.
(Sumber internet)
tanya bagaimana pelaksanaan shalat qoldo qobliyah shubuh, apakah dgn dalil itu semua shalat rawatib bisa di qodlo?
Dalil apa?
Masalah qodho’ shalat rowatib masih jadi perselisihan di antara para ulama, sebagian membolehkan/menganjurkan; dan sebagian lagi mengatakan tidak bisa diqadha’. lihat perinciannya-nya dlm komentar yg dikirim oleh sdr Ridho Amrullah, saya menampilkan komentar ini apa adanya dan tidak bertanggung jawab atas keakuratan terjemahannya.
assalamu’alaikum
ustadz, tentang sejarah dirampasnya hajjar aswad oleh kerajaan fathimiyyah…apakah prosesi haji selama hajjar aswad masih di tangan mereka masih bisa berjalan?
Wa’alaikumussalaam. Ya, haji tetap berjalan karena tidak terikat dengan hajar aswad.
Nasehat: bertanyalah ttg sesuatu yg bermanfaat dan bisa diamalkan.
1. Kalau doanya boleh berapa biji ? Misal sesudah baca tasbih satu kali, lalu apakah saya bisa baca berbagai doa misalkan pertama doa orang tua allahummagfirli dzunuubiwaliwalidayya dst, terus doa robbanaatinafiddunya, terus doa Allahummagfirlahum warhamhum dst, terus doa Allahummarabbanasiad’zhibilba’sa dst, lalu doa lain lagi? Apakah bisa ? Maksimal berapa doa yang bisa dibaca ketika sujud ?
2. ). Kata Pak Ustadz, Bacaan tasbihnya boleh pilih salah satu, dibaca semua juga boleh… tidak ada ketentuan harus membaca semuanya dulu baru boleh berdoa, tidak.
Ini artinya membaca bacaan tasbihnya di buku tsb boleh 2 bacaan tasbih yang berbeda, 3 bacaan tasbih yg berbeda, atau seluruhnya yg ada dalam buku Albani tsb juga boleh ? Karena, di buku tsb juga dikatakan ada hadis bahwa Nabi pernah membaca doa sekaligus dalam ruku. Tapi, anehnya di buku terjemah Indonesia Sifat Sholat Nabi itu diberi keterangan doa bukan baca tasbih. Mungkin salah cetak kali ya ?
3. Terus apakah benar Baca doa dalam sujud itu hanya pada rakaat terakhir saja ? Karena, saya melihat memang ada imam yang kalau sujud terakhirnya saja lebih lama di banding sujud di rakaat yang sebelumnya, mungkin itu baca doa dulu. Kalau baca doanya di rakaat terakhir saja, apakah tidak apa-apa ? Apakah tidak bid’ah ?
4. Di buku tersebut ada bacaan tasbih ketika itidal yaitu “Lirobbilhamdu Lirobbil hamdu. Di dalam buku tersebut disebutkan kalau beliau mengulang bacaan ini berkali-kali sampai lama itidalnya hampir sama dengan berdiri shalat sesudah takbiratul ihram, padahal beliau membaca surat Albaqoroh. HR Abu dawud dan Nasa’i. Kira-kira kalau baca tasbih tersebut hampir sama dengan baca surat Albaqoroh kira-kira berapa kali ? Mungkin bisa beribu-ribu kali baca tasbih tersebut (tapi lamanya juga hampir kalau hampir berarti tidak sama persis lamanya dengan berdiri membaca surat Albaqoroh ? Betul tidak ?
Maaf Pak Ustadz kalau Pak Ustadz tidak menjawab sesuai pertanyaan seperti pertanyaan nomor 2 di atas yaitu jawaban Pak Ustadz ” (Sudah terjawab dlm no 1 (baca lagi, kalau belum faham” ), kalau begitu saya masih bingung (masih ragu perlu di tahqiq lagi oleh Pak Ustadz) jadi dijawabnya boleh/bisa atau tidak begitu pertanyaan nomor 2 di atas itu ? Jadi, bisa saya mengerti, meyakinkan saya (lebih objektif).
assalamu’alaikum ustdz
ketika sholat subuh di daerah
kami biasa pk qunut tp ana ngk ikut qunut satu saat imam lupa qunut kmd pd rekaat terakhir melakukan sujud syahwi,apa yng hrs ana lakukan ?ikut sujud syahwi atau diam saja
syukron ats jawabnya
Wa’alaikumussalaam.
jawabannya: antum ikut sujud, karena makmum diperintahkan mengikuti imam, jadi kalau imam sujud sahwi ya antum ikut sujud. Antum ikut qunut juga sebenarnya tidak mengapa, tidak bid’ah kok… hanya saja sebaiknya tidak dirutinkan dan dikhususkan pada shalat subuh, sebab hadits yg jadi landasan dlm hal ini dha’if.
Assalamu’alaykum…
Ustadz, saya mau bertanya tentang sholat jama’, qoshor , serta jama’ sekaligus qoshor (khususnya untuk wanita):
1. Saya membaca di buku ensiklopedi fiqih wanita karya abu malik kamal bin as sayyid salim bahwasanya 2 keadaan yg memperbolehkan kita untuk menjama’ sholat adalah
a. Ketika dalam perjalanan ( di http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0 dikatakan bahwa perjalanan yang dimaksudkan adalah perjalanan yang tidak tergolong safar karena musafir di sunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama’)
b. Adanya kebutuhan yang mendesak
Kasus saya:
saya melakukan perjalanan biasa ke suatu kota dan sholat dzuhur disana… dalam perkiraan saya jika saya pulang ke kota asal saya maka saya masih bisa mendapati waktu sholat ashar di rumah walaupun sisa waktunya mepet/sedikit … dalam hal ini apakah saya sebaiknya menjama’ taqdim sholat dzuhur dan ashar saya tersebut atau tetap sholat ashar dirumah saja di sisa waktu yang sedikit itu?
2. Berdasarkan referensi2 yang say a baca tersebut bahwasanya mengqoshor sholat bagi musafir adalah apabila safarnya tersebut telah keluar dari negerinya sehingga kalau safar masih dalam negeri yang sama maka di syari’atkan untuk menjama’ saja…
Kasus saya:
Saya sering safar sumbar-jakarta pakai bus… bus berhenti ketika waktu dzuhur dan masih di daerah sumbar setelah itu baru berhenti lagi tengah malam di palembang… nah untuk sholat dzuhur dan asharnya berarti harus saya jamak taqdim—apakah cukup saya jama’ sholat dzuhur dan ashar itu atau saya jama’ sekaligus qoshor juga…? Kapan jama’ sekaligus qoshor itu disyari’atkan ya ustadz?
3. Teman saya numpang tanya:
Teman saya ini tinggal di daerah minoritas.. dikantornya hanya ada 2 orang muslim-selainnya nasrani.. salah satu temannya yang nasrani ini sering berkoar2 tentang pluralisme—semua agama sama saja—dan ini sering dia ulang2—apa nasihat ustadz untuk teman saya ini karena untuk ‘membantah’ pendapat si nasrani itu dia juga kurang ilmu dan mental… diapun susah mencari tempat ta’lim disana—anehnya walaupun di daerahnya islam adalah minoritas namun untuk yang minoritas ini merekapun ‘diasuh’ oleh LDII.. mohon penjelasan tentang konsep ‘manqul’nya LDII ini juga ustadz… mereka menganggap untuk menjaga kemurnian islam adalah dengan konsep manqul dari rasulullah sampai ke imam/ustadz mereka.. artinya imam/ustadz mereka juga ikut jadi perawi padahal….dan padahal… Aneh memang..
terimakasih…
1. Begini, di buku Syeikh Albani ada bacaan2 doa ruku dan sujud, tapi apakah itu artinya jika ingin membaca doa lain selain yang ada di buku tersebut yaitu membaca doa umum yg berasal dari al-Qur’an seperti Robbanaatina dst, jikalau dari hadis membaca doa Allahummarabbanasiadzhibilba’sa dst, jika ingin membaca doa-doa itu apakah yang menjadi prasyaratnya yaitu harus membaca dulu doa yang ada dalam buku Albani tsb, dg kata lain syaratnya harus baca bacaan doa khususnya dulu seperti subhanarabbiyal’ala atau subhnakallahummrabbanawabihamdikaallhumaghfirli. Baru setelah itu baca doa yang lainnya ? Apakah begitu ?
2. Apakah jika doanya yaitu Subhanarabbiyala’ala 5 kali terus ditambah baca lagi subhankallahummarabbanawabihamdikaallahumaghfirli ketika sujud terus setelah itu baca yg lainnya. Apakah itu bisa ?
3. Dan jika ketika sujud atau ruku saya hanya membaca doa Allahummarabbanasiadzhibilba’saisyifi dst,hanya itu saja. Apakah itu bisa ?
Kenapa saya bertanya ini karena supaya lebih paham. Jadi, dijawabnya pernomor ya Pak Ustadz, sesuai pertanyaan masing-masing.
1. Yang wajib dibaca adalah bacaan tasbihnya (subhaana robbiyal a’la/adhiem atau bacaan lain yg disebutkan di buku tsb) minimal sekali. Namun untuk ruku’, kita hanya membaca tasbih dan puji-pujian, bukan membaca doa, karena dlm buku tsb yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani semuanya adalah tasbih/puji-pujian; sedangkan yg bersifat doa baru kita baca dalam sujud. Dan doa itu dibaca setelah tasbih juga (minimal sekali). Bacaan tasbihnya boleh pilih salah satu, dibaca semua juga boleh… tidak ada ketentuan harus membaca semuanya dulu baru boleh berdoa, tidak. Tapi minimal baca satu kali karena bacaan tasbih dlm sujud itu wajib, sedangkan berdoanya sunnah. Faham?
2. Sudah terjawab dlm no 1 (baca lagi, kalau belum faham).
3. Minimal bacalah tasbih dulu walau sekali, baru baca doa yg antum inginkan. bacaan tasbihnya bisa pilih mana saja yg antum hafal (ada 12 pilihan yg beliau sebutkan dlm buku tsb).
1. Begini, di buku Syeikh Albani ada bacaan2 doa ruku dan sujud, tapi apakah itu artinya jika ingin membaca doa lain selain yang ada di buku tersebut yaitu membaca doa umum yg berasal dari al-Qur’an seperti Robbanaatina dst, jikalau dari hadis membaca doa Allahummarabbanasiadzhibilba’sa dst, jika ingin membaca doa-doa itu apakah yang menjadi prasyaratnya yaitu harus membaca dulu doa yang ada dalam buku Albani tsb, dg kata lain syaratnya harus baca bacaan doa khususnya dulu seperti subhanarabbiyal’ala atau subhnakallahummrabbanawabihamdikaallhumaghfirli. Baru setelah itu baca doa yang lainnya ? Apakah begitu ?
2. Apakah jika doanya yaitu Subhanarabbiyala’ala 5 kali terus ditambah baca lagi subhankallahummarabbanawabihamdikaallahumaghfirli ketika sujud terus setelah itu baca yg lainnya. Apakah itu bisa ?
3. Dan jika ketika sujud atau ruku saya hanya membaca doa Allahummarabbanasiadzhibilba’saisyifi dst,hanya itu saja. Apakah itu bisa ?
Kenapa saya bertanya ini karena supaya lebih paham.
Assalamu’alaikum
Tentang larangan menjadikan rumah sebagai kuburan, ada keterangan yang saya dapat termasuk jika ada kuburan di dalam rumah maka kuburan tersebut harus dipindah, benarkah hal ini?
Lalu ada kejadian begini, di rumah salah satu ikhwan ada bayi (mati sebelum lahir) yang di kubur di luar rumah. Karena rumah diperluas akhirnya kuburan bayi itu berada di dalam rumah, apakah kuburan bayi tersebut harus dipindah?
Mohon penjelasannya!
Jazaakumullooh Khoir
Wa’alaikumussalaam warahmatullah
Mayoritas ulama menafsirkan hadits tsb bukan spt dhahirnya, alias tidak mengatakan bahwa kita dilarang menguburkan orang mati di rumah. Penafsiran terbanyak yg ana temukan mengatakan bhw maksud hadits ini ialah hendaknya kita meramaikan rumah dengan ibadah spt shalat sunnah dan tilawatul qur’an; dan jangan menjadikannya sepi dari ibadah spt kuburan. Inilah penafsiran yg tepat, mengingat dlm shahih Muslim, hadits tsb lafazhnya sbb: (اجعلوا من صلاتكم في بيوتكم ولا تتخذوها قبورا) lakukanlah sebagian shalat kalian di rumah, dan jangan menjadikannya sebagai kuburan.
Ini menguatkan penafsiran mayoritas ulama tsb (di antaranya Ibn Taimiyyah), meskipun ada pula di antara mereka yg menafsirkannya sbg larangan menguburkan mayit di rumah. Akan tetapi, kalau lah larangan tsb memang benar, maka bagaimana dengan Abu Bakar dan Umar yg dikubur di rumah Rasulullah?
Jadi, kesimpulannya -wallaahu a’lam- yg dilarang bukan menguburkan orang mati dlm rumah, tapi menjadikan rumah ‘mirip’ kuburan yg sunyi dari ibadah.
Namun bila keberadaan kuburan di rumah yg diperluas tadi menimbulkan kesulitan bagi penghuni rumah, spt letaknya yg di tengah-tengah shg menghambat mobilitas, dan menjadikan tempat tsb tidak bisa untuk shalat, padahal tidak ada tempat lain yg nyaman untuk shalat -umpamanya-, atau karena alasan-alasan lain; maka boleh saja dipindahkan tulang-belulangnya ke pemakaman umum kaum muslimin. Ini kalau bayinya sudah dianggap manusia, artinya mati setelah berumur 4 bulan/lebih dlm kandungan. Tapi kalau masih di bawah itu, maka tidak dihukumi sebagai manusia yg memiliki kehormatan pada dirinya, sehingga tidak perlu diperlakukan seperti jenazah/orang mati. Wallahu a’lam.
1. Pak Abu Hudzaifah, bolehkah saya berdoa dengan membaca doa ketika sujud subhanarabbiyal’ala termasuk ruku subhanarabbiyal’adzim beberapa kali (lebih dari tiga kali), dimana hal tersebut lamanya sama dengan membaca surat ketika berdiri. Kalau berdirinya baca surat Albaqoroh baca subhanarabbiyal’alanya juga lama mungkin bacanya beratus-ratus kali beribu kali. Bukankah nabi juga begitu ? Antara sujud, berdiri, itidal ruku semuanya temponya sama.
2. Kalau saya membaca surat pendek apakah bisa berdoanya ketika sujud dan ruku lama seperti lamanya membaca surat panjang. Apakah itu menyelisihi sunnah dimana nabi sama temponya antara berdiri, itidal, ruku sujud. Sedangkan ini baca suratnya pendek tapi bacaan ruku dan sujudnya panjang.
Bukan begitu yg dimaksud oleh sebuah hadits yg mengatakan bahwa Nabi ketika ruku’ dan sujud memanjangkannya seperti panjangnya bacaan beliau ketika berdiri. TAPI, maksudnya panjangnya ruku’ dan sujud itu relatif menyesuaikan panjangnya berdiri. Kalau berdirinya panjang, ya ruku’ dan sujudnya juga panjang (tapi tidak sama panjang dengan berdiri); namun jika berdirinya sedang, maka ruku’ dan sujudnya juga sedang, demikian pula ketika berdirinya singkat, ruku’ dan sujudnya singkat pula. Jadi, pemahaman antum ini tidak benar dan tidak sesuai dengan maksud si perawi hadits. Nabi ga’ pernah shalat dgn cara spt yg antum fahami ini…
Allahumma antassalam wa minkassalam
tabaarakta rabbana yaa dzaljalaali wal ikram
(ya Allah Engkaulah Kebahagiaan dan dari Mu-lah bersumber segala kebahagiaan,
Engkau Maha Mulia Tuhanku, wahat Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan.
Itu bacaan pujian ya ? Iya, saya memang gak paham bahasa Arab. hehe
Tapi, bagaimana kalau dengan doa setelah tahajud kebanyakan orang berdoa setelah solat sunat tahajud doa di bawah ini.
Tapi, setelah mendapatkan keterangan di atas,bahwa Rasul tidak berdoa sesudah solat berarti, doa setelah sholat tahajud di bawah ini dibaca ketika sujud dan tahiyat akhir juga ya ?
Allahumma lakalhamdu annta qayyimussamaawaati wal’ardhi wa manfiihinna wa lakalhamdu annta nuurussamaawaati wal’ardhi, wa lakalhamdu anntalhaqq wa wa’dukalhaqq, wa liqaa’uka haqq, wa qauluka haqq, waljannatu haqq, wannaaru haqq, wannabiyuuna haqq, wa muhammadun shallallaahu ‘alaihi wa sallam haqq, wassaa’atu haqq. Allaahumma laka aslamtu wa bika aamanntu wa ‘alaika tawakkaltu wa ilaika anabtu wa bika khaashamtu wa ilaika haakamtu faghfirlii maa qaddamtu wa maa akhkhartu wa maa asrartu wa maa a’lantu, anntalmuqaddimu wa anntalmu’akhkhiru laa ilaaha illaa annta wa laa ilaaha ghairuka wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Rabbi adkhilnii mudkhala shidqiwwa akhrijnii mukharaja shidqiwwaaj’allii milladungka sulthaanannashiiraa.
Aku mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung, yang tiada tuhan selain DIA sendiri. Yang Maha Hidup dan Yang Berdiri sendiri-Nya, serta aku bertaubat kepada-Nya.
Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain-Mu. Engkaulah yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu, dan aku pun dalam ketentuan-Mu dan dalam janji-Mu, sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari sejahat-jahat kelakuan. Aku mengakui kenikmatan yang kau limpahkan kepadaku dan aku mengakui pula akan dosa-dosa-ku. Maka ampunilah aku, karena tak ada yang dapat menerima taubat atas dosa-dosa-ku selain Engkau sendiri.
Ya Tuhan kami, karuniakanlah kami kebaikan di dunia dan akhirat dan selamatkanlah kami dari siksa neraka. Ya Allah, bagi-Mu puja dan puji. Engkau-lah penguasa langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalam keduanya. Dan bagi-Mu pula puja dan puji, pancaran cahaya langit dan bumi. Bagi-Mu-lah puja dan puji itu, karena hanya Engkau-lah Yang Maha Besar, janji-Mu benar dan pertemuan dengan-Mu-pun benar pula. Firman-Mu benar dan surga-Mu-pun benar. Neraka benar dan para Nabi juga benar serta Nabi Muhammad saw juga benar dan hari kiamat itu benar. Ya Allah, kepada-Mu aku berserah diri dan dengan-Mu aku percaya. Kepada-Mu aku bertawakkal dan kepada-Mu aku akan kembali serta dengan-Mu aku rindu dan kepada-Mu aku berhukum. Ampunillah dosa-dosaku apa yang telah aku lakukan sebelumnya maupun yang terdahulu atau yang kemudian, yang kusembunyikan dan yang kunyatakan dengan terang-terangan. Engkau-lah tuhan yang terdahulu dan yang kemudian. Tiada Tuhan selain Engkau, tak ada daya dan upaya melainkan dengan-Mu ya Allah. (HR. Bukhari-Muslim)
Ya Tuhanku (khusus do’a tahajjud) Masukkanlah aku melalui tempat masuk yang benar/baik, dan keluarkanlah aku melalui tempat keluar yang benar. Dan jadikanlah bagiku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong. (Al-Isra’, 17:)
Kalau di akhir malam beda lagi, karena itu memang waktu kita diperintahkan untuk berdoa. Jadi di luar shalat pun dianjurkan, apalagi di dalam shalat. Yang ana maksud tidak diajarkan oleh Rasulullah ialah membiasakan doa usai shalat lima waktu, namun meninggalkan doa ketika sujud dan sebelum salam. Mengerti?
Ada lagi Pak Ustadz Abu Hudazifah, bukankah setiap selesai sholat beliau selalu mengucapkan “Allahummaantassalam wamingkassalam dst” dan Allahummalaamani’alimaa’thoita dst bukankah itu doa ? Berarti Rasul selalu berdoa selesai sholat kalau begitu ?
itu pujian, bukan doa. Antum faham bahasa Arab ga’?
Assalammu’alaikumwarahmatullahiwabarakaatuhwamaghfiratuh,
1. PERTANYAAN PERTAMA : Bolehkah membaca semua doa di bawah ini di tahiyat terakhir, sehingga ketika imam sudah salam kita masih membaca doa di tahiyat akhir tersebut ? (Apakah rasul membaca doa ini semua atau hanya salah satunya ? )
55- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.
55. “Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” [70]
56- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ.
56. “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur. Aku berlindung kepadaMu dari fitnah Almasih Dajjal. Aku berlindung kepadaMu dari fitnah kehidupan dan sesudah mati. Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari perbuatan dosa dan kerugian.” [71]
57- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْمًا كَثِيْرًا، وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
57. “Ya Allah! Sesungguhnya aku banyak menganiaya diriku, dan tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Oleh karena itu, ampunilah dosa-dosaku dan berilah rahmat kepadaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [72]
58- اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ. أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.
58. Ya Allah! Ampunilah aku akan (dosaku) yang aku lewatkan dan yang aku akhirkan, apa yang aku rahasiakan dan yang kutampakkan, yang aku lakukan secara berlebihan, serta apa yang Engkau lebih mengetahui dari pada aku, Engkau yang mendahulukan dan mengakhirkan, tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Engkau. [73]
59- اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
59. “Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut namaMu, syukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu.” [74]
60- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ.
60. “Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari bakhil, aku berlindung kepadaMu dari penakut, aku berlindung kepadaMu dari dikembalikan ke usia yang terhina, dan aku berlindung kepadaMu dari fitnah dunia dan siksa kubur.” [75]
61- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ.
61. “Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu, agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepadaMu dari Neraka.” [76]
62- اَللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِيْ مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِيْ، وَتَوَفَّنِيْ إِذَا عَلِمْتَ الْوَفَاةَ خَيْرًا لِيْ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، وَأَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ، وَأَسْأَلُكَ الْقَصْدَ فِي الْغِنَى وَالْفَقْرِ، وَأَسْأَلُكَ نَعِيْمًا لاَ يَنْفَدُ، وَأَسْأَلُكَ قُرَّةَ عَيْنٍ لاَ يَنْقَطِعُ، وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءِ، وَأَسْأَلُكَ بَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَوْتِ، وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِيْ غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَلاَ فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ، اَللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ اْلإِيْمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ.
62. “Ya Allah, dengan ilmuMu atas yang gaib dan dengan kemahakuasa-anMu atas seluruh makhluk, perpanjanglah hidupku, bila Engkau mengetahui bahwa kehidupan selanjutnya lebih baik bagiku. Dan matikan aku dengan segera, bila Engkau mengetahui bahwa kematian lebih baik bagiku. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadaMu agar aku takut kepadaMu dalam keadaan sembunyi (sepi) atau ramai. Aku mohon kepadaMu, agar dapat berpegang dengan kalimat hak di waktu rela atau marah. Aku minta kepadaMu, agar aku bisa melaksanakan kesederhanaan dalam keadaan kaya atau fakir, aku mohon kepadaMu agar diberi nikmat yang tidak habis dan aku minta kepadaMu, agar diberi penyejuk mata yang tak putus. Aku mohon kepadaMu agar aku dapat rela setelah qadhaMu (turun pada kehidupanku). Aku mohon kepadaMu kehidupan yang menyenangkan setelah aku meninggal dunia. Aku mohon kepadaMu kenikmatan memandang wajahMu (di Surga), rindu bertemu denganMu tanpa penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah kami dengan keimanan dan jadikanlah kami sebagai penunjuk jalan (lurus) yang memperoleh bimbingan dariMu.” [77]
63- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ يَا اَللهُ بِأَنَّكَ الْوَاحِدُ اْلأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، أَنْ تَغْفِرَ لِيْ ذُنُوْبِيْ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
63. “Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu, ya Allah! Dengan bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Tunggal tidak membutuhkan sesuatu, tapi segala sesuatu butuh kepadaMu, tidak beranak dan tidak diperanakkan (tidak punya ibu dan bapak), tidak ada seorang pun yang menyamaiMu, aku mohon kepadaMu agar mengampuni dosa-dosaku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [78]
64- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، الْمَنَّانُ، يَا بَدِيْعَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ.
64. “Ya Allah! Aku mohon kepadaMu. Sesungguhnya bagiMu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiMu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepadaMu agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepadaMu dari siksa Neraka.” [79]
65- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَنِّيْ أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ اْلأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ.
65. “Ya Allah, aku mohon kepadaMu dengan bersaksi, bahwa Engkau adalah Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau, Maha Esa, tidak membutuhkan sesuatu tapi segala sesuatu butuh kepadaMu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak seorang pun yang menyamaiNya, (sesungguhnya aku mohon kepadaMu).” [80]
———————————
[70] HR. Al-Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412. Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim.
[71] HR. Al-Bukhari 1/202 dan Muslim 1/412.
[72] HR. Al-Bukhari 8/168 dan Muslim 4/2078.
[73] HR. Muslim 1/534.
[74] HR. Abu Dawud 2/86 dan An-Nasai 3/53. Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Abi Dawud, 1/284.
[75] HR. Al-Bukhari dalam Fathul Baari 6/35.
[76] HR. Abu Dawud dan lihat di Shahih Ibnu Majah 2/328.
[77] HR. An-Nasai 3/54-55 dan Ahmad 4/364. Dinya-takan oleh Al-Albani shahih dalam Shahih An-Nasai 1/281.
[78] HR. An-Nasai, lafazh hadits menurut riwayatnya 3/52 dan Ahmad 4/338. Dinyatakan Al-Albani shahih dalam Shahih An-Nasai 1/280.
[79] HR. Seluruh penyusun As-Sunan. Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.
[80] HR. Abu Dawud 2/62. At-Tirmidzi 5/515, Ibnu Majah 2/1267, Ahmad 5/360, lihat Shahih Ibnu Majah 2/329 dan Shahih At-Tirmidzi 3/163.
KITAB HISNUL MUSLIM
Kumpulan Doa dan Dzikir Dari Al Quran dan As Sunnah
Said bin Ali Al Qathani
2. PERTANYAAN KEDUA : وصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ “Aku wasiatkan padamu wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat) : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud no. 1522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).
Jadi, bacaan doa dalam hadis ini bisa dibaca sesudah dibaca bacaan doa di atas semua (dalam tahiyat akhir)?
Syukron,
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh wamaghfiratuh.
1. kalau antum shalat berjama’ah, maka harus mengikuti imam, dalam arti jangan mendahului dan jangan pula berlambat-lambat. Ini sifatnya wajib, sedangkan membaca doa-doa tadi sifatnya sunnah, dan yg wajib harus kita dahulukan daripada yg sunnah. Kesimpulannya: bacalah sebagian dari doa tadi secara bergiliran sebelum imam salam, namun begitu imam selesai salam yg kedua, hentikan doa tsb dan segera-lah mengucap salam. Antum bisa baca semua doa tadi dlm shalat sunnah, baik ketika sujud maupun sebelum salam. Saya tidak bisa memastikan bahwa semua doa tadi dibaca oleh Rasulullah, tapi yg jelas itu boleh/dianjurkan untuk dibaca baik sebagiannya atau seluruhnya, terutama yg no 55-56 konon selalu dibaca oleh Rasulullah semenjak beliau diberitahu oleh Allah bahwa setiap orang akan mengalami fitnah kubur.
2. Tidak ada ketentuan harus dibaca setelah membaca semua doa tadi, tapi yg jelas dibaca di dubur (akhir) shalat.
1. Jadi, bisa juga ya dipakai dalam sujud doa tersebut dibaca semua. Jadi, itu ya maksud harus memperbanyak doa dalam sujud. Saya pikir di dalam sujud itu yang harus itu hanya yaitu bacaan subhana rabbiyal a’ala saja sama subhanakallahummarabbanawabihamdika allahummagfirli. Jadi, semua doa di atas bisa dipakai ya ? Termasuk doa-doa dari Alquran ? Dan itulah yang membuat Rasul lama dalam melakukan sujud.
2. Tetapi, Kalau sedang ruku apakah doa tersebut bisa dipakai semua ? Karena, bukankah Rasul juga memperlama dalam ruku. ( Kalau rukunya lama mungkin membaca doanya banyak juga seperti sujud).
3. Untuk doa-doa tersebut di atas, dibaca dengan tajwidnya ya ? Misalkan ada yang gunnah, dibaca gunnah, begitu juga ada yang qolqolah dibaca qolqolah, juga kalau ada ikhfa, iqlab, idzhar, idgom dan yang lainnya.
Syukron,
Kalau tanya yg wajar-wajar saja lah… antum tanyanya sering aneh-aneh… (doa kok pake tajwid, ntar ngomong bahasa Arab harus pake tajwid, wah repot donk)
kan sudah dijelaskan. Penanya yg lain dijawab sekali sudah cukup kok…
assalamu’alaykum…
ustadz, saya pernah membaca mengenai jual beli (hasil tanaman), yaitu:
1. Yang dilarang dalam nash-nash hadits adalah: sistem ijon… artinya membeli buah yang masih hijau, tapi diambilnya ketika sudah matang… hal ini dilarang karena ada unsur ghoror (spekulasi) yg besar… bisa jadi pembeli untung besar, atau rugi besar, dikarenakan banyak hal yg timbul dari berlalunya waktu.
Sedang menjual buah yg masih hijau jika langsung dipetik saat itu juga, maka hal ini diperbolehkan, karena tidak adanya unsur ghoror tersebut, wallohu a’lam.
2. Adapun penjualan dengan borongan dan perkiraan, maka hal itu diperbolehkan, dan telah dilakukan sejak zaman Nabi -shollallohu alaihi wasallam-… Dalam istilah fikihnya disebut: AL-KHORSH… tapi tentunya yg memperkirakan harus orang yang ahli, bukan sembarang orang… agar tidak ada unsur ghoror dan zholim di dalamnya… Wallohu a’lam.
masalah saya:
saya bekerja sebagai penyuluh industri yang mana salah satu masalah yang dihadapi oleh indutri (industri pengolahan singkong) binaan saya adalah masalah pembelian bahan baku (singkong)…
jika mereka membeli singkong karungan di pasar2 harganya akan lebih mahal, tidak tahan lama (berubah warna jadi hitam), mahal ongkos angkut dll.. sehingga mereka membeli sebuah ladang singkong secara borongan namun sebelum singkong2 itu dipanen sehingga mereka hanya akan menagambilnya sedikit demi sedikit sesuai kebutuhan produksi perhari saja (harga ladang berdasarkan taksiran pembeli dan penjual saja)…
apakah ini sistem ijon atau AL-KHORSH tsb???
mohon penjelasannya ustadz… terimakasih
Wallaahu a’lam, laa adri (ana tidak tahu). Tanyakan kepada Ust. Dr. Muh Arifin Badri di http://www.konsultasisyariah.com/
Ustadz. Ada yang samar bagi ana.
Ana dan teman2 biasanya kalo dzikir habis shalat fardhu itu sambil duduk bersila [bukan duduk selonjor, atau jenis duduk yang lain] alasannya supaya dzikirnya lebih nyaman aja [jika kondisi nyaman telah tercapai maka untuk khusyu’ akan menjadi lebih mudah] dan memang dari kecil kebiasaan rata2 orang di Indonesia kalo dzikir ya dalam keadaan duduk bersila. Ana tidak ada maksud sama sekali untuk mentaqyidnya sebab ana tahu dzikir itu boleh dalam keadaan duduk, berdiri dan tidur.
Nah tiba2 kemarin2 ini ana teringat dengan dzikir sufi yang berdiri sambil jingkrak2 seperti pada link berikut http://www.youtube.com/watch?v=XMHZl2t6p7s atau seperti yang mungkin antum juga telah tahu, mereka dzikir dalam keadaan duduk dan kepalanya goyang kanan-goyang kiri. Ana punya dugaan kuat bahwa mereka melakukan hal tsb karena merasa nyaman dan agar lebih khusyu. Berarti alasan mereka juga ga beda jauh dengan alasan ana yang dzikir sambil duduk bersila.
Pertanyaan ana:
Apakah perbuatan kalangan Sufi yang dzikir sambil goyang2 dengan alasan kenyamanan dan agar lebih khusyu’ dapat dikatakan bid’ah? Lalu bagaimana pula dengan ana dan teman2 yang dzikir sambil duduk bersila juga dengan alasan kenyamanan, apakah ana juga dapat dikatakan telah melakukan bid’ah?
Masalah ini benar2 samar buat ana sebab ‘illat nya mirip yakni sama2 karena alasan “kenyamanan”.
Mohon penjelasannya tadz…
Terima kasih…
Ya jelas beda donk… mereka khan menganggap cara dzikir spt itu sebagai ibadah yg berdiri sendiri, yang sebagiannya bahkan melakukan sambil berputar-putar spt yg diajarkan oleh si Zindiq Jalaluddin Ar Rumi. Ada pula yg berjingkrak-jingkrak macam orang kesurupan. Lagi pula bacaannya juga beda. Sedangkan kita melakukan dzikir dgn posisi bersila bukan dengan anggapan bhw posisi tsb adalah ibadah, tapi sekedar wasilah/sarana mencari kekhusyu’an yg memang dibolehkan dalam syari’at berdasarkan nash al Qur’an (الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم)
Maksudnya antum ga percaya kalo mereka melakukan hal tsb hanya karena alasan sebagai kenyamanan dan wasilah khusyu’ saja tapi sudah masuk ke dalam bentuk ibadah yang sifatnya berdiri sendiri sebagaimana ibadah2 muqayyad lainnya. Betul begitu tadz?
Ya… tambah lagi, cara berdzikir dengan jingkrak-jingkrak jelas bid’ah, karena selain tidak ada dalilnya juga tidak masuk akal.
Bismillah
Afwan Ustadz, mau nanya ttg do’a pagi dan sore.
Bukankah itu dibacanya bisa ba’da solat fajr dan ba’da asar?
Mohon pencerahannya. Jazakallohukhair
Coba sebutkan doa yg mana yg antum maksud (pake teks arabnya), atau dari kitab mana…
Ala kulli haal, yg ingin ana soroti sebenarnya ialah kebiasaan masyarakat awam yg sering kali melalaikan saat sujud dan sebelum salam sebagai kesempatan emas untuk berdoa, namun justru berdoa selepas shalat dengan mengangkat kedua tangan. Ini yg ana maksud sebagai kebiasaan yg tidak ana ketahui contohnya dari praktik Rasulullah maupun para sahabat. Kalau pun ada yg disebut doa pagi dan sore, maka toh tidak dibaca dengan mengangkat tangan spt itu.. tapi lebih bersifat seperti dzikir.
Assalamu’alaikum warrohmatulloh ustadz Abu Hudzaifah, semoga antum selalu dalam lindungan Allah Ta’ala.
Ustadz, dalam hadits riwayat Imam Al Bukhori :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ بُنْدَارٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ، الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ”
Tolong disyarah sedikit ustadz mengenai “Laki-laki yg hatinya terpaut pada masjid”. Apakah ia berarti mencakup mencintai & selalu menunaikan sholat berjamaah di masjid & mengikuti kajian2 ilmunya ataukah ia hanya mencakup selalu mencintai masjid saja dan terkadang ia sholat berjamaah disana dan terkadang mengikuti kajian ilmunya?
Barokallohu fiik ustadz.
Maknanya ialah ia demikian cinta kepada mesjid. Tiap kali selesai shalat fardhu berjama’ah di mesjid, hatinya tak sabar menunggu datangnya waktu shalat berikutnya saking cintanya kepada mesjid. Ini yg paling penting berkenaan dengan mesjid, yaitu shalat berjama’ahnya, sedangkan aktivitas lainnya bersifat ‘mengikuti’ shalat jama’ah. Spt menghadiri kajian ilmu, tahfizhul qur’an, membaca al qur’an, dsm… sebab yg khusus berkaitan dengan mesjid ialah shalat fardhu berjama’ah, sedangkan ibadah lainnya bisa dilakukan di mesjid dan bisa di luar mesjid.
Syaikh Abu Ishaq Al Huweini pernah menjelaskan maknanya dgn mengatakan kurang lebih demikian: “Orang tsb hatinya terpaut di mesjid, seakan-akan jika ia keluar dari mesjid, ia keluar tanpa membawa hati… alias tak bisa betah lama-lama di luar sana karena hatinya ada di mesjid”.
wallahu a’lam.
syukron jaziilan ustad… jazakallahu khair barakallahu fiik